Share

4

“Dam, istri kamu biasa pulang jam berapa? Masak sampai malem gini belum pulang, kamu yang tegas jadi suami.” Suara Ibu mertuaku.

“Ah Ibu kayak engga tau Adam gimana kalau di depan Vera. Dia kan suami yang tipe sayang istri, Bu. Anak-anakku aja kalau ngajak keluar Adam, selalu jawabannya nanti om ngizin sama tante Ve dulu ya.” Ujar mba Andin, ohh ternyata begini caramu ngadu domba aku sama Ibu, biar kamu tetep jadi mantu terbaiknya Ibu.

“Kasihan anakku, lebih baik kamu cerein aja itu si Vera Dam, kamu punya istri tapi kayak engga punya istri. Masa mau makan aja, sampe harus Andin yang masakin buat kamu sama ibu gara-gara istri kamu milih ngejar kesenangan sendiri.”

Kalimat demi kalimat terdengar jelas, karena pintu rumah sedang terbuka dan bangunan rumahku memang dibuat lega bagian depan sampai ruang tengah hanya disekat oleh penyekat lipat yang bisa dipindah atau diringkas sewaktu-waktu.

Aku memilih untuk duduk di bangku taman kecil sisi kanan rumahku, dari pada harus langsung mauk ke rumah. Dulu rumah ini hasil desain mas Bima kakak lelakiku pertama yang sangat lihai di dunia arsitek, sedang bangunannya dikerjakan langsung kakak keduaku mas Osa yang kini terkenal sebagai kontraktor handal. Kadang aku bermimpi jikalau aku dan kedua kakakku bisa mendirikan sebuah usaha bisnis di bidang konstruksi pasti sangat memudahkan customer. Mas Bima sebagai perancang model banguan ya arsiteknya, mas Osa sebagai kontraktor dan aku sebagai akunting.

Desain taman kecil ini adalah keinginanku bisa duduk berdua dengan mas Adam sambil menikmati langit malam, ngobrolin hal-hal sepele yang bisa membangun kebahagiaan dalam pernikahan ini. Atau sekedar berjemur di saat matahari pagi menyapa. Tapi tak ada satupun keinginanku itu terwujud dalam pernikahanku yang hampir dua tahun ini.

Tepat memasuki bulan ke dua, ujian berupa musibah itu datang. Mas Nizam, kakak mas Adam mengalami kecelakaan tunggal saat ia akan pulang dari kantornya. Penyebab utama kecelakaan itu bukan karena spare part mobil yang buruk tapi karena mba Andin sendiri.

“Ayo aku temani kamu, Mas ke tkp sekarang.” Usulku sesaat setelah kami menerima panggilan telepon dari pihak kepolisian terkait kecelakaan tunggal yang diduga oleng hingga menabrak batas jalan setinggi tiga puluh centi dari permukaan jalan utama.

Tak butuh waktu lama karena memang kondisi jalan sedang sepi di jam malam seperti ini. sesampainya disana, sudah ada beberapa personil dari pihak kepolisian yang mengamankan dengan memasang garis kuning.

Mas Adam segera menghambur ke jenazah sang kakak sedang aku mendengarkan penjelasan dari pihak berwenang sekaligus mereka memperlihatkan potongan video cctv saat terjadinya kecelakaan terjadi.

“Saat kami mengecek kondisi korban ternyata ponsel korban masih menyala dan menampilkan pesan singkat sepertinya dari istrinya. Mungkin karena isi pesan tersebut menyebabkan korban tak fokus saat mengendarai mobil.

Menginginkan agar cepat sampai tujuan tapi malah naas ia menabrak batas jalan menyebabkan mobil terguling berkali-kali. Mungkin korban menginjak pedal gas semaksimalnya, sementara itu penjelasan dari kami, Bu.” Jelas salah satu dari mereka.

Ponsel itu masih menyala dan berisi pesan dari mba Andin yang dengan teganya meminta mas Nizam untuk segera pulang.

Setelah mengucapkan kalimat berupa terima kasih kepada beberapa aparat yang berada disana aku langsung menuju ke mas Adam yang tampak kacau.

“Yang sabar ya Mas, mudah-mudahan mas Nizam diberi tempat terbaik. Kita mau langsung bawa pulang atau rumah sakit dulu, Mas?” Tanyaku padanya.

“Pulang aja, Dek. Kamu yang bawa mobilnya ya. Mas di ambulan aja mau nemenin mas Nizam yang terakhir.”

“Aku dibelakang ambulan aja mas, ngikutin kamu.”

Ambulan langsung berangkat menuju kediaman mas Nizam dan mba Andin yang tak begitu jauh dari rumah ibu mertua.

Sesampainya di sana, sudah mulai ramai bahkan ibu mertuaku pun juga terlihat sedang menenangkan mba Andin yang menangis tergugu.

Sebelum kejadian, malam itu mas Nizam berencana untuk lembur menyelesaikan semua persiapan pembukaan bengkel cabang tak jauh dari bengkel utamanya.

Namun tiba-tiba mba Andin mengabarkan Ara badannya panas tinggi manggil-manggil nama ayahnya. Padahal tadi sore sebelum mas Nizam berangkat Ara masih ceria bermain dengan adiknya Gita. Mba Andin terus-terusan mengirimkan pesan singkat menyuruh mas Nizam segera pulang, ia bingung karena memang Ara sejak bayi menunjukkan kedekatannya dengan sang ayah.

Tak cukup dengan mengirimkan pesan singkat, mba Andin juga melakukan panggilan tiap lima menit. Hingga akhirnya pedal gas yang diinjak maksimal membuat mobil mas Nizam mengalami oleng tak bisa di rem. Saat aku keluar dari mobil, nampak mas Andin menangis tergugu di samping Ibu. Sedang Ara dan Gita juga berada di pangkuan mbok Sri asisten rumah tangganya.

“Lho Ve, kamu udah pulang kenapa engga masuk?” suara mas Adam membuyarkan ingatanku saat kecelakaan mas Nizam.

“Eh, eh menantu tercantik ibu lagi duduk manis di taman. Sibuk kemana tadi Ve, sampe ibu teleponin engga ada balesan yang masuk. Abis keluar pasti kamu laper kan Ve, itu di dalam ada makanan udah ibu pisahin buat kamu, yuk masuk. Engga bagus angin malem buat badan kamu.”

“Ve udah makan kok Bu, ini bahkan Ve bawa makanan juga buat Ibu dan Nazwa. Ve engga tau kalau ada mba Andin dan anak-anak disini jadi Ve cuma beli sedikit. Ya udah Ve, masuk dulu ya Bu, Mas.” ujarku sambil menyerahkan kantong berlogo sebuah resto makanan dekat sini pada mas Adam.

Kalau dulu mungkin aku yang sibuk sendiri menyiapkan segala sesuatu kalau ibu datang, tapi sejak beberapa menit lalu aku baru tau sikap manis didepanku hanya untuk merebut simpatiku saja. Aku ingin tau seberapa lama ibu bisa bertahan kala menyaksikan sikapku yang akan sedikit berubah mulai malam ini.

“Lho, Ve kok malah kamu kasih kantong itu ke suamimu. Kamu bawa masuk dong Ve, trus ditata di atas meja kan sekalian kamu juga mau masuk rumah.” Panggil ibu tapi terlambat aku sudah melewati pintu masuk. Lagi pula aku ingin segera mandi untuk menyegarkan badan dan pikiran. Samar kudengar ibu mertua masih melanjutkan kalimat sakralnya menilai sepihak tentangku tanpa ia mau melihat kekurangan yang ada pada putra dan menantu perempuannya kini.

Baru juga merebahkan badan, mas Adam telah menyusul ke kamar dan menguncinya.

“Ve, kenapa kamu blokir kartu kreditku? Tadi ibu sama mba Andin jadi nggak bisa bayar belanjaan gara-gara kelakuan kamu!”

Segera ku keluarkan print out yang menampilkan banyaknya pengeluaran di kartu kreditnya selama beberapa hari ini.

“Bisa baca dan hitung?! Ibu dan mba Andin sampe kapanpun bukan tanggung jawabku jadi jangan pernah membebaniku dengan segala keinginan mereka. Kamu bisa ganti semua pengeluaran itu?!”

Mas Adam sedikit melotot melihat angka-angka yang tertera disana dan sedikit melunak. Aku beranjak ingin beralih ke kamar tamu untuk menenangkan pikiran yang semakin pusing. Belum juga sehari tapi tingkah ibu dan mba Andin sudah diluar batas. Mba Andin merasa aman jika bersama ibu, karena dia adalah menantu kesayangannya. Saat menuruni anak tangga, terpampang Gita sedang makan sendirian di ruang tengah.

“Tante makan, ini enak banget loh Tante.” Ujar Gita sambil memakan brownis kesukaanku yang sengaja ku simpan di kulkas. Aku sengaja memakan secukupnya kala ingin saja. Tapi melihat Gita yang sudah belepotan di setengah muka dan tangannya aku yakin brownis-ku sepertinya dijarah oleh mereka.

Kenapa mereka membiarkan Gita memakan sendiri makanan manis lagi bertekstur lengket itu tanpa pengawasan dari orang dewasa terutama ibunya. Kacau, beberapa potongan kecil dari brownis itu bercecer di meja dan sebagian menghiasi lantai putihku.

“Gita..! Kamu kenapa berantakan banget sih makan itu. Ve, maaf ya jadi kotor rumahmu, mba mau bersihin Gita, kamu beresin ini ya Ve”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status