"Mm … tidak, aku pulang lebih awal hari ini bareng kamu," ucap Fariz. "Cama mau bicara," ucap Salma sangat terlihat seperti bukan Salma yang tegas dan nggak mau kalah bicara. "Camaaa … bicaralah! Waktu Capa itu selalu ada buat Cama," ucap Fariz. "Ehmm … ah gak pantes ya Salma jadi lembek gini." Salma mengusap air matanya. "Hahaha … aneh sih. Tapi manusia mana yang gak pernah sedih? Wajar kok, Cama," ucap Fariz. "Aku tuh nggak lagi sedih," ucap Salma. Salma membuat Fariz bingung aja. Tidak sedih, tapi kok menangis? Ah, Fariz tidak paham dengan istrinya itu. Ia pun menanyakan maksud menangis tapi ia tidak sedih. "Lalu, kenapa menangis?" tanya Fariz. "Aku terharu, Capa," jawab Salma. "Karena?" Fariz masih belum paham betul. "Karena kita bisa saling mencintai dengan tulus, kau sangat meratukanku, kau selalu peduli dalam setiap langkahku," ucap Salma dengan memandang suaminya. "Kita? Kenapa baru menangis sekarang! Kemarin kemana aja air matanya?" tanya Fariz pura-pura marah. "Is
"Apa sih? Sok tahu," ucap Salma. "Sini!" seru Fariz dengan tersenyum. "Buat apa? Udah lanjut kerja aja," ucap Salma. "Gak baik bohongin diri sendiri. Cama mau tanya apa?" Karena Salma tetap di tempat, Fariz berdiri dan ikut Salma duduk di sofa. Ia meraih tangan istrinya dan menunggu Salma untuk bercerita. Salma pun mengutarakan apa yang terbelit dalam pikirannya. "Capa … Cama gak mau ganggu Capa," ucap Salma. "Nggak ganggu sedikit pun kok. Lagian sekarang waktunya istirahat," ucap Fariz. "Ya udah. Kenapa Capa tidak mau dipanggil Abi?" tanya Salma. "Kelihatannya pertanyaan kamu tidak hanya itu. Coba tanya yang lain dulu." Fariz mengela untuk menjawab pertanyaan pertama. "Oke. Mana hadiahnya? Katanya mau ngasih hadiah," ucap Salma. "Wah, pertanyaannya menagih. Kamu ingin apa?" tanya Fariz. Namun, saat Salma mau menjawab, malah datang karyawan Fariz dengan pakaian seksi masuk ruang Fariz dan membawakan kopi. Seketika membuat mood Salma melayang jauh. "Ini Pak, kopinya," ucap s
"Apa kamu lupa nasihat gus Barra?" tanya Fariz membelai kepala Salma. "Ingat! Tapi kamu keterlaluan, kamu mengabaikan dan mengecewakanku," ucap Salma. "Kita duduk lagi di sofa! Pintunya sudah Capa kunci. Nggak ada yang berani gangguin lagi," ucap Fariz. Salma mau duduk kembali. Namun, ia tetap cemberut. Rasa cemburunya masih akut di jiwa Salma. Meski ia seharusnya menyadari juga kalau sewaktu-waktu suaminya ada meeting, tapi itu sudah dibungkus dengan rasa cemburu Salma saat Fariz meninggalkan rangkulan begitu saja dan menghampiri wanita seksi yang super caper. "Cama, dia itu bukan siapa-siapa Capa. Capa juga tidak tergoda sedikitpun. Oke, Capa salah tadi nggak bilang apa-apa ke Cama dan beranjak menghampiri dia. Niat Capa apa, coba? Biar dia cepat keluar. Maafin yaaa?" Fariz menjelaskan dan meminta maaf. Hanya diam saja yang didapatkan oleh Fariz. Ia mencoba menjelaskan lagi. Tapi, kepalanya tiba-tiba sakit dan membuat Salma menjadi khawatir. "Ayolah jangan berlanjut merajuknya!
"Sebentar, Cama lihat dulu," ucap Salma. Salma membuka pintu kamarnya yang lumayan menutup. Ternyata, ia kedatangan tamu. Dia senang sekali sahabatnya datang bersama gus Barra. "Freyaaaa, Gus Barra! Kenapa nggak langsung ketuk pintu? Bikin kaget aja, atauuu kalian nguping?" "Hahaha … sengaja," goda Freya. Freya dikasih tahu ayahnya kalau Fariz sedang sakit. Setelah ketahuan Salma, mereka masuk untuk menjenguk Fariz. Canda tawa pun terhias di kamar mereka. *** Setelah tiga hari Fariz beristirahat, ia kembali fit lagi. Seorang Salma yang mempunyai jiwa mandiri, kini sengaja manja dengan suaminya sendiri. "Cama, turun yuk sarapan!" ajak Fariz. "Tangan Cama sedang malas untuk menyuapkan ke mulut," ucap Salma. "Kan ada tangan Capa yang semangat. Entar Capa suapin deh." Fariz tahu niat terselubung Salma ingin dimanja. "Malas turun pula, makan di sini boleh nggak?" tanya Salma. "Boleh dong, Capa ambilkan dulu," ucap Fariz. Papi Vero dan mami Reva heran melihat Fariz turun sendiri.
