"Bos, dia masih hidup.." Johan memberikan isyarat pada Teddy. Dia mengecek sekali lagi untuk memastikan keberadaan denyut nadinya.
Dengan hati-hati aku mulai Teddy mendudukkannya di sebelahnya. Dia masih pingsan dan akhirnya rubuh. Dan pada akhirnya ia menyandarkan kepalanya di pundak Teddy.
"Johan, cepatlah!"
"Baik, Bos!"
Johan memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Di sela-sela derasnya air hujan, akhirnya nampak istana besar Teddy yang menjulang. Mereka semakin dekat dengan rumah.
Sesampainya di bawah atap carport, Teddy segera menggendong Aina masuk. Johan nampak keheranan. Mungkin dia teringat adegan film Korea. Teddy mengisyaratkan kalau perempuan ini bukan tipeku,dia alergi dengan wanita religius begini.
"Asiihh, buka pintunya!" Panggil Teddy dengan suara nyaring.
Tidak butuh waktu lama pintu sudah terbuka lebar. Orang-orang yang tinggal di rumah keheranan melihat Teddy menggendong seorang perempuan basah kuyup.
"Asih, cepat ganti baju wanita ini. Aku tidak mau dia mati kedinginan!" Bentak Teddy sambil meletakkannya di ranjang kamar tamu.
"Baik, Tuan Teddy..."Asih lantas menutup pintu kamar tamu dan melaksanakan perintah.
"Sial..." Teddy mengumpat. Baju Armano yang sudah dia siapkan untuk meeting tadi harus rusak karena kehujanan.
**
"Bagaimana, Bos? Apakah kita akan melanjutkan rencana untuk kita re-schedule dilain waktu?" Tanya Johan.
"Aku sudah tidak mood keluar rumah malam ini, Johan..."
"Saya akan mengirimkan pengajuan waktu lain, bos. Agar... kesempatan ini tidak lari dari tangan kita."
Tangan Teddy mengisyaratkan agar Johan keluar dari meja kerjanya. Teddy menatap jendela ruangan yang terbuka lebar. Hujan yang masih terus menerus membasahi bumi membuatnya tak bisa tenang.
Rasa penasaran pada wanita yang baru ia bawa tadi membuatnya ingin melihatnya di kamar tamu. Ah, tapi apa kata para pembantu dan orang-orangnya? Wibawanya tentu akan jatuh di mata mereka,
Tok..tok..tok..
"Sayaanggg... Aku kangen, aku sudah menunggumu sejak sore tadi. Lihat, aku basah kuyup karena harus berlari dari parkiran menuju ruanganmu ini..."
Sally, salah satu teman wanita berambut lurus itu mulai berbicara. Biasanya ia akan berceloteh panjang lebar dan bermanja-manja dengan Teddy.
"Hmmm.." Teddy menikmati batang cerutu dan ia belum tertarik untuk mengikuti hasratnya.
"Sayaanggg..." Dia mendekat dan mulai membuka mantel bulunya.
"Saayangg, lihatlah aku..." Sally mulai menggoda dengan menunjukkan lekukan tubuhnya yang membuat mata lelaki manapun tak bisa beranjak.
Tapi kali ini Teddy masih terus diam tak menggubris. Biasanya Teddy akan langsung menyambutnya dengan pelukan atau ciuman mesra. Sungguh, malam ini ia sama sekali tidak tertarik padanya.
"Aku lelah, tidurlah di kamar bawah..." Kata Teddy.
"Saayaanggg.." Rengeknya.
"Sudahlah, pergi dari sini!" Ujarnya. Teddy tidak tahan lagi melihat wajahnya.
"Tapi, bagaimana denganku? Aku sudah terlanjur berdandan untukmu..." Dia masih tak mau menyerah begitu saja.
"Kamu bisa berdandan lagi besok dan datang lagi ke sini." Teddy memelotonya seakan ingin menerkamnya jika dia tak segera pergi. Teddy hanya ingin sendiri.
**
Malam sudah semakin larut. Tapi mata Teddy belum juga bisa terpejam.
"Apa aku harus melihatnya?" Guman Teddy.
Namun, ada sedikit keraguan jika Teddy harus melihatnya di malam menjelang pagi ini. Dia khawatir jika tak bisa mengendalikan nafsu. Biarlah. diapun turun ke lantai satu untuk melihatnya.
Kreekk...
Perlahan Teddy membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
Teddy mendekati Aina yang tertidur pulas dengan sedikit perban di kepala dan penutup luka di mulut. Dia mengamati dengan detail setiap tubuhnya.
Benarkah? Naluri kelelakian Teddy tiba-tiba muncul di saat yang tidak tepat. Teddy menginginkan sesuatu yang lebih. Rambutnya sedikit terlihat dan aku bisa melihat dengan jelas betapa ingin aku mendekatinya lebih dekat lagi.
"Hmmhhh..." ia mengeluarkan sedikit suara.
Apakah ia mulai siuman? Teddy hanya berani bertanya dalam hati. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya.
Kuberanikan diri untuk menyentuh jari-jemarinya. Belum pernah aku merasakan hal yang seperti ini. Ada perasaan yang sangat tenang ketika melihatnya tertidur pulas.
Rambutnya yang terlihat beberapa helai, membuat Teddy ingin menyingkap kerudung yang masih menutup seluruh kepalanya.
Saat tangan Teddy akan menyentuh kerudung itu, tiba-tiba matanya terbuka. Mereka saling beradu pandang.
"Sss..ssiapa kamu?" Katanya dengan terbata-bata. Suaranya sangat lembut. Hanya saja Aina gugup dan kaget.
"Tenang, aku tidak akan melakukan apa-apa padamu..." Teddy mulai menenangkannya.
"Si... siapa kamu?" Dia kembali bertanya dengan suara lemah.
Tanpa pikir panjang Teddy langsung membuka pintu dan memanggil Asih. Tak tahu harus berbuat apa.
Hanya beberapa menit Asih datang dan menenangkan wanita itu. Dia yang baru terbangun langsung meneteskan air mata. Isakan tangisnya membuat Teddy tidak tahan untuk menatapnya jauh lebih lama.
"Tuan, sebaiknya jangan di sini dulu. Biarkan saya saja yang menjaganya! Dia masih ketakutan." Asih mulai duduk di samping Aina.
Teddy segera keluar dari kamar. Aina menatap Teddy dengan tatapan gelisah.
"Apakah ia tidak pernah menemui lelaki setampan dan segagah aku? Apa dia pikir dia sudah mati dan ada di alam lain?" Teddy berguman dalam hati.
**
Mata Aina masih terasa berat. Dia mengira bahwa ia akan memejamkan mata selamanya. Apa dia sudah di alam kubur?
Hidung Aina tiba-tiba mencium aroma parfum maskulin yang membuatnya membuka mata. Benar, ada sosok lelaki asing di hadapannya. Dia kebingungan dan akhirnya memanggil-manggil seseorang. Beberapa saat kemudian datanglah seorang wanita paruh baya di ruangan itu.
Dengan penuh perhatian dia menanyai Aina tentang asal usul dan apa yang ia ingat terakhir kali saat sebelum kejadian kecelakaan.
"Saya Aina..." Aina memperkenalkan diri pada wanita itu.
"Namanya cantik, secantik orangnya..." Wanita itu menjawab dengan lembut.
Suaranya yang tenang membuat Aina teringat almarhumah ibunya yang meninggal sepuluh tahun lalu. Seolah memori tentang ibu kembali menyeruak pada hidupnya sekarang.
"Apakah Aina ingin sesuatu?"
"Minum..." Aina masih belum enak untuk banyak bicara. Kepalanya masih sedikit pusing.
"Dimana bajuku?"
"Ah, tadi Bibik ganti karena sewaktu Tuan datang membawa Aina, bajumu basah kuyup.." Jawabnya.
"Bik, saya mau pulang saja..."
"Apakah tidak salah mengatakan pulang? bukankah aku tadi kabur dari rumah? Bagaimana bisa aku langsung kembali ke rumah hari ini juga" batin Aina dalam hati.
**
"Bik, saya mau solat subuh.." Aina tertatih-tatih menuju kamar mandi. Setelah mencoba berjalan. lukanya terasa lebih menyakitkan dari apa yang dia pikirkan. "Aduuh..."
Ada bekas goresan pada beberapa bagian. Mulut Aina juga terasa pedih saat terkena cipratan air.
"Tidak usah dipaksa kalau tidak bisa..." Bik Asih membopongku ke kamar mandi.
"Saya takut kalau saya meninggalkan solat..."
"Aduuhhh.." Akhinya Aina jatuh di kamar mandi.
"Ada apa?" Lelaki yang dipanggil 'tuan' oleh Bik Asih tiba-tiba muncul dari luar.
"Maaf jangan sentuh saya, saya sudah wudhu..." Kata Aina.
"Ohh..." tangannya tiba-tiba diangkat.
"Ini Tuan, Aina mau solat..." Bik Asih menjelaskan.
"Maaf Aina, bibik tidak punya mukena..."
"Saya pakai selimut ini saja, Bik..."
"Apakah tidak ada satupun yang menjalankan solat di sini?" batin Aina.
**
"Oke, baiklah. itu sudah cukup. 2 Milyar saja..."
Aina mendengar seseorang bercakap-cakap melalui telepon. Karena pintu kamar terbuka sedikit, dia bisa melihat siapapun yang melintasi di depan pintu kamar.
Sorot mata itu kembali menatap Aina dengan tajam. Ya, dimata Aina ia nampak seperti seorang yang sangat tegas dan menakutkan. Meski tidak nampak tato atau hal apapun yang membuatnya nampak seram, tapi dari caranya berbicara dia bisa merasakannya.
"Asih..." Dia melambaikan tangannya.
Hanya beberapa detik Bik Asih datang dan memasuki kamar.
"Bik, siapa dia? mengapa dia ada disini terus?" Tanya Aina penasaran.
"Aina jangan keras-keras. Dialah yang menolongmu saat kecelakaan, Tuan Teddy, panggil saja tuan ET..."
"Apakah dia jahat?" Aina bertanya sambil menatap wajahnya.
"Kalau dia jahat, mana mungkin dia mau membatalkan acara pentingnya dan menolongmu?"
Apakah benar dia tidak jahat?
'"Sayaanggg.. aku mau shopping dulu, jangan lupa nanti malam kita dinner di tempat biasa ya?"
Aina melihat seorang wanita berpakaian terbuka memeluk dan mencium pipinya. Meski tak begitu mendapatkan perhatian, namun lelaki itu hanya membiarkannya. Bukankah itu pertanda bahwa ia memang mengizinkannya?
"Itu Nona Sally, pacarnya Tuan Teddy, panggil saja ia dengan Tuan ET.. begitu dia dikenal di sini..."
Mata Aina mengikuti kemanapun gerak-gerik lelaki itu.
"Oh ya, nanti setelah tuan ET datang. Kamu disuruh menghadap beliau..." kata Bik Asih sambil membawa makanan pergi.
"Tuan.." Bik Asih memasuki sebuah ruangan kerja dengan ragu.Aina sendiri tidak paham siapa yang berada di balik kursi besar yang menghadap ke jendela. Dia masih asyik berbincang dengan seseorang di seberang sana."Kita tunggu dulu, jangan duduk.."Aina kembali berdiri di samping kursi."Oke, deal. Aku akan mengirimkan barangnya malam ini. Siapkan saja uangnya!" hanya itu yang bisa Aina dengar dengan jelas.Perlahan ia membalikkan kursi kulit warna cokelat gelap dan melihat tepat kepadanya."Asih, ada perlu apa?"Laki-laki itu memandang Aina dari atas sampai bawah seolah Aina adalah sesosok hantu yang baru muncul di malam hari,"Tuan, Mbak Aina sudah sehat." Bik Asih berkata padanya mengabarkan keadaan Aina."Siapa Aina?" Dia bertanya dengan tatapan mata tajam."Saya Aina, Pak..." Kataku.Aina asal bicara saja dengan memanggilnya "pak". Yang ia tahu pria itu bernama ET, entah kepanjangan apa ET itu. Beberapa orang yang Aina temui menyebutnya dengan Tuan ET. "Asih, ajari dia. Jangan m
"Assalamualaikum..."Semua yang berada di rumah nampak terkejut melihat kedatangan Aina. Terlebih Novan dan ibu tirinya."Darimana saja kamu menghilang? Kamu pulang setelah meninggalkan rumah berhari-hari, apakah kamu pergi dengan lelaki yang kamu bawa ke rumah malam itu?" Ibu tirinya langsung menyambut dengan omelan panjang."Biarkan dia duduk..." Ayah Aina menatap dengan tatapan yang marah."Ayah, Aina bisa menjelaskan..." Kata Aina."Benarkan om, dia pergi dengan lelaki itu... Pacarnya..." Novan memotong pembicaraan dan mengucapkan tuduhannya."Ayah, Demi Allah! Aina tidak punya pacar... Malam itu dia...." ketika Aina mulai menunjuk Novan, ibu tirinya malah memojokkannya."Apa-apaan kamu menuduh ponakanku yang tidak-tidak, kamu tahu kan Novan itu pendidikannya tinggi. Dia kuliah S2 di luar negeri dan sudah lama bekerja di sana." Katanya."Lagipula, lihat dirimu, kamu ini pernah mondok di pesantren kan sebelum kuliah? apa jadinya? Cuma kedok saja pakai kerudung tapi masih juga berma
"Akhirnya setelah kabur, kamu kembali juga pulang ke rumah barumu!" Teddy membukakan pintu depan.Aina mengira pukul sepuluh malam begini Teddy masih asyik dengan dunia luarnya seperti biasa, tapi justru malam ini dia sudah ada di rumah."Aku tidak kabur." Jawab Aina sambil tetap mempertahankan dignity-nya sebagai perempuan. Aina tak mau terlihat lemah."Tapi kamu ditolak oleh keluargamu, bukan?" Kata-katanya membuat hati Aina semakin sakit.Bagaimanapun gara-gara lelaki ini Aina diusir dari rumah. Novan rupanya tahu kalau Aina masuk ke mobil laki-laki asing."Asih, anakmu sudah pulang!" Teriak Teddy pada Bik Asih yang tak berapa lama kemudian menyambut kedatangan Aina."Astagaa, kamu pergi kemana? Pak Eko dan Hana mencarimu kemana-mana sampai bingung. Tuan ET juga langsung pulang saat kami bilang kamu hilang. Bibik mengkhawatirkan keselamatanmu!" Bik Asih terlihat lega."Tidak apa-apa Bik, aku cuma jalan-jalan dan tersesat saja." Aina sengaja mengarang cerita."Lain kali kalau mau ja
Teddy terus memandangi sebuah ponsel warna hitam yang tergeletak di meja kerjanya. Mana mungkin Aina bisa menemukannya. Teddy sangat yakin pasti ia tidak menyadari jika benda berharga miliknya jatuh ke tangannya. Asalkan ia berdiam diri, tidak ada seorangpun yang akan mencurigainya."Hmmm.. akhirnya aku bisa menemukan rahasiamu..." Sambil membuka-buka isi ponsel Aina, Teddy menyeruput kopi yang sudah terhidang di meja.Kriingg..kriiing...Tiba-tiba seseorang menghubunginya. Nomor yang tidak dikenali."Halo..." Suara di seberang sana.Teddy terdiam dan masih enggan menjawab."Hei, ET. Serahkan wanita itu atau kau akan menanggung akibatnya...""Huh, tidak akan..." Jawab Teddy singkat.Teddy masih bertanya-tanya wanita mana yang dia maksud. Apakah Monika, Jessie, Mila? Atau ada wanita yang lain yang dia maksud?"Jangan pura-pura bodoh! Serahkan Aina padaku..."Seketika Teddy terkejut, bagaimana bisa ada orang luar yang mengetahui keberadaan Aina di tempatnya?"Aku tidak mengenali Aina, s
Teddy menyaksikan Aina yang terbangun, Bik Asih rupanya mengamati Tedyy dengan tatapan yang aneh. Kalau bukan bos-nya, mungkin Teddy sudah dihajar malam ini juga."Tidak ada yang masuk Aina..." Bik Asih menjawab sambil tetap memperhatikan gerak-gerik bosnya. Tatapannya terlihat sinis dan mengintimidasi. Seolah lelaki itu adalah laki-laki jalanan yang melakukan perbuatan kurang ajar pada anak perempuannya.Dari tadi Teddy masih terdiam. Aina seolah masih berada di antara alam mimpi dan nyata.Tanpa pikir panjang Teddy langsung bergegas menuju tangga. Ia membiarkan Bik Asih dan Aina masuk ke dalam kamar lagi."Huffhh..." hampir saja Teddy tertangkap basah.Tapi, bukankah sangat menantang jika masuk mengendap ke kamar wanita tanpa sepengetahuannya. Terlebih jika ia tak sadarkan diri. Teddy bisa berbuat yang lebih lagi.Senyum licik Teddy mulai mengembang. Jiwanya tidak puas jika hanya memegang atau mengelus rambutnya."Mungkin besok aku akan melakukannya lagi.." Gumannya.**"Bik Asih, s
Johan terlihat mondar-mandir sejak pagi. Biasanya dia akan datang ke rumah sekitar pukul enam pagi. Lain dengan hari ini, ia sudah datang di pagi buta."Johan, ngapain kamu datang pagi-pagi? tumben sudah bangun..." Kata Teddy sambil merentangkan kedua tangan."Bos, saya ada perlu..." tidak biasanya dia sedikit malu untuk mengungkapkan sesuatu. "Saya mau mencari..."Matanya bergerak-gerak melirik ke arah dalam rumah."Apa dia mencari sesuatu?" batin Johan."Monika tidak ada di sini..." jawab Johan seketika.Raut mukanya berubah. Sepertinya salah tebakan Teddy."Aina.." Satu nama yang keluar dari mulutnya membuat Teddy nampak tidak senang,"Kenapa dengan Aina? Dia baik-baik saja sepertinya." Teddy pura-pura tidak mengetahui tentang apa yang terjadi.Tiba-tiba Johan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru berwarna merah. "Apa isinya?" tanya Aina lagi."Ah bukan apa-apa, Bos... sebentar..." Dia mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi seseorang.***"Johan??" Aina
Aina masih belum bisa mengerti mengapa Johan rela melakukan hal yang menjijikkan. "Aina aku bisa jelaskan semuanya..." Johan mengiba untuk didengarkan. Aina menolak. "Aku tidak mau berteman dengan orang munafik sepertimu Johan..." "Aina aku tidak minum sama sekali..." Johan berusaha menjelaskan. "Dan wanita-wanita itu?" Aina berhenti sejenak dan memberinya tatapan mata tajam. "Aina, mereka hanya teman-temanku... Merekaa...." Suara Johan agak lirih. "Mereka teman-teman kencanmu, yang dengan bebas kau apa-apakan. Bagaimana bisa teman berciuman dengan teman? Sudah. Biarkan aku pergi..." Aina melenggang meninggalkan tempat terkutuk itu. Ditepisnya berkali-kali tangan Johan yang ingin membuatnya berhenti. Melihat pertikaian Aina dan Johan, Teddy hanya tersenyum. Sebuah rencana besarnya telah berhasil. Beberapa kali Aina sempat berteriak agar Johan menjauhinya. "Aina, aku bukan pemabuk! Aku hanya dijebak. Aku tidak ikut minum-minum, sumpah... Aku tak pernah minum lagi. Tadi mereka
Teddy memandangi Aina yang tengah tertidur pulas. Sementara nalurinya mulai bergejolak dan membuatnyasemakin resah. Meski tidur sekamar adalah hal yang dibenci Aina, tapi Teddy menginginkan yang lebih lagi. Mata Aina yang terpejam membuatnya bisa mengamatinya hingga puas. Teddy melihat betapa sempurna lekukan wajah yang Aina miliki. Alisnya yang tebal dan bibirnya yang ranum membuat Teddy menelan ludah. Seperti apa rasanya bibir itu? "Andai kamu bisa mematuhiku tidak hanya saat di luar tempat tidurku, Aina..." Teddy bergumam pada dirinya sendiri. Tiba-tiba petir menyambar mengejutkan bumi. Getaran listrinya yang jutaan volt itu membuat kaki Teddy terkejut bukan main. Aina bahkan merintih ketakutan saat mendengarnya. Untunglah dia tidak terbangun. Teddy menepuk-nepuk lengannya selayaknya bayi yang butuh keamanan. Dia terlelap kembali dalam mimpinya. Tangan kanan Teddy mulai tidak bisa menahan gejolak ini. "Ainaa.." Teddy memanggil
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.