Harusnya sabtu ini menjadi waktu di mana Clarisa bermanjaan dengan sang suami. Sayangnya Adit justru malah mengundang ibunya datang ke rumah. Seperti hubungan menantu, dan mertua pada umumnya, yang baik jika di depan, entah apa yang sebenarnya terjadi tentang penilaian mereka masing-masing. Pagi ini Clarisa sengaja tak membereskan rumah, selain karena sedikit terpengaruh ucapan Sabrina, mood rajinnya lenyap kala lengan kokoh Adit masih setia melingkar di perut buncitnya selepas sarapan.
"Emang harus banget ya ibu datang sekarang? Biasanya `kan hari minggunya," celetuk Clarisa pelan. Tak mau terlihat buruk karena enggan menyambut sang mertua.Adit menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi pipi chubby sang istri. "Entah kenapa aku kangen banget sama ibu. Kamu nggak keberatan, kan?""Jelas lah aku keberatan, ibu kamu itu kalau datang kerjaannya cuma jadi cctv rumah," batin Clarisa sebal. Bibir tipisnya terkatup berharap sang suami peka, dan meminta sang ibu untuk datang besok.Ting tongBel rumah membuat Adit abai akan rajukan Clarisa. Dengan lembut dia singkirkan rengkuhan pada tubuh gembul istrinya demi menyambut sang tamu."Sebentar!"CeklekPanjang umur untuk Tamara, perempuan berusia 45 tahun itu menyambut wajah tampan sang anak dengan sumringah. Tubuhnya sontak ambruk ke dalam dekapan hangat yang sudah satu pekan ini tak dia rasakan. "Kamu sehat-sehat aja, kan?""Seperti yang Ibu lihat, aku baik."Obrolan singkat dari kedua manusia berbeda gender itu terdengar sampai ke telinga Clarisa dari ruang televisi. Hafal akan sifat Tamara yang menjunjung tinggi tata krama membuatnya mau tak mau harus menyambut ke ruang depan juga."Selamat datang, Bu." Bibirnya tersenyum simpul bersama kedua tangannya yang meraih tangan Tamara untuk dia cium.Sang mertua membalas perlakuan manis Clarisa dengan tak kalah ramah. Tangannya mengusap kepala sang menantu penuh kelembutan. Meski sebenarnya dalam hati dia dongkol. "Apa kamu itu lupa ya, Clar? Sudah berapa kali Ibu bilang kalau pagi hari itu waktunya beberes."Adit turut mengikuti arah pandang Tamara yang sejak tadi merasa risih dengan keadaan rumah. Memang tak begitu kotor, barang-barang yang berada di ruang tamu itupun tak berserakan. Namun, Tamara adalah Tamara yang sangat teliti akan banyak hal."Clarisa capek, Bu. Sekali-kali nggak beresin rumah nggak papa dong," bela Adit mengelus lengan sang istri.Tamara berjalan memasuki ruang makan. Tangannya mengelap debu tipis yang tertempel di sudut kiri meja itu. "Dulu waktu Adit belum nikah, rumah ini selalu aku yang bersihin. Sebagai istri yang nempatin setiap hari harusnya kamu nggak banyak males-malesan dong, Clar."Sejak tadi Clarisa hanya diam membisu. Lain hal dengan jeritan hatinya yang meronta-ronta ingin ke luar. Menatap sengit sang mertua yang anggun, namun mematikan. Baik, tetapi mengandung kadar kecerewetan yang luar biasa.Adit menundukkan wajahnya demi melihat raut sang istri, seperti perkiraannya kalau perempuan itu berusaha menahan kesal. "Maafin Ibu ya?"Anggukan tak berselera Clarisa beri, memangnya maaf bisa membuat Tamara berubah? Selalu Adit yang meminta maaf, dan perempuan parubaya itu kian meneliti lebih banyak lagi."Jam segini kok kamar belum diberesin?" tanya Tamara membalikkan badan di depan pintu kamar."Iya, Bu. Karena bawaan bayi aku jadi nggak semangat beres-beres.""Menurut aku si gimana cara ngejalaninnya aja. Kalau nurut sama hal-hal