"Ya, pastinya Papa sudah tahu." Salma ngambek dengan keadaan yang sangat tidak ia inginkan itu.
"Papa tahu kamu gadis yang baik, kuliah kamu saja mau jurusan dakwah, kamu tentu sudah tahu bahwa sebaik-baik manusia itu yang bagaimana, mau kan berdakwah?" tanya papa Rohman dengan senyum manis.
"Iya Pa, yang bermanfaat bagi manusia, apa hubungannya perjodohan ini dengan dakwah?" tanya Salma keheranan.
"Kamu jawab dulu, Sayang, memang konsep kamu bagaimana?" tanya papa Rohman.
"Konsep Salma ya kuliah dululah, Pa, kan Papa tahu sendiri kalau Salma itu nggak ingin nikah muda, Salma ingin selesaiin kuliah dulu, baru tuh Salma mau menikah, mau banget dengan CEO, tapi nanti, dengan catatan bukan sama CEO brengsek yang aku ceritain ke Mama itu," jelas Salma.
"Husss! Salma nggak boleh bilang itu CEO brengsek, itu anak sahabatnya Mama dan Papa," ucap Mama Risa.
Salma nggak tahu arah pembicaraan orang tuanya itu. Karena memang itu adalah kenyataan yang Salma alami pada hari teraneh yang ia jumpai dalam hidupnya.
"Memangnya, kenapa kalau anak sahabat Mama dan Papa? Lebih percaya sama mereka daripada anak sendiri? Salma sudah seperti Tom and Jerry loh dengan CEO itu, dia menyebalkan!" ucap Salma.
"Hahaha … ingat kartun kesukaan kamu waktu kecil jadinya, Tom and Jerry, justru kita percaya sama kamu, Sal, makanya CEO itu yang akan menjadi jalan dakwah kamu," ucap papa Rohman.
"Jalan, ja … jalan dakwah?" Salma ingin ngomel tentang itu tapi pikiran dan hatinya masih sangat shock dan hanya terbengong tidak jelas.
Salma paham, bahwa maksud dakwah tersebut untuk menyadarkan Fariz yang terindikasi gay itu. Kedua tangan Salma memegang tangan orang tuanya. Ia menangis dan memohon maksud tersebut tidaklah benar.
"Ma, Pa, Salma mohon katakan! Katakan ini hanya mimpi, katakan kalian hanya bohong! Dia itu bukan orang baik, dia suka membentak, dia gampang emosi, apa dengan dia Salma akan bisa lebih aman? Itu mustahil, Pa, Ma! Apakah jalan dakwah harus dengan menikahi orang yang terindikasi gay? Salma," keluh Salma dengan isakan tangis yang terpotong ucapannya oleh papanya.
"Cukup! Cukup kamu menjelek-menjelekkan orang lain, dibalik kekurangan pasti ada kelebihan, kamu jangan lihat sisi buruknya!" ucap papa Rohman.
"Iya Sayang, kami yakin kamu akan lebih aman kuliah jika sudah menikah, tolong jangan bikin Papa dan Mama khawatir, biar kamu tenang juga dalam kuliah, percayalah itu," ucap mama Risa penuh harap.
"Ya sudah, Papa sama Mama jangan sedih dan khawatir tentang apapun keputusan Salma, tapi Salma belum bisa menanggapi hal itu sekarang, apa CEO itu juga sudah setuju? Belum kan?" Salma tersenyum manis supaya orang tuanya tidak terlihat sedih. Meskipun, dalam hatinya sangat perih.
'Ini nih, bakal jadi PR tipe forever, bukan tipe besok dikumpulkan beres,' batin Salma.
***
"Fariz, kamu nikah aja ya?" ucap Mami Reva.
"Entar aja deh Mi," jawab Fariz sambil menghadap laptopnya.
"Riz, Papi sudah sepakat untuk jodohin kamu," ucap Papi Vero.
"Bregh."
Fariz menghentakkan kakinya ke lantai. Ia paling tidak suka dengan perjodohan itu. Tanpa bicara, namun matanya melotot dan wajahnya begitu kesal.
"Yaa, biar kamu nggak sendiri terus Riz, coba aja udah nikah, biar rumah segede ini bakal lebih lengkap, kamu mau kan?" tanya Mami Reva.
"Mau jodohin dengan siapa?" tanya datar Fariz. "Itu anaknya sahabat Mami yang pintar banget, dia gadis pesantren," ucap mami Reva juga menjelaskan tentang kuliah Salma tanpa menyinggung masalah gay. "Gadis pesantren? Dapat dari pabrik mana?" Fariz sangat kaget mendengar yang dijodohkan tersebut seorang santri. "Kok pabrik? Maksud kamu apa?" tanya mami Reva merasa bingung. Kedua orang tuanya tidak melihat wajah marah dari Fariz setelah berkata demikian. Namun mereka juga tidak paham dengan pertanyaan putranya. Kedua orang tuanya saling berpandang dengan kebingungan. "Pabrik ya pabrik, Papa kan pengusaha, pasti sahabatnya juga yang sefrekuensi, Papa sering ke luar kota, ke luar negeri untuk kerja sama dengan pabrik kan?" ucap Fariz. "Aduh, ya nggak semua sefrekuensi dong, dia putri orang kaya, tapi bidang pertanian," ucap papi Vero dengan menepuk jidatnya. "Coba lihat foto gadis itu," ucap Fariz. "Ini fotonya, dia cantik kan? Masih muda sekali," ucap mami Reva menunjukkan foto S
"Jujur Salma bingung," jawab Salma. "Ngapain bingung? Mau kuliah nggak?" tanya Fariz. "Ya mau dong," jawab Salma."Ya fix aja, apa yang dibingungkan?" tanya Fariz. "Bapak memangnya setuju?" tanya Salma. "Sudah aku bilang, rumus kamusku tidak ada yang seperti ini!" jawab Fariz. "Ya udah pergi sana! Sudah dijawab juga Salma masih bingung, Salma tuh mau promosi, jangan bikin bete dong, entar nggak bisa ramah sama pengunjungnya." Salma kesal sekali dengan bahasannya yang sudah menyebalkan ditambah dibahas dengan orang yang menurutnya super menyebalkan. "Makanya jawab yang benar, posisi menata kamu tuh salah, kalau pengen rame pengunjung ya jangan begitu! Masa tulisannya malah tertutup, begini kan terlihat elegan, rapi, menarik, dan kamu nggak usah mikir kencang tuh perjodohan, otak kamu kan waktunya konsentrasi belajar menjelang ujian, setuju aja biar simpel, entar kita atur siasat karena saya tidak mungkin mencintai kamu," jelas Fariz. "Ya iyalah nggak mungkin cinta, tapi masa kit
"Pasti nyariin kamu," jawab Freya. "Buat?" tanya Salma. "Kangen sama kamu, hahaha …" tawa Freya. "Mulai ya, mulai!" kesal Salma.Ternyata, Fariz membicarakan kompetisi yang akan dilaksanakan di perusahaannya dalam rangka hari ulang tahun perusahaan. Perusahaan Fariz mengadakan kompetisi besar-besaran. Ada berbagai macam kompetisi yang bebas diikuti oleh seluruh pelajar setingkat SMA kelas 12 di seluruh Jakarta. "Selamat siang semuanya, dalam diri manusia itu tertanam bakat, dan skill yang berbeda-beda, kalian jangan pernah pesimis, gali potensi kalian, jangan malu untuk melangkah …" Fariz memberi semangat sekaligus menjelaskan tentang kompetisi itu dengan sangat ramah. Begitu berbeda sikapnya dengan saat pertemuan pertama Salma. Emosi dan marah-marahnya, tidak lagi tampak. Salma bertanya-tanya dalam hatinya. 'Sebenarnya, dia itu ramah seperti ini, apa yang seperti kemarin-kemarin? Muka dua, atau hanya pura-pura?' batin Salma. "Salma Ashana, yang mana?" tanya Fariz. "Iya," jawa
"Siapa Sal? Coba kamu angkat!" ucap mama Risa. Kebetulan ponselnya ada di antara duduknya Salma dan mamanya. Karena perintah mamanya, Salma pun mengangkat telepon tersebut. Salma kaget karena orang yang menelpon langsung menyebutkan namanya. "Halo," ucap Salma dari telepon. "Halo, ini Salma bukan? Benar ini Salma?" "Mmm, iya Tante, saya Salma," jawab Salma. "Ma, ini siapa? Kok tahu nama Salma, mama namainnya Cabe, siapa Ma?" Salma menjauhkan ponselnya dan bertanya ke Mamanya mengenai sosok itu. Ternyata yang menelpon ialah maminya Fariz. Salma terpaksa mengangkat teleponnya lagi. Entah apa yang akan dikatakan oleh maminya Fariz. Salma hanya akan menyimak dan menjawab singkat dalam obrolan itu. "Iya Tante," jawab Salma sembari meraih ponsel mamanya. "Kamu sudah pernah ketemu sama Fariz? Dia bagaimana sikapnya?" tanya mami Reva. "Dia peduli," jawab Salma. "Peduli? Alhamdulillah, lalu bagaimana kalian? Sudah akrab?" tanya mami Reva. "Biasa kok, Tante," jawab Salma. Salma juga
Salma hanya terdiam saja. Ia merasa semakin malu dengan keadaannya di cafe itu. Sampai Fariz yang harus berkata lagi. "Terus mau kamu apa? Di dalam ruangan yang hanya kita berdua, kamu menolak, di dalam tempat rame pun juga, mau kamu seperti apa! Apa ini yang kamu maksud?" Fariz geram namun masih mencoba mengerem semuanya karena di tempat umum. "Nggak ada yang benar, Pak. Semua itu salah dan bukan mau saya," ucap Salma mulai lari dari area cafe. "Sal, tunggu!" ucap Fariz namun diabaikan Salma. Salma telah ditunggu Freya di depan perusahaan. Namun, Salma nampak kesal dan menahan air mata. Fariz masih mengejar Salma sampai depan perusahaan. "Salma, kenapa sih? Kamu berantem sama CEO? Ah, nggak mungkin. Ini udah beres belum tentang lombanya itu? Kok malah mau menangis? Masalah apa?" Freya rempong dengan keadaan sahabatnya. "Salma! Kamu kenapa menangis? Haha …" tawa Fariz. "Bilangin sahabat kamu, suruh berhenti menangisnya, saya mau marah," ucap Fariz. "Hhhh, sok banget sih, udah
"Apa yang belum aku bawa? Malah bengong! Apa Pak CEO?" tanya Salma. "Hmm." Fariz sangat sungkan untuk mengatakan. "Apa? Hmm doang Salma nggak paham," ucap Salma dengan risih karena pandangan Fariz yang berbeda ke arahnya. "Maafin aku ya," ucap Fariz. "Hahaha … aku? Terus Pak CEO minta maaf?" tawa Salma. Ternyata, Fariz merasakan getaran hati untuk Salma mulai detik itu. Ia ingin lebih santai saja dalam berbicara dengan Salma. Awalnya ia sangat tidak mau minta maaf ke Salma. Tapi, sejenak ia meresapi dan mengingat kalimat dari Salma. Memang cara dia itu belum benar dan candanya kelewatan. Fariz memberanikan diri untuk minta maaf meskipun Fariz tahu, pasti itu akan diketawain oleh Salma. "Sudah aku duga, kita ngomongnya aku kamu aja, aku serius minta maaf tentang sikap aku tadi yang tidak pantas dengan yang bukan mahram dan canda parah itu," ucap Fariz menahan malu. "Jadi yang belum aku bawa, kata maaf itu?" tanya Salma. "Yes," jawab Fariz. "Hahaha … baiklah, Salma juga minta
"Itu keciprat sambal," ucap Fariz. "Mana? Nggak ada juga," jawab Salma. Fariz beranjak berdiri dan mengambil tisu. Namun, Salma memberhentikan langkah Fariz. "Stop! Salma sudah tahu sambalnya dan Salma rasa sangat mampu untuk mengelapnya sendiri," ucap Salma menghentikan langkah Fariz. 'Modus banget sih. Sok baiknya kebangetan. Kalau ini nggak malam, pasti aku udah lari ke pesantren!' batin kesal Salma. 'Arrgh, beneran nih bocah, malah bikin aku malu,' batin Fariz geram. Salma semakin malu saja dengan keadaan itu. Ia menyesal pulang dari pesantren di hari itu. Salma kira kalau pun Fariz datang, tidak membicarakan selain masalah gay dan bujukan untuk tetap kuliah. *** "Dua hari lagi, akan dimulai ujian-ujian yang berlanjut sampai ujian akhir." Salma membaca pengumuman di mading bersama Freya. "Aduh, udah cepat sekali waktu ini, terus keputusan kamu bagaimana? Masih menggantung terus," ucap Freya. "Hhhh, tahulah, jangan ingetin itu Frey! Kita kan mau lomba, biar utuh konsentras
"Frey! Ngeselin seribu langkah banget," ucap Salma. "Makanya cepat maju! Lagian, ngapain sih kamu nggak maju-maju?" tanya Freya. "Kesal, sudah pasti ulah Pak CEO aku dikasih nomer urut pertama." Salma segera maju sebelum Fariz semakin menjadi-jadi membuatnya malu. "Semangat," ucap pelan Fariz saat Salma sampai di panggung. Salma terpaksa sedikit mengangguk dan melempar senyumnya. Karena posisinya ia sudah menghadap ke depan. Ia tidak mau tampilnya menjadi rusak gara-gara mood yang dibuat malu oleh Fariz. "ORANG JUJUR ITU SANTAI, ENAK KAYAK PAK CEO ITU, IYA KAN PAK? APALAGI DITAMBAH SANTUN, PASTI MANTAP SEKALI, KATA GURU SAYA, YAA KEHIDUPAN ITU SEPERTI KITA BERCERMIN, KALAU KITA SENYUM, BAYANGANNYA JUGA SENYUM, OH IYA SAYA BAWA CERMIN, PRAKTEK NIH, KALAU CEMBERUT MUNCULNYA JUGA CEMBERUT, KALAU ORANGNYA SEDANG MARAH? HMMM, PASTI NAMPAK MARAH JUGA, APALAGI YANG MARAH ITU, SIAPA? PAK CEO ... HAHA … TERNYATA PAK CEO SEREM KATANYA. TAK MASALAH, ITU CARA PAK CEO, BIAR PARA KARYAWAN DISIP
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka