5
Setelah drama akhirnya mba Andin dibantu mas Adam yang membereskan kekacauan tadi. Seperti ada yang ketinggalan, oiya ponsel masih di atas, ah mau nggak mau harus naik lagi ke kamar atas. Aku mencoba abai pada mas Adam yang masih mengepel bekas coklat dan langsung melangkah menuju kamarku yang berada di lantai dua. Pintu kamar terbuka, aku selalu mewanti-wanti mas Adam jika ada orang lain kunci pintu kamar. Mereka boleh masuk ke semua ruang di rumah ini kecuali kamar kita. Siapapun itu, ibu mertua, bahkan kakak-kakakku pun tak ku izinkan karena kamar menurutku adalah ruang privasi. “Hmm, bagus-bagus ternyata bajunya si Ve, bingung pilih yang mana bagus semua Wa ini.” suara mba Andin pantes tak kuliat tadi di depan. Dia sedang fokus membuka lemari bajuku dan membolak-balikkan, sementara tak jauh dari posisinya ada Nazwa sepupu mas Adi yang sepertinya memiliki kecocokan sama mba Andin. Ibarat sebelas dua belas, tanpa rasa sungkan masuk ke kamar orang dan membuka semua yang ia mau. “Mba, liat nih skin care nya mba Ve juga engga kaleng-kaleng. Semua dari brand terkenal impian aku yang harganya aja wow banget. Edun ya mba Ve tega banget ngabisin uang mas Adam buat belanja kayak beginian. Pantes aja tiap Ibu minta kiriman, mas Adam bilang uangnya udah dikasih semua ke mba Ve.” Uang mas Adam tuh habis sama perempuan yang di sampingmu itu Wa kalau kamu mau tau. Aku harus percaya sama siapa, seolah-olah aku-lah yang serakah padahal aku korban dari keserakahan wanita yang telah kuanggap kaka. “Mba, mba ini liat Mba. Ini beneran lemari ini isinya koleksi tas mba Ve, duh aku pengen banget punya kayak gini juga. Mudah-mudahan nanti aku punya suami kayak mas Adam yang baiknya ga ketulungan ke istri.” Aamiiiin Wa, mba aminin. Bahkan kalau kamu mau silahkan ambil mas Adam-mu itu, pekikku dalam hati. Aku sengaja masih berdiam di pintu guna mendengar keaslian mereka. Aku tak perlu repot-repot merekam kelakuan mereka karena telah ada cctv dikamar ini tentunya hanya mengarah ke lemari dan brankas ku. Bukan ke area kasur dan meja rias, hanya untuk berjaga-jaga bahkan seluruh rumah ini juga telah dipasang cctv oleh mas Bima saat finishing rumah ini. “Udah puas belum liatin barang-barang aku, hmm?!” Keduanya terlonjak kaget seperti melihat hantu disiang hati. “Ve, kok kamu malah berdiri di pintu. ngapain?” suara mas Adam. “Tuh lagi nonton yang tingkah mereka yang anteng di kamar orang. Kenapa kamar engga kamu kunci sih, Mas?” Nazwa dan mba Andin saling tatap dan menunduk persis seperti maling yang ketangkep. Nggak ada suaranya sangat beda sama beberapa menit yang lalu. Manusia dua itu buru-buru keluar kamar setelah mendengar suara mas Adam barusan. “Loh ini Nazwa, mba Andin kenapa kalian berada di kamar sini?” mas Adam seperti kebingungan melihat ipar dan sepupunya keluar dari kamar kita. Pandangan matanya seolah-olah sedang memberi kode tanya pada iparnya. Tapi yang dilihat hanya diam sambil sesekali bola mata itu melihat melihat ke bawah. “E-eh ada mas Adam sama mba Ve. Ta-tadi kita mau ke-ke kamar buat istirahat ta-tapi kesasar kayaknya, iya kesasar jadi masuk ke kamar ini.” Nazwa tampak salah tingkah melihat kearahku dan mas Adam gantian. Entah ia malu karena tertangkap basah atau malu sama mas Adam aja, aku tak tau pastinya. Nazwa telah lulus SMK dan sekarang sedang mencari kerja sama ibu mertuaku diajak kesini siapa tau ia bisa bekerja sepertiku atau jadi pegawai di sekolahnya mas Adam. “I-iya Dam, kami kesasar, maaf ya malah keasyikan di kamar kamu.” Ujar mba Andin dan hanya mas Adam yang ia sebut. “Oh, kesasar trus lanjut buka-buka lemari aku, lanjut room tour dengan semua isinya. Kamu udah buka apa aja di dalem kamar, Wa? Oiya tadi kamu juga berdoa biar dapet suami kayak mas Adam-kan? Ambil aja Wa. Dan, kalian pasti tau kan kalau kamar tamu dan kamar kosong di rumah ini adanya cuma di lantai bawah, kenapa kalian sampe naik ke sini? Di lantai ini hanya ada kamarku sama ruang kerja. Kalian engga lupa itu kan, karena aku tau tujuan kalian memang sengaja mau ke kamarku.” “Ah mana berani kami seperti itu, Ve. Kamu berlebihan.” Kilah mba Andin. “Mba, jangan bikin aku il-fill ya sama kelakuan mba selama ini di belakang aku. Kalau emang mba Andin menginginkan mas Adam buat gantiin mas Nizam, silahkan mba. Ve kasih ikhlas. Tapi di-” “Ve, kamu ngomong apa sih. Lama-lama kamu kenapa jadi ga sopan gini sama mba Andin. Dia itu kakak kamu loh Ve. Aku Cuma bantuin mba Andin aja selama ini, kamu cemburu?” “Silahkan kamu bela kakak ipar tersayangmu itu, Mas. Asal kalian tau, cemburuku udah terkikis habis sama seperti rasa cintaku yang dulu begitu besar perlahan hilang. Semua karena sikapmu yang berlebihan ke mba Andin. Oiya untuk tingkah kalian berdua kamu Nazwa dan kamu mba, kalian mau se-nyangkal apapun tapi sayangnya semua obrolan dan semua tingkah kalian terekam rapi di cctv kamar ini. Dan apa ini yang ada di lehermu mba, Nazwa. Perhiasan yang kusimpan di dalam lemari kok bisa nangkring cantik di leher dan jari kalian? Apa jadinya jika video cctv aku bawa ke kantor polisi?” “Ah, maaf ya Ve iya kami lupa ini kami kembaliin lagi Ve. Jangan kamu kirim ke sana ya. Mba turun dulu deh buat nemuin Ibu.” Ujarnya dan ingin lepas tangan sepertinya. Sebelum ia melangkah jauh. “Mba, sekalian bersihin meja depan bekas Gita makan brownis tadi berantakan ga jelas. Dan inget, sekali lagi kalian bertingkah, siap-siap jadi artis dadakan di berbagai media sosial.” “Ve, mba Andin itu tamu loh. Kenapa kamu suruh beresin sendiri?” “Terus, kamu suruh aku yang beresin? Kamu engga lupa kan, tadi sebelum mereka ke sini rumah ini rapi dan bersih. Aku hanya minta mba Andin tanggung jawab sama tingkah anaknya. Aku capek.” “Kamu, banyak berubah Ve.” * Setelah mandi segar rasanya, aku segera ke bawah untuk membuat minuman coklat hangat kesukaanku. Begitu tiba di bawah, berbagai remah kue telah bertebaran di lantai sedangkan ibu, mba Andin dan Nazwa malah asyik di depan televisi. “Mba, itu bekas makanan Gita tolong bersihin biar tetep rapi rumahnya.” “Nanti aja Ve, sekaian kalau anak-anak udah tidur. Kalau sekarang diberesin nanti bakal berantak lagi.” “Ini rumahku, jadi jaga kebersihannya jangan samakan dengan rumahmu yang tak pernah bersih itu, Mba. Kalian mau tidur disini?” “Iya Ve, kita mau nginep disini di suruh sama ibu.” “Silahkan tempati kamar belakang, karena kamar depan itu khusus untuk ibu dan saudaraku!”"Ve, kamu gajian kan hari ini jangan lupa transfer sebagian ke mba Andin ya." Ujar mas Adam saat aku sedang menyuapkan nasi goreng pagi ini sebelum berangkat ke cafe tempat aku mengumpulkan rupiah. Rusak sudah mood-ku pagi ini mendegar kalimat dari lisan suamiku sendiri.Mba Andin adalah kakak iparku, suaminya dan suamiku bersaudara. Mereka hanya dua saudara, tapi takdir mas Nizam menjadi korban kecelakaan tunggal saat pulang dari tempat kerja. Dan ia meninggalkan dua anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Andara yang saat ini berusia tujuh tahun persiapan masuk sekolah dasar dan Sagita adiknya yang berusia lima tahun berbarengan masuk ke taman kanak-kanak.“Bukannya sudah kamu transfer kemarin untuk jatah bulanannya mba Andin?” tanyaku pada mas Adam sambil merapihkan piringku. Selera makanku pagi ini telah menguap entah kemana berganti emosi. Sedang mas Adam masih menikmati sarapannya seperti tak merasa bahwa ucapannya tadi sangat merusak suasana hatiku.“Iya kan itu buat dap
Minta sama mba Andin“Mobil kamu, Mas? Kamu engga lupa kan, siapa nama yang tertulis di BPKB mobil itu?”“Ayolah Ve, kasihan mba Andin dan anak-anak udah pada siap itu di rumahnya tinggal nungguin aku dateng.”“Maaf ga bisa, Mas. Aku sebentar lagi juga mau keluar ninjau cafe cabang di kota sebelah. Kamu kalau udah selesai silahkan pulang.” sahutku seraya melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan.“Ve, sekali ini aja.” *Aku kembali ke ruanganku setelah meninggalakan mas Adam, yang masih setia di mejanya. Terserah dia mau pulang atau bahkan memilih untuk tetap duduk disana, paling nanti juga kalau capek pulang sendiri. Masuk kembali ke ruangan dan ingin segera menyelesaikan pekerjaan.“Nih, gue beliin cemilan biar mood Lu cepet baikan. Jangan lupa setelah jam maksi ikut gue buat ninjau cabang lain ya.” Ucap Nena sambil menyodorkan minuman caramel latte dan sekotak dimsum ayam.“Makasih temenku yang paling baik, paling cantik se-duniaa, hahaa!” tak lupa kuberikan senyum
Dimasakin Andin“Lho, kamu sarapan sendiri? Sarapan untukku mana, Ve?” tanyanya sambil celingukan melihat tak ada makanan di meja. Aku hanya membuat roti bakar dan segelas coklat hangat untukku.“Mau sarapan?” tanyaku langsung di jawab dengan anggukan oleh mas Adam.“Minta sama mba Andin-mu itu.”“Kamu itu istriku, masa aku minta sarapan sama mba Andin?!”“Karena dia yang kamu kasih nafkah, mana nafkah untukku? Apa karena aku kerja jadi kamu bisa lepas dari kewajiban kamu, mas Adam yang terhormat?!”“Loh iya, gajimu aja lebih besar dari aku. Masak kamu masih butuh uang, kasihan mba Andin dia engga kerja engga ada yang kasih nafkah jadi yah aku hanya membantunya saja. Kamu kenapa jadi perhitungan begini sih, Ve?” meja makan yang seharusnya jadi tempat ternyaman setelah kasur, nyatanya itu tak berlaku di rumah ini. Yang tinggal di sini hanya aku dan mas Adam tapi ada satu nama yang selalu jadi penyebab pertengkaran yang sering terjadi di rumah ini.“Sekaya-kaya-nya istri ya mas, naman
“Dam, istri kamu biasa pulang jam berapa? Masak sampai malem gini belum pulang, kamu yang tegas jadi suami.” Suara Ibu mertuaku.“Ah Ibu kayak engga tau Adam gimana kalau di depan Vera. Dia kan suami yang tipe sayang istri, Bu. Anak-anakku aja kalau ngajak keluar Adam, selalu jawabannya nanti om ngizin sama tante Ve dulu ya.” Ujar mba Andin, ohh ternyata begini caramu ngadu domba aku sama Ibu, biar kamu tetep jadi mantu terbaiknya Ibu. “Kasihan anakku, lebih baik kamu cerein aja itu si Vera Dam, kamu punya istri tapi kayak engga punya istri. Masa mau makan aja, sampe harus Andin yang masakin buat kamu sama ibu gara-gara istri kamu milih ngejar kesenangan sendiri.”Kalimat demi kalimat terdengar jelas, karena pintu rumah sedang terbuka dan bangunan rumahku memang dibuat lega bagian depan sampai ruang tengah hanya disekat oleh penyekat lipat yang bisa dipindah atau diringkas sewaktu-waktu. Aku memilih untuk duduk di bangku taman kecil sisi kanan rumahku, dari pada harus langsung mauk
5Setelah drama akhirnya mba Andin dibantu mas Adam yang membereskan kekacauan tadi. Seperti ada yang ketinggalan, oiya ponsel masih di atas, ah mau nggak mau harus naik lagi ke kamar atas.Aku mencoba abai pada mas Adam yang masih mengepel bekas coklat dan langsung melangkah menuju kamarku yang berada di lantai dua. Pintu kamar terbuka, aku selalu mewanti-wanti mas Adam jika ada orang lain kunci pintu kamar. Mereka boleh masuk ke semua ruang di rumah ini kecuali kamar kita. Siapapun itu, ibu mertua, bahkan kakak-kakakku pun tak ku izinkan karena kamar menurutku adalah ruang privasi.“Hmm, bagus-bagus ternyata bajunya si Ve, bingung pilih yang mana bagus semua Wa ini.” suara mba Andin pantes tak kuliat tadi di depan. Dia sedang fokus membuka lemari bajuku dan membolak-balikkan, sementara tak jauh dari posisinya ada Nazwa sepupu mas Adi yang sepertinya memiliki kecocokan sama mba Andin. Ibarat sebelas dua belas, tanpa rasa sungkan masuk ke kamar orang dan membuka semua yang ia mau. “
“Dam, istri kamu biasa pulang jam berapa? Masak sampai malem gini belum pulang, kamu yang tegas jadi suami.” Suara Ibu mertuaku.“Ah Ibu kayak engga tau Adam gimana kalau di depan Vera. Dia kan suami yang tipe sayang istri, Bu. Anak-anakku aja kalau ngajak keluar Adam, selalu jawabannya nanti om ngizin sama tante Ve dulu ya.” Ujar mba Andin, ohh ternyata begini caramu ngadu domba aku sama Ibu, biar kamu tetep jadi mantu terbaiknya Ibu. “Kasihan anakku, lebih baik kamu cerein aja itu si Vera Dam, kamu punya istri tapi kayak engga punya istri. Masa mau makan aja, sampe harus Andin yang masakin buat kamu sama ibu gara-gara istri kamu milih ngejar kesenangan sendiri.”Kalimat demi kalimat terdengar jelas, karena pintu rumah sedang terbuka dan bangunan rumahku memang dibuat lega bagian depan sampai ruang tengah hanya disekat oleh penyekat lipat yang bisa dipindah atau diringkas sewaktu-waktu. Aku memilih untuk duduk di bangku taman kecil sisi kanan rumahku, dari pada harus langsung mauk
Dimasakin Andin“Lho, kamu sarapan sendiri? Sarapan untukku mana, Ve?” tanyanya sambil celingukan melihat tak ada makanan di meja. Aku hanya membuat roti bakar dan segelas coklat hangat untukku.“Mau sarapan?” tanyaku langsung di jawab dengan anggukan oleh mas Adam.“Minta sama mba Andin-mu itu.”“Kamu itu istriku, masa aku minta sarapan sama mba Andin?!”“Karena dia yang kamu kasih nafkah, mana nafkah untukku? Apa karena aku kerja jadi kamu bisa lepas dari kewajiban kamu, mas Adam yang terhormat?!”“Loh iya, gajimu aja lebih besar dari aku. Masak kamu masih butuh uang, kasihan mba Andin dia engga kerja engga ada yang kasih nafkah jadi yah aku hanya membantunya saja. Kamu kenapa jadi perhitungan begini sih, Ve?” meja makan yang seharusnya jadi tempat ternyaman setelah kasur, nyatanya itu tak berlaku di rumah ini. Yang tinggal di sini hanya aku dan mas Adam tapi ada satu nama yang selalu jadi penyebab pertengkaran yang sering terjadi di rumah ini.“Sekaya-kaya-nya istri ya mas, naman
Minta sama mba Andin“Mobil kamu, Mas? Kamu engga lupa kan, siapa nama yang tertulis di BPKB mobil itu?”“Ayolah Ve, kasihan mba Andin dan anak-anak udah pada siap itu di rumahnya tinggal nungguin aku dateng.”“Maaf ga bisa, Mas. Aku sebentar lagi juga mau keluar ninjau cafe cabang di kota sebelah. Kamu kalau udah selesai silahkan pulang.” sahutku seraya melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan.“Ve, sekali ini aja.” *Aku kembali ke ruanganku setelah meninggalakan mas Adam, yang masih setia di mejanya. Terserah dia mau pulang atau bahkan memilih untuk tetap duduk disana, paling nanti juga kalau capek pulang sendiri. Masuk kembali ke ruangan dan ingin segera menyelesaikan pekerjaan.“Nih, gue beliin cemilan biar mood Lu cepet baikan. Jangan lupa setelah jam maksi ikut gue buat ninjau cabang lain ya.” Ucap Nena sambil menyodorkan minuman caramel latte dan sekotak dimsum ayam.“Makasih temenku yang paling baik, paling cantik se-duniaa, hahaa!” tak lupa kuberikan senyum
"Ve, kamu gajian kan hari ini jangan lupa transfer sebagian ke mba Andin ya." Ujar mas Adam saat aku sedang menyuapkan nasi goreng pagi ini sebelum berangkat ke cafe tempat aku mengumpulkan rupiah. Rusak sudah mood-ku pagi ini mendegar kalimat dari lisan suamiku sendiri.Mba Andin adalah kakak iparku, suaminya dan suamiku bersaudara. Mereka hanya dua saudara, tapi takdir mas Nizam menjadi korban kecelakaan tunggal saat pulang dari tempat kerja. Dan ia meninggalkan dua anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Andara yang saat ini berusia tujuh tahun persiapan masuk sekolah dasar dan Sagita adiknya yang berusia lima tahun berbarengan masuk ke taman kanak-kanak.“Bukannya sudah kamu transfer kemarin untuk jatah bulanannya mba Andin?” tanyaku pada mas Adam sambil merapihkan piringku. Selera makanku pagi ini telah menguap entah kemana berganti emosi. Sedang mas Adam masih menikmati sarapannya seperti tak merasa bahwa ucapannya tadi sangat merusak suasana hatiku.“Iya kan itu buat dap