"Cama, ini ice creamnya," ucap Fariz dengan tersenyum. Salma masih mendelik keheranan. Disisi lain ia sangat rindu dan ingin memeluk laki-laki tampan yang barusan masuk. Salma akhirnya tidak tahan dan ia sendiri yang menghampiri Fariz untuk diajak duduk di kasurnya. "Capa, Cama rindu," ucap Salma sambil memeluk Fariz. "Hahaha … sok-sokan mau seminggu. Capa juga rindu, kamu menyuruh anak kecil segala untuk Capa kesini, kenapa tidak langsung?" Fariz mengusap punggung istrinya. "Haa? Siapa yang menyuruh, Cama nggak menyuruh apa-apa ke Asma," jujur Salma. "Yang bener? Gak usah malu deh mengakui, keluarga kita dengar loh apa yang dikatakan Asma." Fariz juga menunjukkan fakta. Mereka berdua masih saling mengeyel dengan fakta dari apa yang mereka alami. Sungguh berbeda, membuat mereka tidak berhenti-berhenti untuk menunjukkan dirinya yang benar. Sampai suara mereka terdengar keluarganya, sehingga keluarganya termasuk Asma juga datang ke kamar mereka. "Maafkan Asma, Onty and Om, Asma ud
"Apa? Cepat katakan!" desak Fariz. "Capa harus tahu, tanpa harus diragukan lagi kalau Cama sangat merindukan Hunaisa dan anak-anak panti. Itu sudah hukum pasti, Capa!" "Hahaha … kirain apaan yang penting. Terus, kenapa belum juga mau pulang? "Orang masih diajak ngobrol dan belum juga digendong," Fariz segera membawa istrinya pulang. Hunaisa terlihat begitu sumringah mengetahui Salma sudah menggendongnya lagi. Ia jadi merasa bersalah dengan anak-anak. *** "Capa, kok gak siap-siap berangkat kerja? Cama udah siapin nih bajunya," ucap Salma. "Ehm … Capa hari ini full seharian ingin di rumah dengan kamu," jawab Fariz. "Capa jangan kayak anak bolos sekolah deh, masa CEO bolos," heran Salma. "Hahaha … gak bolos kok. Tenang aja! Besok kamu sudah mulai kuliah aktif, jadi hari ini full untuk kebersamaan kita," ucap Fariz. Salma tak bisa menjawab selain tersenyum kepada suaminya itu. Perasaan, mereka itu sudah sangat sering bersama. Bahkan, Salma ikut juga ke kantor Fariz. Tapi entahla
"Peluk siapa tadi pagi," ucapnya dengan manja. "Hahaha … Reca maksudnya? Dia kan adik Capa, Sayang," tawa Fariz. "Katanya cuma cinta sama Cama." Kata-kata yang tak perlu ia katakan pun keluar. "Aduh, masa masih jeles terus sampai sekarang. Ya cintanya beda dong, kalau yang model begini yang cuma sama Cama. Sekarang Capa tanya deh, apa kamu tidak menyayangi kak Rifki?" tanya Fariz. "Ya sayanglah," jawab Salma mulai terlihat seperti orang yang bertaubat. "Hahaha … wajah kamu biasa aja. Gak usah seperti wajah-wajah mau bertaubat. Udah sembuh kan jelesnya?" Fariz malah tertawa melihat Salma seperti itu. *** Salma bareng bersama Fariz untuk berangkat kuliah. Ia sama sekali tetap seperti dulu. Prinsipnya, tidak mau diantar jemput sopir kalau memang keadaan tidak darurat. "Bye Cama, semangat kuliahnya," ucap Fariz seraya melambaikan tangan. Salma membalas dengan hal yang serupa. Tapi, begitu Fariz pergi, Clarissa dan dua kawannya menghampiri Salma. Ia ingin menghindar saja, tapi Clar
"Alhamdulillah, kami baik," jawab Salma. "Tentu, kita berbeda dong, Pak. Bisa kayak cacing digoreng kalau satu fakultas, apalagi satu jurusan," jawab Freya. Salma memanggil Freya. Pak Dorsin yang merupakan dosen tersebut juga belum paham dengan pernyataan Freya. Salma tidak ingin untuk saat itu, ada yang tahu akan keadaan tersebut. "Maksudnya begini Pak. Otak kita itu jalannya beda bidang, jadi kalau disatuin ya gak nyambung. Kami ambil di jurusan dakwah, Pak," jelas Salma. "Oo begitu. Terus, kenapa terdengar ribut tadi?" tanya Dorsin. "Biasa Pak, mulut-mulut wanita. Kita pengakraban," jawab Clarissa. *** Sepulang dari kampus, wajah Salma ditekuk tanpa senyum sedikit pun. Fariz heran melihatnya. Seharusnya di hari aktifnya kuliah dia bahagia. Karena itu sudah impian dia dari dulu. Tapi sekarang wajah tidak sesuai ekspetasinya Fariz. Sebelum melanjutkan mobil untuk jalan, ia ingin tahu dulu apa yang membuat istrinya itu terlihat merajuk akut lagi. "Kenapa ditekuk? Enak kan kuli