yang berbau males jadi kamu sendiri yang repot nanti. Rumah kalau nggak dibersihin setiap hari akan terasa lebih berat lagi nanti," jelas Tamara panjang lebar.Adit menarik pergelangan tangan Clarisa menuju halaman belakang. Khawatir karena ucapan Tamara bisa membuat sang ibu hamil stress. "Kamu di sini aja dulu, biar aku yang jelasin sama ibu."Tanpa menunggu persetujuannya lebih dulu, Adit langsung melesat masuk kembali. Meninggalkan Clarisa yang melotot kala melihat baju yang pagi tadi dia cuci lupa tak terjemur. "Kenapa semuanya jadi nggak beres si?"Untuk hari-hari biasanya hal kecil semacam itu tak menjadi masalah, hanya saja Clarisa sudah muak mendengar celotehan mertuanya yang kini tengah mengacungkan jemari telunjuknya menuju wastafel dapur. Ruat mukanya terlihat masam sebelum menghadiahi Adit dengan cubitan di lengan."Panggil Clarisa ke sini!"Sang pria mengaduh lirih bersama kakinya yang menuruti permintaan Tamara. "Sayang, kayanya aku gagal bujuk ibu deh kali ini. Dia marah besar."Clarisa menatap Adit kecut. "Emang aku yang nggak pernah benar di mata ibu kamu."Kalimat nestapa itu untuk pertama kalinya masuk ke dalam gentang telinga Adit. Mata sipitnya menatap wajah chubby Clarisa penuh rasa bersalah. "Aku minta maaf.""Maaf terus," timpal Clarisa sebal. "Aku nggak mau nemuin ibu kamu dulu." Kaki yang bengkak akibat kehamilannya itu melangkah menjauhi halaman belakang.Adit tahu ke mana arah tujuan sang istri sekarang. Tempat nongkrong baru, rumah tetangga sebelah. Jujur tak terlalu Adit pusingkan, yang dia percaya istrinya berteman baik dengan Sabrina. Kesenangan baru itu sebenarnya sedikit membuatnya lega karena tak menjumpai kata bosan lagi dari bibir Clarisa."Loh di mana Clarisa?" Tamara muncul dari balik pintu. Kepalanya celingukan mencari sang menantu yang sudah tak berada di tempat."Dia keluar cari angin segar," jawab Adit polos.Tak tahu saja kalau Tamara kian menambah ocehan yang sudah disusun rapi. "Mertuanya datang kok malah pergi."Adit menggaruk secara sungkan kepalanya yang terhias rambut hitam pekat itu. "Lagian Ibu datang langsung ngomelin dia. Ibu hamil bukannya sensitif ya?"Tamara mungkin lupa akan fakta itu, dulunya dia juga begitu saat mengandung Adit. Begitu sensitif, dan hobi bermalas-malasan. Apa dirinya kali ini terlalu berlebihan sebagai seorang mertua? Ah, kepalanya menggeleng cepat saat sebagian kecil hatinya merasa iba. Dia hanya menginginkan yang terbaik untuk Adit. Sebagaimana pria itu harus terurus dengan baik. Kerja kerasnya layak dibayar dengan kenyamanan."Jangan terlalu manjain istri kamu!"Keduanya memasuki rumah dengan runtun. Adit masih setia memasang telinganya barangkali Tamara perlu berbicara lagi."Kamu masih ingat `kan syarat aku merestui hubungan kalian?" tanya Tamara setengah memicing.Adit tentu tak lupa akan hal itu, keposesifan Tamara sebagai ibu sempat hampir membuat hubungannya dengan Clarisa kandas. Perempuan parubaya itu mematok banyak hal agar sang anak terus merasa bahagia sepanjang perjalanan hidupnya."Kalau kamu memang nggak lupa, ajari dia buat jadi istri yang lebih baik lagi."Entah seperti apa pandangan lebih baik di mata Tamara, padahal baginya Clarisa merupakan seorang istri yang lebih dari kata baik. Istri yang tak pernah meminta banyak hal. Dan keputusannya membela Clarisa adalah murni dari relung hatinya yang juga tak mau menuntut banyak hal. Kenyamanan adalah kunci utama dari pernikahan