"Kenapa tanyain itu?" tanya Fariz. "Ehm … siapa yang bilang pertanyaan itu tidak dibalas dengan pertanyaan." Salma menyindir suaminya yang dulu pernah berkata seperti itu saat ia bazar. "Ternyata, ingatan kamu juga dalam. Chefnya laki-laki semua," jawab Fariz. *** "Cama, bagaimana restoranku?" tanya Fariz setelah mereka beres makan. "Masya Alllah, Cama suka banget. Nyaman kok di sini," ucap Salma. Restoran Fariz belum lama berdiri. Kebetulan saat mereka selesai makan, datanglah karyawan Fariz bersama teman perempuannya. Ia tetap dengan penampilan yang sama. Bukan hanya penampilan namun juga dengan sikap yang sama. Fariz segera memalingkan wajah saat wanita itu mendekati. Ia tidak mau ribut dan membuat Salma menangis lagi. Sedangkan Salma, malah punya rencana tersendiri. Ia menyapa dengan ramah karyawan berbaju seksi yang bernama Nila tersebut. "Selamat siang Ibu Nila," sapa Salma. "Siang. Pak Fariz, akhirnya bertemu Bapak juga. Kita tadi ke rumah Bapak tahu untuk tanda tangan
"Lah, emang tujuan Salma kesini, Nil," jawab Salma. 'Parah! Kenapa aku tadi tidak baca dulu di depan tadi? Argh, istrinya Fariz ini bisa saja,' batin Nila kesal. "Aku kan udah janji mau beliin, kamu suka nggak yang ini? Atau gini aja, kamu coba pakai dulu. Entar biar lebih tahu cocoknya," ucap Salma. 'Gila! Dia pura-pura bodoh sekali. Sudah jelas ini nggak cocok,' batin Nila. "Mmm, yang celana aja, gimana?" tawar Nila. 'Ooo iya, kejauhan deh kalau pakai jubah. Aku cariin celana sama modelan yang buat kerja di kantor aja,' batin Salma. Salma masih mencari-cari. Setelah dapat, ia langsung memberitahu Nila. Nila, segera memakainya karena tiba-tiba pengunjung lumayan banyak dan seperti melihat aneh ke dia. Dan hanya dia sendiri yang tidak berhijab. Bukan hanya hijab, tapi pakaiannya yang minim dan seksi juga. Jadi, berawal dari malu dulu si Nila mau pakai pakaian itu. Itu rencana Salma juga sebenarnya. Ia sudah chat teman-temannya untuk datang ke butik tersebut. Karena Nila susah p
"Ikut aja, Neng," ucap salah satu karyawan. "Ikut dong, biar suami kamu lebih semangat lagi," ucap Arju. "Ehm … oke ikut," ucap Salma. *** Saat malam hari, Fariz pergi untuk mengurus mengenai panti asuhan. Sampai sekitar jam sepuluh malam, Fariz belum juga pulang membuat Salma jengkel dan khawatir. "Capa, masih ngapain?" tulisnya dalam chat. "Masih kompromi dengan arsitek," jawab Fariz dalam chat. "Laki-laki apa perempuan?" "Perempuan cantik," tulis Fariz membuat Salma bengong. "Capa suka?" "Suka dong," "(Emoji marah)" Salma menyesal dengan khawatirnya. Diperhatiin, ternyata suka dengan perempuan lain, dipuji pula. Salma tahu itu pasti suaminya ingin mengerjai Salma. Tapi ia tetap saja kesal. Seusai emoji marah, ia meninggalkan ponselnya dan mencari mertuanya. Karena tadi juga mertuanya yang menanyakan kenapa Fariz belum pulang. "Mi, Capa masih bersama arsitek cantik," ucap Salma. "Loh, ngomong apa kamu? Mana mungkin Fariz tega, Sal." Mami Reva nampak tak percaya. "Salm
"Mami dan papi udah tidur, Kak." Reca sangat manja dan nyelonong masuk ke kamar kakaknya. "Suud! Jangan keras-keras! Istri Kakak juga sudah tidur," ucap pelan Fariz. "Ooow, baiklah. Reca tengok dikit, boleh? Penasaran dengan Kak Salma," ucap Reca. "Kan udah tahu di foto, jangan sekarang kalau mau tahu. Entar kamu kaget loh, cantik banget," ucap Fariz seraya mengajaknya keluar. *** Saat Salma bangun akan tahajud, Fariz sudah bangun duluan ternyata. Bahkan, sudah bersarung dan berkopiah. Fariz sudah membangunkan dari tadi, tapi Salma tidak bangun-bangun. Jadinya, Fariz gunakan untuk berwudhu dan bersiap-siap dulu. Salma kaget dengan suaminya yang sudah berdandan itu ada di sampingnya. Ia segera bangun dan beberapa kali memastikan kalau itu memang Fariz. Beberapa hari yang lalu, Fariz, sangat malas yang namanya sholat malam. Tapi, Salma terus membujuknya sampai mau. Dan itu tidak satu hari, dua hari, tapi sekarang ia malah dengan sigapnya bisa bangun duluan padahal tidurnya sudah m