"Idiih, berdua? Gak bisa! Seharian penuh Capa, biar semakin sejuk, ya Hunaisa obatnya," jawab Salma. "Sayang, bukannya kamu udah adem ya? Entar kalau kedinginan masuk angin," ledek Fariz. "Ya gak bakal masuk angin kalau dianya peka, tidak membiarkan anginnya masuk. Dan, Hunaisa bukan angin, buruan dong! Kalau udah tidur angkat pelan-pelan." Salma tetap bersikeras ingin Hunaisa tidur bersamanya. Fariz pun menelpon pengurus panti. Selain malam itu Fariz ingin tidur berdua saja, tapi ia rasa, kasihan kalau Hunaisa terbangun dalam tidur nyenyaknya. "Nggak, Capa nggak akan turutin. Kasihan sudah tidur pulas. Capa sekarang lapar, buatin nasi goreng dong," pinta Fariz. "Iya juga ya. Nasi goreng? Ya udah deh, tapi temenin!" Salma segera ke dapur. Mereka memasak bersama di malam hari tersebut. Salma juga kepincut untuk ikut makan. Suara gaduh mereka membangunkan Reca yang juga mencium bau sedap itu, jadi tertarik untuk ikut makan. Karena kamar Reca lumayan dekat dengan dapur dibanding ka
"Dia siapa sih? Cama udah ngantuk nih," ucap Salma yang sudah menarik selimutnya. "Jadi diangkat nggak, nih? Kamu namain kontaknya Kak Wildan," tanya Fariz. "Kenapa ya? Udah biarin aja. Entar kalau penting juga dichat dan terus nelpon," jawab Salma. *** Salma kembali menjalani aktivitasnya untuk berkuliah. Kalau kemarin yang menyambut saat ia datang itu Clarissa, kini Wildan yang menunggunya. Tapi, ia tidak mengajak bertengkar. Wildan mengajak diskusi tentang surat Al-An'am ayat 162-163. Mereka mempunyai tugas kelompok tersebut yang anggotanya bersama Freya juga. Tapi, Freya belum juga datang. Salma sangat tidak terbiasa sebenarnya berdiskusi sendirian dengan bukan mahram di taman kampus tersebut. Mereka mulai menyalakan laptopnya. Salma juga sangat menjaga jarak. Sebelumnya ia juga menanyakan kenapa tadi malam ia menelpon di tengah malam. "Oh iya, tadi malam kenapa telpon di tengah malam?" tanya Salma. "Kamu tahu? Kenapa tidak diangkat? Aku mau tanya tentang sandi yang kita b
"Mm iya. Jadi, di situ disebutkan sholatnya dulu, padahal sholat itu masuk dalam kegiatan beribadah. Karena …" "Eh, Sal! Nanti aku kasih kabar bahagia, lanjut-lanjut penjelasan dulu," ucap Freya saat Salma nampak berpikir. "Sholaati, wanusukii artinya sholatku, ibadahku. Sholat itu wajib untuk setiap yang mengaku muslim, dan sholat itu yang lebih utama dari ibadah apapun, makanya disebutkan lebih awal, meskipun sholat termasuk dalam ibadah." jelas Salma saat belajar mengenai surat Al-An'am ayat 162. "Iya. Jadi ngerasa banyak dosa kalau seperti ini. Dulu waktu SMK, aku sering mengabaikan sholat karena ikut ekstrakurikuler sekolah." Wildan nampak sedih. "Kak Wildan jangan sedih gitu. Yang penting sekarang Kakak sudah tobat, dan sekarang harus lebih diperhatikan lagi," jelas Freya. "Betul tuh, semangat!" seru Salma. *** Freya tampak gembira ingin memberi kabar sahabatnya. Salma juga jadi ingin mendengar tentang kabar tersebut. Mereka bercerita sambil duduk di kantin. "Apa sih? Kok
"Tenang, kamu simak nih," jawab Fariz. "Cla, sini dong!" panggil Fariz. Clarissa datang dengan rasa gembira bisa dipanggil oleh orang yang ia cintai. Tanpa ada sebuah keterpaksaan, Clarissa segera hadir di meja Fariz dan Salma. "Ada apa, Dzar?" tanya Clarissa. "Kita makan bareng-bareng. Masih suka sate, kan? Biar aku pesenin," ucap Fariz. "Oh, masih tetap seperti dulu, kok," jawab Clarissa. Fariz pun memanggilnya pelayanan kantin untuk menyiapkan tiga porsi sate. Fariz menyuapi Salma dan begituoun sebaliknya. Hak itu yang ingin mereka lakukan biar Clarissa kepanasan. 'Maaf Cla! Aku ingin kamu bisa lepas dari mencintaiku,' batin Fariz saat menyuapi Salma. Namun, Fariz malah bringing. Jadinya sare tersebut masuk bukannya ke mulut Salma, tapi ke pipinya. Hal itu malah membuat mereka romantis karena Fariz mengelap dengan perlahan menggunakan tisu mengenai bekas bumbu sate yang menempel di pipi istrinya. 'Hhhh! Ini jebakan! Kok kamu tega sih, Dzar?" batin Clarissa. "Aduh, Capa gim