“Duduk di sini, Laysa.” Suara berat Gavin, pria yang duduk di hadapan Laysa, sukses membuat gadis bisu itu ketakutan.
“Jangan begitu takut, aku tidak menggigit,” imbuh pria tersebut seiring menampakkan sebuah seringai menggoda, “tentunya selama kamu menurut padaku.”
Mendengar hal tersebut, seluruh tubuh Laysa merinding, merasa seperti mangsa yang sedang ditarget hewan buas. Dia dengan cepat mendudukkan diri, lalu menundukkan kepala.
Melihat gadis bisu itu menuruti perintahnya, pancaran mata Gavin pun terlihat puas. Dia menyilangkan kakinya, lalu menatap dalam-dalam sosok mungil Laysa.
“Aku tidak ingin basa-basi lagi,” ujar Gavin. “Karena kamu sudah setuju dengan tawaranku tadi malam, maka perjanjian tertulis pun sudah kusiapkan,” jelasnya seraya melemparkan setumpuk dokumen ke atas meja di hadapan Laysa.
Laysa mengernyit. Kemudian, menuliskan sebuah kalimat dalam buku yang dibawanya.
[ Perjanjian apa? Semalam, kamu tidak menyebut soal perjanjian tertulis denganku! ]
“Ini untuk berjaga-jaga kalau suatu hari nanti kau kabur dariku, aku akan mencari dan menuntutmu membayar denda tiga kali lipat dari apa yang kau dapat,” ujar Gavin.
Suaranya memang tidak kencang, tetapi kalimat yang dilontarkannya itu jelas sebuah masalah besar bagi Laysa.
Gavin tahu persis kelemahan gadis itu. Keuangan yang tidak stabil membuatnya tidak ada tempat mencari perlindungan.
Untung saja, Derry–asistennya–cepat mengumpulkan semua informasi tentang Laysa, sehingga Gavin dapat menjebak Laysa sebagai calon istri bayaran baginya.
Sementara itu, Laysa langsung beranjak dari kursinya.
Dia ingin menolak seluruh tawaran yang akan diberikan Gavin. Laysa yakin, apa pun itu pasti akan menyulitkan hidupnya satu hari nanti.
Perempuan itu berusaha melangkah pergi, tapi lengannya sudah terlanjur dipegang oleh Derry yang sigap di dekatnya.
“Kau mau pergi ke mana? Kau tahu? Tidak ada seorang pun yang akan bisa lolos jika sudah berurusan denganku,” ujar Gavin sangat tenang.
Laysa dipaksa duduk kembali ke kursinya.
Sesudah itu, dia disodorkan sebuah map berisi perjanjian pra nikahnya dengan Gavin.
“Bacalah itu secepatnya, aku tidak punya banyak waktu berada di tempat ini!” perintah Gavin.
Laysa mengambil mapnya ragu-ragu, dia bahkan belum membuka itu dalam waktu hampir satu menit.
Sampai akhirnya, Derry sendiri yang turun tangan membukakan mapnya untuk Laysa.
Perlahan, Laysa memperhatikan kontrak yang diberikan.
Ada nama Gavin dan Laysa tertera jelas di sana, berikut poin-poin perjanjian mereka.
Salah satu isi perjanjian itu menyebutkan bahwa Gavin berhak atas Laysa selama satu tahun pernikahan mereka.
Gavin juga menuntut seorang anak dari Laysa. Jika tidak kunjung hamil dalam batas waktu satu tahun, maka perjanjian batal dan Laysa hanya akan mendapat setengah dari harga uang yang diberikan nantinya.
Tunggu, berapa bayarannya? Tiga juta dolar? Besar sekali ….
Apakah Gavin sedang ingin menjebaknya? Sungguh, mengerikan sekali membayangkannya.
[ Aku tidak mau! ] putus Laysa pada akhirnya lewat tulisan di buku yang dibawanya. Kemudian, dia melempar tatapan tajamnya kepada Gavin.
“Begitu? Lalu, apa kau lebih suka tinggal di tempat hiburan malam kecil itu?” tanya Gavin bernada santai. “Aku tahu sekarang kau hanya dimanfaatkan untuk menjadi seorang pelayan di tempat itu, tapi apa kau yakin pekerjaanmu akan tetap sama ke depannya?”
Laysa terdiam. Dia memang dijebak sebagai wanita penghibur. Meski tidak melayani hubungan badan seperti yang lain, dia hanya bertugas mengantarkan minuman-minuman yang dipesan oleh tamu di tempat itu.
“Jadi, bagaimana? Apa kau ingin terus menjadi seorang budak untuk lelaki tua di luar sana, atau ikut denganku dan menjadi nyonya besar dalam istana megah milikku?” ujar Gavin.
Laysa menghela napas berat, Gavin lagi-lagi menyombongkan diri dengan kalimat menyebalkan itu. Meski berat, tetapi apa yang dikatakan Gavin benar. Bukankah lebih baik berada di dalam genggaman Gavin dibandingkan kumpulan lelaki yang tidak dikenalnya–yang bisa saja menjerumuskan hidupnya ke jurang lebih dalam?
Laysa pun kembali menulis. “Baiklah, aku menyetujui ini. Tapi, kau harus menepati janjimu, atau aku akan membawa ini ke muka umum.”
Gavin pun memberikan kode agar Laysa cepat menandatangani itu.
Semua terjadi begitu cepat, Gavin bahkan kini telah merengkuh pinggang Laysa dan menatap gadis itu cukup intens. Bahkan, dia tersenyum miring.
“Aku bukan seorang yang suka mengingkari janji,” lalu berbisik, “Tapi, ingatlah, Lays. Kau sudah menyerahkan seluruh hidupmu padaku. Jadi, bersiaplah.”
****
Laysa kini berada di rumah mewah keluarga Gavin. Dia sudah dibalut dengan pakaian luar biasa mahal dan make-up paripurna dari stylist pilihan Gavin. Sayangnya, Laysa merasa bagaikan alien di sini.Dia ingin segera kabur. Namun, dia tidak berdaya. Gavin telah membelinya dengan harga mahal dan dia tidak bisa mengganti rugi sama sekali.
“Perkenalkan, dia Laysa. Gadis pilihanku sendiri dan pastinya akan kunikahi,” kata Gavin tanpa ragu.
Seketika, semua orang kembali menatap Laysa. Mereka begitu terkejut saat mendengar pernyataan Gavin.
Raut wajah kesal tak mereka sembunyikan. Laysa juga baru menyadari bahwa ada Xavier di sini. Pria yang dikenalnya sebagai dermawan untuk para disabilitas itu bahkan menatapnya tajam! Mengapa dia ada di sini? Apakah dia keluarga Gavin.
"Jangan tatap terlalu lama saudara kembarku, Dear," bisik Gavin mendadak di telinganya.
Tubuh Laysa meremang. Segera, dia menundukkan pandanganya. Dia merasa bahwa situasi ini menyesakkan. Bahkan, obat penenang yang dikonsumsi tadi seakan tidak bereaksi.
Rasanya, Laysa ingin menangis. Bila dia bisa, dia ingin melepaskan diri dari situasi ini. Namun, Gavin telah membelinya dengan harga mahal.
Dari mana gadis yatim piatu dan bisu sepertinya, mengganti uang sebanyak itu?
“Apa maksudmu, Gav? Kita akan menikah sebentar lagi! Bisa-bisanya, kamu membawa gadis lain dan memperkenalkannya sebagai gadis pilihanmu!” Nada kecewa keluar dari Laura, perempuan yang seharusnya menikahi Gavin.
Sontak membuat Laysa meremas tangannya gusar.
“Kamu jangan main-main dengan Momy, Gav. Siapa sebenarnya gadis ini?!” Kini, Anne–ibu dari Gavin–bertanya dengan kesal.
Perempuan paruh baya itu bahkan seakan ingin menelan Laysa hidup-hidup.
Laysa melirik ke arah Gavin Sayangnya, Gavin justru terlihat santai. Bahkan, pria itu kini berkata penuh penekanan, “Sudah kukatakan, bukan? Laysa adalah calon istriku.” Laysa lalu mengeratkan genggamannya di tangan Gavin, mengisyaratkan rasa tidak nyaman. Merasakan itu, Gavin hanya menghela napas panjang. “Gavin!” Suara Laura mengeras, sambil menangis dia menghampiri Anne lalu memegang tangan wanita paruh baya itu, seolah mengadu. “Bagaimana ini Mommy? Gavin sudah mempermainkanku. Apa salahku padanya?” Raut wajah Anne semakin merah padam akibat emosinya yang mulai naik. “Bisa-bisanya kau melakukan ini setelah semuanya, apa kau sudah gila?!” “Hahaha....” tawa Gavin sebelum kembali berkata, "Apakah menikahi gadis yang kuinginkan adalah suatu hal yang gila?' “Kau—“ Belum sempat Anne berbiacara, Alex--ayahnya--langsung menyela, “Kau harus menjelaskan ini pada daddy, Gav. Kalau tidak, kau akan mendapat hukuman atas permainanmu ini.” Aura dominasi memancar dari pria tua itu. Dia
“Kau terlihat semakin menarik, apa ada yang sudah membeli tubuhmu ini?” Lucas kembali berbicara. Kali ini, jelas sekali dia menyelipkan hinaan di perkataannya. Mendengar ucapan Lucas, rasa takut dalam tubuh Laysa berganti menjadi amarah. Plak! Sebuah tamparan keras dilayangkan Laysa di pipi lelaki itu. “Kau masih saja seperti anjing liar. Tapi, aku malah semakin tertarik. Itu membuatku sangat penasaran denganmu.” Lucas menyeringai lebar sambil memegang pipinya. Ditariknya lengan Laysa agar mengikuti langkahnya. Sungguh, dia merasa tertantang dengan perempuan ini? Sementara itu, Laysa yang tidak bisa berbicara itu pun, hanya bisa berontak keras. Sayangnya, tak ada satu pun yang menolongnya. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, termasuk Gavin yang keberadaannya cukup jauh dari tempat Laysa berdiri. Tubuh Laysa ditarik tak tentu, sampai dirinya mendapati bahwa mereka telah keluar tempat hiburan malam tersebut. Melihat Lucas yang tidak waspada seperti sebelumnya, Laysa me
Dugaan Laysa tepat sasaran. Saat Gavin tersadar dari mabuknya, dia begitu marah saat menyadari Laysa tidak terlihat di mana pun. Dia bahkan memeriksa rekaman cctv di sekitar area tempat hiburan malam hingga tempat parkir. Namun, yang ditemukan hannyalah Laysa begitu ketakutan diseret paksa oleh seorang lelaki tidak dikenal. Gavin marah sekali mengetahui gadisnya dibawa oleh orang asing. Terlebih, saat melihat Xavier datang menyelamatkan Laysa semalam, tetapi tidak mengabarkan apa pun padanya. “Di mana pria itu, Derry?” tanya Gavin kepada asistennya ketika mereka menuju ke sebuah bar–tempat Lucas berada. Gavin dipenuhi emosi dan ingin menyiksa lelaki bertubuh gempal tersebut. Saat menemukan Lucas tampak duduk di sebuah sofa dan bersenang-senang bersama kawannya, Gavin semakin emosi. “Seret dia ke hadapanku!” perintah Gavin segera pada beberapa bodyguard yang sengaja diajaknya. Mereka langsung mematuhi perintah Gavin. Lucas ditarik paksa dari sofa, hingga tidak bisa banyak
Laysa belum berhenti menangis, tetapi dia tetap berusaha membuka lembaran bukunya dengan satu tangan lain untuk menunjukkan sesuatu kepada Gavin. [ Hidup dan tubuhku sudah menjadi milikmu, bahkan aku tidak bisa memikirkan hidup di luar sana lagi karenamu. Jika aku diberi dua pilihan sekali pun, aku akan kembali padamu. Karena hidup denganmu lebih baik dari pada menyodorkan nyawa dengan percuma di luar sana. ] Seketika semua terasa hening. Gavin yang semula ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar dengan kemarahan terbesarnya, mendadak luluh setelah membaca isi tulisan buku Laysa. Gadis itu putus asa, Gavin tahu. Namun, yang membuatnya tersentuh adalah ketika Laysa mempercayakan hidupnya secara tidak langsung. “Derry, tolong tunggu di luar.” Gavin memberi kode kepada Derry, hingga lelaki itu mengerti dan meninggalkannya berdua saja bersama Laysa. Gadis itu masih tampak menangis. Sisa-sisa ketakutan terlihat jelas di depan mata. Gavin pun melonggarkan pegangan tangannya, lalu m
Laysa telah kembali dan segera menyerahkan minuman yang diteguk cepat oleh Gavin.Anehnya, pria bertampren itu tiba-tiba melempar gelas ke lantai. Tatapan datarnya seakan meluapkan kekesalan. "Kenapa Gavin mendadak berubah begini? Kesalahan apa yang kulakukan?" batin Laysa.[ Kenapa kau melihatku begitu? ] Laysa akhirnya menggunakan bahasa isyaratnya. Dia tidak sempat mengambil buku di atas tempat tidur. Toh, Gavin akhir-akhir ini mulai memahami ucapannya. Entah dari mana pria itu belajar....“Apa yang kau lakukan kemarin dengan Xavier, apa dia menyentuhmu?” tanya Gavin pada akhirnya. Meski Laysa berada di genggamannya, entah kenapa dia selalu mengingat perempuan ini sempat berada di kediaman Xavier. Ini bukan rasa cemburu. Ini seperti merasa tidak rela barangmu disentuh oleh orang lain.Ya! Itu lebih tepat.Gavin lalu menatap tajam perempuannya itu.Tentu saja, Laysa langsung menggelengkan kepala. Dia benar-benar tidak berbuat apa-apa. “Jangan membohongiku!” Suara Gavin mengeras,
Gavin lalu mencengkeram kasar tangan gadis itu, lalu berbisik, “Berani sekali kau menamparku! Ingatlah, kau hanya seorang gadis yang kubayar, Lays. Tidak lebih dari itu! Kau harus menyadari di mana menempatkan posisimu walau kita akan menikah.” Ucapannya tersebut sudah cukup membuat tekanan yang dialami Laysa semakin dalam. Dia menangis tersedu-sedu, meratapi kehidupannya yang tidak pernah bertemu dengan bahagia. Gavin pun melepas cengkeramannya cukup keras, hingga tubuh Laysa terempas ke kasur. Kemudian beranjak dari sana dengan angkuh dan tidak memedulikan apa pun tentang Laysa. Gavin sangat kesal, karena ternyata gadis itu sama seperti gadis kebanyakan yang mudah terlena dengan uang dan fisik seorang lelaki. *** Sebelum Gavin pulang ke rumah, semuanya terlihat baik-baik saja. Suasana hatinya selalu baik, apalagi ketika membaca tulisan pengakuan dari Laysa. Dia pikir, rencananya akan berjalan dengan lancar, mendapatkan seorang istri yang mudah disetir ke arah mana pun tanpa
Seketika Gavin teringat lagi saudara kembarnya. Pasti ini adalah ulah Xavier yang sengaja mengundang mereka ke sini. “Tidak perlu. Aku akan menemui mereka,” ujar Gavin. “Tapi, Tuan. Itu sangat berisiko tinggi untuk Anda.” “Aku bisa mengatasi ini, Derry. Siapkan saja mobilnya di depan.” Gavin membenarkan jas hitamnya, lalu berjalan tegas menuju area luar rumah sakit tempat para awak media itu berada. “Baik, Tuan.” Derry pun segera melaksanakan perintah tuannya, seraya mengikuti langkah Gavin dan Laysa. Namun, hati lelaki tua itu tak terlalu tenang. *** “Apa Anda bisa menjelaskan kedatangan Anda ke rumah sakit ini, Tuan?” tanya salah seorang dari media massa. Laysa dan Gavin seperti semut yang disodorkan makanan manis. Ada banyak kamera, begitu pun pertanyaan untuk keduanya. “Lalu siapa gadis yang ada di samping Anda ini? Apa benar dia adalah calon istri Anda?” tanya yang lainnya. “Saya hanya mengantarnya memeriksa kesehatan,” jawab Gavin. “Ya, dia adalah calon istri saya. Kal
“Tapi yang aku cintai itu kamu, Gav! Mana bisa aku mencintai lelaki lain walau wajah kalian serupa? Dia bukan dirimu,” sela Laura dengan tegas. “Apa yang kau cintai dari diriku?” “Semuanya, semua yang kau miliki.” Laura menjawab pertanyaan Gavin secepatnya. “Tapi yang kumiliki hanya harta dan kekuasaan, itu artinya kau tidak benar-benar mencintaiku.” Gavin tersenyum miring, seakan puas telah menjebak Laura dengan pertanyaan tersebut. “Gavin—“ “Gadis yang ingin kau nikahi sekarang adalah seorang cacat, Gav! Dia bahkan tidak bisa berbicara, atau membela dirinya lagi. Apa yang kau banggakan darinya? Cinta saja tidak cukup, dunia kita bukan untuk main-main. Momy membutuhkan menantu yang bisa mengimbangi keluarga kita dalam segi apa pun,” sela Anne yang masih penasaran dengan keputusan putranya. Ucapan Anne membuat Gavin geram. “Apa salahnya jika dia cacat? Apa dia tidak berhak memiliki cinta dariku?” “Omong kosong apa yang kau katakan ini?!” Mendadak suara Anne mengeras, menatap Ga
“Maafkan aku karena terus merepotkanmu dalam segala hal. Padahal kau sangat tulus membantuku,” ujar Laysa melalui gerak jemarinya di depan kamera layar ponsel. Dia mencoba berbicara kepada Xavier yang menelepon kembali untuk memastikan apa Laysa sudah matang dengan keputusannya.“Kau tahu tidak ada orang tulus di dunia ini, Lays? Aku melakukannya karena aku menyukaimu, aku berharap bisa menjadi bagian dari hidupmu setelah kita saling mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi faktanya kau memilih kembali bersama Gavin, sudah jelas aku sedang patah hati sekarang,” ujar Xavier.Laysa terdiam, sekilas dia menoleh ke arah Gavin yang sudah terlelap bersama mimpinya. Dia tetap tidak bisa melihat lelaki lain selain Gavin, hanya Gavin yang ada dalam hati dan pikiran seorang Laysa Florensia. Entah kenapa hal itu bisa terjadi, padahal hanya sedikit kebaikan Gavin yang dia ingat. Namun, Xavier? Mungkin saja kebaikannya tidak pernah terhitung, mereka pun bisa saja saling mel
“Aku tidak mati, Lays. Kenapa kau menangis begini?” tanya Gavin lagi seraya mengusap punggung Laysa, lembut. Kalau Laysa bisa berbicara, mungkin dia akan langsung menjawab pertanyaan Gavin. Faktanya, wanita itu membutuhkan waktu untuk menulis pada sebuah buku kecil yang sering dibawanya ke mana-mana.“Teganya kau berkata begitu, dasar boddoh!”Gavin tersenyum kecil melihat umpatan Laysa pada bukunya. “Lihatlah siapa yang mengomel ini, hmh?” Dia merapikan rambut Laysa yang sedikit berantakkan saat berbicara.Laysa ingin memukul dadda Gavin, tetapi terhenti karena mengingat sakit yang lelaki itu alami. Setelah Laysa cukup tenang, Gavin baru menggenggam tangannya agar mereka bisa berbicara lebih nyaman.“Aku pikir kau tidak akan kembali padaku, Lays. Kau selalu mengatakan bahwa kau menderita selama berada di dekatku. Ini seperti sebuah keajaiban untuk orang sepertiku yang telah banyak melakukan kesalahan padamu,” ujar Gavin bernada lembut.
“Biarkan saja, aku tidak pernah peduli. Mereka malah menguntungkan buatku, karena dengan begini, Laysa akan tahu kalau aku semakin dekat dengan Gavin.”Laura mendekat ke arah Gavin, lalu menyentuh wajah pucat lelaki yang kerap menolak keberadaannya itu. Dia langsung berangkat dari rumah saat mendengar Gavin masuk rumah sakit. “Biarkan momy yang mengurus wanita itu, Laura. Kau fokus saja kepada Gavin. Dulu dia pernah menyukaimu, sekarang pun dia akan menyukaimu lagi jika kau terus berada di dekatnya,” ujar Anne.Laura hanya mengangguk pelan.“Jangan menyentuh wajahku, karena aku tidak mengizinkannya.”Laura dan Anne menoleh bersamaan saat suara pelan Gavin mencuat. Lelaki itu bahkan sudah membuka kedua mata seraya menyingkirkan tangan Laura dari wajahnya.“Kau sudah bangun, Gav. Sejak tadi momy ada di sini dan mengkhawatirkanmu, kau hampir saja membuat momy mati dengan keadaanmu sekarang,” ujar Anne. Dia tersenyum saa
“Kau berpikir begitu?”“Karena kau adalah seorang yang sama licik sepertiku, aku bisa melihatnya kalau kau ikut campur atas tersebarnya berita ini.” Gavin mencengkeram kerah kemeja Xavier, tetapi saudaranya itu tampak tidak terpengaruh.“Kalaupun itu tanggapanmu, terserah. Yang jelas kau tidak akan pernah berhak menentukan hidup Laysa lagi, kau akan hancur karena keserakahanmu, Gav. Sayang sekali kau telah menyia-nyiakan berlian demi batu kerikil.”Xavier berkata, sesudah itu menyingkirkan cengkeraman Gavin dengan tenaga sedikit kuat. Setelahnya, dia pun menggenggam tangan Laysa terang-terangan di hadapan Gavin agar dia bisa melanjutkan rencana seperti pada awalnya, yaitu membawa Laysa pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan seluruh pemberian Gavin.Debar jantung Laysa semakin kencang, melihat Gavin juga memegang lengannya agar Xavier tidak bisa membawanya dari sana. Dia sangat takut dua bersaudara itu akan berkelahi karenanya lagi.
Setelah hampir satu jam aktivitas siang mereka. Napas Laysa masih sedikit terengah karena Gavin sudah mendapat apa yang diinginkannya. Bahkan lelaki itu belum mau menjaga jarak dari Laysa dan memilih merapatkan tubuh mereka selama mungkin di atas tempat tidur. “Kau masih sama seperti saat kita sering melakukannya. Aku berharap ada bayi kecil yang tumbuh dari rahimmu secepatnya setelah ini,” puji Gavin seraya mengeccup bahu polos Laysa dengan lembut. Laysa menggeliat kecil menyingkirkan bibbir Gavin darinya. Dia kesal karena lelaki ini terus saja semena-mena terhadap orang lain. Padahal Laysa berencana ingin mengakhiri ini, lalu bagaimana jika dia hamil lagi? Musnah sudah kesempatannya menghindari Gavin. “Jangan menghindariku, Laysa.” Gavin sedikit bergerak untuk mengarahkan tubuh Laysa padanya. Dia pun berada tepat di atas tubuh wanita itu agar lebih mudah baginya mendapat jawaban dari Laysa. “Aku sudah tahu penyebab kita kehilangan anak,
Laysa duduk termenung seraya memperhatikan berita di sebuah acara televisi. Di sana, dia dapat melihat para wartawan sedang mendatangi rumah Gavin dan mencari informasi yang ingin mereka dapatkan. Namun, sepertinya usaha mereka hanya sia-sia saja karena Gavin tidak muncul sama sekali.Orang-orang di rumah Gavin menutup akses, bahkan pihak rumah sakit yang menangani Laysa hanya bicara seperlunya saja. Gavin tampak tertutup dan tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik kali ini.“Aku harus cepat pergi dari rumah ini, aku tidak akan pernah bisa melupakannya jika seperti ini terus.” Laysa bergumam dalam hati. Rumah yang ditempatinya sekarang masih milik Gavin, itu artinya mereka masih bisa bertemu suatu hari nanti, atau secepatnya. Walau beberapa minggu ini Gavin tidak memunculkan batang hidungnya di hadapan Laysa, kemungkinan itu masih bisa terjadi. Laysa tidak ingin perasaannya berubah lagi, rasa cinta yang hanya tinggal sedikit ini tid
Beberapa minggu setelahnya.“Di luar banyak sekali media massa, Tuan. Mereka sepertinya masih penasaran tentang kabar Nona Laysa saat ini, apa Tuan mau menemui mereka?” tanya Derry kepada Gavin yang tengah duduk di kursi depan meja kerjanya.Sebenarnya, Derry sangat ragu menemui Gavin sekarang. Sebab tuannya itu tidak sedang bekerja meskipun dia berada dalam ruang khusus tempat biasa Gavin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Gavin yang sekarang, tengah menghadapi kesulitan mengendalikan emosi dan perasaannya sendiri.Gavin sudah tidak memedulikan pakaiannya yang tidak ganti sejak semalam, beberapa botol minuman beralkohol tergolek di meja hingga lantai, bahkan yang terparah ... Gavin mengabaikan pekerjaannya sehari semenjak Lays meninggalkan rumah.Derry yang bertanggung jawab atas semua kekacauan itu. Sampai hari ini, media massa datang dan membuat berbagai macam pendapat hingga berita tentang pernikahan Gavin dan Laysa, itu seperti bo
Sampai pagi tiba, Laysa akhirnya hanya berbaring di tempat tidur setelah haus di tenggorokannya hilang seketika saat mengingat ciumman Laura kepada Gavin. Kalau kemarin-kemarin dia hanya mendapat kabar mereka berdua berada dalam satu kamar dan bisa melakukan apa saja sesukanya, sekarang pemandangan mengerikan itu terlihat nyata di depan mata.Hati Laysa rasanya semakin hancur, rasa sakit yang ditimbulkan oleh cintanya sendiri benar jauh lebih besar ketika melihat Gavin bersentuhan dengan wanita lain selain dirinya. Walau lelaki itu sangat kasar, arogan dan egois, cinta yang dimiliki Laysa masih ada, mungkin tinggal setengahnya, atau bisa semakin pudar jika hatinya terus-menerus dilukai seperti ini.“Aku mencintaimu, Laysa!”Mendadak teriakan Xavier terngiang di telinga Laysa, berikut wajah lelaki yang sangat menyerupai Gavin itu.“Tidak, tidak ada lelaki baik di dunia ini kecuali ayahku. Mereka semua sama, aku tidak boleh terjebak lagi.” L
“Sedang apa dia? Kenapa dia tidak menjawab panggilanku?” gumam Gavin.Berkali-kali dia memencet tombol panggil di ponselnya menghubungi Laysa, tetapi wanita itu tidak kunjung menjawab. Padahal Gavin sudah mencoba meneleponnya sebanyak 20 kali untuk hari ini.“Dia benar-benar membenciku, apa yang harus kulakukan?” Gavin mulai berpikir bagaimana cara menarik perhatian Laysa kembali. Dia sangat merindukan kemanjaan Laysa, juga merindukan momen ketika dirinya sulit menjauhkan Laysa darinya. Dulu sebelum pernikahan Gavin dengan Laura, Laysa sudah seperti prangko yang melekat pada kertas.Namun, saat Gavin berpikir itu. Ponselnya mendapat notifikasi pesan masuk.“Ada apa?”Pesan dari Laysa membuat Gavin terkejut, lalu membalas pesan tersebut dengan cepat dalam sebuah panggilan video.“Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku seharian ini?!” tanya Gavin langsung bernada tinggi. Untung saja sekarang dia sedang ada