Tidak ada jawaban dari Salma. Hal itu membuat Fariz beranjak melihat wajah Salma yang berbalik arah. Fariz tersenyum melihat Salma. "Hhh, ternyata sudah jalan-jalan ke alam mimpi. Tidur sambil duduk nyandar lagi," ucap Fariz. Fariz membenarkan posisi tidur istrinya. Namun, Salma terbangun dengan posisi malah dalam pangkuan Fariz. Salma sangat berdebar menahan semua itu. Kalau ia bangun, ia akan sangat malu. Tapi, kalau dibiarkan pura-pura tidur pasti ketahuan karena matanya sulit diajak kompromi untuk terpejam dengan tenang. 'Tolong, aku takut! Tapi, nggak ada jalan lain, mungkin ini saatnya aku bisa berlatih,' batin Salma. "Capa …" ucap Salma. "Iya, kamu terbangun?" tanya Fariz. Salma menatap Fariz dengan saksama. Begitupun Fariz juga melakukan hal yang sama. Bagaimana tidak? Posisinya sangat mantap betul untuk saling menatap. "Capa dari tadi seperti ini?" tanya Salma. "Belum kok, sekitar sepuluh menitan, kenapa?" tanya Fariz. "Apa, nggak capek?" tanya Salma. "Sampai besok
"Takutnya kamu kebangun lagi kalau aku ke kamar mandi. Tapi gak baik pula nahan kebelet seperti ini. Maaf ya Cama, aku tidurin kamu di kasur dulu," ucap Fariz. Fariz segera ke kamar mandi. Setelah selesai, ternyata Salma terbangun kembali. Salma tidak suka karena terbangun kaget dan tidak ada Fariz di ruang itu. "Cama, maaf ya, Capa kebelet," ucap Fariz. Salma hanya diam dan cemberut dengan posisi duduk memeluk gulingnya. Tiba-tiba rasa kesalnya ke Fariz naik seratus delapan puluh derajat. "Maaf ya, jangan cemberut dong!" ucap Fariz. Masih tetap diam dan enggan menoleh ke Fariz. Fariz jadi bingung mau bagaimana lagi. Mata Fariz juga sudah mulai ngantuk. "Maaf, Sayang … Capa nggak bermaksud bangunin kamu," ucap Fariz. Salma merasa ada yang tidak beres dalam dirinya. Perut dan pinggangnya terasa sakit. Lalu, ia mengingat-ingat tanggal ia saat bulan lalu datang bulan. "Capa, Cama mau ke kamar mandi," ucap Salma. "Iya … udah nggak ngambek, kan? Terus, mau dianterin ke kamar mandin
"Sebesar air," jawab Fariz. "Kecil dong, khawatirnya biasa aja berarti." Salma merebahkan tubuhnya. "Bagaimana bisa dibilang kecil? Sifat benda cair itu seperti apa?" tanya Fariz. "Menyesuaikan wadah dong," jawab Salma. "Oh benar, kirain nggak tahu tanya ke anak SD, haha …" tawa Fariz. "Berarti, kamu tahu harusnya, kecil nggak sebesar air?" "Kalau wadahnya kecil, kecil jugalah." Salma mengela. "Aduh, wadahnya bisa kamu rasakan dengan tindakanku. Aku bertindak, nggak? Terus sebenarnya sakit bagaimana?" Fariz duduk di samping Salma. "Iya Capa, jangan pasang wajah seram ah! Cama sakit biasa, ini kebiasaan perempuan. Tapi hari ini lumayan kerasa banget sakitnya," ucap Salma seraya terus memegangi perutnya. "Yah, awal masuk malah libur panjang," keluh Fariz. Salma tersenyum mendengar suaminya kesal seperti anak kecil yang kehabisan jajan. Wajah sangarnya langsung berubah jadi bocil. Fariz tersenyum juga melihat istrinya tertawa sambil menahan sakit. Namun, Fariz segera mencari so
"Cama kalau diajak yaa ikut, kalau nggak yaa nggak ada masalah. Bebas aja," jawab Salma. "Capa, ngasih pilihan. Terserah kamu, nggak ada larangan maupun perintah," "Iya deh, ikut. Biar Capa semangat." *** Salma belum tahu kalau perusahaan Golden Star itu milik ayahnya Clarissa. Fariz pun tidak berpikiran untuk memberitahu. Toh, di sana tidak akan ada tujuan berurusan dengan Clarissa. "Tapi Cama nggak mau loh pakai ketat," ucap Salma. "Siapa juga yang mau? Diri kamu sudah seperti intan permata dengan penampilan santri kamu, masa iya malah beralih ke perak?" Suaminya justru suka penampilan Salma ala santri. "Bagus deh," jawab Salma. Di mobil mereka jadi bernostalgia. Pertama kali Salma naik mobil itu, ia sangat terkecoh dengan Fariz yang mengaku dirinya gay. Yang akhirnya sekarang mereka bersanding dengan ikatan halal. "Kenapa bengong?" tanya Fariz. "Keinget Capa yang super duper bikin rumit," jawab Salma. "Hehe … tapi jadi simbiosis mutualisme kan?" tanya Fariz. "Iya …" jawa
