Minta sama mba Andin“Mobil kamu, Mas? Kamu engga lupa kan, siapa nama yang tertulis di BPKB mobil itu?”“Ayolah Ve, kasihan mba Andin dan anak-anak udah pada siap itu di rumahnya tinggal nungguin aku dateng.”“Maaf ga bisa, Mas. Aku sebentar lagi juga mau keluar ninjau cafe cabang di kota sebelah. Kamu kalau udah selesai silahkan pulang.” sahutku seraya melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan.“Ve, sekali ini aja.” *Aku kembali ke ruanganku setelah meninggalakan mas Adam, yang masih setia di mejanya. Terserah dia mau pulang atau bahkan memilih untuk tetap duduk disana, paling nanti juga kalau capek pulang sendiri. Masuk kembali ke ruangan dan ingin segera menyelesaikan pekerjaan.“Nih, gue beliin cemilan biar mood Lu cepet baikan. Jangan lupa setelah jam maksi ikut gue buat ninjau cabang lain ya.” Ucap Nena sambil menyodorkan minuman caramel latte dan sekotak dimsum ayam.“Makasih temenku yang paling baik, paling cantik se-duniaa, hahaa!” tak lupa kuberikan senyum
Dimasakin Andin“Lho, kamu sarapan sendiri? Sarapan untukku mana, Ve?” tanyanya sambil celingukan melihat tak ada makanan di meja. Aku hanya membuat roti bakar dan segelas coklat hangat untukku.“Mau sarapan?” tanyaku langsung di jawab dengan anggukan oleh mas Adam.“Minta sama mba Andin-mu itu.”“Kamu itu istriku, masa aku minta sarapan sama mba Andin?!”“Karena dia yang kamu kasih nafkah, mana nafkah untukku? Apa karena aku kerja jadi kamu bisa lepas dari kewajiban kamu, mas Adam yang terhormat?!”“Loh iya, gajimu aja lebih besar dari aku. Masak kamu masih butuh uang, kasihan mba Andin dia engga kerja engga ada yang kasih nafkah jadi yah aku hanya membantunya saja. Kamu kenapa jadi perhitungan begini sih, Ve?” meja makan yang seharusnya jadi tempat ternyaman setelah kasur, nyatanya itu tak berlaku di rumah ini. Yang tinggal di sini hanya aku dan mas Adam tapi ada satu nama yang selalu jadi penyebab pertengkaran yang sering terjadi di rumah ini.“Sekaya-kaya-nya istri ya mas, naman
“Dam, istri kamu biasa pulang jam berapa? Masak sampai malem gini belum pulang, kamu yang tegas jadi suami.” Suara Ibu mertuaku.“Ah Ibu kayak engga tau Adam gimana kalau di depan Vera. Dia kan suami yang tipe sayang istri, Bu. Anak-anakku aja kalau ngajak keluar Adam, selalu jawabannya nanti om ngizin sama tante Ve dulu ya.” Ujar mba Andin, ohh ternyata begini caramu ngadu domba aku sama Ibu, biar kamu tetep jadi mantu terbaiknya Ibu. “Kasihan anakku, lebih baik kamu cerein aja itu si Vera Dam, kamu punya istri tapi kayak engga punya istri. Masa mau makan aja, sampe harus Andin yang masakin buat kamu sama ibu gara-gara istri kamu milih ngejar kesenangan sendiri.”Kalimat demi kalimat terdengar jelas, karena pintu rumah sedang terbuka dan bangunan rumahku memang dibuat lega bagian depan sampai ruang tengah hanya disekat oleh penyekat lipat yang bisa dipindah atau diringkas sewaktu-waktu. Aku memilih untuk duduk di bangku taman kecil sisi kanan rumahku, dari pada harus langsung mauk
5Setelah drama akhirnya mba Andin dibantu mas Adam yang membereskan kekacauan tadi. Seperti ada yang ketinggalan, oiya ponsel masih di atas, ah mau nggak mau harus naik lagi ke kamar atas.Aku mencoba abai pada mas Adam yang masih mengepel bekas coklat dan langsung melangkah menuju kamarku yang berada di lantai dua. Pintu kamar terbuka, aku selalu mewanti-wanti mas Adam jika ada orang lain kunci pintu kamar. Mereka boleh masuk ke semua ruang di rumah ini kecuali kamar kita. Siapapun itu, ibu mertua, bahkan kakak-kakakku pun tak ku izinkan karena kamar menurutku adalah ruang privasi.“Hmm, bagus-bagus ternyata bajunya si Ve, bingung pilih yang mana bagus semua Wa ini.” suara mba Andin pantes tak kuliat tadi di depan. Dia sedang fokus membuka lemari bajuku dan membolak-balikkan, sementara tak jauh dari posisinya ada Nazwa sepupu mas Adi yang sepertinya memiliki kecocokan sama mba Andin. Ibarat sebelas dua belas, tanpa rasa sungkan masuk ke kamar orang dan membuka semua yang ia mau. “
5Setelah drama akhirnya mba Andin dibantu mas Adam yang membereskan kekacauan tadi. Seperti ada yang ketinggalan, oiya ponsel masih di atas, ah mau nggak mau harus naik lagi ke kamar atas.Aku mencoba abai pada mas Adam yang masih mengepel bekas coklat dan langsung melangkah menuju kamarku yang berada di lantai dua. Pintu kamar terbuka, aku selalu mewanti-wanti mas Adam jika ada orang lain kunci pintu kamar. Mereka boleh masuk ke semua ruang di rumah ini kecuali kamar kita. Siapapun itu, ibu mertua, bahkan kakak-kakakku pun tak ku izinkan karena kamar menurutku adalah ruang privasi.“Hmm, bagus-bagus ternyata bajunya si Ve, bingung pilih yang mana bagus semua Wa ini.” suara mba Andin pantes tak kuliat tadi di depan. Dia sedang fokus membuka lemari bajuku dan membolak-balikkan, sementara tak jauh dari posisinya ada Nazwa sepupu mas Adi yang sepertinya memiliki kecocokan sama mba Andin. Ibarat sebelas dua belas, tanpa rasa sungkan masuk ke kamar orang dan membuka semua yang ia mau. “
“Dam, istri kamu biasa pulang jam berapa? Masak sampai malem gini belum pulang, kamu yang tegas jadi suami.” Suara Ibu mertuaku.“Ah Ibu kayak engga tau Adam gimana kalau di depan Vera. Dia kan suami yang tipe sayang istri, Bu. Anak-anakku aja kalau ngajak keluar Adam, selalu jawabannya nanti om ngizin sama tante Ve dulu ya.” Ujar mba Andin, ohh ternyata begini caramu ngadu domba aku sama Ibu, biar kamu tetep jadi mantu terbaiknya Ibu. “Kasihan anakku, lebih baik kamu cerein aja itu si Vera Dam, kamu punya istri tapi kayak engga punya istri. Masa mau makan aja, sampe harus Andin yang masakin buat kamu sama ibu gara-gara istri kamu milih ngejar kesenangan sendiri.”Kalimat demi kalimat terdengar jelas, karena pintu rumah sedang terbuka dan bangunan rumahku memang dibuat lega bagian depan sampai ruang tengah hanya disekat oleh penyekat lipat yang bisa dipindah atau diringkas sewaktu-waktu. Aku memilih untuk duduk di bangku taman kecil sisi kanan rumahku, dari pada harus langsung mauk
Dimasakin Andin“Lho, kamu sarapan sendiri? Sarapan untukku mana, Ve?” tanyanya sambil celingukan melihat tak ada makanan di meja. Aku hanya membuat roti bakar dan segelas coklat hangat untukku.“Mau sarapan?” tanyaku langsung di jawab dengan anggukan oleh mas Adam.“Minta sama mba Andin-mu itu.”“Kamu itu istriku, masa aku minta sarapan sama mba Andin?!”“Karena dia yang kamu kasih nafkah, mana nafkah untukku? Apa karena aku kerja jadi kamu bisa lepas dari kewajiban kamu, mas Adam yang terhormat?!”“Loh iya, gajimu aja lebih besar dari aku. Masak kamu masih butuh uang, kasihan mba Andin dia engga kerja engga ada yang kasih nafkah jadi yah aku hanya membantunya saja. Kamu kenapa jadi perhitungan begini sih, Ve?” meja makan yang seharusnya jadi tempat ternyaman setelah kasur, nyatanya itu tak berlaku di rumah ini. Yang tinggal di sini hanya aku dan mas Adam tapi ada satu nama yang selalu jadi penyebab pertengkaran yang sering terjadi di rumah ini.“Sekaya-kaya-nya istri ya mas, naman
Minta sama mba Andin“Mobil kamu, Mas? Kamu engga lupa kan, siapa nama yang tertulis di BPKB mobil itu?”“Ayolah Ve, kasihan mba Andin dan anak-anak udah pada siap itu di rumahnya tinggal nungguin aku dateng.”“Maaf ga bisa, Mas. Aku sebentar lagi juga mau keluar ninjau cafe cabang di kota sebelah. Kamu kalau udah selesai silahkan pulang.” sahutku seraya melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan.“Ve, sekali ini aja.” *Aku kembali ke ruanganku setelah meninggalakan mas Adam, yang masih setia di mejanya. Terserah dia mau pulang atau bahkan memilih untuk tetap duduk disana, paling nanti juga kalau capek pulang sendiri. Masuk kembali ke ruangan dan ingin segera menyelesaikan pekerjaan.“Nih, gue beliin cemilan biar mood Lu cepet baikan. Jangan lupa setelah jam maksi ikut gue buat ninjau cabang lain ya.” Ucap Nena sambil menyodorkan minuman caramel latte dan sekotak dimsum ayam.“Makasih temenku yang paling baik, paling cantik se-duniaa, hahaa!” tak lupa kuberikan senyum
"Ve, kamu gajian kan hari ini jangan lupa transfer sebagian ke mba Andin ya." Ujar mas Adam saat aku sedang menyuapkan nasi goreng pagi ini sebelum berangkat ke cafe tempat aku mengumpulkan rupiah. Rusak sudah mood-ku pagi ini mendegar kalimat dari lisan suamiku sendiri.Mba Andin adalah kakak iparku, suaminya dan suamiku bersaudara. Mereka hanya dua saudara, tapi takdir mas Nizam menjadi korban kecelakaan tunggal saat pulang dari tempat kerja. Dan ia meninggalkan dua anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Andara yang saat ini berusia tujuh tahun persiapan masuk sekolah dasar dan Sagita adiknya yang berusia lima tahun berbarengan masuk ke taman kanak-kanak.“Bukannya sudah kamu transfer kemarin untuk jatah bulanannya mba Andin?” tanyaku pada mas Adam sambil merapihkan piringku. Selera makanku pagi ini telah menguap entah kemana berganti emosi. Sedang mas Adam masih menikmati sarapannya seperti tak merasa bahwa ucapannya tadi sangat merusak suasana hatiku.“Iya kan itu buat dap