Teddy menyaksikan Aina yang terbangun, Bik Asih rupanya mengamati Tedyy dengan tatapan yang aneh. Kalau bukan bos-nya, mungkin Teddy sudah dihajar malam ini juga.
"Tidak ada yang masuk Aina..." Bik Asih menjawab sambil tetap memperhatikan gerak-gerik bosnya. Tatapannya terlihat sinis dan mengintimidasi. Seolah lelaki itu adalah laki-laki jalanan yang melakukan perbuatan kurang ajar pada anak perempuannya.
Dari tadi Teddy masih terdiam. Aina seolah masih berada di antara alam mimpi dan nyata.
Tanpa pikir panjang Teddy langsung bergegas menuju tangga. Ia membiarkan Bik Asih dan Aina masuk ke dalam kamar lagi.
"Huffhh..." hampir saja Teddy tertangkap basah.
Tapi, bukankah sangat menantang jika masuk mengendap ke kamar wanita tanpa sepengetahuannya. Terlebih jika ia tak sadarkan diri. Teddy bisa berbuat yang lebih lagi.
Senyum licik Teddy mulai mengembang. Jiwanya tidak puas jika hanya memegang atau mengelus rambutnya.
"Mungkin besok aku akan melakukannya lagi.." Gumannya.
**
"Bik Asih, sejak kedatanganku tadi malam, aku tidak bisa menemukan ponselku..."
Bik Asih yang masih mengiris daging nampak menghentikan pekerjaannya.
"Apakah jatuh di jalan atau taksi yang kamu tumpangi?" Dia menatap Aina.
"Tidak mungkin Bik, aku sadar jika saat masuk ke rumah, aku masih membawanya..." Jawab Aina.
Bik Asih masih tidak percaya, mungkin baginya mustahil barang hilang di rumah ini. "Atau coba tanya kepada Johan. Siapa tahu dia melihat atau menemukannya..."
Hanya beberapa saat kemudian Johan sudah muncul di dapur.
"Pagi Aina.... Aku ikut senang kamu kembali lagi..." Johan hampir saja memeluk Aina.
"Ampuun, Bik Asih..." Johan meringis karena Bik Asih menengadahkan pisau padanya untuk melindungi Aina.
"Kalau mau minum kopi, sudah aku siapkan. Minum saja..." Kata Bik Asih.
Bik Asih sedikit ketus menunjukkan kopi milik Johan di tempat biasa. Johan langsung menyeruput kopi yang masih panas.
"Aina. Tadi malam apakah kamu memang tidak berniat membalas chatting-ku?" Johan memprotes.
"Apa? Bagaimana bisa aku membalasnya sedangkan aku sendiri tidak tahu ponselku ada di mana." Aina masih tak paham dengan apa yang Johan bicarakan.
"Maaf Johan, ponselku hilang. Aku tidak tahu dimana sekarang..."
"Bukankah tadi malam kamu...." Johan menghentikan percakapannya.
"Aina, apakah ini ponselmu?" Bos tiba-tiba datang sambil membawa sesuatu di tangan kanannya.
Aina berjalan mendekatinya. Benar, itu adalah ponsel milik Aina yang hilang.
"Apakah Tuan menemukannya?" Aina sedikit cemas.
"Seorang penjaga memberikannya padaku..." Dia menjawab sambil berlalu begitu saja.
"Bos, tapi tadi malam ada yang membalas pesan yang..."
Tangan Teddy hanya melambai sebagai isyarat bahwa sudah tidak ada yang perlu dibahas. Aina, Johan, dan Bik Asih saling berpandangan.
"Ah, sudahlah yang penting sudah ketemu..." Bik Asih menenangkan suasana.
**
Sudah dua minggu Aina berada di Istana Putih ini.
"Apakah boleh tempat asing ini kusebut rumah? Tapi setidaknya aku bisa menumpang makan dan minum sementara."
Hampir setiap pagi Johan menyapa dan bercengkrama dengan Aina sebelum bekerja sebagai asisten pribadi bos besar. Lambat laun Aina dan Johan semakin dekat dan terbuka.
Suatu hari tiba-tiba Johan menunjukkan sebuah buku pada Aina.
"Coba tebak apa yang kubaca saat ini..." Johan menunjukkan buku kecil.
Betapa senang hati Aina saat melihat buku tuntutan solat yang Johan pegang.
"Apakah kamu....?" Kata-kata Aina terhenti.
"Aku masih belajar Aina, aku butuh bimbinganmu..." Ungkapnya malu-malu.
Aina hanya tersenyum mendengar pernyataannya. Ia berpikir tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan kebaikan.
"Bagaimana kalau nanti malam aku belajar sholat? Mungkin aku akan kembali setelah jam delapan malam..."
"Johan, bobeh... Tentu boleh..." jawab Aina sambil menyerahkan buku itu kembali.
"Aina, terimakasih..." Johan nampak bahagia mendengar respon Aina.
"Ehmmm..." Sementara Teddy berdehem keras. Seolah kode untuk Johan agar segera menghampirinya.
"Bye Aina!" Johan segera bergegas menjadi sopir kembali.
Aina melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan sementara.
**
"Aina, sudah jam sepuluh malam. Apakah kamu sudah mengantuk?" Johan masih semangat untuk belajar sholat.
"Maaf Johan, ini sudah waktuku tidur, besok pagi-pagi aku harus bangun..."
"Baiklah, aku pulang dulu..." Johan agak kecewa mendengar jawaban Aina.
"Kamu belum pulang juga..." Tanpa sadar, Teddy sudah berdiri di samping Aina.
Setiap kali berdekatan dengan Teddy, Aina merasa bulu kuduknya merinding. Meski bukan hantu, jantung Aina berdebar hebat. Tanpa bisa ia kendalikan.
"Ah, ini Aina sudah mengantuk Bos. Permisi, Bos. Aina sampai jumpa besok..." Johan buru-buru mengambil buku dan ponselnya.
"Aku kira wanita sepertimu tidak mau berpacaran dengan laki-laki seperti Johan.."
"Pacaran? Aku bahkan tidak mengatakan suka pada Johan. Bagaimana mungkin aku berpacaran." Aina berguman sendiri.
"Maaf kami hanya berteman..." Jawab Aina sambil masuk ke dalam rumah.
"Teman? Aku tidak percaya!" Teddy berjalan dengan cepat untuk mengejar Aina.
"Maaf Tuan, saya mau masuk kamar, saya mau tidur. Permisi.."
Tangannya yang kekar memegang handel pintu dan menghalangi Aina masuk.
"Apa yang kamu lihat dari laki-laki seperti Johan? Kamu belum tahu dan mengenali siapa sebenarnya dia..." Kata-katanya pedas membuat Aina sakit hati.
"Kami akan menikah..." akhirnya Aina menggunakan kalimat dusta untuk membuat Teddy pergi.
"Apa kamu gila?" Dia masih menghalangi Aina untuk masuk.
"Maaf Tuan, itu urusan saya dengan Johan. Tidak ada hubungannya dengan Tuan."
Tubuh Teddy yang kekar makin mendekati Aina. Hingga Aina benar-benar tidak bisa masuk ke dalam kamar. Detak jantung Teddy yang cepat bisa dirasakan dari telinga Aina yang menempel di dadanya.
"Tuan, saya mohon. Izinkan saya masuk kamar..."
Tiba-tiba tangan Teddy memeluk Aina dengan erat.
"APA YANG TUAN LAKUKAN?" Aina berteriak saat Teddy memeluknya.
Seketika Teddy tersadar dan melepaskannya. Aina masuk ke dalam kamar sambil ketakutan. Segera ia kunci pintu kamar. Ketakutan demi ketakutan menjalar ke seluruh syaraf tubuhnya.
**
"Apa yang aku lakukan padanya? Ah, kenapa aku tiba-tiba harus memeluknya? Bukankah dia sudah bercerita jika dia akan menikah dengan si brengsek Johan?" Teddy menyesal.
Jarum jam pendek menunjukkan angka dua. Mata Teddy masih belum bisa terpejam. Akankah ia harus melakukan hal yang sama?
Kakiku kembali berjinjit untuk turun ke lantai satu. Namun hatiku bimbang, jangan-jangan dia masih terjaga. Bagaimana kalau Aina tiba-tiba bangun dan melihat Teddy tepat berada di wajahnya?
"Ah, aku akan tetap maju! Apapun resikonya..." Sepertinya Teddy sudah kecanduan untuk menjadi penyusup di tempat tidur Aina.
Kreekkk.. Ia membuka pintu kamar Aina perlahan.
Kali ini masih ada satu lampu baca yang menyala. Wajah Aina terlihat lebih jelas, tapi ia masih mengenakan kerudungnya.
"Sial!" Lagi-lagi Teddy mengumpat.
"Bukan, ia masih mengenakan mukenanya. Sehingga seluruh tubuhnya tertutupi kain berwarna putih. Bahkan tangannya masih menggenggam ponselnya."
Perlahan ia memindahkan ponsel itu ke meja kecil. Agar lebih aman, Teddy sengaja mematikan lampu terlebih dahulu sebelum melakukan hal yang lain lagi.
Teddy mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan Aina. Diam-diam Teddy merasakan detak jantungnya yang tenang.
Karena Aina masih tak sadarkan diri, Teddy memberanikan untuk mencoba mengecup pipi kirinya. Wajahnya makin mendekati pipi Aina dan makin dekat lagi.
"Sayang..." Teddy berbisik lirih. Ada sensasi mendebarkan ketika semakin mendekatinya.
Sebuah kecupan akhirnya mendarat di pipinya. Bibirnya sedikit bergerak dan meracau. Karena jantung Teddy berdebar hebat, ia segera pergi. Ia takut, kalau tidak bisa mengendalikan diri dan berbuat lebih pada Aina.
Meski Teddy pernah melakukan hal lebih dari itu pada banyak wanita, tapi ketika ia bisa melakukan pada Aina, ada kepuasan tersendiri di hatinya. Teddy yakin, akan mendapatkan yang lebih dari itu dari Aina!
***
Johan terlihat mondar-mandir sejak pagi. Biasanya dia akan datang ke rumah sekitar pukul enam pagi. Lain dengan hari ini, ia sudah datang di pagi buta."Johan, ngapain kamu datang pagi-pagi? tumben sudah bangun..." Kata Teddy sambil merentangkan kedua tangan."Bos, saya ada perlu..." tidak biasanya dia sedikit malu untuk mengungkapkan sesuatu. "Saya mau mencari..."Matanya bergerak-gerak melirik ke arah dalam rumah."Apa dia mencari sesuatu?" batin Johan."Monika tidak ada di sini..." jawab Johan seketika.Raut mukanya berubah. Sepertinya salah tebakan Teddy."Aina.." Satu nama yang keluar dari mulutnya membuat Teddy nampak tidak senang,"Kenapa dengan Aina? Dia baik-baik saja sepertinya." Teddy pura-pura tidak mengetahui tentang apa yang terjadi.Tiba-tiba Johan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru berwarna merah. "Apa isinya?" tanya Aina lagi."Ah bukan apa-apa, Bos... sebentar..." Dia mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi seseorang.***"Johan??" Aina
Aina masih belum bisa mengerti mengapa Johan rela melakukan hal yang menjijikkan. "Aina aku bisa jelaskan semuanya..." Johan mengiba untuk didengarkan. Aina menolak. "Aku tidak mau berteman dengan orang munafik sepertimu Johan..." "Aina aku tidak minum sama sekali..." Johan berusaha menjelaskan. "Dan wanita-wanita itu?" Aina berhenti sejenak dan memberinya tatapan mata tajam. "Aina, mereka hanya teman-temanku... Merekaa...." Suara Johan agak lirih. "Mereka teman-teman kencanmu, yang dengan bebas kau apa-apakan. Bagaimana bisa teman berciuman dengan teman? Sudah. Biarkan aku pergi..." Aina melenggang meninggalkan tempat terkutuk itu. Ditepisnya berkali-kali tangan Johan yang ingin membuatnya berhenti. Melihat pertikaian Aina dan Johan, Teddy hanya tersenyum. Sebuah rencana besarnya telah berhasil. Beberapa kali Aina sempat berteriak agar Johan menjauhinya. "Aina, aku bukan pemabuk! Aku hanya dijebak. Aku tidak ikut minum-minum, sumpah... Aku tak pernah minum lagi. Tadi mereka
Teddy memandangi Aina yang tengah tertidur pulas. Sementara nalurinya mulai bergejolak dan membuatnyasemakin resah. Meski tidur sekamar adalah hal yang dibenci Aina, tapi Teddy menginginkan yang lebih lagi. Mata Aina yang terpejam membuatnya bisa mengamatinya hingga puas. Teddy melihat betapa sempurna lekukan wajah yang Aina miliki. Alisnya yang tebal dan bibirnya yang ranum membuat Teddy menelan ludah. Seperti apa rasanya bibir itu? "Andai kamu bisa mematuhiku tidak hanya saat di luar tempat tidurku, Aina..." Teddy bergumam pada dirinya sendiri. Tiba-tiba petir menyambar mengejutkan bumi. Getaran listrinya yang jutaan volt itu membuat kaki Teddy terkejut bukan main. Aina bahkan merintih ketakutan saat mendengarnya. Untunglah dia tidak terbangun. Teddy menepuk-nepuk lengannya selayaknya bayi yang butuh keamanan. Dia terlelap kembali dalam mimpinya. Tangan kanan Teddy mulai tidak bisa menahan gejolak ini. "Ainaa.." Teddy memanggil
Sebuah senjata masih ditodongkan oleh Teddy tepat di pelipis sebelah kanan Novan. "Mau kemana?" untungnya Teddy bisa mengejar Novan dan Aina."Bukan urusanmu.."Meski Teddy sudah menodongkan pistol ke kepalanya, Novan masih juga besar kepala."Lepaskan Aina..."kata Teddy,"Novan, lepaskan aku..." Aina menangis tersedu.Air mata Aina tumpah melihat dua pria yang memegang senjata. Sementara satu pria sedang mencoba untuk menembak kapanpun ia mau. Rasa takut dan cemas Aina bertarung menjadi satu. Keringat dingin menjalar ke seluruh tubuhnya."Minggir kau mafia gila..." Novan tetap tegar pada pendiriannya."Tinggal satu detik lagi, aku akan menghabisimu!" Teddy makin kuat memegang pistolnya."Bunuhlah aku!" tiba-tiba Aina kembali bicara.Mata kedua pria itu saling pandang melihat Aina. Melihat air mata Aina yang tak kunjung sirna, mereka terdiam."Bunuh aku..." kata Aina sambil kembali menangis tersedu.Beberapa menit berlalu dalam diam. Novan dengan segera membuka pintu duduk Aina dan m
"Kenapa kamu pergi?" Teddy masuk kamar Aina tanpa permisi. "Tuan, maaf saya mau menutup pintu kamar. Silahkan keluar..." Teddy masih enggan memindahkan kakinya yang jenjang. Ia masih berdiri di sebelah pintu kamar Aina. "Tuan saya mohon. Saya lelah..." Aina memohon-mohon agar Teddy beranjak pergi. "Kalau kamu memang menyukaiku, bilang saja!" Teddy tersenyum sinis. Dirobohkan tubuh Aina ke ranjang tidur. Aina yang lemah, tidak mampu berkutik atau melawan. "Tuan saya akan berteriak minta tolong!" Aina mengancam. Berkali-kali Aina memukul dada Teddy dengan semampunya. Tenaganya terlalu lemah untuk memukul pria yang berotot baja itu. "Tolooongg.. Tolooonggg...." Mendengar Aina berteriak, Teddy segera melepaskan Aina dari cengkeramannya. Namun rupanya belum berhenti hanya sampai disitu. Teddy hanya mengunci kamar kemudian kembali lagi melakukan hal sama. "Sekarang kamu bisa berteriak sesukamu! hahahahaha..."
"Aku tidak mengundangmu di pesta ini!" Teddy masih tidak melepaskan Novan dari cengkeramannya. "Siapa bilang aku tidak diundang?" Novan menunjukkan sebuah undangan pada Teddy. "Teddy, dia bersamaku! Ayo jangan gunakan amarahmu disaat senang-senang seperti ini..." seorang pria memakai setelan warna hitam melerai mereka berdua. "Om Gunawan.." Teddy segera melepaskan Novan dan menyalami pria tersebut. "Bagaimana bisa kamu melupakanku?" pria itu berpelukan dengan Teddy. "Saya kira Novan tadi menyelundup datang kemari..." Teddy mempersilahkan pria bernama Gunawan itu sambil tertawa. Setelah lima tahun tidak bertemu, Teddy berbicara panjang lebar dengan Gunawan, yang tak lain adalah adik mendiang ayahnya. "Jadi Om tinggal dimana sekarang?" "Karena usahaku sudah mulai besar, aku meninggalkan Indonesia dan menetap di Belanda bersama istri mudaku... hahahaha.." "Teddy tahun ini akan menikah Om..." Monika yang
Teddy sedikit terhuyung-huyung ketika membawa Monika masuk ke dalam kamarnya di lantai dua. Meski sedikit lelah, ia tetap semangat untuk memanjakan hasrat liarnya malam ini. Berkali-kali Monika mencium dan meraba tubuh Teddy dengan mesra. Teddy yang menikmatinya benar-benar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Teddy segera menanggalkan setelan jas hitam yang ia kenakan. Sementara Monika juga ikut menanggalkan gaun warna merah mencolok yang membuat kulit putihnya semakin bersinar. "Teddyy...." Monika memanggil-manggil nama Teddy. "Iyaa sayang, apa yang kamu mau?" Kini mereka sudah berada di atas ranjang besar milik Teddy. Monika tersenyum puas saat ia bisa menakhlukkan gairah liar milik Teddy. "Tedd....." mulut Monika sudah tidak bisa berkata lagi. Monika yang sedikit mengantuk tiba-tiba ia langsung hilang kesadaran. Tenaganya sudah habis untuk bersenang-senang dalam pesta. Meski ia tidak banyak mendapat kesempatan berdansa
Sebulan kemudian... Sejak pesta malam itu berakhir, Aina lebih menjaga jarak dan berhati-hati kepada Teddy. Ia merasa sangat ketakutan jika mengingat peristiwa malam itu. "Aina ini kopi Tuan Teddy, tolong dibawa ke meja makan sekarang..." Bik Asih memindahkan baki dari top table. Seperti biasa, Aina memang yang selalu membawakan kopi itu. Biasanya Teddy belum duduk di meja makan. Kalau kopinya dingin, ia akan meminta dibuatkan lagi kopi panas. Setelah meletakkan kopi di atas meja, Aina segera berlari ke dapur untuk menghindari Teddy. "Hei hei.. Mau kemana kamu?" Sialnya, Teddy sudah terlihat dari balik pintu ruang makan. "Anu, maaf..." tanpa menoleh, Aina langsung kabur. "Ainaaa..." "Ainaaa..." Teddy memanggil-manggil nama Aina beberapa kali. "Kenapa ia mencariku...." Aina berguman lirih. Beberapa kali panggilan, Aina tidak kunjung muncul di hadapan Teddy. Teddy merasa kes
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.