“Bentar deh,” ucap seorang perempuan sembari mengamati setiap inci kulit dari teman semasa kecilnya. "Kulit kamu sekarang kok dekil banget si?"
Sang empu ikut memperhatikan kondisinya, menatap nanar punggung tangan yang dulu cerah kini berganti kusam tak terawat. "Ya mau gimana lagi? Aku nggak punya waktu buat ngerawat diri."
Kekehan ringan datang dari bibir tebal Sabrina, janda muda yang ditinggal mati oleh sang suami satu tahun lalu. Kecelakaan sebuah mobil dengan truk harus meregang nyawa sang suami dalam perjalanan pulang kerja. "Badan kamu juga gemuk banget, emang nggak takut suami kamu ngelirik perempuan lain?"
Clarisa Steffani sebelumnya tak pernah berpikir akan kemungkinan buruk ketidak nyamanan Adit pada perubahan drastis fisiknya. Setelah hamil dia memang menjadi malas merawat diri, belum lagi pekerjaan rumah yang dia kerjakan tanpa jasa asisten rumah tangga cukup melelahkan. Jemarinya menggeser layar ponsel mencari tangkapan foto saat dirinya masih gadis dulu. Putih, bersih, dan langsing. Berbeda dengan dirinya yang sekarang. Walaupun alasan berat badannya naik karena memang sedang mengandung, namun entah kenapa Sabrina berkata seolah tak menjadikan hal itu sebagai alasan untuk tetap tampil cantik.
"Suami aku nggak pernah protes soal hal ini, ya menurut aku baik-baik aja." Matanya menatap Sabrina mencari pembelaan.
"Baik-baik aja kamu bilang?" tanya Sabrina dengan tangan kanan yang dia taruh di lengan empuk Clarisa. "Laki-kaki nggak pernah jujur kalau kita itu jelek. Tapi, diam-diam mereka nyari yang lebih cantik."
"Ah nggak mungkin Adit kaya gitu!" cerca Clarisa cepat, sambil tersenyum yakin. "Aku yang lebih kenal dia."
“Kalau saran aku sih kamu mending waspada,” ucap Sabrina sambil meraih tasnya di kursi sebelah.
Kedatangan Sabrina yang pindah rumah di sebelahnya tiga bulan lalu memang memberikan suasana baru bagi Clarisa yang selama ini hanya bosan berdiam diri di rumah. Pasalnya Adit Pratama adalah tipe suami yang gila kerja, hanya di hari-hari libur bisa sepenuhnya berada di dalam rumah. Itu juga terkadang masih ada alasan lembur. Dan mungkin saja Sabrina sedikit membuka wawasannya tentang kehidupan seorang istri. "Makasih lo kritikannya tadi. Tapi, emang kayanya aku butuh ngemanjain diri."
"Nah betul, jangan terlalu fokus ngurus rumah. Kerjaan masih berantakan ya santai aja, kalau kamu nggak mau tangan mulus jadi kasar." Sabrina memberikan kecupan singkat di pipi chubby Clarisa, kebiasaan baru ketika dirinya akan pulang.
Clarisa mengangguk saja, walau sebenarnya saran sang sahabat yang terahir tidak terlalu dia setujui. Ibu mertuanya rajin berkunjung satu minggu sekali, dan yang dia lakukan hanyalah menilai setiap hasil dari pekerjaan rumah Clarisa. Meskipun sebenarnya itu sudah menjadi pekerjaan sebagai seorang istri.
"Makasih sudah datang hari ini." Tangan kanan Clarisa melambai setiap saat setelah Sabrina menginjak halaman rumah itu.
Dia bisa saja tak menggubris ucapan Sabrina yang entah mengapa seolah tenggelam di otaknya hingga tak bisa keluar.
Jujur Clarisa mulai merasakan gundah seperti istri-istri lain yang tak menginginkan suami kepincut perempuan lain. Meski pada dasarnya istri sah tak pernah salah, namun di kalangan masyarakat seolah buta akan hal itu. Apalagi jika keadaan istri sah jauh lebih buruk dari si pelakor.
"Jelas saja suami selingkuh, orang istrinya jelek!"
Kalimat menyakitkan seperti itu seolah-olah lebih dibenarkan daripada menilik fakta bahwa seorang penggoda tetaplah bersalah, mau dia secantik apapun itu.
Kakinya melangkah menuju kamar tempat di mana dirinya, dan sang suami beristirahat. Tempat favorit Adit ketika ingin bermesraan dengan dirinya sendiri. Yang kini menjadi tempat untuk Clarisa merenungkan nasib.
"Ah bener kata Sabrina, muka aku jauh dari kata cantik. Lebar, dekil," eluhnya tak lepas memandangi diri dari pantulan kaca rias.
Matanya melirik ke tempat di mana beberapa peralatan make up yang dulu tak pernah libur dia jamah kini berdebu. Entah sejak kapan bibir tipisnya sudah tak pernah terpoles lipstik, serta beberapa jenis foundation yang mungkin sudah kadarluarsa tak tersentuh. "Mau cantik, tapi aku malas dandan sekarang."
Helaan nafas pasrah membawa tubuhnya ditutupi ke atas. Di jam-jam lepas sarapan dengan mulut seolah gemas ingin menyantap sesuatu lagi. Sangat bukan Clarisa yang dulu. Menjaga porsi makan sudah menjadi gaya hidupnya sebelum menikah sampai dokter menyatakan ada nyawa di dalam perutnya enam bulan lalu.
Baru ingin mengangkat ponsel mencari referensi makanan online, matanya mendelik kala mendapati nada getar pesan masuk dari sang mertua.
Dit, minggu depan Mamah butuh teman buat ke acara kondangan. Tapi, Mamah nggak mau ngajak istri kamu. Dekil, nanti malu-maluin lagi.
Setetes air mencelos dari pelupuk mata Clarissa. Mungkin jika orang lain yang mencemooh dirinya, masih bisa diterima. Tapi, kalau urusan mertua batinnya tak mudah menerima.
Sengajakah mertuanya mengirim pesan yang seharusnya ditujukan pada Adit itu? Seolah menyindir agar dirinya tahu malu.
"Ngajak perang mulut eh?"
Jemarinya asyik mengetik beberapa kalimat untuk membalas pesan si mertua.
Kalau gitu Mamah berangkat sendiri aja, kenapa repot-repot cari teman?
Menunggu balasan mertuanya yang tak kunjung masuk, Clarissa sebal juga. Atensinya pada layar ponsel teralih menuju suara derap langkah di dalam kamar.
"Sayang?" panggil Adit.
Ternyata pria itu pulang lebih awal. Merentangkan kedua tangannya seolah meminta agar Clarissa memberi sebuah pelukan. Namun, perempuan itu justru memasang wajah jutek.
"Kenapa?"
"Ibu kamu tuh, ngatain aku dekil!"
Mendengar aduan Clarissa membuat Adit menghela nafas kasar. Tangannya kembali berusaha memeluk sang istri, yang kali ini diterima setengah terpaksa oleh Clarissa.
"Maafin mamah ya?"
Clarissa seketika menepis pelukan Adit. "Maaf?"
"Iya," jawab Adit polos.
Dengan menahan dongkol Clarissa berjalan menuju ranjang. "Nggak! Aku nggak akan maafin, sakit hati aku!"
Masih sabar Adit berusaha merayu. "Iya, aku tahu. Tapi, nggak usah diambil hati juga. Kalau menurut aku kamu masih cantik kaya dulu kok."
"Bohong!" Mata Clarissa melotot. "Kamu ngomong gitu biar aku nggak marah sama mamah, kan?"
Adit menggeleng sembari terkekeh. "Nggak lah, emang kamu nggak berubah. Tetap cantik."
Meski ragu Clarissa memilih percaya saja. Toh benar kata Sabrina, kalau Adit tak mungkin mengatakan yang sejujurnya.
"Hari ini aku nggak beli makanan, kamu makan di rumah mamah aja."
Rajukan sang istri bagai himpitan batu besar di dada Adit. "Kita makan di luar aja, berdua."
"Sebentar lagi juga mamah pasti telfon kamu buat makan di sana. Udah lah, aku malas kalau ujung-ujungnya harus makan sendiri lagi."
Adit mendekat. "Kamu 'kan bisa ikut makan di rumah mamah juga."
"Emang aku pernah diajak?"
Pertanyaan itu membuat Adit bungkam.
Harusnya sabtu ini menjadi waktu di mana Clarisa bermanjaan dengan sang suami. Sayangnya Adit justru malah mengundang ibunya datang ke rumah. Seperti hubungan menantu, dan mertua pada umumnya, yang baik jika di depan, entah apa yang sebenarnya terjadi tentang penilaian mereka masing-masing. Pagi ini Clarisa sengaja tak membereskan rumah, selain karena sedikit terpengaruh ucapan Sabrina, mood rajinnya lenyap kala lengan kokoh Adit masih setia melingkar di perut buncitnya selepas sarapan."Emang harus banget ya ibu datang sekarang? Biasanya `kan hari minggunya," celetuk Clarisa pelan. Tak mau terlihat buruk karena enggan menyambut sang mertua.Adit menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi pipi chubby sang istri. "Entah kenapa aku kangen banget sama ibu. Kamu nggak keberatan, kan?""Jelas lah aku keberatan, ibu kamu itu kalau datang kerjaannya cuma jadi cctv rumah," batin Clarisa sebal. Bibir tipisnya terkatup berharap sang suami peka, dan meminta sang ibu untuk datang besok.Ti
"Mertua modelan kaya dia nggak usah diladenin!" ujar Sabrina sedetik sebelum melahap salad buah ciptaan tangannya sendiri.Clarisa menatap rumahnya dari sudut balkon, mengira-ngira apa gerangan yang sedang Adit, dan Tamara lakukan. Suaminya bahkan tak ke luar rumah sekedar memintanya pulang. "Aku memang selalu kurang di mata dia.""Bukan kamu yang kurang, dianya aja yang berlebihan. Istri itu bukan babu yang harus ngerjain semua keperluan rumah," timpal Sabrina tepat. "Jadi diri kamu sendiri aja, toh Adit nggak masalahin hal itu, kan?"Wajah yang dulu tirus ayu kini tertelan lemak itu menoleh pelan. "Adit emang nggak pernah protes, tapi aku yakin ibunya bakal lebih sering lagi dateng ke sini karena tahu aku nggak becus."Sabrina meletakkan mangkuk ke atas meja, meraih segelas air putih sebagai penutup sarapannya hari ini. "Jangan mau bikin stress sendiri karena masalah kaya gitu. Kamu nggak mau keriput cepat, kan?"Ledekan Sabrina terkadang ada benarnya, entah mengapa perempuan bersta
"Kamu masukin apa ke sini?" tanya Tamara masih berusaha menelan masakan Clarissa."Asam, Bu."Clarissa menunduk dalam, tak sengaja membubuhkan rempah itu ke dalam kuah yang mendidih."Duh Gusti, paling masak begini aja kamu nggak bisa?" Tatapannya menghujam penuh heran, dan kesal."Maaf, Bu." Masih tak berani menatap mertuanya.Adit sejak tadi berusaha tenang, meskipun dalam hati juga ikut memprotes rasa aneh yang dia cecap di lidah."Nggak usah ditahan lagi, Dit." Kini berganti mengomel pada anak laki-lakinya. "Muntahin sekarang!"Adit menggeleng, setidaknya ingin menghargai usaha Clarissa. "Enak kok, Bu.""Jangan bohong! Makanan nggak karuan begini." Piring yang berada di depannya Tamara singkirkan. Menyambar tissu sebelum mengelap bibirnya yang belepotan. "Jadi setiap hari kamu kasih makan anak aku kaya gini?"Clarissa menggeleng, memang Adit jarang dia suguhkan makanan yang tak enak. "Aku selalu beli di luar, Ibu tenang aja."Adit melotot, jawaban Clarissa bukannya membuat Tamara
"Pagi, Bumil." Sabrina menarik paksa selimut tebal yang beberapa detik lalu menutup tubuh Clarissa."Hn, pagi."Sabrina membuka tirai jendela sehingga menampilkan balkon kamar rumah Adit. "Tuh suami kamu lagi ngopi sama ibunya."Clarissa terusik, dengan gerakan pelan dia bangun. Mengikuti arah pandang Sabrina, di mana kedua orang yang baru saja disebut tengah bercengkrama. Mata Clarissa memanas mendapati suaminya tertawa renyah di hadapan Tamara."Apa dia nggak kangen sama aku semalam ku tinggal?" tanya Clarissa membatin.Sabrina mendorong pelan bahu Clarissa menuju ranjang. "Kayanya kamu nggak perlu beli sarapan lagi, pasti mertuamu udah masak.""Sab, kok bisa sih Adit nggak nyariin aku?" tanya Clarissa mengalihkan topik.Sabrina duduk di ranjang sebelah Clarissa, menatap sahabatnya dalam-dalam. "Kamu tahu artinya apa?"Gelengan kepala polos membuat Sabrina terkekeh. "Ibu mertuamu berhasil menghasut Adit."Tubuh tinggi langsing itu berdiri, melangkah pelan menuju meja rias. "Setahu a
"Eh, iya." Clarissa terpelongo menatap kepergian Sabrina. Dapat dia tangkap secercah semangat akan binar tatapan Sabrina tadi. Buru-buru Clarissa santap steak daging pesanannya sebelum menyusul ke tempat di mana Sabrina tengah berbicara di depan kamera. "Aku udah pakai cushion glow ini dari sebelum rilis, dan kalian lihat sendiri 'kan sebagus apa di kulit aku?" Sabrina berujar penuh percaya diri. Matanya tak pernah lepas dari dua kamera yang menyorot wajah mulusnya itu. Clarissa hanya mampu menonton aksi sahabatnya dalam bekerja dari kejauhan. Bibirnya mendesah lirih karena merasa payah, tak bisa sepandai Sabrina dalam bekerja. Menjadi teringat akan ucapan Sabrina kemarin, mungkin Tamara akan lebih menghargainya sebagai menantu kalau dirinya cantik, apalagi pintar mencari uang. "Cantik sih, tapi keluarganya kurang berada. Nanti kalau nikah sama kamu, yang ada dia cuma enak-enakan menikmati kerja keras kamu, Dit." Tak terasa sebulir air mata jatuh dari pipi Clarissa saat ucapan Tamara
Syukuran delapan bulanan Clarissa diadakan malam nanti. Rumah yang tak terlalu besar itu ramai tetangga yang saling membantu keperluan syukuran. Ada lima perempuan seumuran Tamara, satu gadis SMA, dan tiga tetangga pria sekaligus temas futsal Adit. Clarissa berjalan tertatih-tatih menuju dapur. Sejak dua hari lalu dia hanya terbaring di ranjang mengaku lemas. Sabrina mencekal pergelangan tangannya ketika hendak menapaki pintu dapur. "Aduh, Clar. maaf, banget. Aku telat ya?" Sabrina baru saja datang sepulang pemotretan untuk sebuah dress terbaru. Clarissa menggeleng perlahan bersama bibir pucatnya tersenyum. "Nggak kok, lagian yang lain juga belum beres masak." Sebenarnya Tamara sempat memprotes kalau Sabrina ikut membantu ibu-ibu lain. Namun, sebagai sahabat Clarissa tak mungkin setega itu. Sabrina sudah seperti sanak saudaranya sendiri. "Eh, ada yang baru datang. Sibuk banget kayanya model satu ini." Tamara berceletuk di depan pintu. Sabrina terlalu peka kalau mertua Clarissa baru sa
"Dit?" seru Sabrina setelah menggedor-gedor pintu. Adit, dan Tamara yang masih asyik menonton televisi terganggu. "Siapa si yang malam-malam gini bertamu?" tanya Tamara sewot. Meski begitu dia tetap melangkah membuka pintu. Sabrina hendak melayangkan ketukan lagi, namun pintu itu sudah lebih dulu dibuka Tamara. "Eh, Bu." Sabrina cengengesan. "Ngapain malam-malam ke sini? Clarissa udah tidur." "Bukan!" sangkal Sabrina. "Aku mau ketemu Adit." Alis Tamara terangkat sebelah. "Untuk?" "Dit?" seru Sabrina tak menggubris keheranan perempuan paruh baya yang kini tengah mendelik ke arahnya. Yang dicari-cari datang. "Ada apa?" "Clarissa," ucap Sabrina terpotong melirik Tamara. "Oh, Clarissa 'kan udah tidur?" Sabrina mengangguk. "Coba cek di kamar!" "Kamu nggedor-gedor pintu tengah malam gini cuma buat nyuruh anak aku lihat Clarissa yang udah tidur?" Tamara berucap sengit. Lagi-lagi Sabrina tak menghiraukan mertua sahabatnya itu. Dia mengikuti Adit menuju kamar. "Sayang?" seru Adit sembari membu
"Bangun, Dit! Bantuin Ibu cuci piring," omel Tamara berkacak pinggang di samping ranjang Adit. Anak semata wayangnya seperti tak mau tahu, meski saja telinganya mendengar dengan jelas, namun matanya tak sudi untuk segera terbuka. Tamara menatap anaknya dengan sengit. "Bangun!" "Cari orang buat kerja setengah hari aja, Bu." Suara Adit yang masih serak menyeruak menusuk telinga Tamara. "Apa?" Wajah ibunya kecut. "Berapa duit yang mesti kita keluarin buat bayar orang? Lagian cuci piring kerjaan gampang kok." Kali ini Adit bangun, menatap sang ibu dengan mata merah. "Kalau gampang kenapa mesti minta tolong sama yang lain?" "Jadi kamu nggak mau bantuin Ibu?" Adit menggeleng, orang tua semakin berumur memang semakin susah diajak kompromi. Padahal Tamara termasuk seorang ibu yang tak pernah memarahinya, setelah kepergian Clarissa barulah Tamara berani menyuruh Adit mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Adit berjalan gontai keluar kamar, yang diikuti Tamara mengawasi. Beberapa tumpukan piring,
Gimana mau nggak?" Dimintai untuk membayar harga setengah dari herbal diet yang Sabrina pesan. Clarissa sejak tadi tak berhenti membolak-balik kemasan kardus mungil itu demi meneliti setiap kandungannya. "Aku coba omongin sama Adit dulu deh." Sabrina nampak tak suka, mata satunya memicing. "Ngapain bilang, Clar? Ini udah urusan kita berdua aja." "Masalahnya sekarang aku udah nggak pegang uang." "Sepeserpun?" tanya Sabrina tak percaya. Clarissa menggeleng perlahan bersama bibirnya berkata, "Masih, cuma itu uang tabungan aku sendiri." "Ya udah deh gimana caranya, tapi kamu mesti dapat itu uang." Clarissa tak punya pilihan lain selain meminta langsung pada Adit. Uang dalam celengan yang dia simpan di bawah kolom ranjang sudah dia tetapkan sebagai uang jaga-jaga kalau perekonomian keluarga merosot. "Lagian kamu ngapain si beli yang mahal banget?" "Kalau nggak mahal jarang ada yang manjur, emang kamu mau cuma sia-sia minum?" Tak punya pilihan, Clarissa akhirnya mau juga menikmati herbal di
Habis sudah riwayat Clarissa, kini sang suami menatapnya nyalang. "Ayo pulang!" Meskipun suaranya tak keras, namun ada datar dalam setiap nadanya. Clarissa menenteng kotak makanan yang masih separuh itu untuk dibawa pulang. Menatap ke arah Sabrina dengan tak enak. Sabrina melambai-lambai sembari cengengesan. "Maaf." Hampir tiga puluh menit, Adit hanya mendiamkan Clarissa. Pria itu berdiri menghadap ranjang sang anak, sedangkan Clarissa duduk dengan gelisah di atas meja rias. "Kamu mar--" "Jelas!" Adit memotong perkataan Clarissa dengan suara yang syarat akan kemarahan. "Di mana pikiran kamu, Clar?" Kepala Clarissa menunduk dalam-dalam. Siap mendengarkan kemungkinan buruk dari setiap omelan suaminya. "Aku udah kasih semuanya, uang bulanan aku cukupi, kamu mau pengasuh untuk anak kita juga aku turuti. Satu yang paling penting aja kamu nggak bisa kasih?" "Sayang, aku nggak bermak--" "Aku kecewa," kata Adit lirih. Hening, kalau sudah satu kata terakhir itu yang terucap dari bibir Adit. Di
"Clarissa mana?" tanya Adit pada si pengasuh yang baru saja selesai memandikan sang anak. "Tadi pagi keluar, Pak." Adit melangkahkan kaki menuju pintu depan, barangkali istrinya pulang berbelanja seperti kegiatan baru Clarissa selama setengah bulan kurang itu. Namun, bukan itu yang Adit dapati. Clarissa keluar dari rumah Sabrina dengan stelah khas olahraga. Adit mengernyit heran. "Habis ngapain, Clar?" Istrinya tersenyum canggung dengan tangan yang menggaruk tengkuk tak gatalnya. "Habis lari pagi." Sangat bukan Clarissa, bahkan semasa gadis dulu istrinya jarang olahraga. "Tumben." Perempuan itu berhenti tepat di ambang pintu, menatap suaminya memicing. "Kamu nggak lihat badan aku udah bengkak kaya gini?" "Jadi?" "Ya aku mau langsing kaya dulu lagi." Adit sebenarnya tak suka kalau Clarissa membahas hal itu, meski jarang-jarang obrolan itu masuk dalam gendang pendengarannya. "Mau beli sarapan kapan?" Pertanyaan yang disengaja dialihkan itu membuat Clarissa menepuk jidatnya pelan. "Duh a
Sabrina pasti sengaja menghabiskan semua uang yang Adit beri, dia menenteng belanjaan di dalam kantung besar. Menaruhnya di ruang televisi tepat di depan Tamara sedang duduk. "Kenapa banyak banget?" Kakinya memutari kursi demi meneliti setiap isi dari belanjaan itu. "Ngapain pakai beli handuk banyak banget? Satu aja cukup loh." Sebagai perempuan yang lahir di era dulu, yang namanya irit tetap harus nomor satu. Pola pikirnya tak berubah seiring bertambahnya zaman. Tamara memungut barang-barang yang sekiranya tak penting. Sabrina melototkan mata. "Mau diapakan, Bu Tamara?" "Dijual lagi, sayang kalau beli banyak-banyak." Meski bukan milik Sabrina, namun perempuan itu merampas beberapa barang pilihan Tamara. "Udah dibeli nggak bisa dikembalikan." "Kata siapa? Bisa kok dijual ke tetangga." Adit dan Clarissa yang mendengar keributan itu datang. Membawa ekspresi yang berbeda-beda. "Udah pulang, Sab?" Clarissa berdiri di samping Sabrina. "Udah tapi--" "Biar nggak pemborosan ini mau Ibu jual l
Perkiraan dokter memang tak selalu akurat, kandungannya juga baru saja memasuki bulan ke delapan. Namun, malam ini ketubannya pecah, Clarissa berulang kali membangunkan sang suami yang bahkan baru saja terlelap setelah sebelumnya menggarap pekerjaan. Matanya masih betah terpejam, hingga teriakan Clarissa berhasil membuatnya terbangun seketika. "Akh, sakit." "Apanya?" tanya Adit khawatir. Menatap Clarissa yang terus memegang perut. Begitu melihat ada darah yang mengalir di paha Clarissa, buru-buru Adit membawa tubuh itu menuju mobil. Pikiran Adit kosong, tak begitu terpikir untuk meminta bantuan orang lain. Rumah sakit menjadi tujuan pertamanya. Selama di perjalanan Clarissa tak pernah berhenti merintih. "Sabar ya, Sayang. Ini sebentar lagi sampai kok," ucapnya sembari sesekali menoleh ke jalanan, dan Clarissa secara bergantian. Jam sepertinya baru menunjuk pukul tiga pagi, di mana orang sedang enaknya terlelap. Sesekali Adit hampir terlonjak antara panik, dan mengantuk yang beradu men
Tamara pasti dalam hati tengah mengumpat melihat anaknya begitu telaten menyuapi Clarissa. "Emang sekedar makan sendiri aja nggak bisa?" Clarissa melirik singkat, memang mulut mertuanya itu tak bisa diam, apapun menjadi bahan omongan. "Bisa, aku yang pengen nyuapin." Adit menjawab tegas. Membuat bibir ibunya terkatup, Adit menambah nasi ke dalam piring. "Makan yang banyak, kamu pasti dari kemarin belum makan, kan?" Tamara mendengus. "Kabur kemana kamu? Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba pergi dari rumah." "Cari suasana segar, Bu." Clarissa menanggapi di sela-sela suapannya. Merasa kesal karena sejak tadi ucapannya selalu dijawab dengan berani, Tamara berlalu sembari menghentak-hentakkan kaki dengan keras. Clarissa menyentuh telapak tangan kiri suaminya, menatap penuh kelembutan. "Makasih ya? Kamu masih bisa bertahan sama aku sejauh ini." "Aku justru minta maaf, belum bisa ngasih kamu kenyamanan." Clarissa menggelengkan kepala membuat Adit yang hendak menyuapi urung. "Ini bukan
"Bangun, Dit! Bantuin Ibu cuci piring," omel Tamara berkacak pinggang di samping ranjang Adit. Anak semata wayangnya seperti tak mau tahu, meski saja telinganya mendengar dengan jelas, namun matanya tak sudi untuk segera terbuka. Tamara menatap anaknya dengan sengit. "Bangun!" "Cari orang buat kerja setengah hari aja, Bu." Suara Adit yang masih serak menyeruak menusuk telinga Tamara. "Apa?" Wajah ibunya kecut. "Berapa duit yang mesti kita keluarin buat bayar orang? Lagian cuci piring kerjaan gampang kok." Kali ini Adit bangun, menatap sang ibu dengan mata merah. "Kalau gampang kenapa mesti minta tolong sama yang lain?" "Jadi kamu nggak mau bantuin Ibu?" Adit menggeleng, orang tua semakin berumur memang semakin susah diajak kompromi. Padahal Tamara termasuk seorang ibu yang tak pernah memarahinya, setelah kepergian Clarissa barulah Tamara berani menyuruh Adit mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Adit berjalan gontai keluar kamar, yang diikuti Tamara mengawasi. Beberapa tumpukan piring,
"Dit?" seru Sabrina setelah menggedor-gedor pintu. Adit, dan Tamara yang masih asyik menonton televisi terganggu. "Siapa si yang malam-malam gini bertamu?" tanya Tamara sewot. Meski begitu dia tetap melangkah membuka pintu. Sabrina hendak melayangkan ketukan lagi, namun pintu itu sudah lebih dulu dibuka Tamara. "Eh, Bu." Sabrina cengengesan. "Ngapain malam-malam ke sini? Clarissa udah tidur." "Bukan!" sangkal Sabrina. "Aku mau ketemu Adit." Alis Tamara terangkat sebelah. "Untuk?" "Dit?" seru Sabrina tak menggubris keheranan perempuan paruh baya yang kini tengah mendelik ke arahnya. Yang dicari-cari datang. "Ada apa?" "Clarissa," ucap Sabrina terpotong melirik Tamara. "Oh, Clarissa 'kan udah tidur?" Sabrina mengangguk. "Coba cek di kamar!" "Kamu nggedor-gedor pintu tengah malam gini cuma buat nyuruh anak aku lihat Clarissa yang udah tidur?" Tamara berucap sengit. Lagi-lagi Sabrina tak menghiraukan mertua sahabatnya itu. Dia mengikuti Adit menuju kamar. "Sayang?" seru Adit sembari membu
Syukuran delapan bulanan Clarissa diadakan malam nanti. Rumah yang tak terlalu besar itu ramai tetangga yang saling membantu keperluan syukuran. Ada lima perempuan seumuran Tamara, satu gadis SMA, dan tiga tetangga pria sekaligus temas futsal Adit. Clarissa berjalan tertatih-tatih menuju dapur. Sejak dua hari lalu dia hanya terbaring di ranjang mengaku lemas. Sabrina mencekal pergelangan tangannya ketika hendak menapaki pintu dapur. "Aduh, Clar. maaf, banget. Aku telat ya?" Sabrina baru saja datang sepulang pemotretan untuk sebuah dress terbaru. Clarissa menggeleng perlahan bersama bibir pucatnya tersenyum. "Nggak kok, lagian yang lain juga belum beres masak." Sebenarnya Tamara sempat memprotes kalau Sabrina ikut membantu ibu-ibu lain. Namun, sebagai sahabat Clarissa tak mungkin setega itu. Sabrina sudah seperti sanak saudaranya sendiri. "Eh, ada yang baru datang. Sibuk banget kayanya model satu ini." Tamara berceletuk di depan pintu. Sabrina terlalu peka kalau mertua Clarissa baru sa