"Ya nggak tahu, aku kan nggak ngikutin Fariz, Salma cantik!" Freya gregetan pula mendengar pertanyaan Salma. "Hahaha … iya sih. Tapi, kamu tahu arahnya mungkin, jangan-jangan dia ngintip aku, berabe kan?" ucap Salma. "Ooo iya … mungkin juga. Kan, kamar mandi putra dekat parkiran. Kamu nyadar nggak Sal, dia itu mencintai kamu seratus persen," Freya malah membahas cinta. "Tahu dari mana?" tanya Salma. "Dari otakku, kamu nggak ngerasa sampai sekarang? Aku dah bilang kalau Fariz mencintai kamu tuh dari dulu, tapi kamu selalu aja ngalihin," jawab otodidak Freya. "Hhhh, itu namanya belum seratus persen bestieku yang paling imut sedunia? Otodidakmu terlalu ngawur!" Salma memonyongkan bibirnya. "Ngawur gimana? Aku juga tahu kamu, kok. Pasti kamu juga ngerasa gitu, meski tidak seratus persen, sih. Hehe …" tawa Freya. "Nah, kalau ini aku setuju. Aku tadi merasa begitu Frey. Tapi biar saja, stop-stop bahasa dia. Istighfar dulu." Salma ingin mengakhiri percakapan mengenai membahas Fariz. *
'Aduh, ngomong apa Frey?" jerit Salma dalam batin. 'Salma … keringatku keluar semua rasanya, tatapan dia mengejek sekali. Jadi malu bangeeet, kan?' batin Freya. "Hahaha … tegang sekali, sih. Ini ada undangan dari abah, tapi aku sendiri yang buat." Orang itu langsung keluar setelah memberikan undangan. Salma menerima undangan tersebut. Jantungnya sangat berdebar melihat nama yang tertera adalah Freya dan gus Barra. Ia beberapa kali mengusap matanya. "Sal, lihat undangannya! Pasti itu undangan pernikahan gus Barra. Siapa wanitanya? Cepat sini aku lihat!" desak Freya. "Eits … bau-bau bahagia. Kamu mau lihat? Beneran kamu kuat?" ledek Salma tanpa Freya sadari. "Mbak Freya, dipanggil abah," ucap salah satu santri. *** "Hmmm … yang habis lamaran," ucap Salma. "Cieee ... " "Yuhuuu Freya!" "Ehmmm … bikin iri," "Yang digojlokin siapa, yang kena siapa," Berbagai sorakan untuk Freya terlontar setelah ucapan Salma. Freya sangat bahagia, ternyata wanita yang akan dinikahi gus Barra it
"Besok lusa, bersamaan dengan pernikahan Freya dan gus Barra di pesantren," jawab papa Rohman. "Nikahnya di pesantren?" tanya kaget Fariz. ' "Kenapa? Kok heran, sih?" tanya Salma. "Mmm … nggak heran. Cuma kan… " "Nggak usah khawatir Riz, masalah perancangan gedung yang kamu idam-idamkan. Entar resepsinya kan bisa." Papa Vero paham dengan Fariz yang kaget. *** "Ma, hari ini aku mau jalan-jalan sama Freya full sehari," ucap Salma. Ia ingin menghabiskan waktu sehari khusus untuk mereka berdua. Karena besoknya, mereka akan sama-sama menikah. Freya dan Salma mengunjungi tempat favorit mereka saat liburan. Mereka tidak pergi jauh ke pantai atau tempat wisata yang lain. Tidak ada alasan mamanya Salma tidak memberikan izin. Ia juga sudah paham tempat yang akan mereka kunjungi. "Silahkan, Sayang. Mau ke MI kamu, kan? Nih, Mama kasih tambahan uang. Buat beli camilan sama pasti kamu nanti mampir warung bakso Bu Ijah." Mamanya Salma terlalu hafal. "Hehe … hafal banget ya Ma … thanks Mama
"Rahasia dong," jawab Salma. "Idih, setahun yang lalu kita ingin barengan. Udah pudar juga, kah?" tanya Freya. "Hahaha … ngikut pawang juga dong entar," ucap Salma. *** Pagi yang sangat berbeda untuk Salma. Jantungnya berdetak kencang saat acara pernikahan dimulai. Ijab qobul yang diucapkan Fariz dan gus Barra begitu lancar dan lantang. Banyak tamu undangan dari berbagai pesantren dan perusahaan. Terlebih, Fariz dan gus Barra juga memiliki banyak teman. Fariz sangat terkenal sebagai CEO ternama sedangkan gus Barra terkenal sebagai musisi muda. Gus Barra juga sering dijuluki dengan gus Musisi. Tidak hanya mempelai pria yang terkenal, melainkan juga mempelai wanitanya. Freya dan Salma sama-sama terkenal dengan berbagai bidang dakwahnya yang sering menjadi perwakilan pesantren maupun sekolah umumnya. Sesuai yang dikatakan gus Barra waktu itu. Kedua pasangan pengantin itu melewati lorong jalan ke ndalem untuk menuju tempat yang telah disediakan dan dilihat banyak tamu undangan. "Sa
