"Tambahnya ke santri baru," ucap pengurus keamanan. "Oke, baik Mbak," jawab Salma. Salma sudah tenang keluar dari ruang itu. Ia kembali menghampiri Freya dan mengabarkan hal tersebut. Freya hanya mengangguk kesal sendiri melihat sahabatnya malah minta peringatan. "Bagus, mantap sekali ya Sal, ngapain minta dikasih peringatan, sungguh kamu tuh, dikasih enak malah minta sulit!" ucap Freya seraya mengangguk-angguk. "Biar ajalah, memang lumayan kurang ajar aku tuh," jawab santai Salma. "Aaah, terserah kamu deh, udah malam, mending tidur!" Freya merebahkan tubuhnya di kamarnya. "Tunggu, aku mau nyicil belajar sedikit, belum ngantuk pula," ucap Salma. "Salma! Kamu itu udah pinter, please deh, sayangi juga mata kamu!" ucap Freya. "Siap untuk menyayanginya, lihatlah aku bawa apa! Jus wortel ala Salma, mau nggak? Kalau mau temenin lima menit aja untuk belajar bareng, bukan SKS, nggak kebut," jelas Salma. Freya menatap jus yang dari tadi disembunyikan Salma di belakangnya. Ia sudah klom
"Lah, emang udah takdirnya kok, memangnya kenapa?" ucap papa Rohman. "Kan lebih seru tuh kalau Salma punya kakak atau punya adik gitu," ucap Salma. "Hmmm, Papa sama Mama udah tua, jadi kemungkinannya cuma sedikit persen, kalau mau yang seratus persen yaa kamu tinggal ngikutin rute," ucap mama Risa. "Maksudnya Ma? Kok jadi Salma yang mengikuti rute? Rute apa?" Salma bingung. "Hahaha …" Papa dan mamanya Salma tertawa melihat putrinya belum paham dengan maksud tersebut. "Eh, kok jadi ketawa? Apa sih? Jelasin coba!" desak Salma. "Iya, rutenya ya kamu menikah, dapat tuh adik yang kamu inginkan, makanya pilih nikah, hahaha …" tawa papa Rohman. "Iiih, kok jadi gitu sih, itu mah namanya anak bukan adik, lagian papa sama mama dari dulu kan masih banyak peluang adiknya Salma. Tapi, udah takdir ya, hahaha …" Salma berbalik menertawakan orang tuanya. "Hm, anak kita udah paham bener, cocok nikah," goda mama Risa nggak mau kalah. "Wah, udah deh, nggak beres ini, Papa sama Mama tuh kok ngela
"Apa ya enaknya?" tanya Fariz. "Enaknya nggak usah ada hukuman," jawab Salma. "Cepat do'a dulu! Kasihan kalau waktu ujian mereka berkurang gara-gara kamu!" Hari pertama ujian membuat Salma sangat emosi. Jelas-jelas yang ujian Salma juga. Namun seolah-olah Fariz hanya kasihan dengan teman-temannya. "Hmmm …" Salma berdehem setelah berdo'a. "Kenapa? Tidak terima?" tanya Fariz. "Terima," jawab singkat Salma. "Waktu istirahat bikinkan kopi untukku, itu hukuman untuk kamu. Awas saja tidak pas, hukuman bertambah," ancam Fariz. Salma mendengus kesal berkali lipat. Sangat menyebalkan seperti saat pertama kali ketemu. Pikiran Salma terus mengarahkan untuk menganggap Fariz begitu menyebalkan. Ia tidak peduli cemberut di depan teman-temannya. Setelah beres di depan, Salma segera kembali ke bangkunya. Dalam hati, Fariz tertawa dengan lebar. Saat ujian berlangsung pun, Fariz tidak tinggal diam membiarkan Salma mengerjakan ujian. Rasanya sangat tidak lengkap jika melihat Salma yang aman-ama
"Sebelum aku kasih tahu syaratnya, siapa sih CEO yang namanya Abi?" Fariz masih penasaran. "Kasih tahu Frey!" seru Salma. "Pak CEO sendiri kan namanya Abi, Fariz Abidzar," ucap Freya. "Oooo syukurlah kalau begitu," ucap Fariz membuat Salma dan Freya mengerutkan kening. Apa maksud dia? Fariz mengabaikan sikap Freya dan Salma yang nampak kaget dan bingung. Ia langsung saja membahas syarat tersebut. Fariz mengatakan setelah meminum seteguk kopi asinnya. "Baru saat ini ada kopi kopi rasanya asin. Tapi enak, enak sekali. Thanks yaa … dan untuk syaratnya cuma satu sebenarnya, asli sangat ampuh," ucap Fariz. "Baru tahu juga ada sosok manusia yang suka minum kopi asin. Jangan bertele-tele, cepat katakan syaratnya!" seru Salma. "Turutin yaa," ucap Fariz. "Aku nggak bisa membaca pikiran Pak CEO! Katakan dulu baru aku tentuin." Hhh, Salma mendengkus sangat kesal dengan perlakuan Fariz. "Pelaminan dengan wanita yang udah dijodohkan. Dijamin deh, sikapku bisa seperti yang kamu harapkan." F
"Kenapa kamu ke sini?" tanya Fariz setelah menjawab salam. "Mau gantiin kamu, Dzar. Soalnya sudah ditunggu meetingnya," ucap Clarissa. "Oh iya ada meeting di kantor sebelah. Papa kamu sudah di kantorku?" tanya Fariz. "Sudah, aku di sini juga atas undangan sekolah sebagai perwakilan mahasiswa yang mana kan hadiah itu berkaitan dengan kampusku," jelas Clarissa. Salma memejamkan matanya dan mengingat-ingat tentang wanita itu. Akhirnya dia ingat, kalau dia ialah orang yang menyuruh Salma tidak boleh dekat-dekat dengan Fariz. Tatapan Clarissa tetap saja seperti dulu. Salma sangat mengabaikan dengan kesinisan Clarissa. Ia juga baru tahu kalau ternyata dia namanya Clarissa. "Clarissa, aku keluar dulu. Awasi dengan baik!" ucap Fariz. "Baik Dzar, hati-hati," ucap Clarissa. 'Apa-apaan sih, mereka itu? Apa Clarissa itu pacarnya Fariz? Tuh kan, su'udzon muncul. Astaghfirullahaladzim. Dzar … sepertinya memang mereka ada apa-apa,' batin Salma. Fariz segera keluar dari ruang ujian Salma. Hat
"Udah-udah jangan dilanjutin duduknya. Oke aku panggil Fariz. Entar pada salah paham." Salma memalingkan badannya."Sip," ucap Fariz, lalu nyelonong pergi."Lah, caranya belum dikasih tahu," ucap Salma."Entar ada waktunya sendiri," ucap Fariz, sambil berjalan ke mobilnya.Semangat Freya utuh lagi. Ternyata, Fariz tetap berpihak ke Salma. Ia segera kembali ke pesantren bersama Freya.Salma juga seangkatan dengan banyak gus di pesantrennya. Anak dari kyainya juga ada beberapa yang menjadi seorang CEO.Selama ini, Salma menutup hatinya dari rasa cinta. Setiap kali cinta itu datang lembaran dalam diri Salma, ia selalu mengalihkan ke hal lain supaya perasaannya terkendali. Ia bersyukur diberi anugerah tersebut.Makanya, ia menuntut dirinya sendiri supaya bisa mengolah cinta dengan baik. Sebenarnya, su
"Mmm, tidak gus, tapi …" Salma jadi salting dan berdebar saat melihat gus Barra ternyata menghadap ke arahnya di lorong jalan ke ndalem. "Kenapa? Takut cinta kamu ke aku hadir kembali?" "Degh." "Aduh, malu bangeeeet! Tahu darimana aku pernah menaruh rasa itu?" batin Salma bertanya-tanya. "Hahaha … bingung yaa kenapa aku bisa tahu?" tawa gus Barra. "Gus, ngomong apa sih? Jangan mengada-ada, mending kita cepat-cepat ke ndalem." Salma semakin merinding aja dengan kesepian di lorong. "Nggak usah panik juga kali mukanya. Tenang aja!" ucap Gus Barra dengan santai. "Gus! Ini di lorong sepi. Salma takut kalau," "Kalau kita diduga pacaran? Apa kita mau coba dulu sebelum kamu boyong dan nikah? Hitung-hitung untuk kenangan buruk kamu. Selama ini kan Salma Ashana belum terkenal ada bandelnya." "Astaghfirullahal'adziim, Gus! Jadi ini tujuan Gus memanggil Salma? Hanya untuk di lorong dan pacaran?" Salma kecewa dan berbalik badan untuk kembali ke pesantren. "Berhenti melangkah dan terus ke
"Freyaaa! Darah siapa ini?" Salma histeris melihat banyak tetes darah yang masih basah saat ia masuk kamar. "Suud! Jangan teriak-teriak, Sal! Itu darahku," jawab Freya. "What? Itu darah …" "Bukan dong bestie … ini tangan aku kena pisau." Freya meniup-niup jarinya sambil membungkusnya pakai kerudung yang ia pakai. Salma segera mencarikan obat merah dan perban untuk sahabatnya. Ia sangat tidak tega melihat darah Freya yang sudah banyak ke kerudungnya. Ternyata, ia terkena pisau karena mendengar percakapan Salma dengan abah dan ummi. Sebenarnya, saat ini Freya mencintai gus Barra. Saat mendengar bahwa gus Barra akan menikah, pastinya ada rasa sesak di dada. Kebetulan, ia sedang mengupas mangga, jadilah terkena jari tangannya. "Frey, mata kamu mengabarkan kalau nggak sedih menahan sakit terkena pisau. Ada apa sebenarnya?" tanya Salma. "Mmm, nggak Sal. Aku nggak apa-apa," jawab Freya. "Aku mengenalmu, Frey! Dan ini tidak satu hari dua hari. Ada apa?" ucap Salma. "Iya deh cerita. Ak
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka