"Siapa Sal? Coba kamu angkat!" ucap mama Risa.
Kebetulan ponselnya ada di antara duduknya Salma dan mamanya. Karena perintah mamanya, Salma pun mengangkat telepon tersebut. Salma kaget karena orang yang menelpon langsung menyebutkan namanya.
"Halo," ucap Salma dari telepon.
"Halo, ini Salma bukan? Benar ini Salma?"
"Mmm, iya Tante, saya Salma," jawab Salma.
"Ma, ini siapa? Kok tahu nama Salma, mama namainnya Cabe, siapa Ma?" Salma menjauhkan ponselnya dan bertanya ke Mamanya mengenai sosok itu. Ternyata yang menelpon ialah maminya Fariz.
Salma terpaksa mengangkat teleponnya lagi. Entah apa yang akan dikatakan oleh maminya Fariz. Salma hanya akan menyimak dan menjawab singkat dalam obrolan itu.
"Iya Tante," jawab Salma sembari meraih ponsel mamanya.
"Kamu sudah pernah ketemu sama Fariz? Dia bagaimana sikapnya?" tanya mami Reva.
"Dia peduli," jawab Salma.
"Peduli? Alhamdulillah, lalu bagaimana kalian? Sudah akrab?" tanya mami Reva.
"Biasa kok, Tante," jawab Salma.
Salma juga tidak menceritakan hal buruk yang terjadi dalam pertemuan mereka. Dalam batin Salma ingin segera mengakhiri telepon tersebut. Tapi, maminya Fariz masih terus punya kata untuk ditanyakan.
***
"Permisi, Pak CEO, ini laporan dari Madrasah Aliyah Al-Jabbaar," ucap Salma.
"Wah, kamu datang sendiri lagi?" tanya Fariz.
"Nggak, saya sama Freya," ucap Salma.
"Naik apa? Bus lagi?" tanya Fariz.
"Tidak, saya naik motor sama Freya," jawab Salma.
"Memangnya kamu bisa menyetir?" Fariz tersenyum samar.
"Bisa dong, buktinya sampai sini," jawab Salma.
Fariz mengangguk dengan memandang Salma. Namun, Fariz malah mengajak Salma untuk mengikuti dirinya. Salma pikir mungkin akan bertemu dengan panitia lombanya.
"Ikuti saya!" perintah Fariz.
"Katanya kemarin nggak mau di ruangan berdua, sekretaris saya masih keluar," ucap Fariz.
"Tapi mau kemana?" tanya Salma.
"Salma, ikuti saja!" Kini Fariz bicara dengan lembut tak ada bentakan.
Ternyata Fariz mengarah ke cafe kantornya. Salma ingin rasanya berbalik arah karena menjadi pusat pandangan dari banyak karyawan Fariz. Tentu Salma tidak ingin dengan keadaan tersebut.
"Pak CEO, kita balik aja deh, saya pakai seragam sekolah ini," ucap Salma.
"Hahaha … memangnya kenapa kalau pakai seragam? Kamu kan bukan sedang keluyuran atau tawuran, kamu malu dilihat mereka? Anggap saja belajar, kamu besok akan dilihat lebih banyak dari orang-orang ini, dan termasuk orang-orang ini juga, duduklah!" ucap Fariz.
"Tapi,"
"'Kenapa? Kamu takut kita dikira pacaran? Mikir kamu jangan kejauhan, cepetan duduk! Mau urusannya cepat selesai apa tidak? Kalau tidak sih, nggak masalah kamu berdiri terus sampai jam dua belas malam," ucap Fariz.
'Hhhh, parah ini,' batin Salma segera duduk.
"Kan cuma nganterin ini doang Pak, mau bicarain apa?" tanya Salma.
"Bicarain perjodohan kita," jawab Fariz.
"Mau bicarain model apa? Pak CEO kenapa menyetujui pernikahan itu?" tanya Salma dengan kesal.
"Dengar Sal! Saya juga manusia yang punya cita-cita, kamu punya prestasi yang baik, saya nggak tega lihat kamu gagal kuliah." Fariz menghadang Salma yang terlihat ingin lari dari tempat itu.
"Jangan halangi saya! Kalau memang mau membantu, buktikan! Tapi saya nggak suka cara Bapak yang membuat kita menambah dosa," ucap Salma.
"Saya bingung dengan gadis seperti kamu, apalagi yang salah?" tanya Fariz.
"Nggak usah pura-pura nggak tahu deh, Pak." Salma beranjak untuk berdiri.
"Makanya tunjukin dong, mana bentuk salahnya?" tanya Fariz.
Salma hanya terdiam saja. Ia merasa semakin malu dengan keadaannya di cafe itu. Sampai Fariz yang harus berkata lagi. "Terus mau kamu apa? Di dalam ruangan yang hanya kita berdua, kamu menolak, di dalam tempat rame pun juga, mau kamu seperti apa! Apa ini yang kamu maksud?" Fariz geram namun masih mencoba mengerem semuanya karena di tempat umum. "Nggak ada yang benar, Pak. Semua itu salah dan bukan mau saya," ucap Salma mulai lari dari area cafe. "Sal, tunggu!" ucap Fariz namun diabaikan Salma. Salma telah ditunggu Freya di depan perusahaan. Namun, Salma nampak kesal dan menahan air mata. Fariz masih mengejar Salma sampai depan perusahaan. "Salma, kenapa sih? Kamu berantem sama CEO? Ah, nggak mungkin. Ini udah beres belum tentang lombanya itu? Kok malah mau menangis? Masalah apa?" Freya rempong dengan keadaan sahabatnya. "Salma! Kamu kenapa menangis? Haha …" tawa Fariz. "Bilangin sahabat kamu, suruh berhenti menangisnya, saya mau marah," ucap Fariz. "Hhhh, sok banget sih, udah
"Apa yang belum aku bawa? Malah bengong! Apa Pak CEO?" tanya Salma. "Hmm." Fariz sangat sungkan untuk mengatakan. "Apa? Hmm doang Salma nggak paham," ucap Salma dengan risih karena pandangan Fariz yang berbeda ke arahnya. "Maafin aku ya," ucap Fariz. "Hahaha … aku? Terus Pak CEO minta maaf?" tawa Salma. Ternyata, Fariz merasakan getaran hati untuk Salma mulai detik itu. Ia ingin lebih santai saja dalam berbicara dengan Salma. Awalnya ia sangat tidak mau minta maaf ke Salma. Tapi, sejenak ia meresapi dan mengingat kalimat dari Salma. Memang cara dia itu belum benar dan candanya kelewatan. Fariz memberanikan diri untuk minta maaf meskipun Fariz tahu, pasti itu akan diketawain oleh Salma. "Sudah aku duga, kita ngomongnya aku kamu aja, aku serius minta maaf tentang sikap aku tadi yang tidak pantas dengan yang bukan mahram dan canda parah itu," ucap Fariz menahan malu. "Jadi yang belum aku bawa, kata maaf itu?" tanya Salma. "Yes," jawab Fariz. "Hahaha … baiklah, Salma juga minta
"Itu keciprat sambal," ucap Fariz. "Mana? Nggak ada juga," jawab Salma. Fariz beranjak berdiri dan mengambil tisu. Namun, Salma memberhentikan langkah Fariz. "Stop! Salma sudah tahu sambalnya dan Salma rasa sangat mampu untuk mengelapnya sendiri," ucap Salma menghentikan langkah Fariz. 'Modus banget sih. Sok baiknya kebangetan. Kalau ini nggak malam, pasti aku udah lari ke pesantren!' batin kesal Salma. 'Arrgh, beneran nih bocah, malah bikin aku malu,' batin Fariz geram. Salma semakin malu saja dengan keadaan itu. Ia menyesal pulang dari pesantren di hari itu. Salma kira kalau pun Fariz datang, tidak membicarakan selain masalah gay dan bujukan untuk tetap kuliah. *** "Dua hari lagi, akan dimulai ujian-ujian yang berlanjut sampai ujian akhir." Salma membaca pengumuman di mading bersama Freya. "Aduh, udah cepat sekali waktu ini, terus keputusan kamu bagaimana? Masih menggantung terus," ucap Freya. "Hhhh, tahulah, jangan ingetin itu Frey! Kita kan mau lomba, biar utuh konsentras
"Frey! Ngeselin seribu langkah banget," ucap Salma. "Makanya cepat maju! Lagian, ngapain sih kamu nggak maju-maju?" tanya Freya. "Kesal, sudah pasti ulah Pak CEO aku dikasih nomer urut pertama." Salma segera maju sebelum Fariz semakin menjadi-jadi membuatnya malu. "Semangat," ucap pelan Fariz saat Salma sampai di panggung. Salma terpaksa sedikit mengangguk dan melempar senyumnya. Karena posisinya ia sudah menghadap ke depan. Ia tidak mau tampilnya menjadi rusak gara-gara mood yang dibuat malu oleh Fariz. "ORANG JUJUR ITU SANTAI, ENAK KAYAK PAK CEO ITU, IYA KAN PAK? APALAGI DITAMBAH SANTUN, PASTI MANTAP SEKALI, KATA GURU SAYA, YAA KEHIDUPAN ITU SEPERTI KITA BERCERMIN, KALAU KITA SENYUM, BAYANGANNYA JUGA SENYUM, OH IYA SAYA BAWA CERMIN, PRAKTEK NIH, KALAU CEMBERUT MUNCULNYA JUGA CEMBERUT, KALAU ORANGNYA SEDANG MARAH? HMMM, PASTI NAMPAK MARAH JUGA, APALAGI YANG MARAH ITU, SIAPA? PAK CEO ... HAHA … TERNYATA PAK CEO SEREM KATANYA. TAK MASALAH, ITU CARA PAK CEO, BIAR PARA KARYAWAN DISIP
"Bismillah, semoga aja," ucap Freya. "Aamiin, mending kita jajan dulu," ucap Salma. Sambil menunggu pengumuman lomba, mereka akhirnya lebih memilih untuk jajan. Karena di depan mading sangat ramai untuk melihat hasil lomba. Namun, saat ia bersantai sambil makan jajan di kursi peserta, mereka mendengar hal yang berkaitan dengan kompetisi. "Wah, hebat ya, itu bisa-bisa beasiswanya sampai selesai kuliah masih sisa, yang mana sih Salma sama Freya itu?" ucap seseorang. "Iya, kok bisa meraih juara di berbagai bidang," ucap seseorang lagi. "What? Nama kita Sal!" Freya menepuk-nepuk ke bahunya Salma. Ia sangat kaget bercampur bahagia mendengar nama mereka. "Hmm, santai dulu, memangnya, hanya kita yang namanya Freya dan Salma? Jangan kepedean dulu, entar nyeselnya lebih dalam," ucap Salma. "Hehe, iya juga ya," jawab Freya. Setelah sekitar setengah jam, pengumuman hasil kompetisi itu diumumkan. Ternyata, apa yang mereka dengar itu benar nama diri mereka. Salma dan Freya maju ke panggung
"Aduuh, Frey! Kamu bisa nggak mikir yang jernih aja, dia udah lapor ke mama dan papa belum ya soal ini, harusnya kamu mau Frey disuruh pak CEO bilang ke orang tua aku," ucap Salma. "Mungkin proses bilang Sal, tunggu aja telpon dari orang tua kamu. Maaf, aku masih takut, aku aja belum bisa kasih solusi ke kamu, bagaimana aku ngomongnya? Aku bisanya semangatin, hibur dan ledek kamu, itu pun kalau berfaedah, hehe… " ucap Freya. "Mbak Salma, diajak ke ruang keamanan," ucap salah satu santri. "What? Untuk apa ini? Frey! Aku udah kesal kalau ada salah paham lagi," ucap Salma. "Mendinglah salah paham,, daripada salah beneran? Mau?" Freya memperjelas ucapannya. Salma panik mendengar itu. Namun paniknya itu mengarahkan pada kejengkelan. Karena dari dulu, sering ada salah paham antara pengurus keamanan ke Salma. Salma juga menjadi pengurus, namun bagian perlengkapan bersama Freya. Memang tingkah Salma yang sangat aktif dalam sekolah umumnya itu, terlihat sangat mudah mendapat kecurigaan.
"Tambahnya ke santri baru," ucap pengurus keamanan. "Oke, baik Mbak," jawab Salma. Salma sudah tenang keluar dari ruang itu. Ia kembali menghampiri Freya dan mengabarkan hal tersebut. Freya hanya mengangguk kesal sendiri melihat sahabatnya malah minta peringatan. "Bagus, mantap sekali ya Sal, ngapain minta dikasih peringatan, sungguh kamu tuh, dikasih enak malah minta sulit!" ucap Freya seraya mengangguk-angguk. "Biar ajalah, memang lumayan kurang ajar aku tuh," jawab santai Salma. "Aaah, terserah kamu deh, udah malam, mending tidur!" Freya merebahkan tubuhnya di kamarnya. "Tunggu, aku mau nyicil belajar sedikit, belum ngantuk pula," ucap Salma. "Salma! Kamu itu udah pinter, please deh, sayangi juga mata kamu!" ucap Freya. "Siap untuk menyayanginya, lihatlah aku bawa apa! Jus wortel ala Salma, mau nggak? Kalau mau temenin lima menit aja untuk belajar bareng, bukan SKS, nggak kebut," jelas Salma. Freya menatap jus yang dari tadi disembunyikan Salma di belakangnya. Ia sudah klom
"Lah, emang udah takdirnya kok, memangnya kenapa?" ucap papa Rohman. "Kan lebih seru tuh kalau Salma punya kakak atau punya adik gitu," ucap Salma. "Hmmm, Papa sama Mama udah tua, jadi kemungkinannya cuma sedikit persen, kalau mau yang seratus persen yaa kamu tinggal ngikutin rute," ucap mama Risa. "Maksudnya Ma? Kok jadi Salma yang mengikuti rute? Rute apa?" Salma bingung. "Hahaha …" Papa dan mamanya Salma tertawa melihat putrinya belum paham dengan maksud tersebut. "Eh, kok jadi ketawa? Apa sih? Jelasin coba!" desak Salma. "Iya, rutenya ya kamu menikah, dapat tuh adik yang kamu inginkan, makanya pilih nikah, hahaha …" tawa papa Rohman. "Iiih, kok jadi gitu sih, itu mah namanya anak bukan adik, lagian papa sama mama dari dulu kan masih banyak peluang adiknya Salma. Tapi, udah takdir ya, hahaha …" Salma berbalik menertawakan orang tuanya. "Hm, anak kita udah paham bener, cocok nikah," goda mama Risa nggak mau kalah. "Wah, udah deh, nggak beres ini, Papa sama Mama tuh kok ngela