"Untuk apa? Buang-buang waktu aja, kamu malu kalau mereka ada?" ucap Fariz. "Iyaaa …" jawab Salma. Fariz tak memperdulikan itu. Ia kembali mengangkat dan menggendong istrinya. Untung badan Fariz kuat dan besar. "Yah, Capa kok nekat sih? Aduh, Cama kelihatan banget manjanya entar," omel Salma. "Hahaha … sudahlah, yang penting sudah Capa gendong, bahagia, kan?" Tubuh Salma yang mungkin itu tidak menyulitkan Fariz untuk menggendong. Ternyata di bawah dan luar tidak ada mertua Salma. Ia sangat lega dengan hal tersebut. *** "Oh iya, Cama mau hadiah apa?" tanya Fariz. "Ehmm … kirain udah lupa. Cama minta anak kecil," ucap Salma membuat Fariz heran bin kaget bin bengong. "Anak kecil? Kan sedang berusaha kitanya," ucap Fariz. "Hahaha …" Salma tidak kuat untuk tidak tertawa. Kenapa jadi mengarah kesana? Karena Fariz sudah salah tangkap, sekalian Salma ingin menjebak suaminya dulu. Fariz masih tidak paham juga dengan tawa Salma. Permintaan yang sulit dipahami oleh Fariz. "Kenapa tert
"Cama tuh ingin," "Eh, Cama tes aja dulu. Mubadzir, Capa udah belinya nahan malu tadi sebenarnya," ucap Fariz membuat Salma, membulatkan mata. "Aaaaelaah Capa! Kan bisa buat entar." Batin Salma khawatir juga sebenarnya dengan mengingat ucapan sahabatnya. "Ya entar beli lagi yang baru. Kan entarnya belum tahu kapan, takutnya udah kadaluarsa. Coba aja, Sayang! Udah atau belum, toh itu pasti yang terbaik, begitu kan?" ucap Fariz seraya menaikkan sebelah alisnya. "Arrgh, Cama jadi malu rasanya." Salma membalikkan badannya dengan memegang test pack. "Malu kenapa, sih? Kamu udah cocok kok kalau jadi ibu." Suara Fariz kini tepat tidak ada satu senti di telinganya kiri Salma. Dengan tangan Fariz yang melingkar di perut Salma, membuat situasi malu Salma semakin menjadi. Bukan hanya itu, namun tangannya tidak diam. Melainkan bergerak dan mengelus bagian perut Salma yang sangat mungil itu. "Capa … nggak kecewa kalau ternyata belum?" tanya Salma. Masih dalam posisi yang sama, lama-lama Sal
"Apa Cama?" Fariz serius. "Alhamdulillah, belum Capa. Tak apa-apa kan?" tanya Salma dalam batinnya lega. "Ooo, nggak apa-apa. Berarti sekarang belum waktunya, kita bicarain hadiah aja mendingan." Fariz menggandeng tangan istrinya ke ranjang mereka. "Jadi maksudnya begini. Capa kan, punya hotel, restaurant, apartemen, terus bisa nggak kalau Cama minta dibuatin panti asuhan?" tanya Salma juga menyampaikan yang ia maksud. "Wah, ternyata ini yang kamu mau. Boleh bangetlah. Besok Capa urus tempatnya yaa," Fariz tidak keberatan sama sekali dengan apa yang diminta istrinya. Salma juga sangat bersyukur bisa langsung digerakkan oleh Fariz. Salma menyampaikan rasa terima kasihnya kepada suaminya. Tidak hanya Salma, Fariz juga sangat berterima kasih dengan istrinya. Sekarang, Fariz baru merasakan, atas berbagai nasihat yang diberikan maminya Fariz ke Fariz mengenai seorang istri. Salma juga merasakan demikian. Dalam waktu itu, hati dan pikiran mereka terhanyut dalam nasihat dari ibu masing
"Kenapa tanyain itu?" tanya Fariz. "Ehm … siapa yang bilang pertanyaan itu tidak dibalas dengan pertanyaan." Salma menyindir suaminya yang dulu pernah berkata seperti itu saat ia bazar. "Ternyata, ingatan kamu juga dalam. Chefnya laki-laki semua," jawab Fariz. *** "Cama, bagaimana restoranku?" tanya Fariz setelah mereka beres makan. "Masya Alllah, Cama suka banget. Nyaman kok di sini," ucap Salma. Restoran Fariz belum lama berdiri. Kebetulan saat mereka selesai makan, datanglah karyawan Fariz bersama teman perempuannya. Ia tetap dengan penampilan yang sama. Bukan hanya penampilan namun juga dengan sikap yang sama. Fariz segera memalingkan wajah saat wanita itu mendekati. Ia tidak mau ribut dan membuat Salma menangis lagi. Sedangkan Salma, malah punya rencana tersendiri. Ia menyapa dengan ramah karyawan berbaju seksi yang bernama Nila tersebut. "Selamat siang Ibu Nila," sapa Salma. "Siang. Pak Fariz, akhirnya bertemu Bapak juga. Kita tadi ke rumah Bapak tahu untuk tanda tangan