"Akhirnya setelah kabur, kamu kembali juga pulang ke rumah barumu!" Teddy membukakan pintu depan.
Aina mengira pukul sepuluh malam begini Teddy masih asyik dengan dunia luarnya seperti biasa, tapi justru malam ini dia sudah ada di rumah.
"Aku tidak kabur." Jawab Aina sambil tetap mempertahankan dignity-nya sebagai perempuan. Aina tak mau terlihat lemah.
"Tapi kamu ditolak oleh keluargamu, bukan?" Kata-katanya membuat hati Aina semakin sakit.
Bagaimanapun gara-gara lelaki ini Aina diusir dari rumah. Novan rupanya tahu kalau Aina masuk ke mobil laki-laki asing.
"Asih, anakmu sudah pulang!" Teriak Teddy pada Bik Asih yang tak berapa lama kemudian menyambut kedatangan Aina.
"Astagaa, kamu pergi kemana? Pak Eko dan Hana mencarimu kemana-mana sampai bingung. Tuan ET juga langsung pulang saat kami bilang kamu hilang. Bibik mengkhawatirkan keselamatanmu!" Bik Asih terlihat lega.
"Tidak apa-apa Bik, aku cuma jalan-jalan dan tersesat saja." Aina sengaja mengarang cerita.
"Lain kali kalau mau jalan-jalan jangan sendirian. Bahaya!"
Bik Asih memberi makan layaknya seorang ibu yang mendapati anaknya pulang dari perjalanan panjang. Mereka berdua mengobrol di pantry sebelah ruang makan.
Tanpa terasa obrolannyadengan Bik Asih berlangsung hingga pukul satu pagi. Dan Bik Asih sudah tidak kuat, hingga ia mengundurkan diri dari meja bar untuk tidur.
Aina masih belum bisa memejamkan mata. Berkali-kali mencoba meyakinkan dirinya bahwa ayah tidak sejahat itu. Ayah hanya berubah karena hasutan istri barunya dan Novan.
Tetapi mengapa ayah tega mengusirnya dari rumahku sendiri? Apakah ayah tidak malu jika tetangga dan saudaranya mengetahui anak gadisnya diusir dari rumah? Atau ayah memang sama sekali sudah tidak memperdulikanku lagi?
"Apakah kamu pulang untuk mengambil baju dan ponselmu?" Tiba-tiba Teddy duduk tepat berada di sampingnya. "Seharusnya aku merayakan kepulanganmu malam ini, andai saja kamu mau minum wine ini denganku,,,"
"Maaf Tuan, saya tidak boleh.." Kata-kataku terhenti saat jari telunjuknya tepat berada di bibirku.
"Aku tahu, aku paham orang sepertimu. Tapi biarkan aku minum karena merayakan kedatanganmu lagi di istanaku..."
Jantung Aina berdebar dengan kencang. Entah sengatan apa yang sedang menyerang tubuhnya saat ini. Aina serasa tersengat listrik dengan daya tinggi. Tangannya-pun terasa gemetar.
"Aku tahu bagaimana rasanya diusir dari rumah, Aina. Aku pernah mengalaminya." kembali dia meneguk wine.
"Tuan, saya mau..." Tangan Teddy segera menahan Aina untuk tetap bersamanya.
"Temani aku, malam ini saja..." Ucap Teddy.
"Maaf saya tidak bisa...." Aina buru-buru berlari menuju kamar.
"Ainaaaa!" suaranya yang lantang benar-benar memecah keheningan malam.
**
"Ini, ponsel dan baju-baju untukmu. Asih bilang kamu perlu mukena untuk sembahyang.. Semua sudah ada di tas besar itu. Ambil dan bawa pergi." Kata Teddy.
Aina nampak sedikit tersenyum saat Teddy membelikan barang-barang yang dia perlukan.
"Terimakasih, Tuan. Semoga menjadi amal kebaikanmu." Hanya itu yang Aina ucapkan padanya.
Amal kebaikan? Apa gunanya itu! Sebenarnya Teddy lebih berharap imbalan nyata berupa kecupan pipi atau... di bibir. Teddy penasaran bagaimana rasanya bibir wanita itu!
"Hanya itu yang mau kamu katakan?" Aku melihatnya sedikit canggung menghadapiku.
"Oh i..iya, Tuan." Aina terlihat tersipu malu.
"Apakah kamu tidak mau bersalaman atau memelukku sebagai tanda terimakasih?"
"Maaf Tuan, kita bukan mahram.."
Mahram? Apa itu? Teddy tidak memahaminya.
Aina pergi meninggalkanku begitu saja, setelah Teddy mengeluarkan uang yang tak sedikit untuknya.
"Dasar tidak tahu berbalas budi!" Teddy mengumpat lirih.
**
"Johaan..."
"Kemana perginya Johan? Bukankah dia tadi masih berada di sekitarku? Kulirik jendela di luar, dan kudapati Johan sedang bercakap-cakap dengan Aina."
"Halo, Johan kamu ada di mana? Ayo segera berangkat!" Teddy sengaja menelponnya dari dalam ruangan.
"Bos, saya tunggu di mobil langsung saja ya?" Katanya. Dia terlihat masih enggan meninggalkan Aina. Teddy menyaksikan sendiri betapa terpikatnya Johan pada wanita baru itu.
Saat Teddy sudah di luar ruangan, Johan hanya menyalakan mesin. Dia masih melanjutkan mengobrol lagi.
"Iya, nanti aku bawakan untukmu!" Johan bergegas menuju mobil dan melambaikan tangan pada Aina.
"Sudah siap, Tuan?" Johan melirik spion tengah untuk mengecek Teddy.
"Sejak kapan kamu berteman dengan wanita itu?"
"Siapa yang Tuan maksud?" Johan pura-pura tidak paham dengan apa yang Teddy bicarakan.
"Wanita itu..." Teddy menunjuk Aina yang masih membersihkan taman di luar mobil.
"Oh, Aina? Ah saya cuma bicara beberapa kali saja, Tuan..."
Wanita seperti Aina jelas bukan tipenya. Johan lebih suka wanita blasteran dengan pakaian yang lebih modern. Menurutnya lebih eksotis. Sedangkan Aina? Wajahnya seratus persen lokal.
"Kamu tidak salah kan berteman dengan dia? Bukankah dia sangat berpikiran kolot?" Teddy mulai memancingnya bicara.
"Tidak Tuan, dia sangat asyik untuk diajak bicara. Dia menyuruh saya untuk membeli buku agar saya membaca." Ceritanya berapi-api.
Teddy kian penasaran. Bisa-bisanya Aina bertukar pikiran dengan lelaki pembantu suruhannya seperti Johan.
"Buku apa?"
"Ah, tidak penting Tuan. Tuan mau tau saja!" Johan menutup pembicaraan.
**
"ET, sebaiknya apa tidak besok lusa saja kita kirimkan senjata ke pelabuhan?" Tom, partner bisnis Teddy mulai merencanakan sesuatu.
"Bagaimana bisa? Bukankah kapal ke Rusia tidak akan berangkat lusa. Besok kita harus mengirimnya langsung ke sana!" jawab Teddy sambil mengisap cerutu.
"Tom, lebih baik menggunakan saran ET saja. Lebih cepat lebih baik. Mereka sudah menyiapkan uangnya. Tidak main-main, tiga juta dollar!" Edi menanggapi usul Teddy dengan semangat.
"Baiklah coba aku pertimbangkan lagi." Tom mulai membuka laptop dan membuka beberapa informasi berharga.
"Lihatlah!" Seru Edi.
Teddy memeriksa beberapa data tentang pembeli Rusia. Mereka adalah pembeli baru yang sama sekali belum pernah mengadakan transaksi senjata dengan kami sebelumnya.
"Apakah kalian yakin mereka bukan penipu?"
"Tom, Bos John pernah bertransaksi dengan mereka dua kali.." Edi membuka fakta baru yang belum Teddy ketahui.
"Aku yakin mereka hanya mengetes harga, jika kita bisa bersaing dengan John Koi, aku yakin mereka akan lebih memilih bekerjasama dengan kita." Teddy menimpali.
Hanya kami bertiga yang ada di ruangan. Sementara Johan, berada di luar ruangan dan nampak berbicara dengan seseorang di telepon.
"Sial, apa dia bicara dengan Aina lagi?" Teddy mulai curiga.
"Sebentar..." Teddy meminta izin untuk keluar ruangan.
"Johan!" Johan nampak terkejut dan menyudahi pembicaraan.
"Ah, Tuan mengagetkanku saja! Iya Tuan ada apa?" Kata Johan tanpa merasa berdosa.
"Kita sudah selesai. Kita pulang sekarang..."
"Tuan apa tidak salah? Baru pukul sebelas siang. Ayolah bersenang-senang dulu!"
"Aku mau pulang saja, aku tak enak badan..." Jawab Teddy.
**
Aina membukakan pintu rumah. Matanya langsung melirik ke arah Johan. Sama sekali tidak melihat atau menyapa Teddy.
"Apa kamu membelikannya untukku?" Aina mendekati Johan yang masih tercegat di ambang pintu.
"Ehm..." Teddy sengaja berdehem untuk memecahkan suasana.
"Sebaiknya kita mengobrol di luar, Aina..."
Mereka berdua segera berlari menuju taman. Hati Teddy merasa tidak senang melihatnya.
"Sayaaangggg..." Monika sudah menyambutnya dari balik ruang keluarga. Sungguh diluar dugaan.
"Apakah kamu capek?" Dengan lembut ia membawa tas dan jas hitam Teddy.
"Aku agak pusing..." jawab Teddy ketus.
"Ayo kita naik ke kamarmu, aku akan memijitmu sayaang..."
"Baik..." Teddy melonggarkan dasi hitamnya.
Entah mengapa suara Aina dan Johan yang samar-samar dari kolam renang membuatnya sangat terganggu. Jendela kamarnya yang langsung berhadapan dengan kolam renang membuatnya bisa melihat dengan jelas siapa saja yang berada di sekitar kolam renang.
"Hahahahahaha..."
Sudah lama Teddy tidak mendengar Johan tertawa sekeras itu. Sesekali Teddy melirik ke arah bawah agar bisa mencuri dengar tentang apa yang menjadi bahan obrolan mereka.
"Aduh sakit..." Kepala Teddy terasa sakit saat dipijit oleh Monika.
"Iya, aku pelankan..." Monika mendekati Teddy sambil mengecup bibirnya.
"Monika, aku ingin tidur! Keluarlah..."
Monika nampak kecewa tapi akhirnya meninggalkan Teddy sendirian. Dari jauh, sayup-sayup terdengar suara adzan.
"Byee Johaan.. Terimakasih yogurt-nya ya!" Aina nampak berdiri dari kursi.
"Apakah setelah sholat kamu akan menemuiku lagi?" Johan rupanya memang lengket dengan Aina seperti lem sekarang.
"Maaf Johan, aku harus menyiapkan makanan untuk pesta nanti malam..."
"Aina, awas belakangmu!" Johan memperingatkan Aina agar tidak mundur ke belakang.
Byuurrr.... Aina jatuh ke kolam renang kedalaman dua meter.
"Tolong....toloongg..."
"Toloong aku tidak bisa berenang....."
Johan masih nampak panik dari atas. Tentu Teddy tahu, Johan tak seberapa pandai dalam urusan berenang. Tanpa pikir panjang, Teddy langsung melompat dari balkon lantai dua.
Segera ia raih tangan Aina dan memeluk tubuhnya. Aina nampak gugup saat berada di dalam air dan hampir tenggelam.
"Ayo, kamu bisa..." Teddy membisikkan kata-kata itu di telinga kanannya.
Matanya melihat Teddy dengan penuh harap.
Setelah susah payah Teddy berhasil membawanya ke tepi kolam. Baju piyamanya yang tebal membuatnya sedikit kesulitan berenang.
"Uhuk, uhuk..." Aina nampak berusaha tenang. Berkali-kali ia nampak terbatuk-batuk.
"Aina, ayo ke dapur sekarang.." Bik Ijah membawa Aina tertatih-tatih.
"Saaayaanggg..." Monika kembali muncul dari arah ruang keluarga di lantai satu.
"Astaga, kenapa kamu sayang?" Monika memeluk Teddy, namun ia menepisnya.
"Tuan..." Johan mengulurkan tangannya pada Teddy untuk naik ke atas.
Beberapa kali Teddy melihat Aina hampir terjatuh.
Sekilas Teddy melihat ponsel Aina tergeletak di meja tepi kolam renang. Tanpa sepengetahuan Monika dan Johan, Teddy segera mengambilnya. Ini adalah sebuah kesempatan agar tahu isi otak kepala wanita berjilbab itu.
Teddy tersenyum tipis dan membawanya masuk ke rumah.
***
Teddy terus memandangi sebuah ponsel warna hitam yang tergeletak di meja kerjanya. Mana mungkin Aina bisa menemukannya. Teddy sangat yakin pasti ia tidak menyadari jika benda berharga miliknya jatuh ke tangannya. Asalkan ia berdiam diri, tidak ada seorangpun yang akan mencurigainya."Hmmm.. akhirnya aku bisa menemukan rahasiamu..." Sambil membuka-buka isi ponsel Aina, Teddy menyeruput kopi yang sudah terhidang di meja.Kriingg..kriiing...Tiba-tiba seseorang menghubunginya. Nomor yang tidak dikenali."Halo..." Suara di seberang sana.Teddy terdiam dan masih enggan menjawab."Hei, ET. Serahkan wanita itu atau kau akan menanggung akibatnya...""Huh, tidak akan..." Jawab Teddy singkat.Teddy masih bertanya-tanya wanita mana yang dia maksud. Apakah Monika, Jessie, Mila? Atau ada wanita yang lain yang dia maksud?"Jangan pura-pura bodoh! Serahkan Aina padaku..."Seketika Teddy terkejut, bagaimana bisa ada orang luar yang mengetahui keberadaan Aina di tempatnya?"Aku tidak mengenali Aina, s
Teddy menyaksikan Aina yang terbangun, Bik Asih rupanya mengamati Tedyy dengan tatapan yang aneh. Kalau bukan bos-nya, mungkin Teddy sudah dihajar malam ini juga."Tidak ada yang masuk Aina..." Bik Asih menjawab sambil tetap memperhatikan gerak-gerik bosnya. Tatapannya terlihat sinis dan mengintimidasi. Seolah lelaki itu adalah laki-laki jalanan yang melakukan perbuatan kurang ajar pada anak perempuannya.Dari tadi Teddy masih terdiam. Aina seolah masih berada di antara alam mimpi dan nyata.Tanpa pikir panjang Teddy langsung bergegas menuju tangga. Ia membiarkan Bik Asih dan Aina masuk ke dalam kamar lagi."Huffhh..." hampir saja Teddy tertangkap basah.Tapi, bukankah sangat menantang jika masuk mengendap ke kamar wanita tanpa sepengetahuannya. Terlebih jika ia tak sadarkan diri. Teddy bisa berbuat yang lebih lagi.Senyum licik Teddy mulai mengembang. Jiwanya tidak puas jika hanya memegang atau mengelus rambutnya."Mungkin besok aku akan melakukannya lagi.." Gumannya.**"Bik Asih, s
Johan terlihat mondar-mandir sejak pagi. Biasanya dia akan datang ke rumah sekitar pukul enam pagi. Lain dengan hari ini, ia sudah datang di pagi buta."Johan, ngapain kamu datang pagi-pagi? tumben sudah bangun..." Kata Teddy sambil merentangkan kedua tangan."Bos, saya ada perlu..." tidak biasanya dia sedikit malu untuk mengungkapkan sesuatu. "Saya mau mencari..."Matanya bergerak-gerak melirik ke arah dalam rumah."Apa dia mencari sesuatu?" batin Johan."Monika tidak ada di sini..." jawab Johan seketika.Raut mukanya berubah. Sepertinya salah tebakan Teddy."Aina.." Satu nama yang keluar dari mulutnya membuat Teddy nampak tidak senang,"Kenapa dengan Aina? Dia baik-baik saja sepertinya." Teddy pura-pura tidak mengetahui tentang apa yang terjadi.Tiba-tiba Johan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru berwarna merah. "Apa isinya?" tanya Aina lagi."Ah bukan apa-apa, Bos... sebentar..." Dia mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi seseorang.***"Johan??" Aina
Aina masih belum bisa mengerti mengapa Johan rela melakukan hal yang menjijikkan. "Aina aku bisa jelaskan semuanya..." Johan mengiba untuk didengarkan. Aina menolak. "Aku tidak mau berteman dengan orang munafik sepertimu Johan..." "Aina aku tidak minum sama sekali..." Johan berusaha menjelaskan. "Dan wanita-wanita itu?" Aina berhenti sejenak dan memberinya tatapan mata tajam. "Aina, mereka hanya teman-temanku... Merekaa...." Suara Johan agak lirih. "Mereka teman-teman kencanmu, yang dengan bebas kau apa-apakan. Bagaimana bisa teman berciuman dengan teman? Sudah. Biarkan aku pergi..." Aina melenggang meninggalkan tempat terkutuk itu. Ditepisnya berkali-kali tangan Johan yang ingin membuatnya berhenti. Melihat pertikaian Aina dan Johan, Teddy hanya tersenyum. Sebuah rencana besarnya telah berhasil. Beberapa kali Aina sempat berteriak agar Johan menjauhinya. "Aina, aku bukan pemabuk! Aku hanya dijebak. Aku tidak ikut minum-minum, sumpah... Aku tak pernah minum lagi. Tadi mereka
Teddy memandangi Aina yang tengah tertidur pulas. Sementara nalurinya mulai bergejolak dan membuatnyasemakin resah. Meski tidur sekamar adalah hal yang dibenci Aina, tapi Teddy menginginkan yang lebih lagi. Mata Aina yang terpejam membuatnya bisa mengamatinya hingga puas. Teddy melihat betapa sempurna lekukan wajah yang Aina miliki. Alisnya yang tebal dan bibirnya yang ranum membuat Teddy menelan ludah. Seperti apa rasanya bibir itu? "Andai kamu bisa mematuhiku tidak hanya saat di luar tempat tidurku, Aina..." Teddy bergumam pada dirinya sendiri. Tiba-tiba petir menyambar mengejutkan bumi. Getaran listrinya yang jutaan volt itu membuat kaki Teddy terkejut bukan main. Aina bahkan merintih ketakutan saat mendengarnya. Untunglah dia tidak terbangun. Teddy menepuk-nepuk lengannya selayaknya bayi yang butuh keamanan. Dia terlelap kembali dalam mimpinya. Tangan kanan Teddy mulai tidak bisa menahan gejolak ini. "Ainaa.." Teddy memanggil
Sebuah senjata masih ditodongkan oleh Teddy tepat di pelipis sebelah kanan Novan. "Mau kemana?" untungnya Teddy bisa mengejar Novan dan Aina."Bukan urusanmu.."Meski Teddy sudah menodongkan pistol ke kepalanya, Novan masih juga besar kepala."Lepaskan Aina..."kata Teddy,"Novan, lepaskan aku..." Aina menangis tersedu.Air mata Aina tumpah melihat dua pria yang memegang senjata. Sementara satu pria sedang mencoba untuk menembak kapanpun ia mau. Rasa takut dan cemas Aina bertarung menjadi satu. Keringat dingin menjalar ke seluruh tubuhnya."Minggir kau mafia gila..." Novan tetap tegar pada pendiriannya."Tinggal satu detik lagi, aku akan menghabisimu!" Teddy makin kuat memegang pistolnya."Bunuhlah aku!" tiba-tiba Aina kembali bicara.Mata kedua pria itu saling pandang melihat Aina. Melihat air mata Aina yang tak kunjung sirna, mereka terdiam."Bunuh aku..." kata Aina sambil kembali menangis tersedu.Beberapa menit berlalu dalam diam. Novan dengan segera membuka pintu duduk Aina dan m
"Kenapa kamu pergi?" Teddy masuk kamar Aina tanpa permisi. "Tuan, maaf saya mau menutup pintu kamar. Silahkan keluar..." Teddy masih enggan memindahkan kakinya yang jenjang. Ia masih berdiri di sebelah pintu kamar Aina. "Tuan saya mohon. Saya lelah..." Aina memohon-mohon agar Teddy beranjak pergi. "Kalau kamu memang menyukaiku, bilang saja!" Teddy tersenyum sinis. Dirobohkan tubuh Aina ke ranjang tidur. Aina yang lemah, tidak mampu berkutik atau melawan. "Tuan saya akan berteriak minta tolong!" Aina mengancam. Berkali-kali Aina memukul dada Teddy dengan semampunya. Tenaganya terlalu lemah untuk memukul pria yang berotot baja itu. "Tolooongg.. Tolooonggg...." Mendengar Aina berteriak, Teddy segera melepaskan Aina dari cengkeramannya. Namun rupanya belum berhenti hanya sampai disitu. Teddy hanya mengunci kamar kemudian kembali lagi melakukan hal sama. "Sekarang kamu bisa berteriak sesukamu! hahahahaha..."
"Aku tidak mengundangmu di pesta ini!" Teddy masih tidak melepaskan Novan dari cengkeramannya. "Siapa bilang aku tidak diundang?" Novan menunjukkan sebuah undangan pada Teddy. "Teddy, dia bersamaku! Ayo jangan gunakan amarahmu disaat senang-senang seperti ini..." seorang pria memakai setelan warna hitam melerai mereka berdua. "Om Gunawan.." Teddy segera melepaskan Novan dan menyalami pria tersebut. "Bagaimana bisa kamu melupakanku?" pria itu berpelukan dengan Teddy. "Saya kira Novan tadi menyelundup datang kemari..." Teddy mempersilahkan pria bernama Gunawan itu sambil tertawa. Setelah lima tahun tidak bertemu, Teddy berbicara panjang lebar dengan Gunawan, yang tak lain adalah adik mendiang ayahnya. "Jadi Om tinggal dimana sekarang?" "Karena usahaku sudah mulai besar, aku meninggalkan Indonesia dan menetap di Belanda bersama istri mudaku... hahahaha.." "Teddy tahun ini akan menikah Om..." Monika yang
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.