"Na, balik bareng gue?" ajak Ryan pada seorang gadis manis berkuncir kuda.
"Boleh deh tapi anter gue ke alfa dulu," jawab Naina. "Ashiappp meluncur." Terlebih lagi ada Naina, gadis manis yang membuat hidup Ryan seakan sempurna. Ryan merasa tak ada lagi yang kurang meski ayah mengabaikan kehadirannya. Lebih tepatnya semua anak-anaknya. "Lo gak mau beli cemilan?" tawa Naina pada Ryan yang berdiri di belakangnya. "Buat apaan?" "Siapa tahu adek lo butuh. Sekali-kali beliin dia gak bikin dompet lo kering kok." Ryan menolak langsung tanpa pikir panjang. "Gak usah lah, mereka punya kaki bisa beli sendiri." Naina berdecak kecil. "Gak perhatian lo sama adik sendiri." "Gue perhatian sama lo doang soalnya." Ryan mesem-mesem sendiri dengan ucapannya. "Alay," cibir Naina. Mereka bercerita riang sepanjang jalan menuju rumah Naina. Ryan bisa menjadi sangat terbuka pada Naina jika mereka sudah berdua saja. Naina menjadi pendengar terbaik yang sangat Ryan percaya lebih dari siapapun. Baik Naina maupun Ryan mereka semua seperti sepasang orang yang saling melengkapi. Sampai di depan rumah, Naina turun di bantu Ryan. "Nih." Naina menyodorkan dua buah cokelat pada Ryan yang mengerutkan kening. "Buat?" "Adek-adek lo. Ada dua, kan?" "Ya tapi ngapain sih hahaha aneh lo." Ryan menggeleng tak paham apa maksud Naina. "Yan." Naina menepuk pundak Ryan lalu tersenyum hangat. "Lo nyaman main sama anak-anak?" "Nyaman lah mereka udah gue anggap sebagai keluarga. Buat apa gue bertahan kalau gak nyaman sama mereka. Ngaco ah." "Jangan salah kaprah. Yang asing lo anggap keluarga yang keluarga lo anggap asing." Naina mengingatkan Ryan. "Gue sama yang lain seneng lo bisa terbuka sama kita, tapi inget Yan di luar semua itu lo masih punya keluarga yang harus menjadi prioritas lo dulu." "Gue masuk ya titip salam buat adek lo." Naina melambaikan tangannya beberapa kali sebelum menghilang dari balik pagar rumahnya. Ryan terpaku sambil memandangi dua buah cokelat di tangannya. Hati Ryan seperti tertikam benda tak kasat mata. Naina Jangan keras-keras ke diri lo ya Yan. Hati-hati di jalan. Kabarin gue kalau udah sampe rumah. Ok? * * * "Baru balik lo?" Ryan menegur Skala yang tiba lebih telat daripadanya. "Tumben, ekskul?" "Ya," jawab Skala singkat di iringi anggukan kecil. Lalu masuk begitu saja. "Yeuh dasar kulkas!" cibir Ryan. Dia kembali memandangi cokelat yang ada di tangannya laku menyusul Skala lebih cepat. "Woi, Kay!" "Apa?" Skala yang baru saja menapaki tangga berbalik menatap kakak keduanya. "Nih cokelat buat lo." Ryan menyodorkan sebuah cokelat merk terkenal yang tak mendapat respon apapun dari adiknya. "Gak, makasih." Mulut Ryan terbuka lebar melihat reaksi datar yang Skala berikan. "Gue jitak lo lama-lama." "Jangan teriak-teriak, Yan." Arga muncul dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Balik lo bang?" tanya Ryan dengan nada meremehkan. "Masih inget jalan pulang?" "Jaga omongan kamu Ryan!" Arga menyorot tajam atas ucapan tidak sopan yang Ryan berikan. "Oh maaf tuan maha sempurna," balas Ryan tak acuh. "Paling bentar lagi lo cabut kan? Kalau kata gue sih lo gak ada guna balik ke rumah." "Ryan!" sentak Arga dengan suara yang lantang yang di hiraukan oleh adiknya. Ryan melongos menuju kamar mengabaikan Arga yang emosinya sudah di ujung kepala. Dia berhenti di depan pintu kamar berwarna biru muda dengan gantungan nama 'Starla Keina Fazwa' tangannya menggantung di udara ragu mengetok atau tidak. Pasalnya hubungan antara Ryan dan Starla tidak sebaik itu. Mereka lebih sering mengisi waktu pertemuan dengan pertengkaran tidak penting. Sebenarnya kapan ya Ryan pernah mengajak bicara Starla? Tok tok tok Ryan memainkan kakinya menunggu pintu yang tak kunjung terbuka. Kesal menunggu lama akhirnya dia kembali mengetuk oinu dengan keras. TOK TOK TOK "Gue dobrak ya kalo lo gak buka sekarang!" ancam Ryan pada akhirnya. "Woii buka!!" TOK TOK TOK TOK "Apasih berisik! Mau apa hah?!!" balas Starla tak kalah galak. "Ganggu orang istirahat aja." Ryan menyentil dahi Starla kencang dengan wajah kesal. "Gak punya telinga lo gue ketok dari tadi gak di buka-buka!" "Bacot!" ketus Starla membuat Ryan spontan melotot. "Mulut lo kaya gak pernah di sekolahin!" Ryan melotot kaget. "Kalau gak ada urusan mending pergi, aku lagi mau sendiri." Starla menutup pintu kamarnya yang segera di cegah Ryan. Ryan mengamati sisa air mata di wajah Starla. "Kenapa lo?" "Nangis kenapa lo?" ulang Ryan. "Kepo! Mau apa sih?" "Gue tanya baik-baik malah ngajak ribut mulu lo. Sana masuk gak mood gue liat muka lo." Ryan mendorong Starla kembali ke kamarnya dan membanting pintu itu kencang. "GAK JELAS!" pekik Starla dari dalam kamarnya. "Gak ada yang bener lo semua!" protes Ryan seorang diri. brak! Dia menendang pintu kamar Starla meyalurkan rasa kesalnya. Cokelat di tangannya ia buka dan masuk ke mulut sambil sesekali bersumpah serapah. * * * Next part ..."Ayah malu punya anak kaya aku?" "Ayah, aku juga mau disayang seperti yang lain." "Ayah, kalau aku mati, apakah ayah akan sedih dan kehilangan aku?" * * * ~Jika hidupku tidak ditakdirkan bahagia sekarang, maka izinkan aku bahagia dikehidupan selanjutnya, Tuhan.~ ○♧○ Namanya Starla Keina Fazwa, sering di sebut Starla, namun panggilan kesayangan dari sang bunda dan keluarganya adalah Key. Tak ada yang spesial dari hidupnya. Meski memiliki ayah dan tiga orang kakak termasuk satu kakak kembar beda 5 menit, Starla selalu merasa kesepian. Ayah yang selalu sibuk dengan urusan kantor dan semakin gila kerja setelah bunda tiada membuat suasana rumah tidak sehangat dulu lagi. Hal itu membuat keinginan Starla kecil muncul. Ia ingin sekali mengembalikan momen-momen kehangatan serta keharmonisan keluarganya yang telah lama tiada. Akankah ia bisa menggapai keinginan kecilnya itu? "Benci banget sama senin." Starla mematut wajahnya di depan cermin dengan wajah bete. "Apa pura-pura sakit aja
Starla mengipasi wajahnya yang panas dan menghapus peluh di keningnya. Untung saja proses MPLS di sekolahnya tidak berlangsung meriah. Cukup dengan mengikuti upacara senin pagi lalu mendengarkan peraturan sekolah. Pembagian kelas dan kemudian selepas istirahat jam pertama akan ada demo extrakurikuler. Starla cukup senang dengan hal itu. Berarti dia tak harus bersusah payah mencari barang atau menyiapkan hal-hal aneh. Selintas perasaan bangga menyusup ke dalam dirinya. Ada enaknya juga gak dapat sekolah favorit hhe. "Starla Keina Fazwa 10 Ips 3." "Yes!" Tangan Starla mengepal senang sambil meninju udara. Masuk IPS adalah cita-citanya sejak SMP. Starla senang dengan pelajaran Geografi dan segala macam hal yang tida terlalu berkaitan dengan matematika. Walaupun akhirnya ia akan bertemu ekonomi tapi Starla itu lebih baik daripada ia muntah karena kimia, fisika dan matematika. Dengan langkah riang Starla berjalan mencari letak kelasnya dan langsung mencari posisi duduk yang strategis.
Ternyata banyak hal baru yang Starla temukan di sekolah barunya. Khususnya lagi suasana kantin yang begitu berisik dan sumpek hampir membuat Starla shock. Suara percakapan dimana-mana dengan bangku yang hampir penuh di sudut-sudut ruangan. Starla berjalan hati-hati dengan nampan berisi es teh dan sepiring siomay. Sebisa mungkin menghindari benturan dengan siswa lain yang berjalan seenaknya. Bola mata Starla berbinar saat melihat gerombolan teman cewek sekelasnya tengah duduk di sebuah bangku yang melingkar. "Hai!! Kita sekelas di IPS 3. Aku Starla, boleh ikutan duduk di sini? Kebetulan bangku yang lain udah penuh," ujar Starla seceria mungkin. "Oh sorry di sini udah penuh lo cari yang lain aja," jawab salah satu dari enam orang yang duduk di sana dengan nada meremehkan. Starla melirik pada tempat kosong yang masih muat untuk sekitar dua orang. "Tapi-" "Kaki gue kram gara-gara upacara tadi." Seorang cewe berambut sebahu menaikkan kedua kakinya menjadi selonjor di antara tempat yan
Lapangan utama di penuhi siswa-siswi yang penasaran dengan penampilan demo ekstrakurikuler. Dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas semuanya berkerumun di berbagai tempat teduh untuk menyaksikan pertunjukkan. Starla berdirii di antara anak-anak kelas lain yang tak di kenalnya. Mulutnya menggembung karena terus memakan ciki yang ia bawa dari rumah. Satu persatau ekskul mulai menunjukkan bakatnya berusaha sebaik mungkin untuk menggaet minat adik kelas baru mereka agar bergabung. Tak ada yang menyentuk minat Starla sejauh ini. Sebenarnya Starla sedang mencari ekskul yang tidak terlalu aktif asalkan ia punya nilai tambahan saja untuk rapotnya. Srekkk kraukk kraukk kraukk. Starla melongo saat melihat makanan di tangannya berpindah tempat. Si pencuri bahkan tidak menunjukkan raut wajah bersalah sama sekali dan malah semakin menikmati makanan curiannya. "Kamu-!" Starla terkesiap di antara keterkejutannya. "Napa?" tanya Angkasa dengan watados. "Gak sopan main ambil milik orang!" Sta
"Hahaha lucu." "Apaan deh bawa kaya ginian ke sekolah?" "Anak mami hahhahah." "Liat-liat, ads tulisan di belakangnya tuh." "Apaan? Baca-baca!" "Bunda surga gimana? Di sana bunda bahagia kan? Di sini aku juga bahagia kok. Alafyu bunda hahahhaa alay banget anjir." "Hahaha ngakak gue sialan!" "Nau coba lo foto biar bisa share ke grup angkatan." "Eh eh orangnya dateng!" Starla memasang wajah bingung saat beberapa anak cewek berkerumun di dekat bangkunya. Suara tawa mereka kencang sekali sampai terdengar keluar. "Kalian ngapain?" tanya Starla pelan. "Itu apa yang kamu pegang?" Naura dengan cewek body ramping dan baju hampir ketat itu menunjukkan sebuah foto yang Starla kenal. "Segitu kangennya sama nyokap sampe bawa fotonya kemana-mana?" ejeknya. "Kalian kok sentuh barang orang tanpa izin! Jangan sentuh foto bunda!" Starla berjalan cepat menghampiri Naura dan merebut foto bunda. Sayangnya karena perbedaan tinggi di antara mereka Starla menjadi kesusahan. Teman-teman Naura ma
Bu Ratna dengan lipstik merah tua mencibir dari meja samping sambil mengipasi wajahnya. "Duh anak zaman sekarang gak ada rasa takut-takutnya sama sekali. Memangnya kamu mau bertanggung jawab kalau sampai teman sekelasmu itu buta?"Starla menunduk sambil meremas kedua tangannya yang tak luput dari perhatian Angkasa. "Bu Ratna, saya harap ibu tidak ikut campur, ini masalah anak kelas saya." Pak Banu berdeham tegas."Ini semua karena Pak Banu terlalu baik. Coba liat anak kelas saya, mana ada yang brutal seperti ini. Belum apa-apa saja sudah mau buat anak orang buta." Bu Ratna bergidik lalu bangun dari duduknya.Starla menusuk telapak tangannya dengan kukunya yang panjang. Menyalur rasa kesal di hatinya karena ucapan guru tersebut.Dia memang bersalah tapi Starla tak sepenuhnya salah. Kalau Naura tak mengambil foto bunda lebih dulu Starla juga tidak mungkin bertindak sejauh ini.Starla tidak gila dengan tiba-tiba menyerang orang lain. Tapu taka da yang berusaha mendengar dari sisinya. S
Starla duduk di ayunan ban depan rumah sambil membaca novel. Matanya asyik membaca setiap kalimat dengan kepala yang bergoyang kecil karena suara musik.Suda hampir jam 5 sore tapi Ryan dan Skala belum juga pulang. Starla tidak peduli pada Ryan karena selalu pulang telat. Padahal sebentar lagi Ryan harus bersiap untuk ujian kelulusannya, tetapi Ryan malah sibuk bermain.Sebua mobil hitam masuk ke pekarangan rumah. Starla melepas earphone dan menghampiri si pemilik mobil yang sudah lama tak pulang. "Bang Arga?" pekik Starla senang."Akhirnya abang pulang, kali ini nginep di rumah nya lamain dong hehe biar Starla bis amain sama abang."Argantara Saputra atau yang kerap di panggil Arga itu keluar dari mobil dengan wajah suntuk. Meski begitu, Arga tetap tampan. Ia adalah kakak laki-laki Starla yang pertama. Ryan Pradipta Putra kakaknya yang kedua. Lalu Skala Kaino Putra kakak kembarnya yang ketiga. Starla anak bungsu.Arga membnting pintu mobil dengan kencang lalu mengabaikan Starla yang