"Wkwkwk … ternyata masih mau lanjut, jelasin coba Cam! Apa maksudnya," perintah Fariz. "Mohon maaf, saya sendiri belum dikasih tahu sama Capa," ucap Salma. "Ooo iya … sorry! Grogi dipandang terus sama Cama, hahaha …" Fariz terus menggoda Salma dan diikuti tawa riang para tamu. "Bocah itu, kita berharap bisa awet muda, hehe," jawab Fariz. *** "Loh, Freyaaa!" seru Salma langsung memeluk sahabatnya saat ia hendak ke kamar mandi. "Salmaaaa! Rindu banget," ucap Freya. "Iya Frey, gus Barra mau tampil ya?" tanya Salma. "Iya. Terus aku disuruh ikut datang, katanya biar ketemu kamu. Eh nyata." Mereka seperti tidak ketemu satu tahun, padahal masih tiga harinan. Salma melanjutkan ke kamar mandi terlebih dahulu. Sedangkan Freya menunggu di tempat acara. Mereka sangat bahagia bisa bertemu di perusahaan Golden Star. Saat Salma kembali, ternyata gus Barra menyanyikan lagu yang dulu pernah dinyanyikan bareng Salma. Mana saat itu, mereka lagi sama-sama memendam rasa. "Frey, gus Barra nyanyi
"Pilihannya kemana aja?" tanya balik Salma. "Entar deh kita bicarain berdua," ucap Fariz membuat orang tuanya ikut senyum-senyum bahagia. Fariz menaiki tangga untuk ke kamarnya pun tetap menggendong Salma. Fariz memang tidak nanggung sekali berbuat baik terhadap seseorang yang benar-benar istimewa baginya. Meskipun ia juga pernah pacaran, dulu ia juga memperlakukan pacarnya dengan baik. Fariz jadi teringat masa lalunya pada saat menaiki satu persatu anak tangga. Dulu dia juga pernah menggendong pacarnya di tangga tersebut karena pacarnya terjatuh saat ke rumah Fariz. 'Fariz! Dia hanya masa lalu kamu, sekarang inilah yang terbaik untukmu, istri Alim untuk CEO anti wanita, Fariz hanya untuk Salma, anti wanita yang lain,' batin Fariz. "Capa, terima kasih." Salma menselonjorkan kakinya setelah sampai kamar. "Iya, Sayang. Kita mandi dulu lalu lanjut ngobrol honeymoon, oke?" tanya Fariz. "Baiklah, Capa dulu aja yang mandi," ucap Salma. "Kenapa harus Capa dulu? Barengan aja," ucap Far
"Mmm, bukannya Capa nggak mau nurutin Cama, tapi kayaknya aneh deh, CEO di Perusahaan Zarzo Mikamilny menjadi gondrong. Permintaan kamu bisa yang lebih mungkin aja, nggak?" Fariz masih ragu. "Bagus Capa, coba aja pakai wik yang ada di gudang itu," ucap Salma yang memang ia masih simpan wik untuk pensi santri putri. "Cama gak mau panggil dengan sebutan Capa deh kalau gak nurut," ancam Salma. "Lah, jangan dong! Itu sudah Capa rancang tujuh hari tujuh malam, loh. Iya deh, bisa dicoba rambut gondrongnya," Fariz menuruti keinginan istrinya meskipun ia masih belum yakin dirinya bisa percaya diri. Jadinya, Fariz tetap mandi dulu. Salma masih terlalu risih juga kalau di kamar mandi satunya. Karena tidak ada pintunya dan terpampang jelas oleh kamar mandi yang satunya. 'Siapa sih yang merancang model kamar mandi seperti itu? Apa tujuannya?" Salma heran dengan bentuk kamar mandinya. *** "Kamu ingin kemana?" tanya Fariz. "Berikan pilihannya," ucap Salma. "Pilihannya seluruh bumi. Lengkap,
Fariz tidak menjawab. Mami Reva takut dengan wajah Fariz yang, sepertinya marah dan mengajak Salma. Namun, papinya Fariz mencegah maminya Fariz yang mau menyelidiki. "Capa kenapa wajahnya jadi garang lagi? Ini sebenarnya mau kemana?" tanya Salma. "Ke taman," jawab singkat Fariz. Sampainya di taman belakang rumah, Fariz mengajak duduk di kursi yang telah disiapkan. Fariz bilang ke Salma kalau ia tidak suka panggilan sayangnya tidak dipakai. "Cama, jangan diulangi lagi manggilnya Pak CEO!" seru Fariz. "Ada asap tuh ya ada api, Capa!" seru Salma tak kalah ketus. "Oooo, cemburu? Hahaha …" tawa Fariz. *** "Cama, dandannya jangan cantik-cantik!" seru Fariz saat menunggu Salma berdandan karena hari itu pertama kalinya ia ke kampus, tapi belum masuk kuliah. Salma bersama Fariz masih mendaftar ulang ke kantor kampus. Akhirnya impian Salma kuliah di bidang dakwah terwujud. Meski harus jadi istri saat itu, ia terus belajar untuk ikhlas. "Bukannya dandan dan gak dandan tetap cantik?" tan
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka