Teddy terus memandangi sebuah ponsel warna hitam yang tergeletak di meja kerjanya. Mana mungkin Aina bisa menemukannya. Teddy sangat yakin pasti ia tidak menyadari jika benda berharga miliknya jatuh ke tangannya. Asalkan ia berdiam diri, tidak ada seorangpun yang akan mencurigainya.
"Hmmm.. akhirnya aku bisa menemukan rahasiamu..." Sambil membuka-buka isi ponsel Aina, Teddy menyeruput kopi yang sudah terhidang di meja.
Kriingg..kriiing...
Tiba-tiba seseorang menghubunginya. Nomor yang tidak dikenali.
"Halo..." Suara di seberang sana.
Teddy terdiam dan masih enggan menjawab.
"Hei, ET. Serahkan wanita itu atau kau akan menanggung akibatnya..."
"Huh, tidak akan..." Jawab Teddy singkat.
Teddy masih bertanya-tanya wanita mana yang dia maksud. Apakah Monika, Jessie, Mila? Atau ada wanita yang lain yang dia maksud?
"Jangan pura-pura bodoh! Serahkan Aina padaku..."
Seketika Teddy terkejut, bagaimana bisa ada orang luar yang mengetahui keberadaan Aina di tempatnya?
"Aku tidak mengenali Aina, siapa dia?" Teddy masih berkelit.
"Sudahlah, serahkan dia padaku atau akan kuhancurkan semua yang kamu miliki..."
"Aku tidak tahu siapa wanita yang bernama Aina itu..."
Nampaknya suara misterius di seberang sana mengumpat dan berkata kasar, biarlah!
"Teddy, ingat!! Kalau sampai Aina tidak kau serahkan dalam waktu 2 hari, tanggung akibatnya sendiri..." Ancamnya.
"Silahkan saja kalau berani..."
"Memangnya siapa aku, apa mungkin aku takut pada manusia yang hanya bisa menggertak atau menakut-nakuti? Seluruh kota juga mengetahui siapa ET itu dan apa kehebatanku." batinnya.
"Teddy, Aina adalah tunanganku, jangan sampai kau berani mengganggu wanita yang ku....."
Klik.
Teddy langsung memutus telepon itu. Entahlah, menyebut kata tunangan membuat kepalanya sakit.
Kembali ia buka ponsel milik Aina. Tanpa sengaja Teddy menemukan sebuah foto milik Aina yang tidak mengenakan kerudung. Iya, ini Aina dengan rambut hitamnya yang panjang.
Astaga, foto ini diambil saat hari yang sama ketika Teddy memberikannya ponsel ini.
"Baiklah, aku akan memindahkannya dengan bluetooth dan menghapus jejaknya..."
Hanya kurang dari satu menit, Teddy bisa memindahkannya.
"Aku akan melihat dengan siapa kamu berhubungan..."
"Johan? Sialan. Kenapa dia selalu berkirim pesan dengan Johan? Apa yang dia lihat dari Johan?"
Hampir setiap beberapa jam sekali Johan selalu mengirmkan pesan pada Aina yang berisi pesan tidak penting, hanya basa-basi. Bahkan ada banyak pesan yang dikirimkan Johan yang tidak mendapatkan tanggapan dari Aina.
"Wanita yang baik juga..." Teddy tersenyum tipis.
Karena menggunakan nomor baru, ia tidak begitu banyak berhubungan dengan orang-orang. Hanya beberapa saja. Rasanya masih aman.
Tunggu, ada pesan masuk.
Ain, jangan lupa doakan aku agar mendapatkan hidayah.
Siapa tahu aku bisa jadi laki-laki yang baik dimasa depan...
"Sial! Johan..."
"Mengapa dia mengirimkan pesan di tengah malam? Pesan macam apa yang ia kirimkan." Teddy berguman sendiri.
Tangannya mulai gatal untuk membalas pesan singkat itu. Jelas, dia menggunakan kata-kata buaian untuk mendekati Aina agar hatinya luluh dengan serigala berbulu domba.
Dasar laki-laki tidak tahu malu!
Belum selesai aku mengetik balasan, ia sudah mengetik lagi dan mengirimkan pesan.
Kamu belum tidur Aina selarut ini?
Bruk.
Teddy meletakkan ponsel itu di meja.
**
Kali ini Teddy tidak bisa menghentikan langkah kakinya. Hasratnya begitu besar untuk kembali melihat Aina dari dekat.
Waktu dua hari sudah cukup lama baginya untuk tidak melihat atau mendengar suaranya. Meski Teddy tidak tahu apa namanya, ada sesuatu yang membuatnya selalu ingin melihat atau sekedar mengetahui suaranya.
Secara hati-hati Teddy melangkahkan kaki untuk turun ke lantai satu, meski ia yakin tidak ada seorangpun di sana kecuali Aina sendiri. Karena kamar pembantu dan sopir ada di belakang dapur.
Kreekkk... Setelah memakai kunci duplikat Teddy berhasil membuka pintu kamar.
"Akhirnya aku bisa melihatmu..." gumannya lirih.
Suasana kamar yang memang begitu gelap. Namun Teddy masih bisa melihat dengan bantuan cahaya temaram dari lampu taman.
"Ainaa..." Dengan lembut Teddy mulai memegang dan mengelus rambutnya.
Sama seperti yang nampak di foto ponsel, Aina sama cantiknya ketika di dunia nyata. Meski Teddy tidak bisa melihat wajahnya secara jelas seratus persen.
"Argghhh.." dia mulai meracau. Mungkin dia merasakan sentuhan dari luar.
Kini Teddy mulai menjamah pipinya yang berbentuk bulat telur. Setiap kali Teddy memandang Aina, hasratnyauntuk mencubit atau membelainya sangatlah tinggi.
Jari-jemari Teddy mulai menjamah pipi kirinya. Begitu halus dan lembut. Sepertinya Teddy akan betah berlama-lama untuk berlama-lama disini.
"Hmmmphh..." Kembali Aina membalikkan badan.
Gerakannya semakin banyak. Sepertinya dia menyadari jika ada yang mengganggu tidur malamnya.
"Hmmmhhhh" kali ini dia seperti sedikit meracau menangis kesakitan. Teddy semakin merasa iba.
"Baiklah, aku harus segera pergi. Masih dengan cara sama, aku melahkahkan kaki dengan berjinjit, Jangan sampai ia mendengar atau melihatku masuk ke dalam kamar." gumannya lirih.
Kreekkk.. Ia putar kunci dengan sangat pelan. Sampai-sampai suaranya seperti detak jarum jam.
Bak pencuri yang mencuri di rumah sendiri, Teddy benar-benar memastikan lagi tak seorangpun yang melihat gerak-geriknya. Meski sangat kecil kemungkinan satu dari beberapa pembantu masuk ke kamar Aina pada jam-jam selarut ini.
"Tuan, apa yang Tuan lakukan?"
Sebuah suara dari arah belakang Teddy seolah membuat jantungnya mau copot. Siapa yang malam-malam masuk ke ruang tengah?
Setelah Ia menoleh, Bik Asih!
"Apa Tuan keluar dari kamar Aina?" tanpa basa-basi ia langsung bertanya hal yang paling Teddy takuti.
"Apa maksudmu? Aku hanya berjaga-jaga karena mendengar suara aneh dari lantai satu..." akhirnya Teddy mulai berbohong.
"Maaf Tuan Teddy, tapi saya sejak beberapa saat lalu sudah di dapur. Tapi saya tidak...."
"Stttt.. jangan terlalu keras berbicara. Sudah, aku mau tidur lagi!"
Teddy menggenggam erat-erat kunci duplikat kamar bawah. Jangan sampai Bik Asih mencurigai hal yang lain lagi.
"Maaf Tuan, itu kunci duplikat kamar-kamar di lantai satu. Apakah Tuan masuk kamar Aina?"
Jantung Teddy hampir berhenti lagi. Kenapa ia terus bertanya hal itu berulang kali.
"Untuk apa aku masuk ke kamar Aina? Apa tidak ada wanita yang lebih cantik daripada Aina?" Bik Asih terus menanyaiku dengan pertanyaan memojokkan.
Kreeekkkk. Tiba-tiba saja pintu kamar Aina terbuka dari dalam.
"Bik, apa ada yang masuk ke kamarku tadi? Aku merasa ada orang yang memegang rambutku... Apa ada pencuri yang masuk ke rumah ini?"
Deg, Aina terbangun di tengah malam begini?
Teddy dan Bik Asih saling berpandangan.
***
Teddy menyaksikan Aina yang terbangun, Bik Asih rupanya mengamati Tedyy dengan tatapan yang aneh. Kalau bukan bos-nya, mungkin Teddy sudah dihajar malam ini juga."Tidak ada yang masuk Aina..." Bik Asih menjawab sambil tetap memperhatikan gerak-gerik bosnya. Tatapannya terlihat sinis dan mengintimidasi. Seolah lelaki itu adalah laki-laki jalanan yang melakukan perbuatan kurang ajar pada anak perempuannya.Dari tadi Teddy masih terdiam. Aina seolah masih berada di antara alam mimpi dan nyata.Tanpa pikir panjang Teddy langsung bergegas menuju tangga. Ia membiarkan Bik Asih dan Aina masuk ke dalam kamar lagi."Huffhh..." hampir saja Teddy tertangkap basah.Tapi, bukankah sangat menantang jika masuk mengendap ke kamar wanita tanpa sepengetahuannya. Terlebih jika ia tak sadarkan diri. Teddy bisa berbuat yang lebih lagi.Senyum licik Teddy mulai mengembang. Jiwanya tidak puas jika hanya memegang atau mengelus rambutnya."Mungkin besok aku akan melakukannya lagi.." Gumannya.**"Bik Asih, s
Johan terlihat mondar-mandir sejak pagi. Biasanya dia akan datang ke rumah sekitar pukul enam pagi. Lain dengan hari ini, ia sudah datang di pagi buta."Johan, ngapain kamu datang pagi-pagi? tumben sudah bangun..." Kata Teddy sambil merentangkan kedua tangan."Bos, saya ada perlu..." tidak biasanya dia sedikit malu untuk mengungkapkan sesuatu. "Saya mau mencari..."Matanya bergerak-gerak melirik ke arah dalam rumah."Apa dia mencari sesuatu?" batin Johan."Monika tidak ada di sini..." jawab Johan seketika.Raut mukanya berubah. Sepertinya salah tebakan Teddy."Aina.." Satu nama yang keluar dari mulutnya membuat Teddy nampak tidak senang,"Kenapa dengan Aina? Dia baik-baik saja sepertinya." Teddy pura-pura tidak mengetahui tentang apa yang terjadi.Tiba-tiba Johan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru berwarna merah. "Apa isinya?" tanya Aina lagi."Ah bukan apa-apa, Bos... sebentar..." Dia mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi seseorang.***"Johan??" Aina
Aina masih belum bisa mengerti mengapa Johan rela melakukan hal yang menjijikkan. "Aina aku bisa jelaskan semuanya..." Johan mengiba untuk didengarkan. Aina menolak. "Aku tidak mau berteman dengan orang munafik sepertimu Johan..." "Aina aku tidak minum sama sekali..." Johan berusaha menjelaskan. "Dan wanita-wanita itu?" Aina berhenti sejenak dan memberinya tatapan mata tajam. "Aina, mereka hanya teman-temanku... Merekaa...." Suara Johan agak lirih. "Mereka teman-teman kencanmu, yang dengan bebas kau apa-apakan. Bagaimana bisa teman berciuman dengan teman? Sudah. Biarkan aku pergi..." Aina melenggang meninggalkan tempat terkutuk itu. Ditepisnya berkali-kali tangan Johan yang ingin membuatnya berhenti. Melihat pertikaian Aina dan Johan, Teddy hanya tersenyum. Sebuah rencana besarnya telah berhasil. Beberapa kali Aina sempat berteriak agar Johan menjauhinya. "Aina, aku bukan pemabuk! Aku hanya dijebak. Aku tidak ikut minum-minum, sumpah... Aku tak pernah minum lagi. Tadi mereka
Teddy memandangi Aina yang tengah tertidur pulas. Sementara nalurinya mulai bergejolak dan membuatnyasemakin resah. Meski tidur sekamar adalah hal yang dibenci Aina, tapi Teddy menginginkan yang lebih lagi. Mata Aina yang terpejam membuatnya bisa mengamatinya hingga puas. Teddy melihat betapa sempurna lekukan wajah yang Aina miliki. Alisnya yang tebal dan bibirnya yang ranum membuat Teddy menelan ludah. Seperti apa rasanya bibir itu? "Andai kamu bisa mematuhiku tidak hanya saat di luar tempat tidurku, Aina..." Teddy bergumam pada dirinya sendiri. Tiba-tiba petir menyambar mengejutkan bumi. Getaran listrinya yang jutaan volt itu membuat kaki Teddy terkejut bukan main. Aina bahkan merintih ketakutan saat mendengarnya. Untunglah dia tidak terbangun. Teddy menepuk-nepuk lengannya selayaknya bayi yang butuh keamanan. Dia terlelap kembali dalam mimpinya. Tangan kanan Teddy mulai tidak bisa menahan gejolak ini. "Ainaa.." Teddy memanggil
