Pagi pertama di kediaman Alvino diawali Zahra dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Semenjak menikah, pria itu sudah memutuskan hanya akan makan makanan buatana sang istri. Karena hingga saat ini ia masih belum bisa percaya pada semua penghuni rumah ini. Sementara pada wanita ini … entah mengapa ia memiliki sedikit kepercayaan.
Roti panggang selai kacang dan segelas jus wortel campur tomat sudah siap untuk suaminya. Kali ini ia menyiapkan porsi lebih, berjaga-jaga kalau dirinya harus makan sisanya lagi. Pikirnya jika ia membuatkan sedikit lebih banyak, maka lelaki itu juga akan makan lebih banyak. Selain jus, ia juga membawakan air putih hangat.
Langkah Zahra terhenti kala seseorang yang belum pernah ia lihat sebelumnya menghadang jalannya. Dengan tatapan menilai, pria yang ia perkirakan seusia dengan suaminya atau mungkin lebih sedikit itu berdiri dengan tangan bersidekap di depan dada. Sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas lalu memutari tubuh Zahra yang terdiam seperti dipaku dengan bumi.
“Jadi ini istri adik cacat gue?” ucapnya serasa menatap Zahra dari ujung kepala hingga ke ujung kaki dan kembali lagi ke ujung kepala. Lalu tatapannya berhenti pada bibir merah alami gadis itu.
Dalam hati Zahra terus berdo’a agar terhindar dari bahaya yang mengancam melalui pria ini. Jelas sekali bahwa tatapan mata lelaki ini bukan tatapan biasa. Seperti … singa lapar yang tengah menemukan buruannya. Dan itu membuat Zahra bergidik ngeri.
Dengan kurang ajarnya, tangan pria itu terulur hendak membelai pipi, Zahra. Spontan alarm bahaya dalam tubuh gadis itu memberi peringatan pada otaknya untuk menghindar. Reflek ia mundur menyebabkan air di nampannya sedikit memercik akibat guncangan.
“Wohooo, menarik.” Pria bernama Daniel itu tersenyum penuh arti pada iparnya. “Kenapa kamu mau menikah sama si cacat itu? pasti kamu belum …” dia menyetukan kedua jari telunjuknya dan memberi kode sesuatu. “Ah, dia kan cacat. Pasti itunya juga nggak berfungsi,” ledeknya membuat wajah Zahra memerah menahan amarah. Meski perlakuan suaminya tak baik padanya, namun ketika pria yang telah sah menjadi suami itu dihina apalagi oleh saudaranya sendiri, ia tak terima.
Kini Zahra tahu kehidupan seperti apa yang ada di rumah ini. Orang-orangnya tidak beres semua. Wajar jika suaminya tidak bisa percaya pada orang lain. Bahkan keluarganya sendiri begitu tega menghinanya di belakang.
Tak mau terjebak dengan lebih lama dengan orang “gila” ini, Zahra melangkah ke samping lalu melenggang pergi tanpa mendengarkan lagi celotehan Daniel. Ia berjelan tergesa menuju lift khusus yang langsung berhenti di depan kamar suaminya.
“Menarik. Benar-benar beda dengan wanita lain di luaran sana. Sepertinya aku tertantang untuk mendapatkannya,” gumam Daniel dengan senyuk misteriusnya.
“Kenapa lama sekali?” Zahra terlonjak ketika tiba-tiba pintu terbuka dari dalam tatkala ia hendak membukanya. Pria ini, kenapa selalu membuatnya spot jantung. Tak bisakah memberi aba-aba dulu kalau mau mengagetkan?
“Maaf.”
Pria itu memencet tombol kursi roda canggihnya dan berbalik kembali ke kamar. Awalnya ia ingin menyusul sang istri untuk mengetahui apasaja yang dilakukannya sampai selama itu. Zahra mengikutinya dari belakang dan menutup pintu sebelum mendekati suaminya.
“Duduk! Suapi!”