"Aku 22, Kak." jawab Reca. Mereka terus mengobrol. Salma bahagia, ternyata ia punya adik ipar, meskipun ia lebih tua tapi serasa seumuran. Ia juga bahagia ternyata yang menjadi arsitek panti itu Reca Mikamilny. *** "Cama Salma Ashana … istriku yang sangat aku cintai. Cama tentu lebih paham makna cinta yang sebenarnya. Capa mau bilang, cintai dan percayai Capa terus yaa … meski menyebalkan. Ekosistem Capa, belum bisa sebaik ekosistem Cama saat di pesantren. Perusahaan Zarzo Mikamilny, masih banyak kesalahan di dalamnya. Terutama kesalahan Capa yang sering marah-marah dan membentak. Tapi, Cama jadi pahlawan untuk Capa. Dari pribadi Capa sendiri, sampai karyawan seksi pun berubah mau intropeksi diri. Tau nggak, Cama? Capa tuh selalu saja ingin membuat Cama nyaman. Tapi terkadang, malah membuat Tom and Jerry kita kambuh. Mmmm, Capa rasa itu malah jadi keunikan kita sebenarnya asal diperban dengan baik. Satu butir kata yang sering tersebut, CAMA … Selama Capa bisa merasakan, menden
"Mmm, mungkin Reca perlu segera adaptasi lagi, Mi," ucap Salma. "Ya sudahlah, kamu ikut sekalian aja Sal. Biar bisa ngawasin nih si Reca supaya nggak berani bandel," ucap mami Reva. "Yeee, asyik sama Kak Salma. Tenang ajalah Mi, Reca itu udah nggak bandel saat nggak khilaf sih, hahaha … " tawa Reca dan mendapat senyum dari keluarganya. Akhirnya, Fariz pun ikut ke pantai. Kebetulan hotel Fariz berlokasi di dekat pantai Ancol. Mereka kira, tidak perlulah mereka mengawal Reca seperti anak kecil. Tapi diawasi dengan cara layaknya orang dewasa saja. Salma dan Fariz menunggu di hotel. Namun sebelumnya, mereka juga ikut ke pantai menikmati indahnya ciptaan sang kuasa. "Capa, kita pulang kan?" tanya Salma. "Ya pulanglah, masa mau tinggal di hotel terus," ucap Fariz dengan senyumnya. "Iiih Capa! Maksudnya, gak gitu kali." Salma menghela nafas. "Hahaha … kita menginap. Sekalian ngerasain tidur di hotel Capa sebelum kita tidur di hotel orang lain di Turki," jawab Fariz. Salma pun membala
"Mmm sebentar lagi," ucap Salma. "Surat apaan sih?" kepo Reca. Pertanyaan Reca malah menjadi bahan ledekan Fariz untuk adiknya. Setelah lama Fariz tidak mengingatkan masalah jilbab, ia kembali mengingatkan adiknya. Fariz harap, kali ini ia bisa lebih baik. "Kak, Reca mau ke kafe sama temen-temen tadi," "Kafe loh, awas ke tempat mabuk! Kakak nggak akan tinggal diam!" ancam Fariz. "Aaaaah iya Kak. Udah kenyang sama mabuk," "Satu lagi. Pakai kerudungnya yang menutup rambut dong." Fariz berusaha menasihati adiknya. "Reca tuh gak pantes kalo dipenuhi ke depan. Hasilnya gak pede," keluh Reca. "Oh ya? Kan model jilbab banyak, Ca. Coba deh entar Kak Salma dandanin," tawar Salma. "Wah, iya ya Kak. Boleh banget, Reca mandi dulu entar kesini lagi. Love Kak Salma," Reca berlari dengan gembira. Ternyata begitu alasan Reca tidak menutup bagian depan rambut saat memakai jilbab. Tapi baru itu juga, Reca mendengarkan dan menanggapi nasihat kakaknya dengan baik. Dulu setiap diingetin pasti mar
Reca menjerit dan tiba-tiba keluar dari area depan cermin. Reflek dengan jeritan Reca, Salma pun ikut menjerit namun tetap diam di tempat. Fariz hanya diam mengamati tingkat mereka. "Ada apa, Ca?" tanya Salma. "Hehe … ada nyamuk, entar dulu dong Kak Fariz! Lihat nih, belum selesai pakai jilbabnya, jangan jadiin Reca obat nyamuk!" kesal Reca. "Hahaha … kasihan yang belum nikah," goda Fariz. "Capa mending sana dulu deh, biar Reca dandan." Salma melepas tangan Fariz yang masih mengalung di lehernya. "Tuh, Kak Salma aja peka! Kak Fariz malah bikin tambah kesal aja," omel Reca. Sudah lama sekali, Fariz tidak bercanda dan menggoda adiknya. Fariz hanya tersenyum mendengar ocehan Reca. Salma mencoba memberi kode kepada suaminya itu, supaya cepat berlalu dari situ. "Reca, sini lanjutin pakai jilbabnya, keburu teman kamu datang," ucap Salma. "Iya Kak," jawab Reca. "Huuh, ganggu aja kamu tuh, Ca," ucap pelan Fariz dengan tersenyum samar. Salma melotot ke arah suaminya. Ia takut jika adi
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka