"Sebelum aku kasih tahu syaratnya, siapa sih CEO yang namanya Abi?" Fariz masih penasaran. "Kasih tahu Frey!" seru Salma. "Pak CEO sendiri kan namanya Abi, Fariz Abidzar," ucap Freya. "Oooo syukurlah kalau begitu," ucap Fariz membuat Salma dan Freya mengerutkan kening. Apa maksud dia? Fariz mengabaikan sikap Freya dan Salma yang nampak kaget dan bingung. Ia langsung saja membahas syarat tersebut. Fariz mengatakan setelah meminum seteguk kopi asinnya. "Baru saat ini ada kopi kopi rasanya asin. Tapi enak, enak sekali. Thanks yaa … dan untuk syaratnya cuma satu sebenarnya, asli sangat ampuh," ucap Fariz. "Baru tahu juga ada sosok manusia yang suka minum kopi asin. Jangan bertele-tele, cepat katakan syaratnya!" seru Salma. "Turutin yaa," ucap Fariz. "Aku nggak bisa membaca pikiran Pak CEO! Katakan dulu baru aku tentuin." Hhh, Salma mendengkus sangat kesal dengan perlakuan Fariz. "Pelaminan dengan wanita yang udah dijodohkan. Dijamin deh, sikapku bisa seperti yang kamu harapkan." F
"Kenapa kamu ke sini?" tanya Fariz setelah menjawab salam. "Mau gantiin kamu, Dzar. Soalnya sudah ditunggu meetingnya," ucap Clarissa. "Oh iya ada meeting di kantor sebelah. Papa kamu sudah di kantorku?" tanya Fariz. "Sudah, aku di sini juga atas undangan sekolah sebagai perwakilan mahasiswa yang mana kan hadiah itu berkaitan dengan kampusku," jelas Clarissa. Salma memejamkan matanya dan mengingat-ingat tentang wanita itu. Akhirnya dia ingat, kalau dia ialah orang yang menyuruh Salma tidak boleh dekat-dekat dengan Fariz. Tatapan Clarissa tetap saja seperti dulu. Salma sangat mengabaikan dengan kesinisan Clarissa. Ia juga baru tahu kalau ternyata dia namanya Clarissa. "Clarissa, aku keluar dulu. Awasi dengan baik!" ucap Fariz. "Baik Dzar, hati-hati," ucap Clarissa. 'Apa-apaan sih, mereka itu? Apa Clarissa itu pacarnya Fariz? Tuh kan, su'udzon muncul. Astaghfirullahaladzim. Dzar … sepertinya memang mereka ada apa-apa,' batin Salma. Fariz segera keluar dari ruang ujian Salma. Hat
"Udah-udah jangan dilanjutin duduknya. Oke aku panggil Fariz. Entar pada salah paham." Salma memalingkan badannya."Sip," ucap Fariz, lalu nyelonong pergi."Lah, caranya belum dikasih tahu," ucap Salma."Entar ada waktunya sendiri," ucap Fariz, sambil berjalan ke mobilnya.Semangat Freya utuh lagi. Ternyata, Fariz tetap berpihak ke Salma. Ia segera kembali ke pesantren bersama Freya.Salma juga seangkatan dengan banyak gus di pesantrennya. Anak dari kyainya juga ada beberapa yang menjadi seorang CEO.Selama ini, Salma menutup hatinya dari rasa cinta. Setiap kali cinta itu datang lembaran dalam diri Salma, ia selalu mengalihkan ke hal lain supaya perasaannya terkendali. Ia bersyukur diberi anugerah tersebut.Makanya, ia menuntut dirinya sendiri supaya bisa mengolah cinta dengan baik. Sebenarnya, su
"Mmm, tidak gus, tapi …" Salma jadi salting dan berdebar saat melihat gus Barra ternyata menghadap ke arahnya di lorong jalan ke ndalem. "Kenapa? Takut cinta kamu ke aku hadir kembali?" "Degh." "Aduh, malu bangeeeet! Tahu darimana aku pernah menaruh rasa itu?" batin Salma bertanya-tanya. "Hahaha … bingung yaa kenapa aku bisa tahu?" tawa gus Barra. "Gus, ngomong apa sih? Jangan mengada-ada, mending kita cepat-cepat ke ndalem." Salma semakin merinding aja dengan kesepian di lorong. "Nggak usah panik juga kali mukanya. Tenang aja!" ucap Gus Barra dengan santai. "Gus! Ini di lorong sepi. Salma takut kalau," "Kalau kita diduga pacaran? Apa kita mau coba dulu sebelum kamu boyong dan nikah? Hitung-hitung untuk kenangan buruk kamu. Selama ini kan Salma Ashana belum terkenal ada bandelnya." "Astaghfirullahal'adziim, Gus! Jadi ini tujuan Gus memanggil Salma? Hanya untuk di lorong dan pacaran?" Salma kecewa dan berbalik badan untuk kembali ke pesantren. "Berhenti melangkah dan terus ke
