Dengan sandwich yang masih ada di mulutnya, Nata sibuk menghubungi sahabatnya yang tadi berkata akan menjemput di bandara. Satu jam yang lalu Nata sampai di sini namun sahabatnya itu belum muncul juga. Nata bahkan telah menelfon berkali-kali entah berapa banyak panggilan tak terjawab yang akan sahabatnya itu dapatkan. Nata menunggu dengan beberapa kali umpatan keluar dari mulutnya.
“Lo dimana sih nyet?” umpat Nata.
Jika sudah di Jakarta maka Nata bisa kembali kepada dirinya sendiri. Ia tak harus pusing menjaga lisan karena tak akan ada yang tahu. Ia bebas mengumpat bahkan juga tertawa sekeras mungkin, tak akan ada Abdi Dalem yang menegur. Ini wilayah kebebasan Nata dan lebih baik karena jauh dari Eyang Kakung. Nata mendapatkan kembali dirinya sekarang.
Lima menit kemudian sosok laki-laki tinggi berwajah blesteran bule datang menghampiri Nata yang masih sibuk menghabiskan makanannya.Laki-laki itu berjalan dengan santainya dengan tangan di saku. Tentu saja itu membuat Nata kesal bukan main, Ia hampir saja pulang dengan taksi jika sahabatnya itu tak kunjung datang. Benar-benar bukan main orang di hadapannya ini.
“Udah dari tadi nyet?” tanya laki-laki itu.
Nata menatap sahabatnya itu tajam. Laki-laki bernama lengkap Aksa Kenan Mahaprana itu hanya tersenyum lebar seakan tidak melakukan kesalahan apapun. Jika boleh mungkin Nata ingin setidaknya memukul kepalanya namun Ia sadar kalau tenaga mereka tak sebanding. Bisa-bisa Nata akan pulang babak belur jika berani mengusik tuan muda Mahaprana yang punya kekuasaan, uang dan juga kekuatan fisik yang tak main-main.
“Gak sekalian jemput gue besok pagi aja Sa?” sindir Nata.
“Ya sorry Nat, si Raka habisnya ribet pengen ikut,” ujar Aksa.
Melihat nama sahabatnya yang lain disebut membuat Nata kembali menatap ke belakang Aksa namun Ia tak menemukan siapa-siapa. Sedari tadi justru Aksa berjalan sendirian tak ada orang dibelakangnya. Setidaknya jika Raka ikut harusnya manusia itu ada di belakang Aksa.
“Terus Raka nya mana?” tanya Nata.
Aksa melihat ke belakang namun tak ada siapapun. Ia kemudian melihat ke kanan dan ke kiri namun tak ada siapapun yang mengikutinya.
“Lah Iya Nat, si Raka mana?” tanya Aksa bingung.
“Ya Tuhan, punya temen kenapa pada aneh-aneh sih,” ujar Nata.
Aksa mencoba menghubungi Raka namun ponselnya sibuk. Lima menit kemudian datang seorang laki-laki dengan santai menenggak kopi dari kedai kopi terkenal. Sosok Raka berjalan sangat santai menghampiri kedua sahabatnya dengan senyum paling lebar. Nata menatap sahabatnya itu frustasi, bukannya berlari dan meminta maaf karena membuat menunggu tapi Raka justru berjalan dengan snagat santai bak ada di peragaan busana terkenal. Nata hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah Raka.
“Gue tutup dulu,” ucap Raka pada ponsel yang ada di telinganya.
Nata terlihat stress berat melihat tingkah Raka yang tidak juga berubah, aneh!
“Oyy, ehey Nata. Hello man!” seru Raka menghampiri Nata dan merangkul pundaknya.
“Ya Allah, kok gue betah punya sahabat kek gini,” ungkap Nata.
“Hoi hoi hoi, santai Nat. Gue tadi udah nyari lo berdua tapi gak ketemu, makannya beli kopi dulu,” jelas Raka membela diri.
“Kan ada telfon nyet, bisa kan lo telfon kita dulu,” ujar Nata.
“Si Kyra nelfon Nat, gak bisa gue tutup. Kasian lagi gundah gulana,” balas Raka.
“Bucin tai!” seru Nata.
Nata kembali mengomeli Raka dengan suara yang cukup nyaring. Kini ketiganya sukses menjadi tontonan orang lewat dengan pertengkaran mereka yang sebenarnya tidak terlalu penting. Aksa yang melihat itu hanya terdiam, kejadian ini sudah biasa terjadi. Seperti inilah Nata dan sahabat-sahabatnya, ramai dan terkadang tak tahu malu. Siapapun yang melihat mereka pasti mengira ada pertengkaran besar karena sekarang baik Nata maupun Raka sama-sama berteriak dengan suara nyaring bahkan seperti saling membentak.
Akhirnya setelah beberapa menit dan tersadar kalau mereka masih ada di Bandara, ketiganya memutuskan untuk ke rumah Nata. Ponsel Nata sedari tadi sibuk bergetar karena Gala dengan baik melaporkan segala kejadian yang terjadi setelah Nata pergi. Eyang masih belum juga luluh, bahkan para Sesepuh juga ikut turun tangan. Nata menatap layar ponselnya miris. Dia benar-benar membuat keributan besar. Setidaknya ini lebih parah dari ekspektasi awalnya. Nata benar-benar tak menyangka.
“Sepupu lo tunangan, tahun depan berarti lo dong nyet?” tanya Aksa.
“Heem,” gumam Nata.
“Udah ada calonnya?” tanya Raka.
“Udah,” balas Nata singkat.
“Terus Kinna gimana?” tanya Aksa.
“Gue tolak perjodohannya,” ungkap Nata.
Aksa dan Raka saling pandang. Keduanya tahu betul tentang tradisi itu, dan dari awal memang mereka sudah mengetahui keputusan Nata yang seperti ini.
“Makannya sekarang di Solo lagi pada ribut masalah ini,” jelas Nata.
“Kenapa lo di sini nyet? Kabur?” tanya Aksa.
“Ibu sama Ayah nyuruh gue pulang sedangkan mereka yang ngomong ke Eyang, soalnya Eyang gak mau ketemu gue,” jelas Nata.
Aksa dan Raka mengangguk paham. Ternyata ini alasan kenapa Nata sedari tadi diam-diam saja dan tidak membuat keributan seperti biasanya. Namun sedetik kemudian Nata tiba-tiba berteriak dan menghentak-hentakkan kakinya di ranjang, sontak itu membuat Raka dan Aksa yang duduk di sofa terperanjat kaget. Baru saja mereka merasa damai, ternyata sifat asli Nata memang tak bisa di pendam terlalu lama. Hanya tiga hari di Solo sudah membuat laki-laki itu stres berat.
“Peletnya Kinna terlalu gede! Gak bisa gue!” seru Nata tiba-tiba.
“Emang calon tunangan lo kek gimana?” tanya Aksa.
“Cantik, inceran banyak bangsawan, pinter dan banyak prestasinya, lulusan terbaik Sekolah Kerajaan. Anggun, kalem, gak aneh-aneh,” jelas Nata masih dengan menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya.
“Kalau gitu ceritanya sih gue kasian sama dia soalnya di jodohinnya sama lo,” ujar Raka.
“Bangke!” umpat Nata sembari melempar bantal di sebelahnya.
Tiba-tiba Nata berdiri dan berlari menuju kaca besar yang ada di kamarnya. Aksa dan Raka mulai was-was melihat tingkah sahabatnya itu. Kembali dari Solo benar-benar membuat Nata semakin liar. Nata melihat pantulan bayangannya di cermin. Ia memasang raut wajah paling serius yang Ia bisa dan itu membuat Raka bersiap membawa segelas air untuk megeluarkan setan nakal di tubuh Nata.
“Gak selamanya perjodohan berakhir sama yang di jodohkan Nat. Ini bukan novel menye-menye yang di baca Illona. Lo juga bukan Mas Byan, Mas Dhanu sama Mas Sena yang emang dasarnya jomblo, lo Nata! Lo berhak dapet apa yang lo mau termasuk restu sama Kinna! Lo bisa!” ujar Nata optimis.
“Kenapa jadi cewek gue yang di bawa-bawa si kampret,” gumam Aksa.
“Kayaknya temen lo kesambet setan Bandara deh Sa,” bisik Raka pada Aksa.
“Itu temen lo juga Ka,” balas Aksa.
Nata kembali menatap kedua sahabatnya dan itu membuat Aksa dan Raka kembali siaga satu.
“Makan yuk,” ucap Nata seakan tak ada apa-apa.
Aksa dan Raka membuka mulutnya lebar-lebar, terperangah dengan tingkah Nata yang sangat-sangat tidak jelas. Terkadang sebagai sahabat, baik Aksa, Raka maupun Daniel selalu mempertanyakan apakah Nata benar-benar lulusan Sekolah Kerajaan. Sebab kelakuannya sama sekali tidak mencerminkah perilaku seorang pangeran. Kalau kata Daniel tingkah Nata itu lebih mirip monyet bunting yang tak jelas perilakunya. Selain jahil, moodnya juga naik turun, bukan karena Nata mengidap bipolar namun memang seperti itulah Nata, tidak jelas.
Sejauh ini yang bisa mengimbangi ketidak jelasan Nata hanya Raka. Raka yang sama-sama tidak jelasnya. Keduanya benar-benar mirip dari tingkah lakunya hanya saja Raka lebih banyak diamnya.
“Kita temenan dari SMP tapi gue masih speechless sama kelakuan lo Nat,” ungkap Aksa.
“Selalu ada kejutan dari orang ganteng Sa,” ujar Nata namun kali ini ucapan Nata mendapat toyoran keras dari Raka yang berada di belakang mereka.
“Gue doain seret jodoh lo!” ujar Raka.
Nata yang mendengar itu langsung panik. Ia segera memeluk Raka dan meminta sahabatnya itu untuk menarik ucapan. Ia sedang memperjuangkan haknya tentang perjodohan, Ia takut karena ucapan Raka bisa membuat semuanya makin kacau. Hidup sebagai pangeran membuat Nata masih percaya mitos. Bukannya berakhir bersama Kinna, bisa saja Nata justru tak bersama siapapun. Nata tetap saja tak mau sendirian. Ia sekuat tenaga memeluk Raka membuat laki-laki itu risih dan menarik tangan Nata ke belakang. Meskipun Nata yang paling menyebalkan di antara mereka, namun Ia tetap saja tidak bisa melawan kekuatan Raka dan Aksa.
“Ampun-ampun,” rengek Nata.
“Lemah gini, gimana bisa jagain Kinna,” cibir Raka sembari melepaskan tangan Nata.
“Gue kuat kok!” ujar Nata sembari menunjukkan otot-otot tangannya.
Aksa lagi-lagi hanya bisa tersenyum melihat keduanya. Benar-benar tak ada yang berubah meskipun sudah bertahun-tahun. Nata memandang Raka sengit. Dari dulu keduanya memang tak pernah mau mengalah satu sama lain. Pertengkaran kecil seperti ini bisa saja menjadi besar karena Nata selalu punya cara untuk membuat Raka lebih marah. Nata tersenyum miring lalu berjalan mendahului keduanya. Ia sedang tak ingin bertengkar. Otaknya panas memikirkan cara untuk membuat Eyang Kakung Ararya luluh. Karena peperangan akan dimulai sebentar lagi.
Dimajukannya pertemuan keluarga pasti bukan tanpa alasan. Eyangnya sudah tahu dengan jelas tentang keinginan Nata menolak perjodohan ini bahkan sepertinya Eyang sudah tahu tentang hubungannya dengan Kinna. Nata yakin bukan tanpa alasan Sera yang sebenarnya jarang datang ke pesta tiba-tiba datang di acara pertunangan Sena dan Kila padahal keduanya tak ada hubungan dekat. Nata yakin semua adalah rencana Eyangnya.
Apalagi setelah Gala mengabari kalau Eyang mengancam untuk mengambil semua fasilitas yang Ia berikan pada Nata membuat laki-laki itu pusing. Namun bukan Nata namanya yang memperlihatkan hal itu jelas untuk orang lain. Yang selalu orang lain lihat hanya Nata yang tengil dan periang, Nata selalu bisa menyimpan semuanya dengan baik di balik senyumnya.
Apakah Nata benar-benar bisa membuat Eyangnya berubah pikiran dan membatalkan perjodohan ini?
Semakin hari Nata tahu semuanya semakin sulit. Dan bertahan bukan hal yang mudah.
Bisakah Nata?
Nata menatap jalanan Ibukota yang tak pernah ada sepinya. Bahkan sedari tadi mobilnya belum juga bergerak maju. Salahkan dirinya yang nekat pergi ke rumah Kinna pada jam-jam sibuk seperti ini. Langit yang semula terang kini sudah kehilangan semburat jingganya. Hampir dua jam Nata berdiam diri di mobil. Ia bahkan sudah menyelesaikan satu album penuh lagi Sheila On 7. Saat Ia melihat ke arah maps, ternyata bukan hanya karena jam sibuk namun juga terjadi kecelakaan di depan pintu tol. Hal itu yang membuat arus kendaraan sama sekali tidak bisa bergerak.“Gue suka Jakarta dari pada Solo, tapi enggak buat macetannya,” ujar Nata.Satu jam kemudian mobil Nata baru bisa bergerak sedikit demi sedikit dan setengah jam berikutnya Ia baru bisa sampai di depan rumah Sang Kekasih. Nata menekan bel rumah minimalis tersebut, rumah Kinna mungkin tak sebesar miliknya namun Nata selalu merasa rumah kekasihnya itu lebih terlihat hangat dibanding rumahnya. Sejak kecil Nata selal
Nata berkali-kali tak bisa menahan rasa bahagiannya dapat ikut berkumpul dengan keluarga Kinna. Meskipun hanya di isi oleh Ibu Kinna, Riyu dan juga Kinna tapi rumah ini selalu ramai dan itu yang tak bisa Nata dapatkan di rumahnya. Sejak kecil Nata selalu bergaul dengan para Abdi Dalem, Ia tak punya saudara yang dapat diajak bermain bersama. Sejak kecil pula Nata hanya bergaul dengan sepupu-sepupunya di Sekolah Kerajaan. Nata tak punya banyak teman kala itu karena tingkahnya yang sangat nakal di antara anak-anak bangsawan.Ia baru punya teman banyak setelah masuk SMP di Jakarta dan bertemu sahabat-sahabatnya yang sekarang. Itulah mengapa sebelum ini kehidupannya sangat hampa. Ia tak kekurangan kasih sayang orang tuanya, hanya saja Nata selalu kesepian karena tak punya teman di rumah sebesar itu. Dan bertemu keluarga Kinna adalah sebuah kebahagiaan kecil Nata, Ia mau ini semua akan bertahan selama bertahun-tahun ke depan.“Nat, kemarin Kak Riyu habis nyoba acar tim
Nata terbangun dari tidurnya karena ponselnya yang sedari tadi berdering padahal hari masih gelap. Dirinya baru bisa tidur jam satu malam setelah menyelesaikan semua barang-barangnya, ternyata pindahan memang sangat melelahkan. Ia bergeming sebentar saat melihat nama Byan tertera di sana. Ia bingung mengapa sepupunya itu pagi-pagi buta menelfon bahkan meninggalkan misscall sebanyak ini. Ia membuka ruang obrolan berisi para pangeran dan benar saja keberadaannya sejak semalam sudah dicari-cari. Nata menghembuskan nafasnya berat, lagi-lagi tak ada hari tenang di hidupnya. Sepagi ini sebuah surat dari Bomo telah datang yang menandakan bahwa Eyang Ararya sudah tahu tentang kepindahan Nata. Bomo mengatakan bahwa Nata harus ke Solo untuk mempertanggung jawabkan semua pelanggarannya. Lagi-lagi Nata kembali ke Solo untuk diadili. Sepertinya hanya Nata yang hidupnya berwarna-warni seperti ini sebagai seorang pangeran. “Ya Allah, mau punya istri a
"Aku mau minta kamu tanggung jawab," ucap Kinna. Langkah Nata terhenti. Kakinya memutar dan menghadapkan tubuhnya di depan Kinna dengan tegap. Netranya menatap lurus ke manik pekat kesukaannya. Kepala Nata mendekat tiba-tiba membuat jarak keduanya terkikis dan hanya tinggal beberapa senti lagi sampai hidung mereka bersentuhan. "Kamu hamil?" tanya Nata. Nata kembali berpikir apakah keduanya memang sudah melakukan sejauh itu? Seingat Nata keduanya memang sering berciuman bahkan saling menyentuh namun hanya sebatas itu, Nata masih tahu batasan. Namun tiba-tiba pipi Nata di cubit kuat oleh Kinna membuatnya berteriak mengaduh kesakitan. Bukannya menghentikan aksinya, Kinna justru semakin liar mempermainkan pipi Nata. "Ampunnn sayang! Sakit!" seru Nata. "Lepasin dulu!" pekik Nata sembari menarik tangan Kinna untuk melepaskan pipinya. Setelah puas akhirnya Kinna melepaskan tangannya dan itu membuat Nata m
Malam ini aula Keraton Solo sedang mengadakan pesta jamuan untuk pertunangan Pangeran ke-3 mereka. Trah Ararya merupakan trah Jawa murni dengan status kasta tertinggi yang masih ada di jaman yang sudah serba modern ini. Trah ini jugalah yang sekarang meneruskan tahta Raja Solo. Berkembangnya kehidupan di luar kerajaan yang pesat lantas tak membuat budaya mereka terlihat kuno. Kerajaan kini dapat dengan baik beradaptasi meskipun masih menerapkan nilai-nilai budaya Jawa yang masih kental.Adinata Lingga Ararya atau yang biasa di panggil Nata itu tengah menenggak jus jeruk di hadapannya dengan tidak sabaran. Ia menatap kedua pasangan yang sedang ada di hadapan para sesepuh dan juga keluarga besar dengan tenang, semua orang setuju jika kakak sepupunya itu sangat serasi dengan tunangannya.Ketenangan Pangeran ke-4 trah Ararya itu justru mengundang banyak sekali tatapan keheranan dari pangeran-pangeran yang lain. Contohnya sekarang Byan si Pangeran ke-1 sedang memperhatikan
Nata terbangun saat hari masih subuh. Ia semalam baru tidur jam satu pagi karena asik bermain game online dengan sahabat-sahabatnya. Namun karena ini di Keraton membuatnya mempunyai kebiasaan akan bangun sebelum fajar meskipun jam tidurnya berkurang. Sudah jadi kebiasaannya sejak kecil, entah karena semua orang memang dididik untuk bangun jam segini atau memang Nata tak begitu nyaman tidur di Keraton. Nata menatap ponselnya dan tak menemukan satupun pesan dari kekasihnya. Kamarnya pagi itu terasa lebih dingin sebab Nata lupa menutup jendelanya semalam. Setelah memastikan jendela kamar tertutup, Nata pun menuju kamar mandi dan mencuci muka. Jika sudah begini Nata bingung ingin melakukan apa. Tak ada yang bisa dilakukan jam lima pagi, meskipun semua orang sudah bangun namun kebanyakan memilih untuk berdiam diri di kamar sedangkan Nata tidak bisa terus-terus an diam, aura nya tidak cocok untuk berdiam diri saja. Akhirnya Nata memutuskan untuk mencuci mukanya dan kembali terbeng
Ibu Nata sedari tadi menahan anak semata wayangnya untuk menghentikan kalimatnya. Perkataan Nata berhasil membuat semua orang gaduh di tempatnya. Nata menatap Eyangnya dengan berani, entah dari mana Ia mendapat keberanian sebesar ini. Ia ingin semua orang tahu kalau Nata tak ingin ada perjodohan dalam hidupnya. Mungkin semua orang bisa menerima takdir mereka, namun Nata ingin sekali saja merubah takdirnya. “Nata gak mau di jodohin apalagi tunangan,” tegas Nata kembali. “Tidak bisa, tradisi tetap tradisi!” sentak Eyang Kakung. “Nata duduk,” ujar Ayah Nata memperingatkan anaknya. “Maaf Eyang, Pakdhe, Budhe, Mas, Mbak, Paklek dan Bulek, Nata tidak bisa meneruskan tradisi ini,” putus Nata. “Saya Adinata Lingga Ararya menolak adanya perjodohan ini secara lahir dan batin,” imbuh Nata. Setelah berujar demikian Nata pamit kembali ke kamarnya lebih dulu. Ia segera membereskan semua barang bawaannya. Jika Nata berdiam diri lebih lama di sini mak
"Aku mau minta kamu tanggung jawab," ucap Kinna. Langkah Nata terhenti. Kakinya memutar dan menghadapkan tubuhnya di depan Kinna dengan tegap. Netranya menatap lurus ke manik pekat kesukaannya. Kepala Nata mendekat tiba-tiba membuat jarak keduanya terkikis dan hanya tinggal beberapa senti lagi sampai hidung mereka bersentuhan. "Kamu hamil?" tanya Nata. Nata kembali berpikir apakah keduanya memang sudah melakukan sejauh itu? Seingat Nata keduanya memang sering berciuman bahkan saling menyentuh namun hanya sebatas itu, Nata masih tahu batasan. Namun tiba-tiba pipi Nata di cubit kuat oleh Kinna membuatnya berteriak mengaduh kesakitan. Bukannya menghentikan aksinya, Kinna justru semakin liar mempermainkan pipi Nata. "Ampunnn sayang! Sakit!" seru Nata. "Lepasin dulu!" pekik Nata sembari menarik tangan Kinna untuk melepaskan pipinya. Setelah puas akhirnya Kinna melepaskan tangannya dan itu membuat Nata m
Nata terbangun dari tidurnya karena ponselnya yang sedari tadi berdering padahal hari masih gelap. Dirinya baru bisa tidur jam satu malam setelah menyelesaikan semua barang-barangnya, ternyata pindahan memang sangat melelahkan. Ia bergeming sebentar saat melihat nama Byan tertera di sana. Ia bingung mengapa sepupunya itu pagi-pagi buta menelfon bahkan meninggalkan misscall sebanyak ini. Ia membuka ruang obrolan berisi para pangeran dan benar saja keberadaannya sejak semalam sudah dicari-cari. Nata menghembuskan nafasnya berat, lagi-lagi tak ada hari tenang di hidupnya. Sepagi ini sebuah surat dari Bomo telah datang yang menandakan bahwa Eyang Ararya sudah tahu tentang kepindahan Nata. Bomo mengatakan bahwa Nata harus ke Solo untuk mempertanggung jawabkan semua pelanggarannya. Lagi-lagi Nata kembali ke Solo untuk diadili. Sepertinya hanya Nata yang hidupnya berwarna-warni seperti ini sebagai seorang pangeran. “Ya Allah, mau punya istri a
Nata berkali-kali tak bisa menahan rasa bahagiannya dapat ikut berkumpul dengan keluarga Kinna. Meskipun hanya di isi oleh Ibu Kinna, Riyu dan juga Kinna tapi rumah ini selalu ramai dan itu yang tak bisa Nata dapatkan di rumahnya. Sejak kecil Nata selalu bergaul dengan para Abdi Dalem, Ia tak punya saudara yang dapat diajak bermain bersama. Sejak kecil pula Nata hanya bergaul dengan sepupu-sepupunya di Sekolah Kerajaan. Nata tak punya banyak teman kala itu karena tingkahnya yang sangat nakal di antara anak-anak bangsawan.Ia baru punya teman banyak setelah masuk SMP di Jakarta dan bertemu sahabat-sahabatnya yang sekarang. Itulah mengapa sebelum ini kehidupannya sangat hampa. Ia tak kekurangan kasih sayang orang tuanya, hanya saja Nata selalu kesepian karena tak punya teman di rumah sebesar itu. Dan bertemu keluarga Kinna adalah sebuah kebahagiaan kecil Nata, Ia mau ini semua akan bertahan selama bertahun-tahun ke depan.“Nat, kemarin Kak Riyu habis nyoba acar tim
Nata menatap jalanan Ibukota yang tak pernah ada sepinya. Bahkan sedari tadi mobilnya belum juga bergerak maju. Salahkan dirinya yang nekat pergi ke rumah Kinna pada jam-jam sibuk seperti ini. Langit yang semula terang kini sudah kehilangan semburat jingganya. Hampir dua jam Nata berdiam diri di mobil. Ia bahkan sudah menyelesaikan satu album penuh lagi Sheila On 7. Saat Ia melihat ke arah maps, ternyata bukan hanya karena jam sibuk namun juga terjadi kecelakaan di depan pintu tol. Hal itu yang membuat arus kendaraan sama sekali tidak bisa bergerak.“Gue suka Jakarta dari pada Solo, tapi enggak buat macetannya,” ujar Nata.Satu jam kemudian mobil Nata baru bisa bergerak sedikit demi sedikit dan setengah jam berikutnya Ia baru bisa sampai di depan rumah Sang Kekasih. Nata menekan bel rumah minimalis tersebut, rumah Kinna mungkin tak sebesar miliknya namun Nata selalu merasa rumah kekasihnya itu lebih terlihat hangat dibanding rumahnya. Sejak kecil Nata selal
Dengan sandwich yang masih ada di mulutnya, Nata sibuk menghubungi sahabatnya yang tadi berkata akan menjemput di bandara. Satu jam yang lalu Nata sampai di sini namun sahabatnya itu belum muncul juga. Nata bahkan telah menelfon berkali-kali entah berapa banyak panggilan tak terjawab yang akan sahabatnya itu dapatkan. Nata menunggu dengan beberapa kali umpatan keluar dari mulutnya. “Lo dimana sih nyet?” umpat Nata. Jika sudah di Jakarta maka Nata bisa kembali kepada dirinya sendiri. Ia tak harus pusing menjaga lisan karena tak akan ada yang tahu. Ia bebas mengumpat bahkan juga tertawa sekeras mungkin, tak akan ada Abdi Dalem yang menegur. Ini wilayah kebebasan Nata dan lebih baik karena jauh dari Eyang Kakung. Nata mendapatkan kembali dirinya sekarang. Lima menit kemudian sosok laki-laki tinggi berwajah blesteran bule datang menghampiri Nata yang masih sibuk menghabiskan makanannya.Laki-laki itu berjalan dengan santainya dengan tangan di saku. Tentu
Ibu Nata sedari tadi menahan anak semata wayangnya untuk menghentikan kalimatnya. Perkataan Nata berhasil membuat semua orang gaduh di tempatnya. Nata menatap Eyangnya dengan berani, entah dari mana Ia mendapat keberanian sebesar ini. Ia ingin semua orang tahu kalau Nata tak ingin ada perjodohan dalam hidupnya. Mungkin semua orang bisa menerima takdir mereka, namun Nata ingin sekali saja merubah takdirnya. “Nata gak mau di jodohin apalagi tunangan,” tegas Nata kembali. “Tidak bisa, tradisi tetap tradisi!” sentak Eyang Kakung. “Nata duduk,” ujar Ayah Nata memperingatkan anaknya. “Maaf Eyang, Pakdhe, Budhe, Mas, Mbak, Paklek dan Bulek, Nata tidak bisa meneruskan tradisi ini,” putus Nata. “Saya Adinata Lingga Ararya menolak adanya perjodohan ini secara lahir dan batin,” imbuh Nata. Setelah berujar demikian Nata pamit kembali ke kamarnya lebih dulu. Ia segera membereskan semua barang bawaannya. Jika Nata berdiam diri lebih lama di sini mak
Nata terbangun saat hari masih subuh. Ia semalam baru tidur jam satu pagi karena asik bermain game online dengan sahabat-sahabatnya. Namun karena ini di Keraton membuatnya mempunyai kebiasaan akan bangun sebelum fajar meskipun jam tidurnya berkurang. Sudah jadi kebiasaannya sejak kecil, entah karena semua orang memang dididik untuk bangun jam segini atau memang Nata tak begitu nyaman tidur di Keraton. Nata menatap ponselnya dan tak menemukan satupun pesan dari kekasihnya. Kamarnya pagi itu terasa lebih dingin sebab Nata lupa menutup jendelanya semalam. Setelah memastikan jendela kamar tertutup, Nata pun menuju kamar mandi dan mencuci muka. Jika sudah begini Nata bingung ingin melakukan apa. Tak ada yang bisa dilakukan jam lima pagi, meskipun semua orang sudah bangun namun kebanyakan memilih untuk berdiam diri di kamar sedangkan Nata tidak bisa terus-terus an diam, aura nya tidak cocok untuk berdiam diri saja. Akhirnya Nata memutuskan untuk mencuci mukanya dan kembali terbeng
Malam ini aula Keraton Solo sedang mengadakan pesta jamuan untuk pertunangan Pangeran ke-3 mereka. Trah Ararya merupakan trah Jawa murni dengan status kasta tertinggi yang masih ada di jaman yang sudah serba modern ini. Trah ini jugalah yang sekarang meneruskan tahta Raja Solo. Berkembangnya kehidupan di luar kerajaan yang pesat lantas tak membuat budaya mereka terlihat kuno. Kerajaan kini dapat dengan baik beradaptasi meskipun masih menerapkan nilai-nilai budaya Jawa yang masih kental.Adinata Lingga Ararya atau yang biasa di panggil Nata itu tengah menenggak jus jeruk di hadapannya dengan tidak sabaran. Ia menatap kedua pasangan yang sedang ada di hadapan para sesepuh dan juga keluarga besar dengan tenang, semua orang setuju jika kakak sepupunya itu sangat serasi dengan tunangannya.Ketenangan Pangeran ke-4 trah Ararya itu justru mengundang banyak sekali tatapan keheranan dari pangeran-pangeran yang lain. Contohnya sekarang Byan si Pangeran ke-1 sedang memperhatikan