yang dia bangun saat ini."Mertua modelan kaya dia nggak usah diladenin!" ujar Sabrina sedetik sebelum melahap salad buah ciptaan tangannya sendiri.Clarisa menatap rumahnya dari sudut balkon, mengira-ngira apa gerangan yang sedang Adit, dan Tamara lakukan. Suaminya bahkan tak ke luar rumah sekedar memintanya pulang. "Aku memang selalu kurang di mata dia.""Bukan kamu yang kurang, dianya aja yang berlebihan. Istri itu bukan babu yang harus ngerjain semua keperluan rumah," timpal Sabrina tepat. "Jadi diri kamu sendiri aja, toh Adit nggak masalahin hal itu, kan?"Wajah yang dulu tirus ayu kini tertelan lemak itu menoleh pelan. "Adit emang nggak pernah protes, tapi aku yakin ibunya bakal lebih sering lagi dateng ke sini karena tahu aku nggak becus."Sabrina meletakkan mangkuk ke atas meja, meraih segelas air putih sebagai penutup sarapannya hari ini. "Jangan mau bikin stress sendiri karena masalah kaya gitu. Kamu nggak mau keriput cepat, kan?"Ledekan Sabrina terkadang ada benarnya, entah mengapa perempuan bersta
"Kamu masukin apa ke sini?" tanya Tamara masih berusaha menelan masakan Clarissa."Asam, Bu."Clarissa menunduk dalam, tak sengaja membubuhkan rempah itu ke dalam kuah yang mendidih."Duh Gusti, paling masak begini aja kamu nggak bisa?" Tatapannya menghujam penuh heran, dan kesal."Maaf, Bu." Masih tak berani menatap mertuanya.Adit sejak tadi berusaha tenang, meskipun dalam hati juga ikut memprotes rasa aneh yang dia cecap di lidah."Nggak usah ditahan lagi, Dit." Kini berganti mengomel pada anak laki-lakinya. "Muntahin sekarang!"Adit menggeleng, setidaknya ingin menghargai usaha Clarissa. "Enak kok, Bu.""Jangan bohong! Makanan nggak karuan begini." Piring yang berada di depannya Tamara singkirkan. Menyambar tissu sebelum mengelap bibirnya yang belepotan. "Jadi setiap hari kamu kasih makan anak aku kaya gini?"Clarissa menggeleng, memang Adit jarang dia suguhkan makanan yang tak enak. "Aku selalu beli di luar, Ibu tenang aja."Adit melotot, jawaban Clarissa bukannya membuat Tamara
"Pagi, Bumil." Sabrina menarik paksa selimut tebal yang beberapa detik lalu menutup tubuh Clarissa."Hn, pagi."Sabrina membuka tirai jendela sehingga menampilkan balkon kamar rumah Adit. "Tuh suami kamu lagi ngopi sama ibunya."Clarissa terusik, dengan gerakan pelan dia bangun. Mengikuti arah pandang Sabrina, di mana kedua orang yang baru saja disebut tengah bercengkrama. Mata Clarissa memanas mendapati suaminya tertawa renyah di hadapan Tamara."Apa dia nggak kangen sama aku semalam ku tinggal?" tanya Clarissa membatin.Sabrina mendorong pelan bahu Clarissa menuju ranjang. "Kayanya kamu nggak perlu beli sarapan lagi, pasti mertuamu udah masak.""Sab, kok bisa sih Adit nggak nyariin aku?" tanya Clarissa mengalihkan topik.Sabrina duduk di ranjang sebelah Clarissa, menatap sahabatnya dalam-dalam. "Kamu tahu artinya apa?"Gelengan kepala polos membuat Sabrina terkekeh. "Ibu mertuamu berhasil menghasut Adit."Tubuh tinggi langsing itu berdiri, melangkah pelan menuju meja rias. "Setahu a
