"Iya Sayang, itu namanya bintang. Bafre nonton bintang dulu sama Ummah, yuk!" "Mau," jawab Bafre. Akhirnya bisa ditinggal juga. Salma dan Fariz segera bergegas pulang mumpung mood anak kecil itu sedang good job. *** "Sayang, selamat sahur pertama ramadhan bersama suamimu." Fariz terus mengusap pipi Salma sambil bicara sampai istrinya itu terbangun. Saat itu, Salma memang terlihat masih sangat ngantuk. Dia sudah menata menu sahur dari malam. Meskipun, sebagian juga dimasak pagi waktu sahur. Fariz memang mandiri, dari dulu sangat anti dengan wanita. Ia tidak sembarangan mau ada perempuan di rumahnya, kecuali Clarissa saat mereka masih berpacaran. Memang pernah lumayan tersesat Fariz dulu. Saat ramadhan itu, Fariz juga menawarkan untuk ada pembantu saja. Namun, keinginan Salma untuk tidak mau itu tidak bisa diganggu gugat. "Iya Capa, semoga diberkahi," "Capa, kok iniku sakit, ya," ucap Salma. "Apa Sayang? Apanya yang sakit?" tanya Fariz. "Ini loh," Salma meraih tangan Fariz dan
Bab 121. Capa! "Papa dan Mama, Sayang," jawab Fariz setelah melihat siapa yang telepon kemudian mengangkatnya. "Fariz, bagaimana sahur pertamanya?" tanya mama dari telepon. "Lancar jaya, Fariz terlalu over ke anakmu Ris," goda mami Reva. Mereka pun tertawa. Salma juga menyapa kepada orang tuanya. Mereka tidak terlalu lama karena juga harus melanjutkan sahur masing-masing. *** "Habis tarawih, tadarus. Habis tadarus enaknya, ngapain? Belum ngantuk juga," ucap Salma. "Ngapain? Nih, boleh minta tolong?" tanya Fariz. "Asal mutualisme, eh perintah suamiku tercinta, yang penting bukan yang dilarang, disuruh apa?" tanya Salma. "Mutualisme, kok. Pijitin pundak Capa, ya." Salma pun mengiyakan dengan senyum. Namun, Bukannya Salma melihat tapi malah memeluknya. Ia lagi manja-manjanya dan ingin dimanja, sedang tidak mood untuk memanjakan. "Cap," ucap Salma malah mengeratkan pelukannya. "Sayang, ini pijitan jenis apa namanya?" tanya Fariz.. "Ahahaha … jenis manja, Cama inginnya yang di
"Belumlah," jawab Salma. Fariz tersenyum kemudian ikut mengejar tikus. Sampai tikus tersebut tertangkap dan dibawa keluar oleh maminya. "Syukur udah keluar." Salma lega. "Hahaha … penakut!" ejek Fariz. "Biarin! Khusus tikus, kok. Cap, kita jemput Hunaisa, yuk!" ajak Salma. "Sebentar," Fariz mengambil jaketnya yang sudah disiapkan Salma di ranjang bagian pinggir. Ia pun mengambil bukan untuk dipakai, melainkan untuk istrinya yang terlihat masih merinding dipadukan udara di luar dingin, jadi tidak lain, jaket itu untuk Salma. "Cama, kalau jaket ini sudah menghangatkanmu, apakah Capa juga masih berarti?" tanya Fariz seraya memakaikan jaket. "Jaket? Semesta juga tahu, perbedaan jaket dengan Capa. Namun, tidak semua bisa memahami. Aku pun tidak ingin mereka memahamimu. Yang pasti, kau itu sangat Cama cintai. I love you my husband." "I love you to, Sayang," Fariz menatap sang istri. Ia pun meraih pundak istrinya dan memeluknya. Malam itu mereka juga segera menjemput Hunaisa tidur d
"Siapa yang jahat? Oh, Daddy gak jahatin Ummah, kok. Aduh, masya Allah perhatiannya putri Ummah ini," ucap Salma. "Nais, Alhamdulilah kamu perhatian sama Ummah. Kalau Daddy pergi, jagain Ummah ya, Sayang." Fariz mengecup kening Hunaisa. Salma tiba-tiba kebelet. Ia langsung pergi ke toilet untuk buang air besar. Salma lumayan lama di kamar mandi. Fariz mengajak Hunaisa main, karena belum mau tidur lagi. Beberapa kali Fariz menoleh ke arah pintu. Tapi, tetap saja pintunya belum juga terbuka. Itu artinya, Salma belum selesai urusannya di kamar mandi. Hunaisa main sapi-sapian dengan daddynya. Fariz teringat, kata orang itu, mainan anak yang sangat berharga lain dari yang lain itu tubuh orang tuanya. Sentuhan orang tua untuk anak kecilnya itu merupakan mainan yang begitu indah. Fariz merasakannya sekarang. Ternyata rasanya juga beda. Fariz membandingkan, dengan rasanya melihat putrinya itu bermain sendiri dengan mainannya, dibanding dengan sekarang dialah yang menjadi tunggangannya, u
Salma masih diam. Ia terus saja menatap jendela. Ia malas bicara dengan suaminya. Padahal, aslinya sudah dimaafkan. *** "Onty!" teriak Asma. "Hai, Sayang! Minal aidzin Walfaizin, mohon maaf lahir batin, Asma Cantik," ucap Salma seraya menghampiri Asma dan memeluknya. Suasananya benar-benar menyejukkan. Mereka semua bermaaf-maafan satu sama lain, lalu menikmati lezatnya hidangan makanan. Humaira juga ikut ke situ. Ia sangat excited bercerita curhat dengan Humaira. Tanpa Salma sadari, dia itu terus dilirik oleh suaminya. Mungkin sarung hakim yang sangat terbenak, ia khawatir kalau istrinya sedih lagi seperti saat berkumpul arisan keluarga. Ia khawatir, masalah bertanya anak akan membuatnya rapuh lagi. Ternyata, tidak. Di harus itu tidak ada yang menyinggung masalah anak. Mereka saling bercerita apa adanya. Kecuali Humaira, dia itu ngebet nikah banget. "Onty, boleh minta tolong, bukain dong!" ucap Asma yang kesulitan membuka jeli. "Sini, bawa sini yang banyak sekzlian, Sayang!" u
"Apa? Ya yang aku lihat itu wajah tampan kamu," ucap Salma. "Hahaha … bagus deh kalau begitu. Ku kira kamu bakal bilang, tampan kamu yang dulu, sekarang lebih tua, wajahnya tua," jawab Fariz senyum bahagia. Salma terkekeh melihat ekspresi suaminya. Ia pun segera menyahut lagi ucapan Fariz. Memang semakin tua, tapi tidak juga wajahnya terlihat lebih tua secara permanen sekali. Fariz itu parasnya tampan. Jadi, meskipun semakin tua, ketampanan akan tetap terpancar. Apalagi yang melihat itu adalah istrinya. Seorang istri itu, sigap menganggap suaminya selalu yang paling tampan. Meskipun secara kenyataan, memang tidak tampan. Namun, mulut itu akan kalah dengan hati. "Capa, ya jelaslah semakin hari itu semakin bertambah usia. Tapi, nggak ada istilah ketampanan Capa berkurang dalam diri Cama, suamiku tetap tampan selamanya," ucap Salma. *** Clarissa yang tetap saja nekat mengejar Fariz, tidak tahan untuk tidak bersikap buruk ke Salma. Ia dan gengnya membuat banyak jebakan di kampus yang
"Iya, nggak gagal sih, cuma kurang. Kalau Cama minta sesuatu boleh?" tanya Salma. "Apa, Sayang?" tanya Fariz. "Cama ingin ke villa," jawab Salma. "Baiklah, Capa akan segera urus," ucap. Fariz. *** Fariz telah memilih villa terbaik di daerah yang sangat sejuk. Mereka hanya berdua saja. Terlihat sekali, senyum istrinya itu sangat merona terus. Salma itu kalau sedang penat dengan Clarissa, salah satu obat ampuhnya ya hilang dari dia. Salma memejamkan matanya sejenak ketika menyandar ke suaminya di taman villa. Fariz paham, Faris ikut bahagia melihat kebahagiaan istrinya. Apapun akan is coba untuk melakukan demi istrinya bahagia dan terus tersenyum. Dia itu sangat penyayang. Luka sedikit saja pada istrinya, ia berusaha mengobatinya berkubik-kubik. Supaya luka-luka itu bisa benar-benar menyingkir dari istrinya. "Kamu itu loh, bisa banget nariknya," ucap Fariz "Narik apaan?" tanya Salma. "Narik baja, Cama," jawab Fariz. "Baja apa, sih? Gak jelas!" rajuk Salma yang kesal tidak pah
"Coba cari jawabannya sendiri," jawab Salma."Iiih, kamu dendam ya sama Capa,""Nggak Sayang, Cama cinta kok sama Capa," ucap Salma."Manisnya Cantikku, palingan karena kamu ingin ke kamar mandi dulu," ucap Fariz."Hahaha … masa ke kamar mandi satu jam?""Terus, apa dong?""Kamu nanya? Wkwk … Cama pun tak tahu kalau ditunda sebabnya apa, yuk berangkat!***Setelah beberapa hari, mereka pun pulang ke Jakarta. Di tengah perjalanan, Fariz memberhentikan mobilnya dan mengajak istrinya masuk ke restoran mewah.Namanya Restoran Micla. Fariz tahu hal tersebut memang restoran milik papanya Clarissa. Perusahaan papanya Clarissa sangat handal di bidang restoran.Salma tampak biasa saja dan senang masuk restoran itu, karena me
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka