Air mata gadis berhijab itu terus mengalir tanpa bisa dicegah. Sudah satu jam berlalu ia berdiam diri di sebuah taman yang sepi karena sekarang hari kerja, namun ia masih betah merenungi nasibnya yang berubah. Tadi pagi, ia masih tersenyum riang di hadapan para sahabatnya di kantor. Hingga sebuah panggilan telepon dari ayahnya mengharuskan ia pulang lebih awal dari hari-hari biasanya.
Gadis itu berlari menyusuri lorong rumah sakit dan mencari kamar ayahnya di rawat. Dengan derai air mata, ia terus mencari hingga tiba di sebuah kamar bertuliskan angka 105 di lantai 2 rumah sakit besar itu. Jantungnya berdetak lebih cepat kala mengintip di dalam kamar sana. Seorang pria yang selama ini selalu menyayanginya terbaring dengan selang infus menempel di lengan kirinya.
Perlahan gadis berhijab itu membuka pintu dan melangkah masuk. Ibu dan kakak angkatnya menoleh dan tersenyum melihat kedatangannya. Namun entah mengapa Zahra merasa senyum itu berbeda. Tiba-tiba perasaannya jadi tak nyaman kala sang ayah melambaikan tangannya untuk mendekat. Seperti ada hal penting yang hendak dikatakan padanya.
“Sayang, kamu sudah tiba? Kemarilah, Nak,” lirih Rudi. Netra abu-abu pria itu menatap sayu pada putri angkatnya. Meski bukan anak kandung, namun rasa sayangnya tidak berbeda dengan anak kandungnya.
“Kenapa bisa seperti ini, Yah? Bukankah tadi pagi masih baik-baik saja?” tanya Zahra pelan. Gadis itu duduk di sisi ranjang sang ayah.
“Ayahmu terkena serangan jantung,” ucap Wenda—ibu angkatnya. “Di kantor tadi mendapat kabar kalau saham perusahaan anjlok. Ada beberapa karyawan yang melarikan uang perusahaan hingga perusahaan ayahmu terancam pailit. Itulah sebabnya ayahmu terkena serangan jantung. Untungnya masih bisa ditolong. Namun kalau hal ini terjadi lagi, entah bagaimana nasib ayahmu.”
Zahra menatap ibu dan ayah angkatnya bergantian. Perasaannya campur aduk sekarang. Lalu tatapannya jatuh pada Dinda—kakak angkatnya yang manja.
“Ayah yang sabar, ya? Insyaa Allah ada jalan.”
“Ya, memang ada satu jalan untuk menyelamatkan ayah dan perusahaan, Zahra … dan hanya kamu yang bisa melakukannya,” lirih Wenda dengan mata berkac-kaca. Tanganya meraih tangan lembut Zahra dan menatapnya tepat pada manik beningnya.
“Zahra, selama ini kami merawatmu dengan baik. Tak pernah membeda-bedakan kalian berdua. Bisakah kali ini saja kamu menolong ayahmu, Nak?” lirih wanita yang selama ini merawatnya.
“Apa yang bisa Zahra lakukan untuk membantu ayah, Bu?”
Wenda menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan sebelum bicara. Ekor matanya melirik sang suami yang menunggu kalimat istrinya meluncur.
“Menikahlah dengan Alvino, pewaris tunggal P group. Hanya dengan menikahi dia, perusahaan ayahmu akan kembali pulih. Kamu bersedia menolong ayahmu ‘kan, Sayang? Anggap saja sebagai balas budi karena selama ini kami telah merawatmu.”
‘Balas budi. Jadi selama ini aku punya utang budi pada mereka? Kupikir cinta mereka tulus. Ah, memang siapa aku? Aku hanya seorang yang dipungut dari panti asuhan dan mendapatkan fasilitas layak karena budi mereka. Lalu apakah aku bisa menolaknya?’ batin Zahra bicara.
“Apa Zahra punya pilihan lain, yah?”
“Maaf, Nak. Sayangnya hanya itu satu-satunya pilihan untukmu.”
Zahra menoleh lagi, menatap Dinda yang sibuk dengan gawainya. Menarik nafas panjang mengisi paru-parunya yang terasa kosong lalu menghembuskan perlahan. ‘Bismillah’, ucapnya dalam hati.
“Kenapa nggak kak Dinda dulu yang menikah, yah? Mana mungkin Zahra yang notabene usianya lebih muda yang menikah duluan?” ucap Zahra terkekeh. Ia mencoba untuk memenetralkan perasaannya yang campur aduk.
“Tidak. Aku tidak mau. Aku sudah punya pacar. Hanya kamu yang masih jomlo, makanya kamu yang harus menikah dengannya,” sahut Dinda sengit. Tidak biasanya gadis itu bicara begitu lantang padanya. Hal itu semakin membuat perasaan Zahra jadi tak nyaman.
“Lagipula mana mau aku menikah dengan pria cacat seperti dia? Sekalipun kaya raya, tapi kalau nggak bisa jalan, mana mungkin aku bisa melakukannya.”
Zahra benar-benar kaget mendengar penuturan kakaknya. Selama ini ia tak pernah dengar kalau pimpinan “P Group” seorang cacat. Lalu bagaimana dengan dirinya? Apakah dia mampu?
“Sudahlah, Zahra, ini demi kebaikan keluarga. Tolong, Nak … turuti kata ayahmu. Kalau kamu mau menjadi istri Alvino, hidupmu akan terjamin. Kamu nggak perlu lagi bekerja di kantor, karena semua kebutuhan hidupmu akan terpenuhi.”
“Tapi, Bu … Zahra—“
“Kamu tega melihat perusahaan ayahmu hancur, Zahra? Perusahaan yang telah membesarkanmu dan menyekolahkanmu hingga sarjana, sebentar lagi akan gulung tikar padahal kamu bisa menolongnya. Apa kamu setega itu?”
Zahra bungkam. Tak bisa lagi berkata-kata. Benar kata ibunya, apa dia tega membiarkan ayah dan perusahaannya hancur padahal dia bisa menolongnya? Bolehkah untuk saat ini saja Zahra bersikap egois? Tapi sepertinya tidak. Hanya itu satu-satunya pilihan yang ada di depan matanya.
Ingatan itu terus berputar-putar di kepala hingga rasanya akan meledak. Dia memang pernah berjanji akan menerima jika ayahnya menjodohkannya suatu saat nanti. Namun gadis cantik dengan pakaian syar’i itu tak pernah terpikir jika akan dijodohkan dengan pria cacat.
Lagi-lagi air matanya lolos menuruni pipinya yang tanpa polesan. Hatinya sakit, tapi ia tak bisa berbuat sesuatu. Bayangan ayah angkat yang tergolek lemah di rumah sakit mendominasi otaknya kini. Pada saat bersamaan benda pipih miliknya bergetar di dalam saku.
Zahra melihat siapa yang menelponnya. Nama ibunya terpampang di layar utama. Menarik nafas dalam dan menetralkan suaranya agar tidak serak, gadis itu lalu menggeser gambar telepon ke warna hijau.
“Kamu di mana? Ke marilah, ada yang menunggumu sekarang!” ucap Wenda tanpa membalas salam darinya. Bahkan wanita yang telah merawatnya itu tak mau repot-repot menunggu jawaban darinya, dan langsung menutup begitu saja.
Zahra melangkah dengan gontai menyusuri lorong rumah sakit. Pikirannya kosong seperti tak ada semangat hidup. Ia terus berjalan sambil menunduk. Sesekali merasakan bahunya ditabrak seseorang. Namun ia tak peduli selama orang yang menabraknya juga tak peduli.
Tepat di depan pintu kamar rawat ayahnya, gadis berkerudung pastel itu menghentikan langkahnya. Mendorong pintu perlahan dan masuk setelah mengucakan salam. Tatapannya bertemu dengan seorang wanita seumuran ibunya dengan dandanan super glamour. Kalung emas yang menjuntai ke bawah dada dengan liontin batu permata menjadi fokus pertama Zahra. Lalu beralih pada kedua tangannya yang dipenuhi gelang emas. Benar-benar menggambarkan seorang wanita kaya raya.
“Apa kamu akan berdiri saja di sana?” ucap Wenda membuat Zahra berjengkit. Ia ber-istighfar dalam hati, lalu melangkah dan menyalami tamu yang sejak pertama menjadi fokusnya.
“Sini, duduklah!” perintah Wenda sambil menepuk sisi sofa yang kosong.
“Kenalkan, ini tante Susi, dia calon mertuamu. Ibunya Alvino,” ucap Wenda sambil tersenyum lebar.
Sementara wanita yang dikenalkan sebagai ibuunya Alvino itu menatap Zahra dengan pandangan aneh sejak melihatnya berdiri di ambang pintu tadi. Menilai penampilan Zahra dengan mata sedikit memicing. Namun hanya sekilas, karena selanjutnya ia menampilkan senyum lebarnya.
“Kamu cantik, Alvin pasti langsung jatuh cinta kalau saja dia bisa melihatmu. Tapi sayang dia … ah, nggak penting. Yang penting kita semua sudah setuju kalau pernikahannya dipercepat.”
“Apa? Dipercepat?!” Zahra menatap ibunya penuh tanya. Nammun wanita itu hanya mengangguk dengan senyum tak kalah lebar dari calon besannya.
“Iya, sayang … sepertinya calon mertuamu ini sudah nggak sabar ingin dapat menantu sepertimu, iya ‘kan, Jeng?” Wenda menyenggol pinggang Susi untuk meminta dukungan. Mengerti dengan kode itu, Susi langsung mengiyakan.
“Dipercepat? Bahkan aku nggak tahu rencananya akan dilaksanakan kapan. Kenapa aku nggak dilibatkan?” tanya Zahra dalam hati.
“E—emangnya kapan, Bu?” tanya Zahra ragu-ragu. Ia tak ingin mendengar jawabannya, tapi ini menyangkut masa depannya.
“Dua hari lagi.”
“Apa?!”
Tubuh Zahra melemas. Tiba-tiba kepalanya terasa berputar-putar. Akibat menangis yang terlalu lama, ditambah berita yang menyesakkan dada, gadis yang diangkat anak oleh Rudi ini semakin tak berdaya. Hampir saja ia limbung kalau tak berpegangan pada pinggir ranjang sang ayah.“Apa tidak terlalu cepat, Bu, Tan? Kami bahkan belum saling mengenal satu sama lain,” ucapnya akhirnya setelah mampu menguasai dirinya kembali.“Niat baik harus disegerakan. Orang tua sudah sama-sama setuju. Tante yakin Alvino juga bakalan setuju. Tenang aja, kamu tidak perlu bekerja apapun nantinya. Cukup mengurus suamimu saja.”“Tolong, Nak, terimalah. Demi ayah,” sahut Rudi yang menangkap keraguan di wajah putri angkatnya.Zahra menghela nafas dalam. Menatap semua orang di dalam ruangan itu bergantian sebelum mengangguk. Tak ada pilihan lain. Semua sudah ditentukan dan dia tak bisa melakukan apapun selain menerima. Apa pendapatnya akan diden
Zahra yang baru pertama kali duduk berdampingan dengan seorang pria, merasa jantungnya mau copot. Meskipun suaminya sendiri, tapi tetap saja rasa gugup itu mendominasinya. Gadis berhijab itu tak sadar jika duduknya yang gelisah membuat pria yang duduk di sebelahnya terganggu.“Kamu sedang apa? Kenapa tak bisa diam?”“Maaf, Mas. Aku … hanya nerveous.”Setelah mengatakan itu, hanya keheningan yang mendominasi mobil. Perjalanan mereka memakan waktu kurang lebih satu jam. Dan itu membuat Zahra tersiksa. Mati-matian ia menahan gugup dan gelisah hingga keringat dingin membanjiri tubuhnya. Sesekali Eksan melirik bosnya melalui kaca spion di atas kepalanya. Sudut bibirnya sedikit tertarik saat netranya menangkap senyum tipis di wajah bosnya yang selalu terlihat garang.“Apa kamu takut padaku?” ucap Alvino tiba-tiba menyentak lamunan Zahra.“Ti—tidak.”“Kenapa gugup begitu ka
Zahra melangkah ragu-ragu menuju kamar suaminya. Entah mengapa wanita yang baru menjadi nyonya Alvino tersebut merasa terganggu dengan ucapan iparnya barusan. Bulu kuduknya meremang mengingat kalimatnya yang mirip ancaman. Apa memang semua oerang di rumah ini tidak menginginkannya? Tapi … bukankah mama mertuanya tersebut sangat ramah saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit waktu itu? Tak terasa kaki Zahra sudah sampai di depan pintu katu jati dengan ukiran khas Jepara yang sangat elegan. Ia yang sudah diberi tahu kalau di sini letak kamar suaminya merasa gugup saat tangannya hendak memutar kenop. Meskipun sedikit kesusahan, Zahra mencoba meengetuk pintu sebelum masuk ke kamar tersebut. Kamar seorang pria yang telah mengucapkan ijab qabul kemarin. Setelah mendapat jawaban dari sang empunya kamar, ia membuka pintu tersebut dengan sangat hati-hati. Lalu berjalan pelan tanpa menimbulk
Pagi pertama di kediaman Alvino diawali Zahra dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Semenjak menikah, pria itu sudah memutuskan hanya akan makan makanan buatana sang istri. Karena hingga saat ini ia masih belum bisa percaya pada semua penghuni rumah ini. Sementara pada wanita ini … entah mengapa ia memiliki sedikit kepercayaan. Roti panggang selai kacang dan segelas jus wortel campur tomat sudah siap untuk suaminya. Kali ini ia menyiapkan porsi lebih, berjaga-jaga kalau dirinya harus makan sisanya lagi. Pikirnya jika ia membuatkan sedikit lebih banyak, maka lelaki itu juga akan makan lebih banyak. Selain jus, ia juga membawakan air putih hangat. Langkah Zahra terhenti kala seseorang yang belum pernah ia lihat sebelumnya menghadang jalannya. Dengan tatapan menilai, pria yang ia perkirakan seusia dengan suaminya atau mungk
"Lepaskan dia!" ucap Eksan tenang. Entah sejak kapan pria kepercayaan Alvino itu sudah ada di belakang Zahra. Pembawaannya yang tenang hasil bentukan dari bosnya membuat Daniel merasa geram. "Nggak usah ikut campur, Lo! Tugas Lo itu ngurusi si cacat, jangan mengganggu kesenangan gue!" Daniel mencengkeram tangan Zahra dan menyembunyikan di belakang tubuhnya. Gadis itu memberontak hingga akhirnya terlepas dari cekalan tangan pria buas itu. Beruntung Eksan datang tepat waktu sehingga dirinya selamat dari terkaman pria tak bermoral yang sejak awal ia datang sudah mengganggunya. Tak banyak kata yang terucap dari pria berbadan tegap itu. Dia hanya menatap Daniel dengan tatapan membunuh lalu memberi kode pada Zahra untuk keluar dari temp
Sepeninggal suaminya, Zahra memilih untuk membereskan kamar. Sebenarnya kamar itu sudah rapi, sangat rapi malah. Namun karena tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan, ia mencoba menata ulang kamar tersebut. Mengganti sprei dan sarung bantalnya, mengganti korden, dan apapun yang bisa ia lakukan.Kegiatan itu lumayan bisa membunuh waktu sehingga kejenuhan yang mendera bisa terobati. Terbiasa bekerja di kantor, berdiam diri di rumah sangat membosankan. Terlebih segala sesuatu di sini dikerjakan pembantu, Zahra nyaris tak memiliki aktivitas selain melayani suaminya. Namun ketika sang suami keluar seperti saat ini, ia bingung mau melakukan apa. Ingatkan dia untuk meminta izin kembali bekerja.Di saat gadis itu hendak mendudukkan dirinya di sofa sambil menonton TV, gawainya berdering. Nama Intan, teman sekantornya terpampang di layar depan handpondnya."Assalamualaikum, Tan."[Ya ampun, Ra ... kenapa mengundurkan diri nggak bilang-bilang, sih?
Suara mobil menderu di halaman rumah. Zahra yang sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu menyambut kedatangan suaminya, segera berlari ke balkon. Memastikan apakah benar suaminya yang datang atau orang lain. Dia tak berani mengambil resiko dengan bertemu Daniel lagi kalau nekat ke bawah sendirian.Senyumnya terukir di bibir tipis Zahra ketika melihat Eksan mendorong kursi roda Alvino memasuki rumah. Entah perasaan apa yang sekarang mendera, membuat gadis lulusan administrasi perkantoran itu berdebar-debar. Detik-detik menunggu pintu terbuka seperti seorang terdakwa yang tengah menunggu putusan hakim saja, hingga suara itu benar-benar menembus rungunya.Spontan Zahra bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Menyambut kedatangan sang imam dengan senyum merekah meski ia yakin suaminya nggak bakalan bisa melihat."Sudah pulang, Mas? Mau langsung mandi atau-""Mandi," jawab Alvino cepat.Perasaannya masih bergemuruh me
"Pak Dika? Kenapa bisa di sini?" tanya Zahra gugup. Tidak menyangka akan ketemu mantan atasannya di sini."Sama seperti kalian, saya juga mau makan siang." Dengan santai lelaki bernama Andika Mahardika itu duduk di samping Zahra, membuat gadis berhijab itu merasa terganggu. Ia menggeser kursinya sedikit menjauh dari pria yang ada di sampingnya. Sementara Intan menatap dua insan di depannya sambil mengulum senyum."Kenapa kamu resign tiba-tiba, Ra? Apa ada yang membuatmu nggak nyaman?"Sejak masuk ke kafe ini, Andika tak melepas tatapan dari mantan karyawannya itu. Ada rasa bahagia di dalam hatinya bisa bertemu di kafe ini. Entah, dorongan dari mana tiba-tiba ia ingin makan di kafe ini. Padahal biasanya pria yang menjabat sebagai General Manager itu lebih suka makan di ruangannya. Sejak mendengar kabar Zahra resign, lelaki itu jadi kebingungan mencari informasi tentangnya. Apalagi nomor Zahra sudah tidak aktif."Tidak papa, Pak. Kar
"Kamu ... pacarnya Dika?" tanya Al, dengan tatapan yang membuat Zahra bergidik.Sejenak istri Alvino itu menatap mata sang penanya, lalu beralih pada Andika yang juga menatapnya. Lalu ia menggeleng dan tersenyum tipis, sebagai jawaban kalau dia bukan pacar Andika. Entah hanya perasaan Zahra saja atau atau dia yang terlalu peka, pria itu tersenyum tipis mendengar jawabannya."Permisi, Assalamualaikum," pungkasnya.Dia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban dari dua pria yang masih menatapnya itu. Sementara Intan yang sadar kalau sahabatnya benar-benar pergi langsung pamit dan mengejarnya.“Apa cewek itu yang sedang kamu incar? Dia … sepertinya biasa saja.” Al masih tak melepas tatapan dari Zahra yang mulai menghilang di antara kendaraan yang terparkir di depan kafe.“Ya. Kalau kamu hanya melihatnya sekilas saja, penilaianmu padanya hanya sampai situ. Secara fisik memang tak ada yang istimewa darinya. Bahkan banyak gadis yang
"Pak Dika? Kenapa bisa di sini?" tanya Zahra gugup. Tidak menyangka akan ketemu mantan atasannya di sini."Sama seperti kalian, saya juga mau makan siang." Dengan santai lelaki bernama Andika Mahardika itu duduk di samping Zahra, membuat gadis berhijab itu merasa terganggu. Ia menggeser kursinya sedikit menjauh dari pria yang ada di sampingnya. Sementara Intan menatap dua insan di depannya sambil mengulum senyum."Kenapa kamu resign tiba-tiba, Ra? Apa ada yang membuatmu nggak nyaman?"Sejak masuk ke kafe ini, Andika tak melepas tatapan dari mantan karyawannya itu. Ada rasa bahagia di dalam hatinya bisa bertemu di kafe ini. Entah, dorongan dari mana tiba-tiba ia ingin makan di kafe ini. Padahal biasanya pria yang menjabat sebagai General Manager itu lebih suka makan di ruangannya. Sejak mendengar kabar Zahra resign, lelaki itu jadi kebingungan mencari informasi tentangnya. Apalagi nomor Zahra sudah tidak aktif."Tidak papa, Pak. Kar
