"Sebesar air," jawab Fariz. "Kecil dong, khawatirnya biasa aja berarti." Salma merebahkan tubuhnya. "Bagaimana bisa dibilang kecil? Sifat benda cair itu seperti apa?" tanya Fariz. "Menyesuaikan wadah dong," jawab Salma. "Oh benar, kirain nggak tahu tanya ke anak SD, haha …" tawa Fariz. "Berarti, kamu tahu harusnya, kecil nggak sebesar air?" "Kalau wadahnya kecil, kecil jugalah." Salma mengela. "Aduh, wadahnya bisa kamu rasakan dengan tindakanku. Aku bertindak, nggak? Terus sebenarnya sakit bagaimana?" Fariz duduk di samping Salma. "Iya Capa, jangan pasang wajah seram ah! Cama sakit biasa, ini kebiasaan perempuan. Tapi hari ini lumayan kerasa banget sakitnya," ucap Salma seraya terus memegangi perutnya. "Yah, awal masuk malah libur panjang," keluh Fariz. Salma tersenyum mendengar suaminya kesal seperti anak kecil yang kehabisan jajan. Wajah sangarnya langsung berubah jadi bocil. Fariz tersenyum juga melihat istrinya tertawa sambil menahan sakit. Namun, Fariz segera mencari so
"Cama kalau diajak yaa ikut, kalau nggak yaa nggak ada masalah. Bebas aja," jawab Salma. "Capa, ngasih pilihan. Terserah kamu, nggak ada larangan maupun perintah," "Iya deh, ikut. Biar Capa semangat." *** Salma belum tahu kalau perusahaan Golden Star itu milik ayahnya Clarissa. Fariz pun tidak berpikiran untuk memberitahu. Toh, di sana tidak akan ada tujuan berurusan dengan Clarissa. "Tapi Cama nggak mau loh pakai ketat," ucap Salma. "Siapa juga yang mau? Diri kamu sudah seperti intan permata dengan penampilan santri kamu, masa iya malah beralih ke perak?" Suaminya justru suka penampilan Salma ala santri. "Bagus deh," jawab Salma. Di mobil mereka jadi bernostalgia. Pertama kali Salma naik mobil itu, ia sangat terkecoh dengan Fariz yang mengaku dirinya gay. Yang akhirnya sekarang mereka bersanding dengan ikatan halal. "Kenapa bengong?" tanya Fariz. "Keinget Capa yang super duper bikin rumit," jawab Salma. "Hehe … tapi jadi simbiosis mutualisme kan?" tanya Fariz. "Iya …" jawa
"Wkwkwk … ternyata masih mau lanjut, jelasin coba Cam! Apa maksudnya," perintah Fariz. "Mohon maaf, saya sendiri belum dikasih tahu sama Capa," ucap Salma. "Ooo iya … sorry! Grogi dipandang terus sama Cama, hahaha …" Fariz terus menggoda Salma dan diikuti tawa riang para tamu. "Bocah itu, kita berharap bisa awet muda, hehe," jawab Fariz. *** "Loh, Freyaaa!" seru Salma langsung memeluk sahabatnya saat ia hendak ke kamar mandi. "Salmaaaa! Rindu banget," ucap Freya. "Iya Frey, gus Barra mau tampil ya?" tanya Salma. "Iya. Terus aku disuruh ikut datang, katanya biar ketemu kamu. Eh nyata." Mereka seperti tidak ketemu satu tahun, padahal masih tiga harinan. Salma melanjutkan ke kamar mandi terlebih dahulu. Sedangkan Freya menunggu di tempat acara. Mereka sangat bahagia bisa bertemu di perusahaan Golden Star. Saat Salma kembali, ternyata gus Barra menyanyikan lagu yang dulu pernah dinyanyikan bareng Salma. Mana saat itu, mereka lagi sama-sama memendam rasa. "Frey, gus Barra nyanyi
"Pilihannya kemana aja?" tanya balik Salma. "Entar deh kita bicarain berdua," ucap Fariz membuat orang tuanya ikut senyum-senyum bahagia. Fariz menaiki tangga untuk ke kamarnya pun tetap menggendong Salma. Fariz memang tidak nanggung sekali berbuat baik terhadap seseorang yang benar-benar istimewa baginya. Meskipun ia juga pernah pacaran, dulu ia juga memperlakukan pacarnya dengan baik. Fariz jadi teringat masa lalunya pada saat menaiki satu persatu anak tangga. Dulu dia juga pernah menggendong pacarnya di tangga tersebut karena pacarnya terjatuh saat ke rumah Fariz. 'Fariz! Dia hanya masa lalu kamu, sekarang inilah yang terbaik untukmu, istri Alim untuk CEO anti wanita, Fariz hanya untuk Salma, anti wanita yang lain,' batin Fariz. "Capa, terima kasih." Salma menselonjorkan kakinya setelah sampai kamar. "Iya, Sayang. Kita mandi dulu lalu lanjut ngobrol honeymoon, oke?" tanya Fariz. "Baiklah, Capa dulu aja yang mandi," ucap Salma. "Kenapa harus Capa dulu? Barengan aja," ucap Far
"Mmm, bukannya Capa nggak mau nurutin Cama, tapi kayaknya aneh deh, CEO di Perusahaan Zarzo Mikamilny menjadi gondrong. Permintaan kamu bisa yang lebih mungkin aja, nggak?" Fariz masih ragu. "Bagus Capa, coba aja pakai wik yang ada di gudang itu," ucap Salma yang memang ia masih simpan wik untuk pensi santri putri. "Cama gak mau panggil dengan sebutan Capa deh kalau gak nurut," ancam Salma. "Lah, jangan dong! Itu sudah Capa rancang tujuh hari tujuh malam, loh. Iya deh, bisa dicoba rambut gondrongnya," Fariz menuruti keinginan istrinya meskipun ia masih belum yakin dirinya bisa percaya diri. Jadinya, Fariz tetap mandi dulu. Salma masih terlalu risih juga kalau di kamar mandi satunya. Karena tidak ada pintunya dan terpampang jelas oleh kamar mandi yang satunya. 'Siapa sih yang merancang model kamar mandi seperti itu? Apa tujuannya?" Salma heran dengan bentuk kamar mandinya. *** "Kamu ingin kemana?" tanya Fariz. "Berikan pilihannya," ucap Salma. "Pilihannya seluruh bumi. Lengkap,
Fariz tidak menjawab. Mami Reva takut dengan wajah Fariz yang, sepertinya marah dan mengajak Salma. Namun, papinya Fariz mencegah maminya Fariz yang mau menyelidiki. "Capa kenapa wajahnya jadi garang lagi? Ini sebenarnya mau kemana?" tanya Salma. "Ke taman," jawab singkat Fariz. Sampainya di taman belakang rumah, Fariz mengajak duduk di kursi yang telah disiapkan. Fariz bilang ke Salma kalau ia tidak suka panggilan sayangnya tidak dipakai. "Cama, jangan diulangi lagi manggilnya Pak CEO!" seru Fariz. "Ada asap tuh ya ada api, Capa!" seru Salma tak kalah ketus. "Oooo, cemburu? Hahaha …" tawa Fariz. *** "Cama, dandannya jangan cantik-cantik!" seru Fariz saat menunggu Salma berdandan karena hari itu pertama kalinya ia ke kampus, tapi belum masuk kuliah. Salma bersama Fariz masih mendaftar ulang ke kantor kampus. Akhirnya impian Salma kuliah di bidang dakwah terwujud. Meski harus jadi istri saat itu, ia terus belajar untuk ikhlas. "Bukannya dandan dan gak dandan tetap cantik?" tan
"Mm … tidak, aku pulang lebih awal hari ini bareng kamu," ucap Fariz. "Cama mau bicara," ucap Salma sangat terlihat seperti bukan Salma yang tegas dan nggak mau kalah bicara. "Camaaa … bicaralah! Waktu Capa itu selalu ada buat Cama," ucap Fariz. "Ehmm … ah gak pantes ya Salma jadi lembek gini." Salma mengusap air matanya. "Hahaha … aneh sih. Tapi manusia mana yang gak pernah sedih? Wajar kok, Cama," ucap Fariz. "Aku tuh nggak lagi sedih," ucap Salma. Salma membuat Fariz bingung aja. Tidak sedih, tapi kok menangis? Ah, Fariz tidak paham dengan istrinya itu. Ia pun menanyakan maksud menangis tapi ia tidak sedih. "Lalu, kenapa menangis?" tanya Fariz. "Aku terharu, Capa," jawab Salma. "Karena?" Fariz masih belum paham betul. "Karena kita bisa saling mencintai dengan tulus, kau sangat meratukanku, kau selalu peduli dalam setiap langkahku," ucap Salma dengan memandang suaminya. "Kita? Kenapa baru menangis sekarang! Kemarin kemana aja air matanya?" tanya Fariz pura-pura marah. "Is
"Apa sih? Sok tahu," ucap Salma. "Sini!" seru Fariz dengan tersenyum. "Buat apa? Udah lanjut kerja aja," ucap Salma. "Gak baik bohongin diri sendiri. Cama mau tanya apa?" Karena Salma tetap di tempat, Fariz berdiri dan ikut Salma duduk di sofa. Ia meraih tangan istrinya dan menunggu Salma untuk bercerita. Salma pun mengutarakan apa yang terbelit dalam pikirannya. "Capa … Cama gak mau ganggu Capa," ucap Salma. "Nggak ganggu sedikit pun kok. Lagian sekarang waktunya istirahat," ucap Fariz. "Ya udah. Kenapa Capa tidak mau dipanggil Abi?" tanya Salma. "Kelihatannya pertanyaan kamu tidak hanya itu. Coba tanya yang lain dulu." Fariz mengela untuk menjawab pertanyaan pertama. "Oke. Mana hadiahnya? Katanya mau ngasih hadiah," ucap Salma. "Wah, pertanyaannya menagih. Kamu ingin apa?" tanya Fariz. Namun, saat Salma mau menjawab, malah datang karyawan Fariz dengan pakaian seksi masuk ruang Fariz dan membawakan kopi. Seketika membuat mood Salma melayang jauh. "Ini Pak, kopinya," ucap s