"Eh, iya." Clarissa terpelongo menatap kepergian Sabrina. Dapat dia tangkap secercah semangat akan binar tatapan Sabrina tadi. Buru-buru Clarissa santap steak daging pesanannya sebelum menyusul ke tempat di mana Sabrina tengah berbicara di depan kamera. "Aku udah pakai cushion glow ini dari sebelum rilis, dan kalian lihat sendiri 'kan sebagus apa di kulit aku?" Sabrina berujar penuh percaya diri. Matanya tak pernah lepas dari dua kamera yang menyorot wajah mulusnya itu. Clarissa hanya mampu menonton aksi sahabatnya dalam bekerja dari kejauhan. Bibirnya mendesah lirih karena merasa payah, tak bisa sepandai Sabrina dalam bekerja. Menjadi teringat akan ucapan Sabrina kemarin, mungkin Tamara akan lebih menghargainya sebagai menantu kalau dirinya cantik, apalagi pintar mencari uang. "Cantik sih, tapi keluarganya kurang berada. Nanti kalau nikah sama kamu, yang ada dia cuma enak-enakan menikmati kerja keras kamu, Dit." Tak terasa sebulir air mata jatuh dari pipi Clarissa saat ucapan Tamara
Syukuran delapan bulanan Clarissa diadakan malam nanti. Rumah yang tak terlalu besar itu ramai tetangga yang saling membantu keperluan syukuran. Ada lima perempuan seumuran Tamara, satu gadis SMA, dan tiga tetangga pria sekaligus temas futsal Adit. Clarissa berjalan tertatih-tatih menuju dapur. Sejak dua hari lalu dia hanya terbaring di ranjang mengaku lemas. Sabrina mencekal pergelangan tangannya ketika hendak menapaki pintu dapur. "Aduh, Clar. maaf, banget. Aku telat ya?" Sabrina baru saja datang sepulang pemotretan untuk sebuah dress terbaru. Clarissa menggeleng perlahan bersama bibir pucatnya tersenyum. "Nggak kok, lagian yang lain juga belum beres masak." Sebenarnya Tamara sempat memprotes kalau Sabrina ikut membantu ibu-ibu lain. Namun, sebagai sahabat Clarissa tak mungkin setega itu. Sabrina sudah seperti sanak saudaranya sendiri. "Eh, ada yang baru datang. Sibuk banget kayanya model satu ini." Tamara berceletuk di depan pintu. Sabrina terlalu peka kalau mertua Clarissa baru sa
"Dit?" seru Sabrina setelah menggedor-gedor pintu. Adit, dan Tamara yang masih asyik menonton televisi terganggu. "Siapa si yang malam-malam gini bertamu?" tanya Tamara sewot. Meski begitu dia tetap melangkah membuka pintu. Sabrina hendak melayangkan ketukan lagi, namun pintu itu sudah lebih dulu dibuka Tamara. "Eh, Bu." Sabrina cengengesan. "Ngapain malam-malam ke sini? Clarissa udah tidur." "Bukan!" sangkal Sabrina. "Aku mau ketemu Adit." Alis Tamara terangkat sebelah. "Untuk?" "Dit?" seru Sabrina tak menggubris keheranan perempuan paruh baya yang kini tengah mendelik ke arahnya. Yang dicari-cari datang. "Ada apa?" "Clarissa," ucap Sabrina terpotong melirik Tamara. "Oh, Clarissa 'kan udah tidur?" Sabrina mengangguk. "Coba cek di kamar!" "Kamu nggedor-gedor pintu tengah malam gini cuma buat nyuruh anak aku lihat Clarissa yang udah tidur?" Tamara berucap sengit. Lagi-lagi Sabrina tak menghiraukan mertua sahabatnya itu. Dia mengikuti Adit menuju kamar. "Sayang?" seru Adit sembari membu
"Bangun, Dit! Bantuin Ibu cuci piring," omel Tamara berkacak pinggang di samping ranjang Adit. Anak semata wayangnya seperti tak mau tahu, meski saja telinganya mendengar dengan jelas, namun matanya tak sudi untuk segera terbuka. Tamara menatap anaknya dengan sengit. "Bangun!" "Cari orang buat kerja setengah hari aja, Bu." Suara Adit yang masih serak menyeruak menusuk telinga Tamara. "Apa?" Wajah ibunya kecut. "Berapa duit yang mesti kita keluarin buat bayar orang? Lagian cuci piring kerjaan gampang kok." Kali ini Adit bangun, menatap sang ibu dengan mata merah. "Kalau gampang kenapa mesti minta tolong sama yang lain?" "Jadi kamu nggak mau bantuin Ibu?" Adit menggeleng, orang tua semakin berumur memang semakin susah diajak kompromi. Padahal Tamara termasuk seorang ibu yang tak pernah memarahinya, setelah kepergian Clarissa barulah Tamara berani menyuruh Adit mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Adit berjalan gontai keluar kamar, yang diikuti Tamara mengawasi. Beberapa tumpukan piring,
Tamara pasti dalam hati tengah mengumpat melihat anaknya begitu telaten menyuapi Clarissa. "Emang sekedar makan sendiri aja nggak bisa?" Clarissa melirik singkat, memang mulut mertuanya itu tak bisa diam, apapun menjadi bahan omongan. "Bisa, aku yang pengen nyuapin." Adit menjawab tegas. Membuat bibir ibunya terkatup, Adit menambah nasi ke dalam piring. "Makan yang banyak, kamu pasti dari kemarin belum makan, kan?" Tamara mendengus. "Kabur kemana kamu? Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba pergi dari rumah." "Cari suasana segar, Bu." Clarissa menanggapi di sela-sela suapannya. Merasa kesal karena sejak tadi ucapannya selalu dijawab dengan berani, Tamara berlalu sembari menghentak-hentakkan kaki dengan keras. Clarissa menyentuh telapak tangan kiri suaminya, menatap penuh kelembutan. "Makasih ya? Kamu masih bisa bertahan sama aku sejauh ini." "Aku justru minta maaf, belum bisa ngasih kamu kenyamanan." Clarissa menggelengkan kepala membuat Adit yang hendak menyuapi urung. "Ini bukan
Gimana mau nggak?" Dimintai untuk membayar harga setengah dari herbal diet yang Sabrina pesan. Clarissa sejak tadi tak berhenti membolak-balik kemasan kardus mungil itu demi meneliti setiap kandungannya. "Aku coba omongin sama Adit dulu deh." Sabrina nampak tak suka, mata satunya memicing. "Ngapain bilang, Clar? Ini udah urusan kita berdua aja." "Masalahnya sekarang aku udah nggak pegang uang." "Sepeserpun?" tanya Sabrina tak percaya. Clarissa menggeleng perlahan bersama bibirnya berkata, "Masih, cuma itu uang tabungan aku sendiri." "Ya udah deh gimana caranya, tapi kamu mesti dapat itu uang." Clarissa tak punya pilihan lain selain meminta langsung pada Adit. Uang dalam celengan yang dia simpan di bawah kolom ranjang sudah dia tetapkan sebagai uang jaga-jaga kalau perekonomian keluarga merosot. "Lagian kamu ngapain si beli yang mahal banget?" "Kalau nggak mahal jarang ada yang manjur, emang kamu mau cuma sia-sia minum?" Tak punya pilihan, Clarissa akhirnya mau juga menikmati herbal di
Habis sudah riwayat Clarissa, kini sang suami menatapnya nyalang. "Ayo pulang!" Meskipun suaranya tak keras, namun ada datar dalam setiap nadanya. Clarissa menenteng kotak makanan yang masih separuh itu untuk dibawa pulang. Menatap ke arah Sabrina dengan tak enak. Sabrina melambai-lambai sembari cengengesan. "Maaf." Hampir tiga puluh menit, Adit hanya mendiamkan Clarissa. Pria itu berdiri menghadap ranjang sang anak, sedangkan Clarissa duduk dengan gelisah di atas meja rias. "Kamu mar--" "Jelas!" Adit memotong perkataan Clarissa dengan suara yang syarat akan kemarahan. "Di mana pikiran kamu, Clar?" Kepala Clarissa menunduk dalam-dalam. Siap mendengarkan kemungkinan buruk dari setiap omelan suaminya. "Aku udah kasih semuanya, uang bulanan aku cukupi, kamu mau pengasuh untuk anak kita juga aku turuti. Satu yang paling penting aja kamu nggak bisa kasih?" "Sayang, aku nggak bermak--" "Aku kecewa," kata Adit lirih. Hening, kalau sudah satu kata terakhir itu yang terucap dari bibir Adit. Di
"Clarissa mana?" tanya Adit pada si pengasuh yang baru saja selesai memandikan sang anak. "Tadi pagi keluar, Pak." Adit melangkahkan kaki menuju pintu depan, barangkali istrinya pulang berbelanja seperti kegiatan baru Clarissa selama setengah bulan kurang itu. Namun, bukan itu yang Adit dapati. Clarissa keluar dari rumah Sabrina dengan stelah khas olahraga. Adit mengernyit heran. "Habis ngapain, Clar?" Istrinya tersenyum canggung dengan tangan yang menggaruk tengkuk tak gatalnya. "Habis lari pagi." Sangat bukan Clarissa, bahkan semasa gadis dulu istrinya jarang olahraga. "Tumben." Perempuan itu berhenti tepat di ambang pintu, menatap suaminya memicing. "Kamu nggak lihat badan aku udah bengkak kaya gini?" "Jadi?" "Ya aku mau langsing kaya dulu lagi." Adit sebenarnya tak suka kalau Clarissa membahas hal itu, meski jarang-jarang obrolan itu masuk dalam gendang pendengarannya. "Mau beli sarapan kapan?" Pertanyaan yang disengaja dialihkan itu membuat Clarissa menepuk jidatnya pelan. "Duh a
Sabrina pasti sengaja menghabiskan semua uang yang Adit beri, dia menenteng belanjaan di dalam kantung besar. Menaruhnya di ruang televisi tepat di depan Tamara sedang duduk. "Kenapa banyak banget?" Kakinya memutari kursi demi meneliti setiap isi dari belanjaan itu. "Ngapain pakai beli handuk banyak banget? Satu aja cukup loh." Sebagai perempuan yang lahir di era dulu, yang namanya irit tetap harus nomor satu. Pola pikirnya tak berubah seiring bertambahnya zaman. Tamara memungut barang-barang yang sekiranya tak penting. Sabrina melototkan mata. "Mau diapakan, Bu Tamara?" "Dijual lagi, sayang kalau beli banyak-banyak." Meski bukan milik Sabrina, namun perempuan itu merampas beberapa barang pilihan Tamara. "Udah dibeli nggak bisa dikembalikan." "Kata siapa? Bisa kok dijual ke tetangga." Adit dan Clarissa yang mendengar keributan itu datang. Membawa ekspresi yang berbeda-beda. "Udah pulang, Sab?" Clarissa berdiri di samping Sabrina. "Udah tapi--" "Biar nggak pemborosan ini mau Ibu jual l
Perkiraan dokter memang tak selalu akurat, kandungannya juga baru saja memasuki bulan ke delapan. Namun, malam ini ketubannya pecah, Clarissa berulang kali membangunkan sang suami yang bahkan baru saja terlelap setelah sebelumnya menggarap pekerjaan. Matanya masih betah terpejam, hingga teriakan Clarissa berhasil membuatnya terbangun seketika. "Akh, sakit." "Apanya?" tanya Adit khawatir. Menatap Clarissa yang terus memegang perut. Begitu melihat ada darah yang mengalir di paha Clarissa, buru-buru Adit membawa tubuh itu menuju mobil. Pikiran Adit kosong, tak begitu terpikir untuk meminta bantuan orang lain. Rumah sakit menjadi tujuan pertamanya. Selama di perjalanan Clarissa tak pernah berhenti merintih. "Sabar ya, Sayang. Ini sebentar lagi sampai kok," ucapnya sembari sesekali menoleh ke jalanan, dan Clarissa secara bergantian. Jam sepertinya baru menunjuk pukul tiga pagi, di mana orang sedang enaknya terlelap. Sesekali Adit hampir terlonjak antara panik, dan mengantuk yang beradu men
Tamara pasti dalam hati tengah mengumpat melihat anaknya begitu telaten menyuapi Clarissa. "Emang sekedar makan sendiri aja nggak bisa?" Clarissa melirik singkat, memang mulut mertuanya itu tak bisa diam, apapun menjadi bahan omongan. "Bisa, aku yang pengen nyuapin." Adit menjawab tegas. Membuat bibir ibunya terkatup, Adit menambah nasi ke dalam piring. "Makan yang banyak, kamu pasti dari kemarin belum makan, kan?" Tamara mendengus. "Kabur kemana kamu? Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba pergi dari rumah." "Cari suasana segar, Bu." Clarissa menanggapi di sela-sela suapannya. Merasa kesal karena sejak tadi ucapannya selalu dijawab dengan berani, Tamara berlalu sembari menghentak-hentakkan kaki dengan keras. Clarissa menyentuh telapak tangan kiri suaminya, menatap penuh kelembutan. "Makasih ya? Kamu masih bisa bertahan sama aku sejauh ini." "Aku justru minta maaf, belum bisa ngasih kamu kenyamanan." Clarissa menggelengkan kepala membuat Adit yang hendak menyuapi urung. "Ini bukan
"Bangun, Dit! Bantuin Ibu cuci piring," omel Tamara berkacak pinggang di samping ranjang Adit. Anak semata wayangnya seperti tak mau tahu, meski saja telinganya mendengar dengan jelas, namun matanya tak sudi untuk segera terbuka. Tamara menatap anaknya dengan sengit. "Bangun!" "Cari orang buat kerja setengah hari aja, Bu." Suara Adit yang masih serak menyeruak menusuk telinga Tamara. "Apa?" Wajah ibunya kecut. "Berapa duit yang mesti kita keluarin buat bayar orang? Lagian cuci piring kerjaan gampang kok." Kali ini Adit bangun, menatap sang ibu dengan mata merah. "Kalau gampang kenapa mesti minta tolong sama yang lain?" "Jadi kamu nggak mau bantuin Ibu?" Adit menggeleng, orang tua semakin berumur memang semakin susah diajak kompromi. Padahal Tamara termasuk seorang ibu yang tak pernah memarahinya, setelah kepergian Clarissa barulah Tamara berani menyuruh Adit mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Adit berjalan gontai keluar kamar, yang diikuti Tamara mengawasi. Beberapa tumpukan piring,
"Dit?" seru Sabrina setelah menggedor-gedor pintu. Adit, dan Tamara yang masih asyik menonton televisi terganggu. "Siapa si yang malam-malam gini bertamu?" tanya Tamara sewot. Meski begitu dia tetap melangkah membuka pintu. Sabrina hendak melayangkan ketukan lagi, namun pintu itu sudah lebih dulu dibuka Tamara. "Eh, Bu." Sabrina cengengesan. "Ngapain malam-malam ke sini? Clarissa udah tidur." "Bukan!" sangkal Sabrina. "Aku mau ketemu Adit." Alis Tamara terangkat sebelah. "Untuk?" "Dit?" seru Sabrina tak menggubris keheranan perempuan paruh baya yang kini tengah mendelik ke arahnya. Yang dicari-cari datang. "Ada apa?" "Clarissa," ucap Sabrina terpotong melirik Tamara. "Oh, Clarissa 'kan udah tidur?" Sabrina mengangguk. "Coba cek di kamar!" "Kamu nggedor-gedor pintu tengah malam gini cuma buat nyuruh anak aku lihat Clarissa yang udah tidur?" Tamara berucap sengit. Lagi-lagi Sabrina tak menghiraukan mertua sahabatnya itu. Dia mengikuti Adit menuju kamar. "Sayang?" seru Adit sembari membu
Syukuran delapan bulanan Clarissa diadakan malam nanti. Rumah yang tak terlalu besar itu ramai tetangga yang saling membantu keperluan syukuran. Ada lima perempuan seumuran Tamara, satu gadis SMA, dan tiga tetangga pria sekaligus temas futsal Adit. Clarissa berjalan tertatih-tatih menuju dapur. Sejak dua hari lalu dia hanya terbaring di ranjang mengaku lemas. Sabrina mencekal pergelangan tangannya ketika hendak menapaki pintu dapur. "Aduh, Clar. maaf, banget. Aku telat ya?" Sabrina baru saja datang sepulang pemotretan untuk sebuah dress terbaru. Clarissa menggeleng perlahan bersama bibir pucatnya tersenyum. "Nggak kok, lagian yang lain juga belum beres masak." Sebenarnya Tamara sempat memprotes kalau Sabrina ikut membantu ibu-ibu lain. Namun, sebagai sahabat Clarissa tak mungkin setega itu. Sabrina sudah seperti sanak saudaranya sendiri. "Eh, ada yang baru datang. Sibuk banget kayanya model satu ini." Tamara berceletuk di depan pintu. Sabrina terlalu peka kalau mertua Clarissa baru sa