Sebuah senjata masih ditodongkan oleh Teddy tepat di pelipis sebelah kanan Novan. "Mau kemana?" untungnya Teddy bisa mengejar Novan dan Aina."Bukan urusanmu.."Meski Teddy sudah menodongkan pistol ke kepalanya, Novan masih juga besar kepala."Lepaskan Aina..."kata Teddy,"Novan, lepaskan aku..." Aina menangis tersedu.Air mata Aina tumpah melihat dua pria yang memegang senjata. Sementara satu pria sedang mencoba untuk menembak kapanpun ia mau. Rasa takut dan cemas Aina bertarung menjadi satu. Keringat dingin menjalar ke seluruh tubuhnya."Minggir kau mafia gila..." Novan tetap tegar pada pendiriannya."Tinggal satu detik lagi, aku akan menghabisimu!" Teddy makin kuat memegang pistolnya."Bunuhlah aku!" tiba-tiba Aina kembali bicara.Mata kedua pria itu saling pandang melihat Aina. Melihat air mata Aina yang tak kunjung sirna, mereka terdiam."Bunuh aku..." kata Aina sambil kembali menangis tersedu.Beberapa menit berlalu dalam diam. Novan dengan segera membuka pintu duduk Aina dan m
"Kenapa kamu pergi?" Teddy masuk kamar Aina tanpa permisi. "Tuan, maaf saya mau menutup pintu kamar. Silahkan keluar..." Teddy masih enggan memindahkan kakinya yang jenjang. Ia masih berdiri di sebelah pintu kamar Aina. "Tuan saya mohon. Saya lelah..." Aina memohon-mohon agar Teddy beranjak pergi. "Kalau kamu memang menyukaiku, bilang saja!" Teddy tersenyum sinis. Dirobohkan tubuh Aina ke ranjang tidur. Aina yang lemah, tidak mampu berkutik atau melawan. "Tuan saya akan berteriak minta tolong!" Aina mengancam. Berkali-kali Aina memukul dada Teddy dengan semampunya. Tenaganya terlalu lemah untuk memukul pria yang berotot baja itu. "Tolooongg.. Tolooonggg...." Mendengar Aina berteriak, Teddy segera melepaskan Aina dari cengkeramannya. Namun rupanya belum berhenti hanya sampai disitu. Teddy hanya mengunci kamar kemudian kembali lagi melakukan hal sama. "Sekarang kamu bisa berteriak sesukamu! hahahahaha..."
"Aku tidak mengundangmu di pesta ini!" Teddy masih tidak melepaskan Novan dari cengkeramannya. "Siapa bilang aku tidak diundang?" Novan menunjukkan sebuah undangan pada Teddy. "Teddy, dia bersamaku! Ayo jangan gunakan amarahmu disaat senang-senang seperti ini..." seorang pria memakai setelan warna hitam melerai mereka berdua. "Om Gunawan.." Teddy segera melepaskan Novan dan menyalami pria tersebut. "Bagaimana bisa kamu melupakanku?" pria itu berpelukan dengan Teddy. "Saya kira Novan tadi menyelundup datang kemari..." Teddy mempersilahkan pria bernama Gunawan itu sambil tertawa. Setelah lima tahun tidak bertemu, Teddy berbicara panjang lebar dengan Gunawan, yang tak lain adalah adik mendiang ayahnya. "Jadi Om tinggal dimana sekarang?" "Karena usahaku sudah mulai besar, aku meninggalkan Indonesia dan menetap di Belanda bersama istri mudaku... hahahaha.." "Teddy tahun ini akan menikah Om..." Monika yang
Teddy sedikit terhuyung-huyung ketika membawa Monika masuk ke dalam kamarnya di lantai dua. Meski sedikit lelah, ia tetap semangat untuk memanjakan hasrat liarnya malam ini. Berkali-kali Monika mencium dan meraba tubuh Teddy dengan mesra. Teddy yang menikmatinya benar-benar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Teddy segera menanggalkan setelan jas hitam yang ia kenakan. Sementara Monika juga ikut menanggalkan gaun warna merah mencolok yang membuat kulit putihnya semakin bersinar. "Teddyy...." Monika memanggil-manggil nama Teddy. "Iyaa sayang, apa yang kamu mau?" Kini mereka sudah berada di atas ranjang besar milik Teddy. Monika tersenyum puas saat ia bisa menakhlukkan gairah liar milik Teddy. "Tedd....." mulut Monika sudah tidak bisa berkata lagi. Monika yang sedikit mengantuk tiba-tiba ia langsung hilang kesadaran. Tenaganya sudah habis untuk bersenang-senang dalam pesta. Meski ia tidak banyak mendapat kesempatan berdansa
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.