Laysa melirik ke arah Gavin
Sayangnya, Gavin justru terlihat santai. Bahkan, pria itu kini berkata penuh penekanan, “Sudah kukatakan, bukan? Laysa adalah calon istriku.”
Laysa lalu mengeratkan genggamannya di tangan Gavin, mengisyaratkan rasa tidak nyaman. Merasakan itu, Gavin hanya menghela napas panjang.
“Gavin!” Suara Laura mengeras, sambil menangis dia menghampiri Anne lalu memegang tangan wanita paruh baya itu, seolah mengadu. “Bagaimana ini Mommy? Gavin sudah mempermainkanku. Apa salahku padanya?”
Raut wajah Anne semakin merah padam akibat emosinya yang mulai naik. “Bisa-bisanya kau melakukan ini setelah semuanya, apa kau sudah gila?!”
“Hahaha....” tawa Gavin sebelum kembali berkata, "Apakah menikahi gadis yang kuinginkan adalah suatu hal yang gila?'
“Kau—“
Belum sempat Anne berbiacara, Alex--ayahnya--langsung menyela, “Kau harus menjelaskan ini pada daddy, Gav. Kalau tidak, kau akan mendapat hukuman atas permainanmu ini.”
Aura dominasi memancar dari pria tua itu. Dia menatap datar ke arah Gavin dan Laysa, seakan mengisyaratkan apa pun bisa terjadi sesuai kehendaknya. Termasuk, mempertaruhkan masa depan Gavin jika putranya itu memberi jawaban yang tidak sesuai keinginannya.
“Ini bukan sebuah permainan, Daddy. Laysa adalah satu-satunya gadis yang tidak hanya berhasil memikatku, dia juga bisa meyakinkanku bahwa di dunia ini masih terdapat orang yang tulus mencintaiku apa adanya,” bohong Gavin.
Laysa begitu takjub mendengar betapa lancarnya Gavin bertipu muslihat di depan orang tuanya. Bahkan, Gavin menatapnya mesra seakan keduanya sepasang kekasih yang saling mencintai. Jika saja Laysa tidak tahu kebenarannya, bisa saja perempuan ini jatuh pada kebohongan pria ini.
Berbeda dengan Laysa, kedua orang tua Gavin terlihat masih tidak bisa menerima pernyataan Gavin. Mereka tidak tahu asal-usul Laysa.
Anne bahkan terus saja memandang rendah Laysa. “Tidak ada yang tulus menerimamu kecuali Laura, Gav. Mommy bertaruh bahwa dia pasti hanya mengincar hartamu!”
“Sudah seharusnya wanita menilai dari harta yang dimiliki kekasihnya. Mereka berpikir realistis karena tidak hanya memikirkan dirinya sendiri saat sudah menikah. Bukankah Momy juga begitu?” ujar Gavin enteng.
Lelaki itu tampak tenang menghadapi kedua orang tuanya. Tanpa disadari, Laysa yang di sebelahnya sudah pucat pasi karena semakin tertekan. Dia ketakutan kalau-kalau tidak bisa berbuat banyak untuk Gavin atas keterbatasannya ini.
“Kau benar-benar sudah dewasa, ya? Apa begitu besar pengaruh gadis ini untukmu?” tanya Alex dingin.
Namun, Gavin hanya diam saja.
“Gavin!” teriak Anne.
[ Sudah cukup! Jangan diteruskan lagi, tolong berhenti bertengkar karena aku! ] Laysa menggerakkan jemari-jemari lentiknya, berusaha berkomunikasi dengan mereka.
Namun, sepertinya dia sudah salah mengambil tindakan. Hanya Xavier–saudara kembar Gavin–yang mengerti bahasa isyaratnya.
Sisanya, tidak ada yang mengerti maksudnya.
Bahkan, terlihat keterkejutan di mata orang-orang tersebut: “Perempuan pilihan” Gavin ternyata bisu!
Anne mendadak hilang kesabaran. Perempuan itu berdiri menatap tajam Gavin dan Laysa.
“Kau mau menikahi gadis bisu ini, Gavin?! Keterlaluan! Apa yang ada di pikiranmu itu?!” Siapa pun tahu, bahwa perempuan itu sudah sangat marah.
Astaga! Laysa mulai panik, sesekali dia melihat ke belakang, mereka yang berada di sana masih menatap kesal disertai pertengkaran yang tidak bisa dielakkan. Sementara, Gavin terus menggenggam tangannya begitu kuat.
“Jangan hiraukan mereka!” bentak Gavin karena Laysa berusaha keluar dari genggamannya.
Pada akhirnya, Laysa hanya tertunduk takut meski sebenarnya dia merasakan nyeri di pergelangan tangannya.
****Laysa terkejut saat Gavin menarik paksa dirinya dari kediaman keluarga pria tersebut. Namun, dia lebih terkejut lagi mengetahui bahwa Gavin membawa dirinya ke tempat hiburan malam yang ramai diperbincangkan kalangan atas.
Sungguh, Laysa merasa tidak nyaman!
Datang ke tempat maksiat ini, hanya mengingatkannya akan dirinya sebelum bertemu Gavin. Saat itu, banyak lelaki yang menginginkan Laysa terbaring di tempat tidur tanpa pakaian.
Tidak! Itu tidak boleh terjadi lagi.
Laysa ingin sekali pergi dari sini, berlari bahkan kabur jauh menghindarinya, tapi genggaman tangan Gavin sangat erat mengajaknya berjalan melewati kerumunan orang.
[ Jangan bawa aku ke sini, tolong. Aku ingin pulang, Gav. ] Laysa akhirnya memohon kepada Gavin dengan cara memegang lengan lelaki itu, menatapnya penuh berharap Gavin akan mengerti keadaannya.
Sayangnya, Gavin malah menatap Laysa tajam. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan perempuan itu.
“Jangan menatapku seperti itu, kau akan lebih aman bersamaku."
Lelaki itu kemudian mengusap wajah kasar.
Saat melihat kursi kosong di sebuah tempat, dengan cepat, dia menarik lengan Laysa untuk mengajaknya duduk di sana. Meski Gavin tahu Laysa terpaksa mengikutinya, dia tidak peduli. Sebab di rumah, si brengsek Xavier akan terus menggoda gadis ini tanpa sepengetahuannya.
Gavin pun memesan minuman untuk dirinya, lalu mengecek ponselnya sebentar.
“Sepertinya, kita tidak akan pulang malam ini.”
[ Apa? Kenapa?! ] Laysa bertanya-tanya dari raut wajah terkejutnya saat menatap betapa santainya Gavin mengucapkan hal itu.
Namun, Gavin tidak memberi sepatah kata pun hingga minuman pesanannya datang. Jangankan rasa takut Laysa, lelaki benar-benar tidak mengerti saat Laysa berbicara padanya dalam bahasa isyarat.
Laysa akhirnya terpaksa hanya menemani Gavin. Dia tidak ikut meminum alkohol atau makanan apa pun.
Benar-benar, hanya menyaksikan lelaki yang tengah menghadapi sebuah masalah besar itu. Ya, Laysa berpikir demikian karena teringat pertengkaran Gavin dengan ibunya.
Untuk menghindari rasa bosan, Laysa memegang liontin peninggalan orang tuanya dan menatap foto kecil dalam kalung liontin itu.
“Momy dan daddy,” batin Laysa, “Mereka pasti menginginkan aku hidup dan menemukan kebahagiaan suatu hari nanti, walau entah kapan itu.”
Perempuan itu tanpa sadar menghela napas.
Namun, saat kembali menoleh ke arah Gavin, Laysa begitu terkejut melihat keadaan pria tersebut.
[ Sudah cukup, Gav! Kau sudah mabuk. ] Laysa memberi isyarat dengan menahan pergerakan tangan Gavin yang memegang gelas berisi minumannya.
Sayangnya, Gavin yang sudah dipengaruhi alkohol, justru menepis tangan Laysa. Dia tetap menenggak minumannya sampai habis.
Laysa kembali terdiam. Namun, tangannya sibuk merogoh tas dan mengeluarkan sebuah buku serta pulpen, berharap pria itu dapat memahami maksudnya.
Malangnya, Gavin malah membuang bukunya saat tulisan itu selesai.
[ Kau membuang bukuku? Bagaimana nanti kita bisa berkomunikasi? ] Laysa marah dengan bahasa isyaratnya.
Tidak peduli apakah pria angkuh dan keras kepala itu mengerti, Laysa terus menggerutu.
Segera, perempuan itu lalu beranjak dari kursinya, hendak mencari buku yang dilempar Gavin. Dia malu kalau harus meminta tolong kepada asisten Gavin. Terlebih, hanya untuk membeli buku baru.
“Di mana bukunya? Dia benar-benar lelaki paling menyebalkan. Kenapa aku harus terikat dengannya?” Laysa membatin sambil terus mencari bukunya yang hilang di antara kerumunan orang.
Beberapa orang melihatnya dengan heran. Namun, Laysa tidak peduli dan terus melangkah, sampai dia melihat bukunya tergolek di samping kaki seorang lelaki.
Laysa pun segera menyambar buku itu dengan senyum lebar.Sayangnya, itu hanya berlangsung sesaat karena lengannya tiba-tiba digenggam erat oleh seseorang.
“Kita bertemu lagi, Manis.”
Tubuh Laysa merinding ngilu. Lelaki paruh baya gemuk ini adalah Lucas, si genit pelanggan tetap hiburan malam yang tidak henti menggodanya.
“Gavin!” Hanya nama pria itu yang dapat diteriakan Laysa dalam hati. Tidak! Apa yang harus dilakukannya sekarang? Laysa merasa terjebak keadaan yang sangat sulit.
“Kau terlihat semakin menarik, apa ada yang sudah membeli tubuhmu ini?” Lucas kembali berbicara. Kali ini, jelas sekali dia menyelipkan hinaan di perkataannya. Mendengar ucapan Lucas, rasa takut dalam tubuh Laysa berganti menjadi amarah. Plak! Sebuah tamparan keras dilayangkan Laysa di pipi lelaki itu. “Kau masih saja seperti anjing liar. Tapi, aku malah semakin tertarik. Itu membuatku sangat penasaran denganmu.” Lucas menyeringai lebar sambil memegang pipinya. Ditariknya lengan Laysa agar mengikuti langkahnya. Sungguh, dia merasa tertantang dengan perempuan ini? Sementara itu, Laysa yang tidak bisa berbicara itu pun, hanya bisa berontak keras. Sayangnya, tak ada satu pun yang menolongnya. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, termasuk Gavin yang keberadaannya cukup jauh dari tempat Laysa berdiri. Tubuh Laysa ditarik tak tentu, sampai dirinya mendapati bahwa mereka telah keluar tempat hiburan malam tersebut. Melihat Lucas yang tidak waspada seperti sebelumnya, Laysa me
Dugaan Laysa tepat sasaran. Saat Gavin tersadar dari mabuknya, dia begitu marah saat menyadari Laysa tidak terlihat di mana pun. Dia bahkan memeriksa rekaman cctv di sekitar area tempat hiburan malam hingga tempat parkir. Namun, yang ditemukan hannyalah Laysa begitu ketakutan diseret paksa oleh seorang lelaki tidak dikenal. Gavin marah sekali mengetahui gadisnya dibawa oleh orang asing. Terlebih, saat melihat Xavier datang menyelamatkan Laysa semalam, tetapi tidak mengabarkan apa pun padanya. “Di mana pria itu, Derry?” tanya Gavin kepada asistennya ketika mereka menuju ke sebuah bar–tempat Lucas berada. Gavin dipenuhi emosi dan ingin menyiksa lelaki bertubuh gempal tersebut. Saat menemukan Lucas tampak duduk di sebuah sofa dan bersenang-senang bersama kawannya, Gavin semakin emosi. “Seret dia ke hadapanku!” perintah Gavin segera pada beberapa bodyguard yang sengaja diajaknya. Mereka langsung mematuhi perintah Gavin. Lucas ditarik paksa dari sofa, hingga tidak bisa banyak
Laysa belum berhenti menangis, tetapi dia tetap berusaha membuka lembaran bukunya dengan satu tangan lain untuk menunjukkan sesuatu kepada Gavin. [ Hidup dan tubuhku sudah menjadi milikmu, bahkan aku tidak bisa memikirkan hidup di luar sana lagi karenamu. Jika aku diberi dua pilihan sekali pun, aku akan kembali padamu. Karena hidup denganmu lebih baik dari pada menyodorkan nyawa dengan percuma di luar sana. ] Seketika semua terasa hening. Gavin yang semula ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar dengan kemarahan terbesarnya, mendadak luluh setelah membaca isi tulisan buku Laysa. Gadis itu putus asa, Gavin tahu. Namun, yang membuatnya tersentuh adalah ketika Laysa mempercayakan hidupnya secara tidak langsung. “Derry, tolong tunggu di luar.” Gavin memberi kode kepada Derry, hingga lelaki itu mengerti dan meninggalkannya berdua saja bersama Laysa. Gadis itu masih tampak menangis. Sisa-sisa ketakutan terlihat jelas di depan mata. Gavin pun melonggarkan pegangan tangannya, lalu m
Laysa telah kembali dan segera menyerahkan minuman yang diteguk cepat oleh Gavin.Anehnya, pria bertampren itu tiba-tiba melempar gelas ke lantai. Tatapan datarnya seakan meluapkan kekesalan. "Kenapa Gavin mendadak berubah begini? Kesalahan apa yang kulakukan?" batin Laysa.[ Kenapa kau melihatku begitu? ] Laysa akhirnya menggunakan bahasa isyaratnya. Dia tidak sempat mengambil buku di atas tempat tidur. Toh, Gavin akhir-akhir ini mulai memahami ucapannya. Entah dari mana pria itu belajar....“Apa yang kau lakukan kemarin dengan Xavier, apa dia menyentuhmu?” tanya Gavin pada akhirnya. Meski Laysa berada di genggamannya, entah kenapa dia selalu mengingat perempuan ini sempat berada di kediaman Xavier. Ini bukan rasa cemburu. Ini seperti merasa tidak rela barangmu disentuh oleh orang lain.Ya! Itu lebih tepat.Gavin lalu menatap tajam perempuannya itu.Tentu saja, Laysa langsung menggelengkan kepala. Dia benar-benar tidak berbuat apa-apa. “Jangan membohongiku!” Suara Gavin mengeras,
Gavin lalu mencengkeram kasar tangan gadis itu, lalu berbisik, “Berani sekali kau menamparku! Ingatlah, kau hanya seorang gadis yang kubayar, Lays. Tidak lebih dari itu! Kau harus menyadari di mana menempatkan posisimu walau kita akan menikah.” Ucapannya tersebut sudah cukup membuat tekanan yang dialami Laysa semakin dalam. Dia menangis tersedu-sedu, meratapi kehidupannya yang tidak pernah bertemu dengan bahagia. Gavin pun melepas cengkeramannya cukup keras, hingga tubuh Laysa terempas ke kasur. Kemudian beranjak dari sana dengan angkuh dan tidak memedulikan apa pun tentang Laysa. Gavin sangat kesal, karena ternyata gadis itu sama seperti gadis kebanyakan yang mudah terlena dengan uang dan fisik seorang lelaki. *** Sebelum Gavin pulang ke rumah, semuanya terlihat baik-baik saja. Suasana hatinya selalu baik, apalagi ketika membaca tulisan pengakuan dari Laysa. Dia pikir, rencananya akan berjalan dengan lancar, mendapatkan seorang istri yang mudah disetir ke arah mana pun tanpa
Seketika Gavin teringat lagi saudara kembarnya. Pasti ini adalah ulah Xavier yang sengaja mengundang mereka ke sini. “Tidak perlu. Aku akan menemui mereka,” ujar Gavin. “Tapi, Tuan. Itu sangat berisiko tinggi untuk Anda.” “Aku bisa mengatasi ini, Derry. Siapkan saja mobilnya di depan.” Gavin membenarkan jas hitamnya, lalu berjalan tegas menuju area luar rumah sakit tempat para awak media itu berada. “Baik, Tuan.” Derry pun segera melaksanakan perintah tuannya, seraya mengikuti langkah Gavin dan Laysa. Namun, hati lelaki tua itu tak terlalu tenang. *** “Apa Anda bisa menjelaskan kedatangan Anda ke rumah sakit ini, Tuan?” tanya salah seorang dari media massa. Laysa dan Gavin seperti semut yang disodorkan makanan manis. Ada banyak kamera, begitu pun pertanyaan untuk keduanya. “Lalu siapa gadis yang ada di samping Anda ini? Apa benar dia adalah calon istri Anda?” tanya yang lainnya. “Saya hanya mengantarnya memeriksa kesehatan,” jawab Gavin. “Ya, dia adalah calon istri saya. Kal
“Tapi yang aku cintai itu kamu, Gav! Mana bisa aku mencintai lelaki lain walau wajah kalian serupa? Dia bukan dirimu,” sela Laura dengan tegas. “Apa yang kau cintai dari diriku?” “Semuanya, semua yang kau miliki.” Laura menjawab pertanyaan Gavin secepatnya. “Tapi yang kumiliki hanya harta dan kekuasaan, itu artinya kau tidak benar-benar mencintaiku.” Gavin tersenyum miring, seakan puas telah menjebak Laura dengan pertanyaan tersebut. “Gavin—“ “Gadis yang ingin kau nikahi sekarang adalah seorang cacat, Gav! Dia bahkan tidak bisa berbicara, atau membela dirinya lagi. Apa yang kau banggakan darinya? Cinta saja tidak cukup, dunia kita bukan untuk main-main. Momy membutuhkan menantu yang bisa mengimbangi keluarga kita dalam segi apa pun,” sela Anne yang masih penasaran dengan keputusan putranya. Ucapan Anne membuat Gavin geram. “Apa salahnya jika dia cacat? Apa dia tidak berhak memiliki cinta dariku?” “Omong kosong apa yang kau katakan ini?!” Mendadak suara Anne mengeras, menatap Ga
“Kalau kau bersedia, aku akan menikahimu dan kau akan mendapat kedudukan yang sama dengan Laysa. Hanya saja, tidak akan ada pernikahan mewah di antara kita berdua. Kau dan aku hanya akan mendatangkan saksi secukupnya, bagaimana?” “Apa kau tidak pernah memikirkan perasaanku, Gav? Selama ini aku selalu saja menuruti keinginanmu, tapi sekarang kau malah menawarkan sebuah jurang untukku. Bagaimana bisa aku menerima ini?” ujar Laura. Gavin mendengar suara gadis ini tidak lagi sekeras sebelumnya, menggantikan itu dengan untaian kalimat kekecewaan disertai pertanyaan untuk Gavin sendiri. Apa Gavin tersentuh? Sungguh, dia bukan seorang yang mudah ditaklukkan menggunakan sebuah kalimat indah apalagi sederhana, lemah lembut, atau pelan bahkan kasar sekalipun. Sekalinya dia berkeyakinan tidak, itu adalah keputusan akhir tanpa ada yang bisa mengusiknya. “Kalau kau ingin berada dalam pikiranku, jadilah seperti apa yang kuinginkan,” ujar Gavin pelan dan menegaskan kembali perkataan sebelum-seb
“Maafkan aku karena terus merepotkanmu dalam segala hal. Padahal kau sangat tulus membantuku,” ujar Laysa melalui gerak jemarinya di depan kamera layar ponsel. Dia mencoba berbicara kepada Xavier yang menelepon kembali untuk memastikan apa Laysa sudah matang dengan keputusannya.“Kau tahu tidak ada orang tulus di dunia ini, Lays? Aku melakukannya karena aku menyukaimu, aku berharap bisa menjadi bagian dari hidupmu setelah kita saling mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi faktanya kau memilih kembali bersama Gavin, sudah jelas aku sedang patah hati sekarang,” ujar Xavier.Laysa terdiam, sekilas dia menoleh ke arah Gavin yang sudah terlelap bersama mimpinya. Dia tetap tidak bisa melihat lelaki lain selain Gavin, hanya Gavin yang ada dalam hati dan pikiran seorang Laysa Florensia. Entah kenapa hal itu bisa terjadi, padahal hanya sedikit kebaikan Gavin yang dia ingat. Namun, Xavier? Mungkin saja kebaikannya tidak pernah terhitung, mereka pun bisa saja saling mel
“Aku tidak mati, Lays. Kenapa kau menangis begini?” tanya Gavin lagi seraya mengusap punggung Laysa, lembut. Kalau Laysa bisa berbicara, mungkin dia akan langsung menjawab pertanyaan Gavin. Faktanya, wanita itu membutuhkan waktu untuk menulis pada sebuah buku kecil yang sering dibawanya ke mana-mana.“Teganya kau berkata begitu, dasar boddoh!”Gavin tersenyum kecil melihat umpatan Laysa pada bukunya. “Lihatlah siapa yang mengomel ini, hmh?” Dia merapikan rambut Laysa yang sedikit berantakkan saat berbicara.Laysa ingin memukul dadda Gavin, tetapi terhenti karena mengingat sakit yang lelaki itu alami. Setelah Laysa cukup tenang, Gavin baru menggenggam tangannya agar mereka bisa berbicara lebih nyaman.“Aku pikir kau tidak akan kembali padaku, Lays. Kau selalu mengatakan bahwa kau menderita selama berada di dekatku. Ini seperti sebuah keajaiban untuk orang sepertiku yang telah banyak melakukan kesalahan padamu,” ujar Gavin bernada lembut.
“Biarkan saja, aku tidak pernah peduli. Mereka malah menguntungkan buatku, karena dengan begini, Laysa akan tahu kalau aku semakin dekat dengan Gavin.”Laura mendekat ke arah Gavin, lalu menyentuh wajah pucat lelaki yang kerap menolak keberadaannya itu. Dia langsung berangkat dari rumah saat mendengar Gavin masuk rumah sakit. “Biarkan momy yang mengurus wanita itu, Laura. Kau fokus saja kepada Gavin. Dulu dia pernah menyukaimu, sekarang pun dia akan menyukaimu lagi jika kau terus berada di dekatnya,” ujar Anne.Laura hanya mengangguk pelan.“Jangan menyentuh wajahku, karena aku tidak mengizinkannya.”Laura dan Anne menoleh bersamaan saat suara pelan Gavin mencuat. Lelaki itu bahkan sudah membuka kedua mata seraya menyingkirkan tangan Laura dari wajahnya.“Kau sudah bangun, Gav. Sejak tadi momy ada di sini dan mengkhawatirkanmu, kau hampir saja membuat momy mati dengan keadaanmu sekarang,” ujar Anne. Dia tersenyum saa
“Kau berpikir begitu?”“Karena kau adalah seorang yang sama licik sepertiku, aku bisa melihatnya kalau kau ikut campur atas tersebarnya berita ini.” Gavin mencengkeram kerah kemeja Xavier, tetapi saudaranya itu tampak tidak terpengaruh.“Kalaupun itu tanggapanmu, terserah. Yang jelas kau tidak akan pernah berhak menentukan hidup Laysa lagi, kau akan hancur karena keserakahanmu, Gav. Sayang sekali kau telah menyia-nyiakan berlian demi batu kerikil.”Xavier berkata, sesudah itu menyingkirkan cengkeraman Gavin dengan tenaga sedikit kuat. Setelahnya, dia pun menggenggam tangan Laysa terang-terangan di hadapan Gavin agar dia bisa melanjutkan rencana seperti pada awalnya, yaitu membawa Laysa pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan seluruh pemberian Gavin.Debar jantung Laysa semakin kencang, melihat Gavin juga memegang lengannya agar Xavier tidak bisa membawanya dari sana. Dia sangat takut dua bersaudara itu akan berkelahi karenanya lagi.
Setelah hampir satu jam aktivitas siang mereka. Napas Laysa masih sedikit terengah karena Gavin sudah mendapat apa yang diinginkannya. Bahkan lelaki itu belum mau menjaga jarak dari Laysa dan memilih merapatkan tubuh mereka selama mungkin di atas tempat tidur. “Kau masih sama seperti saat kita sering melakukannya. Aku berharap ada bayi kecil yang tumbuh dari rahimmu secepatnya setelah ini,” puji Gavin seraya mengeccup bahu polos Laysa dengan lembut. Laysa menggeliat kecil menyingkirkan bibbir Gavin darinya. Dia kesal karena lelaki ini terus saja semena-mena terhadap orang lain. Padahal Laysa berencana ingin mengakhiri ini, lalu bagaimana jika dia hamil lagi? Musnah sudah kesempatannya menghindari Gavin. “Jangan menghindariku, Laysa.” Gavin sedikit bergerak untuk mengarahkan tubuh Laysa padanya. Dia pun berada tepat di atas tubuh wanita itu agar lebih mudah baginya mendapat jawaban dari Laysa. “Aku sudah tahu penyebab kita kehilangan anak,
Laysa duduk termenung seraya memperhatikan berita di sebuah acara televisi. Di sana, dia dapat melihat para wartawan sedang mendatangi rumah Gavin dan mencari informasi yang ingin mereka dapatkan. Namun, sepertinya usaha mereka hanya sia-sia saja karena Gavin tidak muncul sama sekali.Orang-orang di rumah Gavin menutup akses, bahkan pihak rumah sakit yang menangani Laysa hanya bicara seperlunya saja. Gavin tampak tertutup dan tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik kali ini.“Aku harus cepat pergi dari rumah ini, aku tidak akan pernah bisa melupakannya jika seperti ini terus.” Laysa bergumam dalam hati. Rumah yang ditempatinya sekarang masih milik Gavin, itu artinya mereka masih bisa bertemu suatu hari nanti, atau secepatnya. Walau beberapa minggu ini Gavin tidak memunculkan batang hidungnya di hadapan Laysa, kemungkinan itu masih bisa terjadi. Laysa tidak ingin perasaannya berubah lagi, rasa cinta yang hanya tinggal sedikit ini tid
Beberapa minggu setelahnya.“Di luar banyak sekali media massa, Tuan. Mereka sepertinya masih penasaran tentang kabar Nona Laysa saat ini, apa Tuan mau menemui mereka?” tanya Derry kepada Gavin yang tengah duduk di kursi depan meja kerjanya.Sebenarnya, Derry sangat ragu menemui Gavin sekarang. Sebab tuannya itu tidak sedang bekerja meskipun dia berada dalam ruang khusus tempat biasa Gavin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Gavin yang sekarang, tengah menghadapi kesulitan mengendalikan emosi dan perasaannya sendiri.Gavin sudah tidak memedulikan pakaiannya yang tidak ganti sejak semalam, beberapa botol minuman beralkohol tergolek di meja hingga lantai, bahkan yang terparah ... Gavin mengabaikan pekerjaannya sehari semenjak Lays meninggalkan rumah.Derry yang bertanggung jawab atas semua kekacauan itu. Sampai hari ini, media massa datang dan membuat berbagai macam pendapat hingga berita tentang pernikahan Gavin dan Laysa, itu seperti bo
Sampai pagi tiba, Laysa akhirnya hanya berbaring di tempat tidur setelah haus di tenggorokannya hilang seketika saat mengingat ciumman Laura kepada Gavin. Kalau kemarin-kemarin dia hanya mendapat kabar mereka berdua berada dalam satu kamar dan bisa melakukan apa saja sesukanya, sekarang pemandangan mengerikan itu terlihat nyata di depan mata.Hati Laysa rasanya semakin hancur, rasa sakit yang ditimbulkan oleh cintanya sendiri benar jauh lebih besar ketika melihat Gavin bersentuhan dengan wanita lain selain dirinya. Walau lelaki itu sangat kasar, arogan dan egois, cinta yang dimiliki Laysa masih ada, mungkin tinggal setengahnya, atau bisa semakin pudar jika hatinya terus-menerus dilukai seperti ini.“Aku mencintaimu, Laysa!”Mendadak teriakan Xavier terngiang di telinga Laysa, berikut wajah lelaki yang sangat menyerupai Gavin itu.“Tidak, tidak ada lelaki baik di dunia ini kecuali ayahku. Mereka semua sama, aku tidak boleh terjebak lagi.” L
“Sedang apa dia? Kenapa dia tidak menjawab panggilanku?” gumam Gavin.Berkali-kali dia memencet tombol panggil di ponselnya menghubungi Laysa, tetapi wanita itu tidak kunjung menjawab. Padahal Gavin sudah mencoba meneleponnya sebanyak 20 kali untuk hari ini.“Dia benar-benar membenciku, apa yang harus kulakukan?” Gavin mulai berpikir bagaimana cara menarik perhatian Laysa kembali. Dia sangat merindukan kemanjaan Laysa, juga merindukan momen ketika dirinya sulit menjauhkan Laysa darinya. Dulu sebelum pernikahan Gavin dengan Laura, Laysa sudah seperti prangko yang melekat pada kertas.Namun, saat Gavin berpikir itu. Ponselnya mendapat notifikasi pesan masuk.“Ada apa?”Pesan dari Laysa membuat Gavin terkejut, lalu membalas pesan tersebut dengan cepat dalam sebuah panggilan video.“Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku seharian ini?!” tanya Gavin langsung bernada tinggi. Untung saja sekarang dia sedang ada