Zahra menurut. Melakukan apa yang diperintahkan suaminya tanpa berani protes. Lagipula memang tugasnya sebagai istri untuk menjalankan perintah suaminya. Selama perintah itu tidak melanggar keyakinannya, Zahra berniat untuk patuh. Bukan karena ia merasa sudah dijual oleh ayahnya, tapi semata karena ia ingin mengabdi pada suaminya ini dengan harapan ia menddapat pahala dari itu.
“Apa yang terjadi di bawah, kenapa lama sekali?”
“Nggak ada apa-apa, Mas. Cuma …”
“Cuma apa?”
“Itu … seseorang sedikit menggangguku.”
“Cih, pasti kamu menggodanya, kan? Karena aku tak bisa memberikan hakmu, makanya kamu berusaha untuk mendapatkan saudara tiriku juga?” ejek Alvino berhasil membuat Zahra membeku. Dia tidak serendah itu.
“Bu—bukan begitu. Aku tidak berpikir seperti itu, Mas,” lirihnya. Ada tangan tak kasat mata yang meremat hatinya, nyeri.
“Sudah, cepat selesaikan sarapanmu, dan bantu aku!”
Seperti dugaannya, sang suami kembali memintanya untuk menghabiskan sisa makannya. Untung saja kali ini ia memakan roti yang masih utuh. Untuk minumnya kali ini sang suami tidak menyemburkan seperti semalam. Ia makan dengan terburu-buru supaya lelaki tempramen ini tidak kembali memarahinya.
“Aku mengembalikan gelas ini dulu ke bawah, mas.”
“Nanti saja. Kamu bantu aku ke kamar mandi.”
Zahra menghentikan langkahnya dan menaruh nampan di meja. Lalumembantu suaminya untuk ke kamar mandi. Dalam hati ia berharap Eksan segera datang agar dia tidak terjebak dengan pria ini di kamar mnadi. Bagaimanapun, dia masih gadis polos yang belum pernah berhubungan dengan laki-laki. Meski lelaki ini adalah suaminya, tetap sajaia canggung melakukannya.
Tangan suaminya terulur meminta bantuan sang istri untuk berpindah dari kursi roda dan duduk di atascloset yang tertutup. Gadis itu paham denagn kode sang suami dan melakukan hal yang diminta. Mendorong kursi roda ke luar kamar mandi dan hendak menutup pintu dari luar.
“Kamu mau ke mana?”
Gerakan tangan Zahra terhenti. Ia tak jadi menutup pintu dari luar dan melongokkan kepalanya ke dalam. “Saya tunggu di luar, Mas. nanti kalau sudah selesai panggil aku lagi.”
“Aku mau mandi.”
“Ya. Aku siapkan baju gantinya.”
“Bantu!”
“Hah?” Zahra melongo, mencerna ucapan suaminya. wajahnya memerah dan … gugup. Hei, dia gadis polos. Tentu saja malu membantu pria dewasa mandi.
“Cepetan, sini! Bantu aku masuk ke dalam bath up. Jangan lupa siapkan air hangatnya dulu.”
Dengan wajah tegang, Zahra melangkah menuju bath up. Mengisi dengan air hangat dan menuangkan sabun cair beraroma citrus ke dalamnya. Sembari menunggu air penuh, ia mendekati suaminya. rona di wajahnya tampak ketara. Jantungnya sudah berdetak kencang di dalam dadanya.
“Kenapa diam saja! Lepas bajuku!”
Dengan tangan gemetar, Zahra melakukan apa yang diperintahkan suaminya. lelaki itu menyeringai. Menikmati kegugupan istri polosnya sambil tertawa dalam hati.
“Mas, merem ya.”
“kamu lupa kalau aku nggak bisa melihat?”
Zahra menghembuskan nafas berat. ia melupakan satu hal. Ah, kenapa rasanya udara di dalam kamar mandi ini habis. Nafasnya semakin berat ketika satu per satu kancing ia buka.
Zahra mengeratkan pejaman matanya sambil terus merapal do’a dalam hati. Ini sangat menyiksa. Lebih baik ia disuruh mengepek seluruh ruangan dari pada melakukan ini.
Gadis berhijab itu bernafas lega karena akhirnya telah terbebas dari siksaan suaminya. Kini ia ke bawah untuk mengembalikan bekas makannya tadi. Langkahnya terhenti melihat sosok pria yang tadi pagi mengganggunya berada di dapur. Baru saja ia akan berbalik, pria itu lebih dulu melihatnya.
Dengan berpura-pura tenang, ia melangkah menuju wastafel. Untung ada pembantu di sana sehingga dia tak harus terlibat pembicaraan dengan iparnya.
“Mau sarapan, Nona?”
“Tidak, Bik. Saya sudah sarapan.” Zahra hendak membantu wanita itu namun langsung ditarik tangannya oleh Daniel.
“Bantu aku aja!” ucapnya dengan seringai di wajahnya.
“Tidak!”
Terlambat, pria itu sudah lebih dulu menarik tangan Zahra dan membawanya menjauh dari dapur. Gadis itu meronta, namun tenaganya kalah kuat dengan lelaki itu.
“Lepaskan!”
“Tidak akan.” Daniel menyeret Zahra menuju sebuah ruangan sepi yang jarang dilalui oleh para pekerja. Zahra terus meronta dengan air mata yang sudah tak mampu ditahan.
"Lepaskan dia!" ucap Eksan tenang. Entah sejak kapan pria kepercayaan Alvino itu sudah ada di belakang Zahra. Pembawaannya yang tenang hasil bentukan dari bosnya membuat Daniel merasa geram. "Nggak usah ikut campur, Lo! Tugas Lo itu ngurusi si cacat, jangan mengganggu kesenangan gue!" Daniel mencengkeram tangan Zahra dan menyembunyikan di belakang tubuhnya. Gadis itu memberontak hingga akhirnya terlepas dari cekalan tangan pria buas itu. Beruntung Eksan datang tepat waktu sehingga dirinya selamat dari terkaman pria tak bermoral yang sejak awal ia datang sudah mengganggunya. Tak banyak kata yang terucap dari pria berbadan tegap itu. Dia hanya menatap Daniel dengan tatapan membunuh lalu memberi kode pada Zahra untuk keluar dari temp
Sepeninggal suaminya, Zahra memilih untuk membereskan kamar. Sebenarnya kamar itu sudah rapi, sangat rapi malah. Namun karena tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan, ia mencoba menata ulang kamar tersebut. Mengganti sprei dan sarung bantalnya, mengganti korden, dan apapun yang bisa ia lakukan.Kegiatan itu lumayan bisa membunuh waktu sehingga kejenuhan yang mendera bisa terobati. Terbiasa bekerja di kantor, berdiam diri di rumah sangat membosankan. Terlebih segala sesuatu di sini dikerjakan pembantu, Zahra nyaris tak memiliki aktivitas selain melayani suaminya. Namun ketika sang suami keluar seperti saat ini, ia bingung mau melakukan apa. Ingatkan dia untuk meminta izin kembali bekerja.Di saat gadis itu hendak mendudukkan dirinya di sofa sambil menonton TV, gawainya berdering. Nama Intan, teman sekantornya terpampang di layar depan handpondnya."Assalamualaikum, Tan."[Ya ampun, Ra ... kenapa mengundurkan diri nggak bilang-bilang, sih?
Suara mobil menderu di halaman rumah. Zahra yang sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu menyambut kedatangan suaminya, segera berlari ke balkon. Memastikan apakah benar suaminya yang datang atau orang lain. Dia tak berani mengambil resiko dengan bertemu Daniel lagi kalau nekat ke bawah sendirian.Senyumnya terukir di bibir tipis Zahra ketika melihat Eksan mendorong kursi roda Alvino memasuki rumah. Entah perasaan apa yang sekarang mendera, membuat gadis lulusan administrasi perkantoran itu berdebar-debar. Detik-detik menunggu pintu terbuka seperti seorang terdakwa yang tengah menunggu putusan hakim saja, hingga suara itu benar-benar menembus rungunya.Spontan Zahra bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Menyambut kedatangan sang imam dengan senyum merekah meski ia yakin suaminya nggak bakalan bisa melihat."Sudah pulang, Mas? Mau langsung mandi atau-""Mandi," jawab Alvino cepat.Perasaannya masih bergemuruh me
"Pak Dika? Kenapa bisa di sini?" tanya Zahra gugup. Tidak menyangka akan ketemu mantan atasannya di sini."Sama seperti kalian, saya juga mau makan siang." Dengan santai lelaki bernama Andika Mahardika itu duduk di samping Zahra, membuat gadis berhijab itu merasa terganggu. Ia menggeser kursinya sedikit menjauh dari pria yang ada di sampingnya. Sementara Intan menatap dua insan di depannya sambil mengulum senyum."Kenapa kamu resign tiba-tiba, Ra? Apa ada yang membuatmu nggak nyaman?"Sejak masuk ke kafe ini, Andika tak melepas tatapan dari mantan karyawannya itu. Ada rasa bahagia di dalam hatinya bisa bertemu di kafe ini. Entah, dorongan dari mana tiba-tiba ia ingin makan di kafe ini. Padahal biasanya pria yang menjabat sebagai General Manager itu lebih suka makan di ruangannya. Sejak mendengar kabar Zahra resign, lelaki itu jadi kebingungan mencari informasi tentangnya. Apalagi nomor Zahra sudah tidak aktif."Tidak papa, Pak. Kar
"Kamu ... pacarnya Dika?" tanya Al, dengan tatapan yang membuat Zahra bergidik.Sejenak istri Alvino itu menatap mata sang penanya, lalu beralih pada Andika yang juga menatapnya. Lalu ia menggeleng dan tersenyum tipis, sebagai jawaban kalau dia bukan pacar Andika. Entah hanya perasaan Zahra saja atau atau dia yang terlalu peka, pria itu tersenyum tipis mendengar jawabannya."Permisi, Assalamualaikum," pungkasnya.Dia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban dari dua pria yang masih menatapnya itu. Sementara Intan yang sadar kalau sahabatnya benar-benar pergi langsung pamit dan mengejarnya.“Apa cewek itu yang sedang kamu incar? Dia … sepertinya biasa saja.” Al masih tak melepas tatapan dari Zahra yang mulai menghilang di antara kendaraan yang terparkir di depan kafe.“Ya. Kalau kamu hanya melihatnya sekilas saja, penilaianmu padanya hanya sampai situ. Secara fisik memang tak ada yang istimewa darinya. Bahkan banyak gadis yang
Air mata gadis berhijab itu terus mengalir tanpa bisa dicegah. Sudah satu jam berlalu ia berdiam diri di sebuah taman yang sepi karena sekarang hari kerja, namun ia masih betah merenungi nasibnya yang berubah. Tadi pagi, ia masih tersenyum riang di hadapan para sahabatnya di kantor. Hingga sebuah panggilan telepon dari ayahnya mengharuskan ia pulang lebih awal dari hari-hari biasanya.Gadis itu berlari menyusuri lorong rumah sakit dan mencari kamar ayahnya di rawat. Dengan derai air mata, ia terus mencari hingga tiba di sebuah kamar bertuliskan angka 105 di lantai 2 rumah sakit besar itu. Jantungnya berdetak lebih cepat kala mengintip di dalam kamar sana. Seorang pria yang selama ini selalu menyayanginya terbaring dengan selang infus menempel di lengan kirinya.Perlahan gadis berhijab itu membuka pintu dan melangkah masuk. Ibu dan kakak angkatnya menoleh dan tersenyum melihat kedatangannya. Namun entah mengapa Zahra merasa senyum itu berbeda. Tiba-tiba perasaannya jadi
Tubuh Zahra melemas. Tiba-tiba kepalanya terasa berputar-putar. Akibat menangis yang terlalu lama, ditambah berita yang menyesakkan dada, gadis yang diangkat anak oleh Rudi ini semakin tak berdaya. Hampir saja ia limbung kalau tak berpegangan pada pinggir ranjang sang ayah.“Apa tidak terlalu cepat, Bu, Tan? Kami bahkan belum saling mengenal satu sama lain,” ucapnya akhirnya setelah mampu menguasai dirinya kembali.“Niat baik harus disegerakan. Orang tua sudah sama-sama setuju. Tante yakin Alvino juga bakalan setuju. Tenang aja, kamu tidak perlu bekerja apapun nantinya. Cukup mengurus suamimu saja.”“Tolong, Nak, terimalah. Demi ayah,” sahut Rudi yang menangkap keraguan di wajah putri angkatnya.Zahra menghela nafas dalam. Menatap semua orang di dalam ruangan itu bergantian sebelum mengangguk. Tak ada pilihan lain. Semua sudah ditentukan dan dia tak bisa melakukan apapun selain menerima. Apa pendapatnya akan diden
Zahra yang baru pertama kali duduk berdampingan dengan seorang pria, merasa jantungnya mau copot. Meskipun suaminya sendiri, tapi tetap saja rasa gugup itu mendominasinya. Gadis berhijab itu tak sadar jika duduknya yang gelisah membuat pria yang duduk di sebelahnya terganggu.“Kamu sedang apa? Kenapa tak bisa diam?”“Maaf, Mas. Aku … hanya nerveous.”Setelah mengatakan itu, hanya keheningan yang mendominasi mobil. Perjalanan mereka memakan waktu kurang lebih satu jam. Dan itu membuat Zahra tersiksa. Mati-matian ia menahan gugup dan gelisah hingga keringat dingin membanjiri tubuhnya. Sesekali Eksan melirik bosnya melalui kaca spion di atas kepalanya. Sudut bibirnya sedikit tertarik saat netranya menangkap senyum tipis di wajah bosnya yang selalu terlihat garang.“Apa kamu takut padaku?” ucap Alvino tiba-tiba menyentak lamunan Zahra.“Ti—tidak.”“Kenapa gugup begitu ka
"Kamu ... pacarnya Dika?" tanya Al, dengan tatapan yang membuat Zahra bergidik.Sejenak istri Alvino itu menatap mata sang penanya, lalu beralih pada Andika yang juga menatapnya. Lalu ia menggeleng dan tersenyum tipis, sebagai jawaban kalau dia bukan pacar Andika. Entah hanya perasaan Zahra saja atau atau dia yang terlalu peka, pria itu tersenyum tipis mendengar jawabannya."Permisi, Assalamualaikum," pungkasnya.Dia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban dari dua pria yang masih menatapnya itu. Sementara Intan yang sadar kalau sahabatnya benar-benar pergi langsung pamit dan mengejarnya.“Apa cewek itu yang sedang kamu incar? Dia … sepertinya biasa saja.” Al masih tak melepas tatapan dari Zahra yang mulai menghilang di antara kendaraan yang terparkir di depan kafe.“Ya. Kalau kamu hanya melihatnya sekilas saja, penilaianmu padanya hanya sampai situ. Secara fisik memang tak ada yang istimewa darinya. Bahkan banyak gadis yang
"Pak Dika? Kenapa bisa di sini?" tanya Zahra gugup. Tidak menyangka akan ketemu mantan atasannya di sini."Sama seperti kalian, saya juga mau makan siang." Dengan santai lelaki bernama Andika Mahardika itu duduk di samping Zahra, membuat gadis berhijab itu merasa terganggu. Ia menggeser kursinya sedikit menjauh dari pria yang ada di sampingnya. Sementara Intan menatap dua insan di depannya sambil mengulum senyum."Kenapa kamu resign tiba-tiba, Ra? Apa ada yang membuatmu nggak nyaman?"Sejak masuk ke kafe ini, Andika tak melepas tatapan dari mantan karyawannya itu. Ada rasa bahagia di dalam hatinya bisa bertemu di kafe ini. Entah, dorongan dari mana tiba-tiba ia ingin makan di kafe ini. Padahal biasanya pria yang menjabat sebagai General Manager itu lebih suka makan di ruangannya. Sejak mendengar kabar Zahra resign, lelaki itu jadi kebingungan mencari informasi tentangnya. Apalagi nomor Zahra sudah tidak aktif."Tidak papa, Pak. Kar
Suara mobil menderu di halaman rumah. Zahra yang sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu menyambut kedatangan suaminya, segera berlari ke balkon. Memastikan apakah benar suaminya yang datang atau orang lain. Dia tak berani mengambil resiko dengan bertemu Daniel lagi kalau nekat ke bawah sendirian.Senyumnya terukir di bibir tipis Zahra ketika melihat Eksan mendorong kursi roda Alvino memasuki rumah. Entah perasaan apa yang sekarang mendera, membuat gadis lulusan administrasi perkantoran itu berdebar-debar. Detik-detik menunggu pintu terbuka seperti seorang terdakwa yang tengah menunggu putusan hakim saja, hingga suara itu benar-benar menembus rungunya.Spontan Zahra bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Menyambut kedatangan sang imam dengan senyum merekah meski ia yakin suaminya nggak bakalan bisa melihat."Sudah pulang, Mas? Mau langsung mandi atau-""Mandi," jawab Alvino cepat.Perasaannya masih bergemuruh me
Sepeninggal suaminya, Zahra memilih untuk membereskan kamar. Sebenarnya kamar itu sudah rapi, sangat rapi malah. Namun karena tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan, ia mencoba menata ulang kamar tersebut. Mengganti sprei dan sarung bantalnya, mengganti korden, dan apapun yang bisa ia lakukan.Kegiatan itu lumayan bisa membunuh waktu sehingga kejenuhan yang mendera bisa terobati. Terbiasa bekerja di kantor, berdiam diri di rumah sangat membosankan. Terlebih segala sesuatu di sini dikerjakan pembantu, Zahra nyaris tak memiliki aktivitas selain melayani suaminya. Namun ketika sang suami keluar seperti saat ini, ia bingung mau melakukan apa. Ingatkan dia untuk meminta izin kembali bekerja.Di saat gadis itu hendak mendudukkan dirinya di sofa sambil menonton TV, gawainya berdering. Nama Intan, teman sekantornya terpampang di layar depan handpondnya."Assalamualaikum, Tan."[Ya ampun, Ra ... kenapa mengundurkan diri nggak bilang-bilang, sih?
"Lepaskan dia!" ucap Eksan tenang. Entah sejak kapan pria kepercayaan Alvino itu sudah ada di belakang Zahra. Pembawaannya yang tenang hasil bentukan dari bosnya membuat Daniel merasa geram. "Nggak usah ikut campur, Lo! Tugas Lo itu ngurusi si cacat, jangan mengganggu kesenangan gue!" Daniel mencengkeram tangan Zahra dan menyembunyikan di belakang tubuhnya. Gadis itu memberontak hingga akhirnya terlepas dari cekalan tangan pria buas itu. Beruntung Eksan datang tepat waktu sehingga dirinya selamat dari terkaman pria tak bermoral yang sejak awal ia datang sudah mengganggunya. Tak banyak kata yang terucap dari pria berbadan tegap itu. Dia hanya menatap Daniel dengan tatapan membunuh lalu memberi kode pada Zahra untuk keluar dari temp
Pagi pertama di kediaman Alvino diawali Zahra dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Semenjak menikah, pria itu sudah memutuskan hanya akan makan makanan buatana sang istri. Karena hingga saat ini ia masih belum bisa percaya pada semua penghuni rumah ini. Sementara pada wanita ini … entah mengapa ia memiliki sedikit kepercayaan. Roti panggang selai kacang dan segelas jus wortel campur tomat sudah siap untuk suaminya. Kali ini ia menyiapkan porsi lebih, berjaga-jaga kalau dirinya harus makan sisanya lagi. Pikirnya jika ia membuatkan sedikit lebih banyak, maka lelaki itu juga akan makan lebih banyak. Selain jus, ia juga membawakan air putih hangat. Langkah Zahra terhenti kala seseorang yang belum pernah ia lihat sebelumnya menghadang jalannya. Dengan tatapan menilai, pria yang ia perkirakan seusia dengan suaminya atau mungk
Zahra melangkah ragu-ragu menuju kamar suaminya. Entah mengapa wanita yang baru menjadi nyonya Alvino tersebut merasa terganggu dengan ucapan iparnya barusan. Bulu kuduknya meremang mengingat kalimatnya yang mirip ancaman. Apa memang semua oerang di rumah ini tidak menginginkannya? Tapi … bukankah mama mertuanya tersebut sangat ramah saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit waktu itu? Tak terasa kaki Zahra sudah sampai di depan pintu katu jati dengan ukiran khas Jepara yang sangat elegan. Ia yang sudah diberi tahu kalau di sini letak kamar suaminya merasa gugup saat tangannya hendak memutar kenop. Meskipun sedikit kesusahan, Zahra mencoba meengetuk pintu sebelum masuk ke kamar tersebut. Kamar seorang pria yang telah mengucapkan ijab qabul kemarin. Setelah mendapat jawaban dari sang empunya kamar, ia membuka pintu tersebut dengan sangat hati-hati. Lalu berjalan pelan tanpa menimbulk
Zahra yang baru pertama kali duduk berdampingan dengan seorang pria, merasa jantungnya mau copot. Meskipun suaminya sendiri, tapi tetap saja rasa gugup itu mendominasinya. Gadis berhijab itu tak sadar jika duduknya yang gelisah membuat pria yang duduk di sebelahnya terganggu.“Kamu sedang apa? Kenapa tak bisa diam?”“Maaf, Mas. Aku … hanya nerveous.”Setelah mengatakan itu, hanya keheningan yang mendominasi mobil. Perjalanan mereka memakan waktu kurang lebih satu jam. Dan itu membuat Zahra tersiksa. Mati-matian ia menahan gugup dan gelisah hingga keringat dingin membanjiri tubuhnya. Sesekali Eksan melirik bosnya melalui kaca spion di atas kepalanya. Sudut bibirnya sedikit tertarik saat netranya menangkap senyum tipis di wajah bosnya yang selalu terlihat garang.“Apa kamu takut padaku?” ucap Alvino tiba-tiba menyentak lamunan Zahra.“Ti—tidak.”“Kenapa gugup begitu ka
Tubuh Zahra melemas. Tiba-tiba kepalanya terasa berputar-putar. Akibat menangis yang terlalu lama, ditambah berita yang menyesakkan dada, gadis yang diangkat anak oleh Rudi ini semakin tak berdaya. Hampir saja ia limbung kalau tak berpegangan pada pinggir ranjang sang ayah.“Apa tidak terlalu cepat, Bu, Tan? Kami bahkan belum saling mengenal satu sama lain,” ucapnya akhirnya setelah mampu menguasai dirinya kembali.“Niat baik harus disegerakan. Orang tua sudah sama-sama setuju. Tante yakin Alvino juga bakalan setuju. Tenang aja, kamu tidak perlu bekerja apapun nantinya. Cukup mengurus suamimu saja.”“Tolong, Nak, terimalah. Demi ayah,” sahut Rudi yang menangkap keraguan di wajah putri angkatnya.Zahra menghela nafas dalam. Menatap semua orang di dalam ruangan itu bergantian sebelum mengangguk. Tak ada pilihan lain. Semua sudah ditentukan dan dia tak bisa melakukan apapun selain menerima. Apa pendapatnya akan diden