Share

Bab 7. Dia Berbeda

"Pasti nyariin kamu," jawab Freya. 

"Buat?" tanya Salma. 

"Kangen sama kamu, hahaha …" tawa Freya. 

"Mulai ya, mulai!" kesal Salma.

Ternyata, Fariz membicarakan kompetisi yang akan dilaksanakan di perusahaannya dalam rangka hari ulang tahun perusahaan. Perusahaan Fariz mengadakan kompetisi besar-besaran. Ada berbagai macam kompetisi yang bebas diikuti oleh seluruh pelajar setingkat SMA kelas 12 di seluruh Jakarta. 

"Selamat siang semuanya, dalam diri manusia itu tertanam bakat, dan skill yang berbeda-beda, kalian jangan pernah pesimis, gali potensi kalian, jangan malu untuk melangkah …" Fariz memberi semangat sekaligus menjelaskan tentang kompetisi itu dengan sangat ramah. 

Begitu berbeda sikapnya dengan saat pertemuan pertama Salma. Emosi dan marah-marahnya, tidak lagi tampak. Salma bertanya-tanya dalam hatinya. 

'Sebenarnya, dia itu ramah seperti ini, apa yang seperti kemarin-kemarin? Muka dua, atau hanya pura-pura?' batin Salma. 

"Salma Ashana, yang mana?" tanya Fariz. 

"Iya," jawab Salma. 

"Kamu ketua kelasnya, kan? Sini maju!" ucap Fariz. 

Salma tidak langsung maju sesuai perintah Fariz. Ia semakin risih saja untuk maju berhadapan dengan CEO itu. Merasa kesal juga karena Fariz sok belum tahu kalau nama dia Salma. 

"Kenapa Pak?" tanya Salma. 

"Kamu wajib ikut semua dan catat peserta di sekolah ini, saya tunggu besok laporannya harus datang di kantor, sudah dibicarakan dengan pak Mbing," ucap Fariz memberikan banyak berkas. 

"Kenapa saya wajib? Itu lomba juga banyak, masa Salma harus ikut semua, capek kali otaknya," ucap Salma tak berpikir kalau dia berhadapan dengan CEO di depan teman-temannya.

'Hhhh, bocah ini, udah aku ramahin, tapi malah nyolot, lihat saja kalau kamu sudah sampai kantor saya!' batin Fariz. 

"Yes, you all come, tenang saja, hadiah di perusahaan saya tidak mengkhianati hasil kok," ucap Fariz. 

'Tapi, kompetisi ini mungkin bisa jadi senjata untuk ngeluluhin Papa jika aku menang, semoga aja deh,' batin Salma. 

***

"Ma, sebenarnya nggak aman apanya yang Mama dan Papa khawatirkan, jika Salma kuliah belum menikah? Kakak kelas Salma hampir semuanya juga begitu," ucap Salma saat dijenguk orang tuanya di pesantren. 

"Orang kuliah itu beda dengan kamu yang di pesantren, beda juga dengan di Madrasah Aliyah. Itu sudah program Papa dan Mama khusus untuk kamu dari dulu, kamu tinggal pilih, karena Papa dan Mama tidak hanya memikirkan dunia kamu saja," ucap papa Rohman. 

"Dan sekarang ada di depan mata kamu juga yang bisa menjadi jalan dakwahmu, sadarkan Fariz!" ucap Mama Risa. 

"Mungkin gini aja, kalau Salma bisa menyadarkan CEO itu sebelum Salma lulus, Salma tetap lanjut kuliah, nikahnya entar. Insya Allah Salma bisa menjaga diri," tawar Salma. 

"Fariz sudah setuju mau menikahi kamu," ucap papa Rohman. 

"Apa?" Kabar itu sangat tidak diinginkan oleh Salma. 

Pantas saja, waktu bazar sikap dan ucapan Fariz seperti itu. Sebenarnya, Salma hanya bisa berkata ikhlas dan belum bisa ikhlas dalam hati jika ia tidak jadi belajar di kampus keinginannya itu. 

"Papa kira untuk menyadarkan Fariz sebelum kamu menikah itu sulit. Dan walaupun itu berhasil, syarat kuliah tetap berlaku. Tapi, kalau memang benar-benar belum siap menikah, berarti jelas tidak kuliah."

Salma terdiam, bingung memberi tanggapan apa. Karena ucapan orang tuanya itu memang  hal yang positif. Tapi, Salma belum bisa menerima. 

"Mmm, Salma tanggapi sejelas-jelasnya saat wisuda, Pa, Ma. Salma mau minta petunjuk dulu, semoga nanti bisa menanggapi dengan tepat," ucap Salma. 

"Drrrrrt." 

"Telpon dari siapa Ma?" tanya Salma yang melihat ponsel mamanya berdering. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status