Salma hanya terdiam saja. Ia merasa semakin malu dengan keadaannya di cafe itu. Sampai Fariz yang harus berkata lagi.
"Terus mau kamu apa? Di dalam ruangan yang hanya kita berdua, kamu menolak, di dalam tempat rame pun juga, mau kamu seperti apa! Apa ini yang kamu maksud?" Fariz geram namun masih mencoba mengerem semuanya karena di tempat umum.
"Nggak ada yang benar, Pak. Semua itu salah dan bukan mau saya," ucap Salma mulai lari dari area cafe.
"Sal, tunggu!" ucap Fariz namun diabaikan Salma.
Salma telah ditunggu Freya di depan perusahaan. Namun, Salma nampak kesal dan menahan air mata. Fariz masih mengejar Salma sampai depan perusahaan.
"Salma, kenapa sih? Kamu berantem sama CEO? Ah, nggak mungkin. Ini udah beres belum tentang lombanya itu? Kok malah mau menangis? Masalah apa?" Freya rempong dengan keadaan sahabatnya.
"Salma! Kamu kenapa menangis? Haha …" tawa Fariz.
"Bilangin sahabat kamu, suruh berhenti menangisnya, saya mau marah," ucap Fariz.
"Hhhh, sok banget sih, udah dengar juga," ucap Salma.
"Bagus, kamu tuh mempermalukan saya! Sadar nggak! Kenapa kamu pergi dengan berlari seperti itu? Kamu tahu apa yang mereka katakan! Dikiranya aku menyakiti kamu! Puas!" ucap Fariz penuh tekanan.
"Maaf ya Bapak Fariz yang terhormat, saya kira bapak tadi mengajak saya untuk bertemu dengan panitia yang mengurusi lomba, makannya bilang yang jelas dong," jawab Salma dengan ucapan santai.
Fariz terdiam dan menatap sangar ke arah Salma. Bisa saja, sosok yang di depan Fariz itu merangkai kata. Freya yang biasanya rempong dan suka nyocokin Salma dengan CEO itu, kini malah tak berani berkutik.
"Apa harus?" tanya Fariz sembari mengerutkan keningnya.
"Ya iyalah, masalah pembicaraan perjodohan, pikir sendiri dimana salahnya, dan yang bukan kodratnya jangan dilakukan!" ucap Salma.
"Hahaha … duduk dulu, aku jelaskan tentang itu." Fariz kembali tertawa jika perempuan itu mengatakan mengenai hal tersebut. Ia paham maksud Salma ialah gay.
Freya yang baru mendengar itu pun tentu sangat heran. Sebenarnya apa yang terjadi dengan sahabatnya dan CEO? Berbagai pertanyaan terkejut termasuk gay itu juga terngiang salam diri Freya.
"Baiklah, kita duduk dulu Frey," ucap Salma.
"Dengar ya, aku itu hanya bercanda, aku juga laki-laki normal yang mencintai wanita, bukan mencintai laki-laki, kenapa kamu tetap menanyakan tentang gay itu?" tanya Fariz.
'Oh ya? Hamdalah dan istighfar dong dengan pernyataan ini,' batin Salma.
"Alhamdulillaah kalau Bapak ini laki-lak normal. Astaghfirullahaladzim karena akibat Pak CEO bohong ya, muncul perjodohan kita," ucap Salma dengan perlahan mengeluarkan nafas lega karena Fariz bukan laki-laki gay.
"Maksudnya bagaimana?" tanya bingung Fariz.
Salma menceritakan kejadiannya yang curhat dengan mamanya mengenai Fariz dan orang tua Fariz yang juga mencari tahu di kantornya. Fariz kesal dengan hal tersebut.
"Ya kan cuma bercanda, kamu itu yaaa! Masa gitu aja juga percaya! Kalau seperti ini kamu juga yang rugi! Nanti sore deh keluarga saya datang ke rumah kamu, saya jelasin semuanya," ucap Fariz menahan emosi.
"Percuma atau ada keputusan lain ya," ucap Salma.
"Hhh, lihat saja nanti. Tenang! Entar saya bantu, tapi jangan bikin rencana sendiri! Jangan bikin kesal seperti ini karena canda yang kamu anggap serius!" ucap Fariz.
"Itu tuh salah Pak CEO, bercanda yang kelewatan, nggak kelihatan kalau lagi bercanda, ya udah Salma kembali ke sekolah," ucap Salma langsung melangkahkan kakinya untuk ke sekolah.
"Tunggu! Ada yang belum kamu bawa," ucap Fariz.
"Apa?" tanya Salma.
"Apa yang belum aku bawa? Malah bengong! Apa Pak CEO?" tanya Salma. "Hmm." Fariz sangat sungkan untuk mengatakan. "Apa? Hmm doang Salma nggak paham," ucap Salma dengan risih karena pandangan Fariz yang berbeda ke arahnya. "Maafin aku ya," ucap Fariz. "Hahaha … aku? Terus Pak CEO minta maaf?" tawa Salma. Ternyata, Fariz merasakan getaran hati untuk Salma mulai detik itu. Ia ingin lebih santai saja dalam berbicara dengan Salma. Awalnya ia sangat tidak mau minta maaf ke Salma. Tapi, sejenak ia meresapi dan mengingat kalimat dari Salma. Memang cara dia itu belum benar dan candanya kelewatan. Fariz memberanikan diri untuk minta maaf meskipun Fariz tahu, pasti itu akan diketawain oleh Salma. "Sudah aku duga, kita ngomongnya aku kamu aja, aku serius minta maaf tentang sikap aku tadi yang tidak pantas dengan yang bukan mahram dan canda parah itu," ucap Fariz menahan malu. "Jadi yang belum aku bawa, kata maaf itu?" tanya Salma. "Yes," jawab Fariz. "Hahaha … baiklah, Salma juga minta
"Itu keciprat sambal," ucap Fariz. "Mana? Nggak ada juga," jawab Salma. Fariz beranjak berdiri dan mengambil tisu. Namun, Salma memberhentikan langkah Fariz. "Stop! Salma sudah tahu sambalnya dan Salma rasa sangat mampu untuk mengelapnya sendiri," ucap Salma menghentikan langkah Fariz. 'Modus banget sih. Sok baiknya kebangetan. Kalau ini nggak malam, pasti aku udah lari ke pesantren!' batin kesal Salma. 'Arrgh, beneran nih bocah, malah bikin aku malu,' batin Fariz geram. Salma semakin malu saja dengan keadaan itu. Ia menyesal pulang dari pesantren di hari itu. Salma kira kalau pun Fariz datang, tidak membicarakan selain masalah gay dan bujukan untuk tetap kuliah. *** "Dua hari lagi, akan dimulai ujian-ujian yang berlanjut sampai ujian akhir." Salma membaca pengumuman di mading bersama Freya. "Aduh, udah cepat sekali waktu ini, terus keputusan kamu bagaimana? Masih menggantung terus," ucap Freya. "Hhhh, tahulah, jangan ingetin itu Frey! Kita kan mau lomba, biar utuh konsentras
"Frey! Ngeselin seribu langkah banget," ucap Salma. "Makanya cepat maju! Lagian, ngapain sih kamu nggak maju-maju?" tanya Freya. "Kesal, sudah pasti ulah Pak CEO aku dikasih nomer urut pertama." Salma segera maju sebelum Fariz semakin menjadi-jadi membuatnya malu. "Semangat," ucap pelan Fariz saat Salma sampai di panggung. Salma terpaksa sedikit mengangguk dan melempar senyumnya. Karena posisinya ia sudah menghadap ke depan. Ia tidak mau tampilnya menjadi rusak gara-gara mood yang dibuat malu oleh Fariz. "ORANG JUJUR ITU SANTAI, ENAK KAYAK PAK CEO ITU, IYA KAN PAK? APALAGI DITAMBAH SANTUN, PASTI MANTAP SEKALI, KATA GURU SAYA, YAA KEHIDUPAN ITU SEPERTI KITA BERCERMIN, KALAU KITA SENYUM, BAYANGANNYA JUGA SENYUM, OH IYA SAYA BAWA CERMIN, PRAKTEK NIH, KALAU CEMBERUT MUNCULNYA JUGA CEMBERUT, KALAU ORANGNYA SEDANG MARAH? HMMM, PASTI NAMPAK MARAH JUGA, APALAGI YANG MARAH ITU, SIAPA? PAK CEO ... HAHA … TERNYATA PAK CEO SEREM KATANYA. TAK MASALAH, ITU CARA PAK CEO, BIAR PARA KARYAWAN DISIP
"Bismillah, semoga aja," ucap Freya. "Aamiin, mending kita jajan dulu," ucap Salma. Sambil menunggu pengumuman lomba, mereka akhirnya lebih memilih untuk jajan. Karena di depan mading sangat ramai untuk melihat hasil lomba. Namun, saat ia bersantai sambil makan jajan di kursi peserta, mereka mendengar hal yang berkaitan dengan kompetisi. "Wah, hebat ya, itu bisa-bisa beasiswanya sampai selesai kuliah masih sisa, yang mana sih Salma sama Freya itu?" ucap seseorang. "Iya, kok bisa meraih juara di berbagai bidang," ucap seseorang lagi. "What? Nama kita Sal!" Freya menepuk-nepuk ke bahunya Salma. Ia sangat kaget bercampur bahagia mendengar nama mereka. "Hmm, santai dulu, memangnya, hanya kita yang namanya Freya dan Salma? Jangan kepedean dulu, entar nyeselnya lebih dalam," ucap Salma. "Hehe, iya juga ya," jawab Freya. Setelah sekitar setengah jam, pengumuman hasil kompetisi itu diumumkan. Ternyata, apa yang mereka dengar itu benar nama diri mereka. Salma dan Freya maju ke panggung
"Aduuh, Frey! Kamu bisa nggak mikir yang jernih aja, dia udah lapor ke mama dan papa belum ya soal ini, harusnya kamu mau Frey disuruh pak CEO bilang ke orang tua aku," ucap Salma. "Mungkin proses bilang Sal, tunggu aja telpon dari orang tua kamu. Maaf, aku masih takut, aku aja belum bisa kasih solusi ke kamu, bagaimana aku ngomongnya? Aku bisanya semangatin, hibur dan ledek kamu, itu pun kalau berfaedah, hehe… " ucap Freya. "Mbak Salma, diajak ke ruang keamanan," ucap salah satu santri. "What? Untuk apa ini? Frey! Aku udah kesal kalau ada salah paham lagi," ucap Salma. "Mendinglah salah paham,, daripada salah beneran? Mau?" Freya memperjelas ucapannya. Salma panik mendengar itu. Namun paniknya itu mengarahkan pada kejengkelan. Karena dari dulu, sering ada salah paham antara pengurus keamanan ke Salma. Salma juga menjadi pengurus, namun bagian perlengkapan bersama Freya. Memang tingkah Salma yang sangat aktif dalam sekolah umumnya itu, terlihat sangat mudah mendapat kecurigaan.
"Tambahnya ke santri baru," ucap pengurus keamanan. "Oke, baik Mbak," jawab Salma. Salma sudah tenang keluar dari ruang itu. Ia kembali menghampiri Freya dan mengabarkan hal tersebut. Freya hanya mengangguk kesal sendiri melihat sahabatnya malah minta peringatan. "Bagus, mantap sekali ya Sal, ngapain minta dikasih peringatan, sungguh kamu tuh, dikasih enak malah minta sulit!" ucap Freya seraya mengangguk-angguk. "Biar ajalah, memang lumayan kurang ajar aku tuh," jawab santai Salma. "Aaah, terserah kamu deh, udah malam, mending tidur!" Freya merebahkan tubuhnya di kamarnya. "Tunggu, aku mau nyicil belajar sedikit, belum ngantuk pula," ucap Salma. "Salma! Kamu itu udah pinter, please deh, sayangi juga mata kamu!" ucap Freya. "Siap untuk menyayanginya, lihatlah aku bawa apa! Jus wortel ala Salma, mau nggak? Kalau mau temenin lima menit aja untuk belajar bareng, bukan SKS, nggak kebut," jelas Salma. Freya menatap jus yang dari tadi disembunyikan Salma di belakangnya. Ia sudah klom
"Lah, emang udah takdirnya kok, memangnya kenapa?" ucap papa Rohman. "Kan lebih seru tuh kalau Salma punya kakak atau punya adik gitu," ucap Salma. "Hmmm, Papa sama Mama udah tua, jadi kemungkinannya cuma sedikit persen, kalau mau yang seratus persen yaa kamu tinggal ngikutin rute," ucap mama Risa. "Maksudnya Ma? Kok jadi Salma yang mengikuti rute? Rute apa?" Salma bingung. "Hahaha …" Papa dan mamanya Salma tertawa melihat putrinya belum paham dengan maksud tersebut. "Eh, kok jadi ketawa? Apa sih? Jelasin coba!" desak Salma. "Iya, rutenya ya kamu menikah, dapat tuh adik yang kamu inginkan, makanya pilih nikah, hahaha …" tawa papa Rohman. "Iiih, kok jadi gitu sih, itu mah namanya anak bukan adik, lagian papa sama mama dari dulu kan masih banyak peluang adiknya Salma. Tapi, udah takdir ya, hahaha …" Salma berbalik menertawakan orang tuanya. "Hm, anak kita udah paham bener, cocok nikah," goda mama Risa nggak mau kalah. "Wah, udah deh, nggak beres ini, Papa sama Mama tuh kok ngela
"Apa ya enaknya?" tanya Fariz. "Enaknya nggak usah ada hukuman," jawab Salma. "Cepat do'a dulu! Kasihan kalau waktu ujian mereka berkurang gara-gara kamu!" Hari pertama ujian membuat Salma sangat emosi. Jelas-jelas yang ujian Salma juga. Namun seolah-olah Fariz hanya kasihan dengan teman-temannya. "Hmmm …" Salma berdehem setelah berdo'a. "Kenapa? Tidak terima?" tanya Fariz. "Terima," jawab singkat Salma. "Waktu istirahat bikinkan kopi untukku, itu hukuman untuk kamu. Awas saja tidak pas, hukuman bertambah," ancam Fariz. Salma mendengus kesal berkali lipat. Sangat menyebalkan seperti saat pertama kali ketemu. Pikiran Salma terus mengarahkan untuk menganggap Fariz begitu menyebalkan. Ia tidak peduli cemberut di depan teman-temannya. Setelah beres di depan, Salma segera kembali ke bangkunya. Dalam hati, Fariz tertawa dengan lebar. Saat ujian berlangsung pun, Fariz tidak tinggal diam membiarkan Salma mengerjakan ujian. Rasanya sangat tidak lengkap jika melihat Salma yang aman-ama
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka