Sampai pagi tiba, Laysa akhirnya hanya berbaring di tempat tidur setelah haus di tenggorokannya hilang seketika saat mengingat ciumman Laura kepada Gavin. Kalau kemarin-kemarin dia hanya mendapat kabar mereka berdua berada dalam satu kamar dan bisa melakukan apa saja sesukanya, sekarang pemandangan mengerikan itu terlihat nyata di depan mata.
Hati Laysa rasanya semakin hancur, rasa sakit yang ditimbulkan oleh cintanya sendiri benar jauh lebih besar ketika melihat Gavin bersentuhan dengan wanita lain selain dirinya. Walau lelaki itu sangat kasar, arogan dan egois, cinta yang dimiliki Laysa masih ada, mungkin tinggal setengahnya, atau bisa semakin pudar jika hatinya terus-menerus dilukai seperti ini.“Aku mencintaimu, Laysa!”Mendadak teriakan Xavier terngiang di telinga Laysa, berikut wajah lelaki yang sangat menyerupai Gavin itu.“Tidak, tidak ada lelaki baik di dunia ini kecuali ayahku. Mereka semua sama, aku tidak boleh terjebak lagi.” LBeberapa minggu setelahnya.“Di luar banyak sekali media massa, Tuan. Mereka sepertinya masih penasaran tentang kabar Nona Laysa saat ini, apa Tuan mau menemui mereka?” tanya Derry kepada Gavin yang tengah duduk di kursi depan meja kerjanya.Sebenarnya, Derry sangat ragu menemui Gavin sekarang. Sebab tuannya itu tidak sedang bekerja meskipun dia berada dalam ruang khusus tempat biasa Gavin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Gavin yang sekarang, tengah menghadapi kesulitan mengendalikan emosi dan perasaannya sendiri.Gavin sudah tidak memedulikan pakaiannya yang tidak ganti sejak semalam, beberapa botol minuman beralkohol tergolek di meja hingga lantai, bahkan yang terparah ... Gavin mengabaikan pekerjaannya sehari semenjak Lays meninggalkan rumah.Derry yang bertanggung jawab atas semua kekacauan itu. Sampai hari ini, media massa datang dan membuat berbagai macam pendapat hingga berita tentang pernikahan Gavin dan Laysa, itu seperti bo
Laysa duduk termenung seraya memperhatikan berita di sebuah acara televisi. Di sana, dia dapat melihat para wartawan sedang mendatangi rumah Gavin dan mencari informasi yang ingin mereka dapatkan. Namun, sepertinya usaha mereka hanya sia-sia saja karena Gavin tidak muncul sama sekali.Orang-orang di rumah Gavin menutup akses, bahkan pihak rumah sakit yang menangani Laysa hanya bicara seperlunya saja. Gavin tampak tertutup dan tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik kali ini.“Aku harus cepat pergi dari rumah ini, aku tidak akan pernah bisa melupakannya jika seperti ini terus.” Laysa bergumam dalam hati. Rumah yang ditempatinya sekarang masih milik Gavin, itu artinya mereka masih bisa bertemu suatu hari nanti, atau secepatnya. Walau beberapa minggu ini Gavin tidak memunculkan batang hidungnya di hadapan Laysa, kemungkinan itu masih bisa terjadi. Laysa tidak ingin perasaannya berubah lagi, rasa cinta yang hanya tinggal sedikit ini tid
Setelah hampir satu jam aktivitas siang mereka. Napas Laysa masih sedikit terengah karena Gavin sudah mendapat apa yang diinginkannya. Bahkan lelaki itu belum mau menjaga jarak dari Laysa dan memilih merapatkan tubuh mereka selama mungkin di atas tempat tidur. “Kau masih sama seperti saat kita sering melakukannya. Aku berharap ada bayi kecil yang tumbuh dari rahimmu secepatnya setelah ini,” puji Gavin seraya mengeccup bahu polos Laysa dengan lembut. Laysa menggeliat kecil menyingkirkan bibbir Gavin darinya. Dia kesal karena lelaki ini terus saja semena-mena terhadap orang lain. Padahal Laysa berencana ingin mengakhiri ini, lalu bagaimana jika dia hamil lagi? Musnah sudah kesempatannya menghindari Gavin. “Jangan menghindariku, Laysa.” Gavin sedikit bergerak untuk mengarahkan tubuh Laysa padanya. Dia pun berada tepat di atas tubuh wanita itu agar lebih mudah baginya mendapat jawaban dari Laysa. “Aku sudah tahu penyebab kita kehilangan anak,
“Kau berpikir begitu?”“Karena kau adalah seorang yang sama licik sepertiku, aku bisa melihatnya kalau kau ikut campur atas tersebarnya berita ini.” Gavin mencengkeram kerah kemeja Xavier, tetapi saudaranya itu tampak tidak terpengaruh.“Kalaupun itu tanggapanmu, terserah. Yang jelas kau tidak akan pernah berhak menentukan hidup Laysa lagi, kau akan hancur karena keserakahanmu, Gav. Sayang sekali kau telah menyia-nyiakan berlian demi batu kerikil.”Xavier berkata, sesudah itu menyingkirkan cengkeraman Gavin dengan tenaga sedikit kuat. Setelahnya, dia pun menggenggam tangan Laysa terang-terangan di hadapan Gavin agar dia bisa melanjutkan rencana seperti pada awalnya, yaitu membawa Laysa pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan seluruh pemberian Gavin.Debar jantung Laysa semakin kencang, melihat Gavin juga memegang lengannya agar Xavier tidak bisa membawanya dari sana. Dia sangat takut dua bersaudara itu akan berkelahi karenanya lagi.
“Biarkan saja, aku tidak pernah peduli. Mereka malah menguntungkan buatku, karena dengan begini, Laysa akan tahu kalau aku semakin dekat dengan Gavin.”Laura mendekat ke arah Gavin, lalu menyentuh wajah pucat lelaki yang kerap menolak keberadaannya itu. Dia langsung berangkat dari rumah saat mendengar Gavin masuk rumah sakit. “Biarkan momy yang mengurus wanita itu, Laura. Kau fokus saja kepada Gavin. Dulu dia pernah menyukaimu, sekarang pun dia akan menyukaimu lagi jika kau terus berada di dekatnya,” ujar Anne.Laura hanya mengangguk pelan.“Jangan menyentuh wajahku, karena aku tidak mengizinkannya.”Laura dan Anne menoleh bersamaan saat suara pelan Gavin mencuat. Lelaki itu bahkan sudah membuka kedua mata seraya menyingkirkan tangan Laura dari wajahnya.“Kau sudah bangun, Gav. Sejak tadi momy ada di sini dan mengkhawatirkanmu, kau hampir saja membuat momy mati dengan keadaanmu sekarang,” ujar Anne. Dia tersenyum saa
“Aku tidak mati, Lays. Kenapa kau menangis begini?” tanya Gavin lagi seraya mengusap punggung Laysa, lembut. Kalau Laysa bisa berbicara, mungkin dia akan langsung menjawab pertanyaan Gavin. Faktanya, wanita itu membutuhkan waktu untuk menulis pada sebuah buku kecil yang sering dibawanya ke mana-mana.“Teganya kau berkata begitu, dasar boddoh!”Gavin tersenyum kecil melihat umpatan Laysa pada bukunya. “Lihatlah siapa yang mengomel ini, hmh?” Dia merapikan rambut Laysa yang sedikit berantakkan saat berbicara.Laysa ingin memukul dadda Gavin, tetapi terhenti karena mengingat sakit yang lelaki itu alami. Setelah Laysa cukup tenang, Gavin baru menggenggam tangannya agar mereka bisa berbicara lebih nyaman.“Aku pikir kau tidak akan kembali padaku, Lays. Kau selalu mengatakan bahwa kau menderita selama berada di dekatku. Ini seperti sebuah keajaiban untuk orang sepertiku yang telah banyak melakukan kesalahan padamu,” ujar Gavin bernada lembut.
“Maafkan aku karena terus merepotkanmu dalam segala hal. Padahal kau sangat tulus membantuku,” ujar Laysa melalui gerak jemarinya di depan kamera layar ponsel. Dia mencoba berbicara kepada Xavier yang menelepon kembali untuk memastikan apa Laysa sudah matang dengan keputusannya.“Kau tahu tidak ada orang tulus di dunia ini, Lays? Aku melakukannya karena aku menyukaimu, aku berharap bisa menjadi bagian dari hidupmu setelah kita saling mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi faktanya kau memilih kembali bersama Gavin, sudah jelas aku sedang patah hati sekarang,” ujar Xavier.Laysa terdiam, sekilas dia menoleh ke arah Gavin yang sudah terlelap bersama mimpinya. Dia tetap tidak bisa melihat lelaki lain selain Gavin, hanya Gavin yang ada dalam hati dan pikiran seorang Laysa Florensia. Entah kenapa hal itu bisa terjadi, padahal hanya sedikit kebaikan Gavin yang dia ingat. Namun, Xavier? Mungkin saja kebaikannya tidak pernah terhitung, mereka pun bisa saja saling mel
“Duduk di sini, Laysa.” Suara berat Gavin, pria yang duduk di hadapan Laysa, sukses membuat gadis bisu itu ketakutan. “Jangan begitu takut, aku tidak menggigit,” imbuh pria tersebut seiring menampakkan sebuah seringai menggoda, “tentunya selama kamu menurut padaku.” Mendengar hal tersebut, seluruh tubuh Laysa merinding, merasa seperti mangsa yang sedang ditarget hewan buas. Dia dengan cepat mendudukkan diri, lalu menundukkan kepala. Melihat gadis bisu itu menuruti perintahnya, pancaran mata Gavin pun terlihat puas. Dia menyilangkan kakinya, lalu menatap dalam-dalam sosok mungil Laysa. “Aku tidak ingin basa-basi lagi,” ujar Gavin. “Karena kamu sudah setuju dengan tawaranku tadi malam, maka perjanjian tertulis pun sudah kusiapkan,” jelasnya seraya melemparkan setumpuk dokumen ke atas meja di hadapan Laysa. Laysa mengernyit. Kemudian, menuliskan sebuah kalimat dalam buku yang dibawanya. [ Perjanjian apa? Semalam, kamu tidak menyebut soal perjanjian tertulis denganku! ] “Ini untuk
“Maafkan aku karena terus merepotkanmu dalam segala hal. Padahal kau sangat tulus membantuku,” ujar Laysa melalui gerak jemarinya di depan kamera layar ponsel. Dia mencoba berbicara kepada Xavier yang menelepon kembali untuk memastikan apa Laysa sudah matang dengan keputusannya.“Kau tahu tidak ada orang tulus di dunia ini, Lays? Aku melakukannya karena aku menyukaimu, aku berharap bisa menjadi bagian dari hidupmu setelah kita saling mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi faktanya kau memilih kembali bersama Gavin, sudah jelas aku sedang patah hati sekarang,” ujar Xavier.Laysa terdiam, sekilas dia menoleh ke arah Gavin yang sudah terlelap bersama mimpinya. Dia tetap tidak bisa melihat lelaki lain selain Gavin, hanya Gavin yang ada dalam hati dan pikiran seorang Laysa Florensia. Entah kenapa hal itu bisa terjadi, padahal hanya sedikit kebaikan Gavin yang dia ingat. Namun, Xavier? Mungkin saja kebaikannya tidak pernah terhitung, mereka pun bisa saja saling mel
“Aku tidak mati, Lays. Kenapa kau menangis begini?” tanya Gavin lagi seraya mengusap punggung Laysa, lembut. Kalau Laysa bisa berbicara, mungkin dia akan langsung menjawab pertanyaan Gavin. Faktanya, wanita itu membutuhkan waktu untuk menulis pada sebuah buku kecil yang sering dibawanya ke mana-mana.“Teganya kau berkata begitu, dasar boddoh!”Gavin tersenyum kecil melihat umpatan Laysa pada bukunya. “Lihatlah siapa yang mengomel ini, hmh?” Dia merapikan rambut Laysa yang sedikit berantakkan saat berbicara.Laysa ingin memukul dadda Gavin, tetapi terhenti karena mengingat sakit yang lelaki itu alami. Setelah Laysa cukup tenang, Gavin baru menggenggam tangannya agar mereka bisa berbicara lebih nyaman.“Aku pikir kau tidak akan kembali padaku, Lays. Kau selalu mengatakan bahwa kau menderita selama berada di dekatku. Ini seperti sebuah keajaiban untuk orang sepertiku yang telah banyak melakukan kesalahan padamu,” ujar Gavin bernada lembut.
“Biarkan saja, aku tidak pernah peduli. Mereka malah menguntungkan buatku, karena dengan begini, Laysa akan tahu kalau aku semakin dekat dengan Gavin.”Laura mendekat ke arah Gavin, lalu menyentuh wajah pucat lelaki yang kerap menolak keberadaannya itu. Dia langsung berangkat dari rumah saat mendengar Gavin masuk rumah sakit. “Biarkan momy yang mengurus wanita itu, Laura. Kau fokus saja kepada Gavin. Dulu dia pernah menyukaimu, sekarang pun dia akan menyukaimu lagi jika kau terus berada di dekatnya,” ujar Anne.Laura hanya mengangguk pelan.“Jangan menyentuh wajahku, karena aku tidak mengizinkannya.”Laura dan Anne menoleh bersamaan saat suara pelan Gavin mencuat. Lelaki itu bahkan sudah membuka kedua mata seraya menyingkirkan tangan Laura dari wajahnya.“Kau sudah bangun, Gav. Sejak tadi momy ada di sini dan mengkhawatirkanmu, kau hampir saja membuat momy mati dengan keadaanmu sekarang,” ujar Anne. Dia tersenyum saa
“Kau berpikir begitu?”“Karena kau adalah seorang yang sama licik sepertiku, aku bisa melihatnya kalau kau ikut campur atas tersebarnya berita ini.” Gavin mencengkeram kerah kemeja Xavier, tetapi saudaranya itu tampak tidak terpengaruh.“Kalaupun itu tanggapanmu, terserah. Yang jelas kau tidak akan pernah berhak menentukan hidup Laysa lagi, kau akan hancur karena keserakahanmu, Gav. Sayang sekali kau telah menyia-nyiakan berlian demi batu kerikil.”Xavier berkata, sesudah itu menyingkirkan cengkeraman Gavin dengan tenaga sedikit kuat. Setelahnya, dia pun menggenggam tangan Laysa terang-terangan di hadapan Gavin agar dia bisa melanjutkan rencana seperti pada awalnya, yaitu membawa Laysa pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan seluruh pemberian Gavin.Debar jantung Laysa semakin kencang, melihat Gavin juga memegang lengannya agar Xavier tidak bisa membawanya dari sana. Dia sangat takut dua bersaudara itu akan berkelahi karenanya lagi.
Setelah hampir satu jam aktivitas siang mereka. Napas Laysa masih sedikit terengah karena Gavin sudah mendapat apa yang diinginkannya. Bahkan lelaki itu belum mau menjaga jarak dari Laysa dan memilih merapatkan tubuh mereka selama mungkin di atas tempat tidur. “Kau masih sama seperti saat kita sering melakukannya. Aku berharap ada bayi kecil yang tumbuh dari rahimmu secepatnya setelah ini,” puji Gavin seraya mengeccup bahu polos Laysa dengan lembut. Laysa menggeliat kecil menyingkirkan bibbir Gavin darinya. Dia kesal karena lelaki ini terus saja semena-mena terhadap orang lain. Padahal Laysa berencana ingin mengakhiri ini, lalu bagaimana jika dia hamil lagi? Musnah sudah kesempatannya menghindari Gavin. “Jangan menghindariku, Laysa.” Gavin sedikit bergerak untuk mengarahkan tubuh Laysa padanya. Dia pun berada tepat di atas tubuh wanita itu agar lebih mudah baginya mendapat jawaban dari Laysa. “Aku sudah tahu penyebab kita kehilangan anak,
Laysa duduk termenung seraya memperhatikan berita di sebuah acara televisi. Di sana, dia dapat melihat para wartawan sedang mendatangi rumah Gavin dan mencari informasi yang ingin mereka dapatkan. Namun, sepertinya usaha mereka hanya sia-sia saja karena Gavin tidak muncul sama sekali.Orang-orang di rumah Gavin menutup akses, bahkan pihak rumah sakit yang menangani Laysa hanya bicara seperlunya saja. Gavin tampak tertutup dan tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik kali ini.“Aku harus cepat pergi dari rumah ini, aku tidak akan pernah bisa melupakannya jika seperti ini terus.” Laysa bergumam dalam hati. Rumah yang ditempatinya sekarang masih milik Gavin, itu artinya mereka masih bisa bertemu suatu hari nanti, atau secepatnya. Walau beberapa minggu ini Gavin tidak memunculkan batang hidungnya di hadapan Laysa, kemungkinan itu masih bisa terjadi. Laysa tidak ingin perasaannya berubah lagi, rasa cinta yang hanya tinggal sedikit ini tid
Beberapa minggu setelahnya.“Di luar banyak sekali media massa, Tuan. Mereka sepertinya masih penasaran tentang kabar Nona Laysa saat ini, apa Tuan mau menemui mereka?” tanya Derry kepada Gavin yang tengah duduk di kursi depan meja kerjanya.Sebenarnya, Derry sangat ragu menemui Gavin sekarang. Sebab tuannya itu tidak sedang bekerja meskipun dia berada dalam ruang khusus tempat biasa Gavin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Gavin yang sekarang, tengah menghadapi kesulitan mengendalikan emosi dan perasaannya sendiri.Gavin sudah tidak memedulikan pakaiannya yang tidak ganti sejak semalam, beberapa botol minuman beralkohol tergolek di meja hingga lantai, bahkan yang terparah ... Gavin mengabaikan pekerjaannya sehari semenjak Lays meninggalkan rumah.Derry yang bertanggung jawab atas semua kekacauan itu. Sampai hari ini, media massa datang dan membuat berbagai macam pendapat hingga berita tentang pernikahan Gavin dan Laysa, itu seperti bo
Sampai pagi tiba, Laysa akhirnya hanya berbaring di tempat tidur setelah haus di tenggorokannya hilang seketika saat mengingat ciumman Laura kepada Gavin. Kalau kemarin-kemarin dia hanya mendapat kabar mereka berdua berada dalam satu kamar dan bisa melakukan apa saja sesukanya, sekarang pemandangan mengerikan itu terlihat nyata di depan mata.Hati Laysa rasanya semakin hancur, rasa sakit yang ditimbulkan oleh cintanya sendiri benar jauh lebih besar ketika melihat Gavin bersentuhan dengan wanita lain selain dirinya. Walau lelaki itu sangat kasar, arogan dan egois, cinta yang dimiliki Laysa masih ada, mungkin tinggal setengahnya, atau bisa semakin pudar jika hatinya terus-menerus dilukai seperti ini.“Aku mencintaimu, Laysa!”Mendadak teriakan Xavier terngiang di telinga Laysa, berikut wajah lelaki yang sangat menyerupai Gavin itu.“Tidak, tidak ada lelaki baik di dunia ini kecuali ayahku. Mereka semua sama, aku tidak boleh terjebak lagi.” L
“Sedang apa dia? Kenapa dia tidak menjawab panggilanku?” gumam Gavin.Berkali-kali dia memencet tombol panggil di ponselnya menghubungi Laysa, tetapi wanita itu tidak kunjung menjawab. Padahal Gavin sudah mencoba meneleponnya sebanyak 20 kali untuk hari ini.“Dia benar-benar membenciku, apa yang harus kulakukan?” Gavin mulai berpikir bagaimana cara menarik perhatian Laysa kembali. Dia sangat merindukan kemanjaan Laysa, juga merindukan momen ketika dirinya sulit menjauhkan Laysa darinya. Dulu sebelum pernikahan Gavin dengan Laura, Laysa sudah seperti prangko yang melekat pada kertas.Namun, saat Gavin berpikir itu. Ponselnya mendapat notifikasi pesan masuk.“Ada apa?”Pesan dari Laysa membuat Gavin terkejut, lalu membalas pesan tersebut dengan cepat dalam sebuah panggilan video.“Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku seharian ini?!” tanya Gavin langsung bernada tinggi. Untung saja sekarang dia sedang ada