"Namanya Abidzar, sama seperti," "Sudah yaa, stop bahas namaku yang namanya Abidzar," larang Fariz. "Capa, kenapa begitu? Waktu ujian kamu juga melarang begitu, ada apa sih sebenarnya?" tanya Salma dengan berbisik. "Kita dengarkan nasihat Kyai dulu," ucap Fariz. "Iiih, alasan," rajuk Salma. Sempat-sempatnya, saat acara pernikahan pun Salma merajuk. Memang benar sih, saat itu Kyai Muwafiq akan memberi nasihat. Tapi, yang membuat Salma merajuk, Fariz selalu saja punya kesempatan untuk tidak memberitahu Salma soal hal tersebut. *** "Cama, ini malam pertama kamu di sini. Kamu mau apa?" tanya Fariz. "Capa, maksudnya dalam konteks apa?" tanya Salma pura-pura bodoh. "Segalanya dong, kamu tentuin, aku turutin." Fariz terlihat sangat bahagia. 'Fariz, enjoy saja ya, please jangan buru-buru. Aku ingin menata diri supaya benar-benar mencintai kamu tulus seperti kamu mencintaiku,' batin Salma tak berani mengungkap apa yang sebenarnya dia pikirkan. Mereka berdua terdiam. Fariz menunggu ha
Tidak ada jawaban dari Salma. Hal itu membuat Fariz beranjak melihat wajah Salma yang berbalik arah. Fariz tersenyum melihat Salma. "Hhh, ternyata sudah jalan-jalan ke alam mimpi. Tidur sambil duduk nyandar lagi," ucap Fariz. Fariz membenarkan posisi tidur istrinya. Namun, Salma terbangun dengan posisi malah dalam pangkuan Fariz. Salma sangat berdebar menahan semua itu. Kalau ia bangun, ia akan sangat malu. Tapi, kalau dibiarkan pura-pura tidur pasti ketahuan karena matanya sulit diajak kompromi untuk terpejam dengan tenang. 'Tolong, aku takut! Tapi, nggak ada jalan lain, mungkin ini saatnya aku bisa berlatih,' batin Salma. "Capa …" ucap Salma. "Iya, kamu terbangun?" tanya Fariz. Salma menatap Fariz dengan saksama. Begitupun Fariz juga melakukan hal yang sama. Bagaimana tidak? Posisinya sangat mantap betul untuk saling menatap. "Capa dari tadi seperti ini?" tanya Salma. "Belum kok, sekitar sepuluh menitan, kenapa?" tanya Fariz. "Apa, nggak capek?" tanya Salma. "Sampai besok
"Takutnya kamu kebangun lagi kalau aku ke kamar mandi. Tapi gak baik pula nahan kebelet seperti ini. Maaf ya Cama, aku tidurin kamu di kasur dulu," ucap Fariz. Fariz segera ke kamar mandi. Setelah selesai, ternyata Salma terbangun kembali. Salma tidak suka karena terbangun kaget dan tidak ada Fariz di ruang itu. "Cama, maaf ya, Capa kebelet," ucap Fariz. Salma hanya diam dan cemberut dengan posisi duduk memeluk gulingnya. Tiba-tiba rasa kesalnya ke Fariz naik seratus delapan puluh derajat. "Maaf ya, jangan cemberut dong!" ucap Fariz. Masih tetap diam dan enggan menoleh ke Fariz. Fariz jadi bingung mau bagaimana lagi. Mata Fariz juga sudah mulai ngantuk. "Maaf, Sayang … Capa nggak bermaksud bangunin kamu," ucap Fariz. Salma merasa ada yang tidak beres dalam dirinya. Perut dan pinggangnya terasa sakit. Lalu, ia mengingat-ingat tanggal ia saat bulan lalu datang bulan. "Capa, Cama mau ke kamar mandi," ucap Salma. "Iya … udah nggak ngambek, kan? Terus, mau dianterin ke kamar mandin
"Sebesar air," jawab Fariz. "Kecil dong, khawatirnya biasa aja berarti." Salma merebahkan tubuhnya. "Bagaimana bisa dibilang kecil? Sifat benda cair itu seperti apa?" tanya Fariz. "Menyesuaikan wadah dong," jawab Salma. "Oh benar, kirain nggak tahu tanya ke anak SD, haha …" tawa Fariz. "Berarti, kamu tahu harusnya, kecil nggak sebesar air?" "Kalau wadahnya kecil, kecil jugalah." Salma mengela. "Aduh, wadahnya bisa kamu rasakan dengan tindakanku. Aku bertindak, nggak? Terus sebenarnya sakit bagaimana?" Fariz duduk di samping Salma. "Iya Capa, jangan pasang wajah seram ah! Cama sakit biasa, ini kebiasaan perempuan. Tapi hari ini lumayan kerasa banget sakitnya," ucap Salma seraya terus memegangi perutnya. "Yah, awal masuk malah libur panjang," keluh Fariz. Salma tersenyum mendengar suaminya kesal seperti anak kecil yang kehabisan jajan. Wajah sangarnya langsung berubah jadi bocil. Fariz tersenyum juga melihat istrinya tertawa sambil menahan sakit. Namun, Fariz segera mencari so