"Freyaaa! Darah siapa ini?" Salma histeris melihat banyak tetes darah yang masih basah saat ia masuk kamar. "Suud! Jangan teriak-teriak, Sal! Itu darahku," jawab Freya. "What? Itu darah …" "Bukan dong bestie … ini tangan aku kena pisau." Freya meniup-niup jarinya sambil membungkusnya pakai kerudung yang ia pakai. Salma segera mencarikan obat merah dan perban untuk sahabatnya. Ia sangat tidak tega melihat darah Freya yang sudah banyak ke kerudungnya. Ternyata, ia terkena pisau karena mendengar percakapan Salma dengan abah dan ummi. Sebenarnya, saat ini Freya mencintai gus Barra. Saat mendengar bahwa gus Barra akan menikah, pastinya ada rasa sesak di dada. Kebetulan, ia sedang mengupas mangga, jadilah terkena jari tangannya. "Frey, mata kamu mengabarkan kalau nggak sedih menahan sakit terkena pisau. Ada apa sebenarnya?" tanya Salma. "Mmm, nggak Sal. Aku nggak apa-apa," jawab Freya. "Aku mengenalmu, Frey! Dan ini tidak satu hari dua hari. Ada apa?" ucap Salma. "Iya deh cerita. Ak
"Apa ini?" tanya Freya. "Baca saja dan lakukan." "Frey, bantu untuk meyakinkan Salma mau menerima pernikahan. Kasihan dianya kalau diambang kebingungan. Kamu kan anak pesantren. Pasti tahu dong tentang membahagiakan orang tua. Apa kamu juga tidak kasihan melihat Salma masih seperti terbebani?" Freya mengangguk sendiri. Kali ini Fariz memang benar. Ia mencoba bicara dengan Salma setelah Fariz juga bicara terlebih dahulu. "Sal, sini!" teriak Fariz. "Apa? Sudah mau masuk," ucap Salma. "Sebentar aja Sal," ucap Freya. "Sal, aku tahu kamu berusaha santai. Tapi jiwa kamu nggak bisa bohong. Kamu pasti terselip pikiran perjodohan. Terima aja, kita belajar bersama. Kamu boleh benci dengan sikap burukku, tapi tidak dengan orang nya, kan?" "Saatnya ujian jam pertama dimulai. Kling … kling …" Hanya diam yang ada setelah mendengar ucapan Fariz. Salma telah mendengar pengajuan yang berada di pihak papanya dari berbagai penjuru. Tinggal Freya yang belum mengusulkan untuk menerima pernikahan.
"Aku tidak bisa mengajar ala pesantren dengan mengajar langsung di depan mata materi-materi layaknya ustadz ustadzah." "Lalu?" tanya Salma. "Istriku yang mengurusi hal itu. Aku lewat musik aja deh," jawab gus Barra. "Hah? Begitu toh. Masya Allah. Terus siapa istrinya?" tanya Salma. Ternyata masih sama seperti kebiasaan gus Barra. Ia merilis beberapa lagu sebagai cara dakwahnya. Memang saat itu ia sudah punya lebih dari lima lagu yang banyak disukai dari berbagai kalangan. Bisa dibilang, dia itu artisnya yayasan Al Jabbar. Freya semakin perih saja mendengar percakapan itu. Move on secepatnya, ternyata tidak gampang untuk Freya. "Kamu kenal kok dengan calon istriku itu, bahkan sering bersama dia." Gus Barra membuat Salma dan Freya melotot Kesedihan Freya hilang seketika. Freya dan Salma saling pandang. Salma curiga yang dimaksud ialah sahabatnya sendiri yaitu Freya. "Tapi, aku cuma dekat banget kan sama Freya, apa artinya …" "Itu kan yang banget, tapi nggak mungkin kalau teman d
"Memang sepahammu bagaimana?" tanya Salma. "Kan, kalau konteks aku sama gus Barra itu, aku mencintai dia. Lalu, dia baru saja memberi lampu hijau tapi langsung dipadamin. Berarti kamu mencintai Fariz dong aslinya," jawab Freya. "Ish, Freya salah tangkap! Bukan begitu Frey, maksudku itu seperti Fariz yang biasanya dia meledek gitu. Jujur, aku belum punya rasa sama dia," ucap Salma. "Hehe … kirain. Tapi tetap mau nikah?" "Iya. Hati dalamku bilang, sok saat udah nikah pasti bisa kok mencintai Fariz." Salma mengucap dengan malu sebenarnya. Freya berdehem keras melihat Salma jadi salting sendiri. Mereka segera masuk ruang ujian kembali yang mana masih tetap ditunggu Fariz. Hari dan jam tersebut, merupakan waktu terakhirnya Fariz untuk mengawasi ujian di sekolah Salma. Sebenarnya Fariz sangat anti dengan wanita. Dalam arti, ia sangat selektif dalam menaruh rasa pada wanita. Salma datang setelah sekian lama ada wanita yang cocok dengan Fariz lalu melepas. Setuju untuk menikahi Salma pu