Aina berkali-kali berteriak histeris di kamarnya. Suaranya sudah hampir habis.
Tidak ada seorangpun yang merespon karena semua anggota keluarganya pergi ke pesta pernikahan saudara sepupunya; Lisa.
"Tolonggg... tolooonggg..." Aina berteriak sekuat tenaga.
Dia tahu kalau suaranya tidak akan didengar oleh siapapun. Hujan deras dan petir sedari tadi menyambar tanpa henti. Ditambah lagi, jarak rumah dengan jalan utama sangatlah jauh. Tapi itu terus dia lakukan, dia berharap agar lelaki itu mau sadar atas apa yang akan dia lakukan pada Aina.
"Aina sayang... Diamlah.." Suara di balik pintu terdengar beringas.
"Jangan lakukan itu, Novan! Jangaann! Aku adalah adikmu, aku adalah saudaramu sendiri..." Aina tersedu-sedu mengatakannya.
Novan masih saja menggedor-gedor pintu dengan kuat. Engsel pintu sudah hampir terlepas. Getaran itu terasa hingga ke dinding sekitarnya.
Pintu jati berukuran tebal tak jadi halangan Novan untuk segera menikmati tubuh Aina yang sudah lama ia rindukan. Dan kesempatan langka seperti ini tidak akan disia-siakan olehnya.
"Ainaaa... ayo Sayang, buka pintunya..."
"Toloooonggg... tolooongg..." suara Aina makin parau. Entah sudah berapa lama ia main kejar-kejaran dengan Novan di rumah itu.
"Menyerahlah Aina, ayo buka pintumu untukku!"
Aina mencoba sekuat tenaga untuk menutup pintunya kuat-kuat, sayangnya kaki Novan sudah berhasil masuk ke dalam kamar, sehingga pintu kamar Aina sudah sedikit terbuka.
"Novan, demi Tuhan jangan lakukan ini. Aku sama seperti Elia, adik kandungmu...." Erang Aina dengan air mata yang berurai ke wajah ayunya.
"Kamu tahu Aina, aku sudah menyukaimu sejak lama. Sejak kita masih kecil..." Novan mengakui perasaan itu pada Aina, adik tirinya.
"Ayo, sekarang kamu mau lari kemana?" Melihat Aina tidak bisa kabur, Novan tampak semakin beringas dan bernafsu.
Dalam sekali pukulan, Novan berhasil mendobrak pintu kamar hingga akhirnya pintu terlepas dari kusennya.
Aina langsung lari menuju pojok kamarnya. Ia meringkuk ketakutan. Bulu kuduknya merinding. Dalam ketakutan ia memandang sekilas Novan yang sudah berubah bak serigala yang siap menerkam mangsanya.
"Bukalah kerudungmu Aina!" tangan Novan berhasil memegang dan mengusap kepala Aina.
Aina menghindarinya dan berusaha mengambil sesuatu di atas meja belajarnya. Satu demi satu benda ia raih dengan tangan kirinya.
Melihat Aina ketakutan, Novan hanya tertawa sinis. "Kamu tahu Aina? Kamu terlihat sangat cantik saat kamu ketakutan seperti ini. Jiwaku makin membara...."
"Pergi kamu Novan!" Aina melempar satu demi satu buku yang ia raih ke arah Novan. Ini adalah usaha terakhirnya untuk mempertahankan kehormatannya.
"Aina, Sayangku.... Dengarkan! Aku sangat menyayangimu, ayo bahagiakan aku malam ini sebagai laki-laki yang sangat menginginkan..."
Belum selesai Novan bicara panjang lebar, Aina meludahi Novan dengan perasaan jijik menguasai dirinya.
"Aina!!!" Novan naik pitam dan menjadi lebih membabi buta.
"Diam atau kau akan aku habisi malam ini!" Novan mendekati Aina dengan makin marah.
Tenaga Aina sudah hampir habis. Ia hanya bisa pasrah saat Novan akan membuka kerudungnya. Tetapi begitu Novan mendekatinya, Aina langsung memukulnya dengan lampu meja yang terletak tak jauh dari tangannya
PRAAKKKK!!
Novan meringis kesakitan sambil mengelus kepalanya. Pukulan itu cukup keras dan tiba-tiba. Lelaki itu kini mengaduh dan memegangi kepalanya yang berdarah.
"Ainaaaa, kamu tidak akan aku lepaskan!"
Aina yang ketakutan langsung keluar rumah. Ditatapnya langit yang masih berhiaskan gemuruh petir dan hujan yang deras. Dalam hati, Aina masih ragu-ragu apakah ia akan meneruskan rencananya untuk kabur dari rumah atau ia pasrah dijadikan mangsa oleh Novan.
"Ainaaaa... sini kamu!" sambil memegang kepala, Novan terus terhuyung berusaha berjalan untuk mengejarnya.
Aina tidak mempedulikan kondisi luar yang tengah hujan deras. Adanya petir dan hujan tidak membuatnya menyerah. Hanya satu keinginannya: selamat dari cengkraman Novan.
"Ainaaa!" Novan menyebut-nyebut namanya. Dia tak berani menyusul lebih jauh karena kepalanya semakin sakit.
"Aku harus pergi sejauh mungkin dari sini..." Gumam Aina sambil terus berjalan menembus hujan tanpa tujuan.
**
"Semua sudah siap?" Suara lelaki penuh kewibawaan bertanya pada bawahannya.
"Iya siap, Bos!" jawab anak buahnya.
Pria berkacamata hitam itu tersenyum tipis. Sesekali ia membuka ponselnya untuk melihat beberapa notifikasi.
"Ayo berangkat!"
Seketika gas mobil diinjak oleh sang supir. Mobilpun melaju di tengah guyuran hujan dan petir. Meskipun hujan dengan jalan yang menikung dan berkabut itu bukan halangan untuk mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Lagi-lagi sambaran petir membuat semua nampak seolah malam adalah siang hari.
"Bos, bagaimana jika jalanan terhalang pohon tumbang lagi?" Sang supir nampak khawatir.
Apalagi jalanan yang berkabut membuat jarak pandangnya semakin terbatas.
"Tidak usah takut, lanjutkan saja." Respon bosnya nampak santai karena sudah hapal medan jalan di luar kepala. Bahkan dia sesumbar bisa menyetir dalam keadaan mata tertutup sekalipun.
"Baik.." Sopir itu mengangguk.
"Hati-hatilah di tikungan tajam itu!" Kata Bos yang saat hujan dan kabutpun masih bisa mendeteksi tikungan tajam.
Sedangkan supir masih tetap dalam kecepatan tinggi tanpa mendengar kalimat bosnya.
"Hei, sudah kubilang jangan terlalu cepat di dekat tikungan jalan itu!"
"Baik, Bos." Jawabnya. Tapi itu sudah terlambat.
"Awaasss!!!" Bosnya berteriak karena melihat
Sedikit terlambat, namun sang supir menyadari ia hampir menabrak seseorang yang akan melintasi tikungan tajam.
BRUKK!
Seseorang tertabrak dan akhirnya jatuh.
"Johan! Lain kali dengarkan kataku..." Bos semakin marah karena kalimatnya tidak digubris. "Ah.. sialan kau Johan!"
Di tengah guyuran hujan deras, sang Bos membuka pintu dan melihat sosok yang terlentang di aspal. Seorang wanita yang memakai baju tergolek tak berdaya. Tanpa pikir panjang ia langsung menggendongnya masuk ke dalam mobil.
"Bos, kenapa dibawa masuk? Kenapa tidak dibiarkan saja, Bos?" Tanya Sopir yang kaget dengan perilaku bosnya.
"Sudahlah! Kasihan dia tergolek diguyur hujan begini. Cepat jalan!"
Lagi-lagi sang supir hanya bisa diam dan menyetujui semua perintah atasannya.
"Kita kembali ke rumah saja..." Sang Bos memutuskan untuk membatalkan rencananya dan kembali ke rumah. Padahal mobil sudah melaju selama tiga jam tadi. Rencananya berantakan tapi jiwa kemanusiaannya benar-benar tidak tega membiarkan perempuan itu terluka dan sendirian.
"Bagaimana keadaannya, Bos?" Tanya Sopir. "Apa dia masih hidup?"
"Sial.." Bos hanya menggerutu.
"Kenapa bos?" sang supir melirik ke belakang.
Perjalanan kembali pulang jauh lebih menegangkan daripada perjalanan ketika berangkat. Alam menjadi semakin ganas dan hujan benar-benar makin deras.
Johan tidak berani mengemudi dengan kecepatan tinggi lagi karena beberapa dahan sudah mulai tumbang ke jalan.
"Bos, ada pohon tumbang.. Bagaimana kalau kita pindahkan sebentar?"
Sebuah dahan pohon jati besar tergeletak di atas jalanan aspal. Lebih dari setengah jalan tertutup oleh dahan tersebut. Keduanya harus rela berbasah-basahan untuk memindahkannya.
"Kenapa dia tiba-tiba ambruk beginiii.." Si Bos kembali menggerutu karena melihat perempuan tadi tergeletak dan tidak lagi dalam posisi duduk.
"Pindahkan saja duduknya, Bos..." kata Johan sambil mulai menjalankan mobilnya. "Coba, itu... anu Bos, peluk saja dia biar tidak oleng lagi. Dia masih pingsan."
Dengan ragu-ragu, tangan kekar itu memeluknya dan menjaga agar posisi tubuhnya stabil.
"Bertahanlah.. kamu pasti kuat!" Berkali-kali sang Bos mengucapkan kalimat itu di dekat telinganya.
Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba ban mobil depan meledak. Mobil yang mereka tumpangi terseok di tengah jalanan. Johan berhenti untuk mengecek.
"Bos, ban mobil meledak... Kita harus menggantinya..." Ucapnya sambil menahan pedihnya air hujan yang menimpa matanya.
Keduanya mengalami kesulitan untuk mengambil ban serep di bawah mobil. "Bos, cepat lepaskan ban lama..."
Akhirnya ban terpasang lagi.
Saat mereka hendak melanjutkan perjalanan lagi, Bos terkejut karena mendapati denyut nadi perempuan itu semakin melemah. Dia khawatir kalau-kalau korban tabraknya ini meregang nyawa di dalam mobil.
***
"Bos, dia masih hidup.." Johan memberikan isyarat pada Teddy. Dia mengecek sekali lagi untuk memastikan keberadaan denyut nadinya.Dengan hati-hati aku mulai Teddy mendudukkannya di sebelahnya. Dia masih pingsan dan akhirnya rubuh. Dan pada akhirnya ia menyandarkan kepalanya di pundak Teddy."Johan, cepatlah!""Baik, Bos!"Johan memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Di sela-sela derasnya air hujan, akhirnya nampak istana besar Teddy yang menjulang. Mereka semakin dekat dengan rumah.Sesampainya di bawah atap carport, Teddy segera menggendong Aina masuk. Johan nampak keheranan. Mungkin dia teringat adegan film Korea. Teddy mengisyaratkan kalau perempuan ini bukan tipeku,dia alergi dengan wanita religius begini."Asiihh, buka pintunya!" Panggil Teddy dengan suara nyaring.Tidak butuh waktu lama pintu sudah terbuka lebar. Orang-orang yang tinggal di rumah keheranan melihat Teddy menggendong seorang perempuan basah kuyup."Asih, cepat ganti baju wanita ini. Aku tidak mau dia mati kedingi
"Tuan.." Bik Asih memasuki sebuah ruangan kerja dengan ragu.Aina sendiri tidak paham siapa yang berada di balik kursi besar yang menghadap ke jendela. Dia masih asyik berbincang dengan seseorang di seberang sana."Kita tunggu dulu, jangan duduk.."Aina kembali berdiri di samping kursi."Oke, deal. Aku akan mengirimkan barangnya malam ini. Siapkan saja uangnya!" hanya itu yang bisa Aina dengar dengan jelas.Perlahan ia membalikkan kursi kulit warna cokelat gelap dan melihat tepat kepadanya."Asih, ada perlu apa?"Laki-laki itu memandang Aina dari atas sampai bawah seolah Aina adalah sesosok hantu yang baru muncul di malam hari,"Tuan, Mbak Aina sudah sehat." Bik Asih berkata padanya mengabarkan keadaan Aina."Siapa Aina?" Dia bertanya dengan tatapan mata tajam."Saya Aina, Pak..." Kataku.Aina asal bicara saja dengan memanggilnya "pak". Yang ia tahu pria itu bernama ET, entah kepanjangan apa ET itu. Beberapa orang yang Aina temui menyebutnya dengan Tuan ET. "Asih, ajari dia. Jangan m
"Assalamualaikum..."Semua yang berada di rumah nampak terkejut melihat kedatangan Aina. Terlebih Novan dan ibu tirinya."Darimana saja kamu menghilang? Kamu pulang setelah meninggalkan rumah berhari-hari, apakah kamu pergi dengan lelaki yang kamu bawa ke rumah malam itu?" Ibu tirinya langsung menyambut dengan omelan panjang."Biarkan dia duduk..." Ayah Aina menatap dengan tatapan yang marah."Ayah, Aina bisa menjelaskan..." Kata Aina."Benarkan om, dia pergi dengan lelaki itu... Pacarnya..." Novan memotong pembicaraan dan mengucapkan tuduhannya."Ayah, Demi Allah! Aina tidak punya pacar... Malam itu dia...." ketika Aina mulai menunjuk Novan, ibu tirinya malah memojokkannya."Apa-apaan kamu menuduh ponakanku yang tidak-tidak, kamu tahu kan Novan itu pendidikannya tinggi. Dia kuliah S2 di luar negeri dan sudah lama bekerja di sana." Katanya."Lagipula, lihat dirimu, kamu ini pernah mondok di pesantren kan sebelum kuliah? apa jadinya? Cuma kedok saja pakai kerudung tapi masih juga berma
"Akhirnya setelah kabur, kamu kembali juga pulang ke rumah barumu!" Teddy membukakan pintu depan.Aina mengira pukul sepuluh malam begini Teddy masih asyik dengan dunia luarnya seperti biasa, tapi justru malam ini dia sudah ada di rumah."Aku tidak kabur." Jawab Aina sambil tetap mempertahankan dignity-nya sebagai perempuan. Aina tak mau terlihat lemah."Tapi kamu ditolak oleh keluargamu, bukan?" Kata-katanya membuat hati Aina semakin sakit.Bagaimanapun gara-gara lelaki ini Aina diusir dari rumah. Novan rupanya tahu kalau Aina masuk ke mobil laki-laki asing."Asih, anakmu sudah pulang!" Teriak Teddy pada Bik Asih yang tak berapa lama kemudian menyambut kedatangan Aina."Astagaa, kamu pergi kemana? Pak Eko dan Hana mencarimu kemana-mana sampai bingung. Tuan ET juga langsung pulang saat kami bilang kamu hilang. Bibik mengkhawatirkan keselamatanmu!" Bik Asih terlihat lega."Tidak apa-apa Bik, aku cuma jalan-jalan dan tersesat saja." Aina sengaja mengarang cerita."Lain kali kalau mau ja
Teddy terus memandangi sebuah ponsel warna hitam yang tergeletak di meja kerjanya. Mana mungkin Aina bisa menemukannya. Teddy sangat yakin pasti ia tidak menyadari jika benda berharga miliknya jatuh ke tangannya. Asalkan ia berdiam diri, tidak ada seorangpun yang akan mencurigainya."Hmmm.. akhirnya aku bisa menemukan rahasiamu..." Sambil membuka-buka isi ponsel Aina, Teddy menyeruput kopi yang sudah terhidang di meja.Kriingg..kriiing...Tiba-tiba seseorang menghubunginya. Nomor yang tidak dikenali."Halo..." Suara di seberang sana.Teddy terdiam dan masih enggan menjawab."Hei, ET. Serahkan wanita itu atau kau akan menanggung akibatnya...""Huh, tidak akan..." Jawab Teddy singkat.Teddy masih bertanya-tanya wanita mana yang dia maksud. Apakah Monika, Jessie, Mila? Atau ada wanita yang lain yang dia maksud?"Jangan pura-pura bodoh! Serahkan Aina padaku..."Seketika Teddy terkejut, bagaimana bisa ada orang luar yang mengetahui keberadaan Aina di tempatnya?"Aku tidak mengenali Aina, s
Teddy menyaksikan Aina yang terbangun, Bik Asih rupanya mengamati Tedyy dengan tatapan yang aneh. Kalau bukan bos-nya, mungkin Teddy sudah dihajar malam ini juga."Tidak ada yang masuk Aina..." Bik Asih menjawab sambil tetap memperhatikan gerak-gerik bosnya. Tatapannya terlihat sinis dan mengintimidasi. Seolah lelaki itu adalah laki-laki jalanan yang melakukan perbuatan kurang ajar pada anak perempuannya.Dari tadi Teddy masih terdiam. Aina seolah masih berada di antara alam mimpi dan nyata.Tanpa pikir panjang Teddy langsung bergegas menuju tangga. Ia membiarkan Bik Asih dan Aina masuk ke dalam kamar lagi."Huffhh..." hampir saja Teddy tertangkap basah.Tapi, bukankah sangat menantang jika masuk mengendap ke kamar wanita tanpa sepengetahuannya. Terlebih jika ia tak sadarkan diri. Teddy bisa berbuat yang lebih lagi.Senyum licik Teddy mulai mengembang. Jiwanya tidak puas jika hanya memegang atau mengelus rambutnya."Mungkin besok aku akan melakukannya lagi.." Gumannya.**"Bik Asih, s
Johan terlihat mondar-mandir sejak pagi. Biasanya dia akan datang ke rumah sekitar pukul enam pagi. Lain dengan hari ini, ia sudah datang di pagi buta."Johan, ngapain kamu datang pagi-pagi? tumben sudah bangun..." Kata Teddy sambil merentangkan kedua tangan."Bos, saya ada perlu..." tidak biasanya dia sedikit malu untuk mengungkapkan sesuatu. "Saya mau mencari..."Matanya bergerak-gerak melirik ke arah dalam rumah."Apa dia mencari sesuatu?" batin Johan."Monika tidak ada di sini..." jawab Johan seketika.Raut mukanya berubah. Sepertinya salah tebakan Teddy."Aina.." Satu nama yang keluar dari mulutnya membuat Teddy nampak tidak senang,"Kenapa dengan Aina? Dia baik-baik saja sepertinya." Teddy pura-pura tidak mengetahui tentang apa yang terjadi.Tiba-tiba Johan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru berwarna merah. "Apa isinya?" tanya Aina lagi."Ah bukan apa-apa, Bos... sebentar..." Dia mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi seseorang.***"Johan??" Aina
Aina masih belum bisa mengerti mengapa Johan rela melakukan hal yang menjijikkan. "Aina aku bisa jelaskan semuanya..." Johan mengiba untuk didengarkan. Aina menolak. "Aku tidak mau berteman dengan orang munafik sepertimu Johan..." "Aina aku tidak minum sama sekali..." Johan berusaha menjelaskan. "Dan wanita-wanita itu?" Aina berhenti sejenak dan memberinya tatapan mata tajam. "Aina, mereka hanya teman-temanku... Merekaa...." Suara Johan agak lirih. "Mereka teman-teman kencanmu, yang dengan bebas kau apa-apakan. Bagaimana bisa teman berciuman dengan teman? Sudah. Biarkan aku pergi..." Aina melenggang meninggalkan tempat terkutuk itu. Ditepisnya berkali-kali tangan Johan yang ingin membuatnya berhenti. Melihat pertikaian Aina dan Johan, Teddy hanya tersenyum. Sebuah rencana besarnya telah berhasil. Beberapa kali Aina sempat berteriak agar Johan menjauhinya. "Aina, aku bukan pemabuk! Aku hanya dijebak. Aku tidak ikut minum-minum, sumpah... Aku tak pernah minum lagi. Tadi mereka
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.