Share

2

Minta sama mba Andin

“Mobil kamu, Mas? Kamu engga lupa kan, siapa nama yang tertulis di BPKB mobil itu?”

“Ayolah Ve, kasihan mba Andin dan anak-anak udah pada siap itu di rumahnya tinggal nungguin aku dateng.”

“Maaf ga bisa, Mas. Aku sebentar lagi juga mau keluar ninjau cafe cabang di kota sebelah. Kamu kalau udah selesai silahkan pulang.” sahutku seraya melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan.

“Ve, sekali ini aja.”

*

Aku kembali ke ruanganku setelah meninggalakan mas Adam, yang masih setia di mejanya. Terserah dia mau pulang atau bahkan memilih untuk tetap duduk disana, paling nanti juga kalau capek pulang sendiri. Masuk kembali ke ruangan dan ingin segera menyelesaikan pekerjaan.

“Nih, gue beliin cemilan biar mood Lu cepet baikan. Jangan lupa setelah jam maksi ikut gue buat ninjau cabang lain ya.” Ucap Nena sambil menyodorkan minuman caramel latte dan sekotak dimsum ayam.

“Makasih temenku yang paling baik, paling cantik se-duniaa, hahaa!” tak lupa kuberikan senyum termanis padanya dan segera menikmatinya.

“Preeeet-lah, buruan abisin. Gue kagak mau Lu kelaperan di jalan nanti.” Nena kembali ke mejanya dan menyiapkan apa aja yang perlu ia bawa ke cabang nanti.

“Ton, kamu handel dulu cafe. Aku mau ke cabang dulu sama Vera.” Ucap Nena pada seseorang melalui ponselnya.

*

Setelah menemani Nena mengecek beberapa cabang cafe, akhirnya aku meminta Nena untuk mengantaran aku pulang dan mobilku ia bawa pulang. Berjalan mendekat rumah terlihat ada sepasang sepatu wanita dan dua pasang sepatu anak-anak. Terdengar juga keramaian dari dalam sana, canda tawa dari mereka hingga tak menyadari kedatanganku.

“Om, mainannya bagus Ara suka.” Celoteh Ara anak pertama mba Andin yang usianya baru tujuh tahun. Nampak ia sedang memainkan mobil remote yang masih kinclong.

“Boneka barbi punya Gita juga cantik banget. Makasih ya Om, oiya Mah itu cincin sama kalung tadi kan yang dibeliin sama Om? Gita kan juga mau, bagus banget.” Lanjut Ara sang bungsu usianya liama tahun tapi sudah jelas bicara dan lumayan cerewet anaknya.

Aku sebenarnya sayang kepada dua anak itu, hanya saja melihat tingkah ibunya membuatku harus jaga jarak tak ingin dimanfaatin dengan memakai nama mereka.

“Tante Ve, sini masuk liatin hadiah-hadiah ini semua dibeliin sama Om buat kita lho, ada mobilan buat Ara, boneka cantik buat Gita dan Mamah juga di-.” Celoteh Gita memanggilku menyadarkan mas Adam dan mba Andin langsung menengok ke arahku secara bersamaan.

“Gita..!!” Bersamaan dengan celoteh Gita mba Andin memotong kalimat Gita.

Aku menangkap sorot keterkejutan dari dua sosok manusia itu. Kemudian mba Andin segera mengalihkan pandangan ke mas Adam begitupun mas Adam. Entah mereka sejak kapan jadi pinter komunikasi lewat bahasa mata.

“Ara sama Gita mainnya di dalem aja yuk. tante mau ngomong sama om dulu ya.”

“Oke deh tante..” keduanya pun nurut masuk ke ruang tengah.

“Ka-kamu udah pulang, Ve? Kok engga kedengeran suara mobilnya.”

“Dam, aku pu-“

“Tetap duduk disitu, Mba. Dan kamu Mas, punya banyak uang ternyata diam-diam ya? Pake beliin perhiasan ke wanita lain. Ck..”

“Ve, mas cuma ambil sedikit uang tabungan kita sekali-sekali beliin ponakan Ve.”

“Tabunga kita, Mas? Sejak kapan kamu nabung, itu murni tabunganku ya Mas. dan aku tak pernah rela uangku kamu pakai foya-foya nggak jelas!!”

“Dam, tadi mba bilang apa. Istri kamu pasti nggak suka sama anak-anak Mba. Mba pulang aja ya Dam, Ve, maafin mba kalau ada salah ya.”

“Ya udah mba, sebentar aku panggilin anak-anak. Ve mana mobilnya?”

“Mobil dibawa barusan sama Nena, aku capek banget.”

“Lho, trus aku nganterin pulang mba Andin sama anak-anak pake apa, Ve?”

“Bukan urusanku. Aku capek mau mandi.”

“Hmm, Ve, kamu engga ada niatan buat ngasih ongkos ke Ara sama Gita, Ve? Dia keponakan kamu loh, ditambah anak yatim.” Akhirnya terdengar juga suara mba Andin saat aku melangkah ke dalam. Dengan bola mata malas aku kembali memutar badan menghadap ke manusia yang tak tau terima kasih dan rasa bersyukur.

“Maaf ya, Mbak. Mereka statusnya aja yang yatim, tapi sejatinya ada sosok suami dari wanita lain yang selalu siap sedia entah untuk mereka atau untuk ibunya. Belum uang bulanan yang selalu rutin dikirimkan, bahkan untuk nafkahin istrinya sendiri aja dia ga mampu.”

“Ve, kamu kok ngomong gitu.” Mas Adam terlihat panik saat aku mengungkapkan sedikit uneg-unegku.

“Dan perlu mba tau, mereka bukan anak yatim yang ditinggal begitu aja sama ayahnya, cukuplah harta yang mas Nizam tinggalin buat kebutuhan dan pendidikan mereka. Apalagi mas Nizam juga buat asuransi jiwa, udah masuk ke rekening Mbak semua kan?! Kecuali kalau buat dihambur-hamburin ga nyampe sebulan juga udah pasti ludes.”

“Maafin Mba ya Ve, kalau Mba ada salah sama kamu.” Dasar si ratu drama yang mulai menunjukkan bakatnya. Sambil wajah yang dibuat sedih, pura-pura mengusap air mata padahal engga adaan.

“Omonganmu mulai ngelantur kemana-mana Ve!” mas Adam langsung berdiri dari posisi duduknya menuju arah mba Andin.

“Oiya, bukannya mas Nizam juga ninggalin mobil dan motor ya, kenapa sekarang engga pernah dipake lagi?!”

“Ve, udah. Kamu udah nyakitin hati mba Andin. Cukup!” sungutnya sambil mengusap punggung wanita itu.

Cemburu. Ya jelas kuakui, rasa cinta ini pada mas Adam masih besar dan tanpa rasa sungkan ia tampakkan kepeduliannya pada wanita lain didepan istrinya. Aku dipaksa kuat melihat semua ini.

“Dam, mba pulang naik taksi aja engga apa. Kasihan Ve pasti capek. Gara-gara aku, kalian jadi ribut, aku sedih liatnya. Oiya buat bayar pendaftarannya Ara sama Gita jangan lupa ya Dam, mba tunggu kabarnya ya.”

“Udah, Mba. Maafin Ve ya, kayaknya dia emang lagi capek jadi gitu ngomongnya. Sebentar aku pesenin taksi Mba.”

*

“Ve, kamu kenapa? Ngomong sama aku kalau lagi ada masalah, bukan malah nyakitin mba Andin kayak tadi.” Ungkapnya saat kami telah sama-sama berbaring di ranjang.

“Aku cuman capek aja.”

“Ya udah kamu bisa ambil cuti buat liburan kamu kalau capek sama kerjaan. Setelah itu kamu bakal fresh bisa balik kerja lagi.”

“Aku capek sama kamu, ga punya ketegasan sama mba Andin.” Setelah mengucapkan itu aku langsung menutup selimut sampai atas.

“Kan kamu tau kalau keluarga mba Andin cuman kita. Orangtuanya tinggal jauh di provinsi sebelah. Kalau bukan kita siapa lagi yang bakal peduli sama mba Andin dan anak-anak Ve. Ve, kamu masih dengerkan-”

*

“Kamu mau pergi?” tanyaku saat melihat mas Adam yang telah rapi sedang berdiri di depan kaca besar di kamar ini padahal sekarang hari.

“Iya, mau anterin mba Andin ngajakin Ara sama Gita katanya mereka mau renang. Kasihan mba Andin kalau harus handel anak dua, jadi minta tolong sama aku buat nemenin.” Jelasnya tanpa mengalihkan pandangan padaku, ia tetap fokus dengan kaca sambil mengecek penampilannya yang kurasa sudah sangat rapi.

“Oh, aku juga mau keluar sama Nena.”

“Jangan lama-lama diluarnya, inget status kamu sudah jadi istri bukan gadis bebas lagi.”

“Makasih, aku akan selalu inget statusku dan berusaha jadi istri yang baik. Kamu tenang aja, sebenarnya kamu yang mesti inget statusmu kalau sudah jadi suami. Bukan malah sibuk sama yang lain.” Ujarku sambil keluar kamar.

“Maksud kamu apa, mba Andin dan anak-anaknya itu saudara kita bukan orang lain. Di dalam tubuh Ara dan Gita ada darah yang sama denganku, nasab mereka sama dengan nasabku. Kamu hati-hati kalau ngomong, jangan asal.”

Aku terus melanjutkan langkah menuju dapur menyiapkan sarapanku. Tak lama mas Adam pun keluar dan duduk bersama disini.

“Lho, kamu sarapan sendiri? Sarapan untukku mana, Ve?” tanyanya sambil celingukan melihat tak ada makanan di meja. Aku hanya membuat roti bakar dan segelas coklat hangat untukku.

“Mau sarapan?” tanyaku langsung di jawab dengan anggukan oleh mas Adam.

“Minta sama mba Andin-mu itu.”

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status