Suara mobil menderu di halaman rumah. Zahra yang sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu menyambut kedatangan suaminya, segera berlari ke balkon. Memastikan apakah benar suaminya yang datang atau orang lain. Dia tak berani mengambil resiko dengan bertemu Daniel lagi kalau nekat ke bawah sendirian.Senyumnya terukir di bibir tipis Zahra ketika melihat Eksan mendorong kursi roda Alvino memasuki rumah. Entah perasaan apa yang sekarang mendera, membuat gadis lulusan administrasi perkantoran itu berdebar-debar. Detik-detik menunggu pintu terbuka seperti seorang terdakwa yang tengah menunggu putusan hakim saja, hingga suara itu benar-benar menembus rungunya.Spontan Zahra bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Menyambut kedatangan sang imam dengan senyum merekah meski ia yakin suaminya nggak bakalan bisa melihat."Sudah pulang, Mas? Mau langsung mandi atau-""Mandi," jawab Alvino cepat.Perasaannya masih bergemuruh me
Sepeninggal suaminya, Zahra memilih untuk membereskan kamar. Sebenarnya kamar itu sudah rapi, sangat rapi malah. Namun karena tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan, ia mencoba menata ulang kamar tersebut. Mengganti sprei dan sarung bantalnya, mengganti korden, dan apapun yang bisa ia lakukan.Kegiatan itu lumayan bisa membunuh waktu sehingga kejenuhan yang mendera bisa terobati. Terbiasa bekerja di kantor, berdiam diri di rumah sangat membosankan. Terlebih segala sesuatu di sini dikerjakan pembantu, Zahra nyaris tak memiliki aktivitas selain melayani suaminya. Namun ketika sang suami keluar seperti saat ini, ia bingung mau melakukan apa. Ingatkan dia untuk meminta izin kembali bekerja.Di saat gadis itu hendak mendudukkan dirinya di sofa sambil menonton TV, gawainya berdering. Nama Intan, teman sekantornya terpampang di layar depan handpondnya."Assalamualaikum, Tan."[Ya ampun, Ra ... kenapa mengundurkan diri nggak bilang-bilang, sih?
"Lepaskan dia!" ucap Eksan tenang. Entah sejak kapan pria kepercayaan Alvino itu sudah ada di belakang Zahra. Pembawaannya yang tenang hasil bentukan dari bosnya membuat Daniel merasa geram. "Nggak usah ikut campur, Lo! Tugas Lo itu ngurusi si cacat, jangan mengganggu kesenangan gue!" Daniel mencengkeram tangan Zahra dan menyembunyikan di belakang tubuhnya. Gadis itu memberontak hingga akhirnya terlepas dari cekalan tangan pria buas itu. Beruntung Eksan datang tepat waktu sehingga dirinya selamat dari terkaman pria tak bermoral yang sejak awal ia datang sudah mengganggunya. Tak banyak kata yang terucap dari pria berbadan tegap itu. Dia hanya menatap Daniel dengan tatapan membunuh lalu memberi kode pada Zahra untuk keluar dari temp
Pagi pertama di kediaman Alvino diawali Zahra dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Semenjak menikah, pria itu sudah memutuskan hanya akan makan makanan buatana sang istri. Karena hingga saat ini ia masih belum bisa percaya pada semua penghuni rumah ini. Sementara pada wanita ini … entah mengapa ia memiliki sedikit kepercayaan. Roti panggang selai kacang dan segelas jus wortel campur tomat sudah siap untuk suaminya. Kali ini ia menyiapkan porsi lebih, berjaga-jaga kalau dirinya harus makan sisanya lagi. Pikirnya jika ia membuatkan sedikit lebih banyak, maka lelaki itu juga akan makan lebih banyak. Selain jus, ia juga membawakan air putih hangat. Langkah Zahra terhenti kala seseorang yang belum pernah ia lihat sebelumnya menghadang jalannya. Dengan tatapan menilai, pria yang ia perkirakan seusia dengan suaminya atau mungk
Zahra melangkah ragu-ragu menuju kamar suaminya. Entah mengapa wanita yang baru menjadi nyonya Alvino tersebut merasa terganggu dengan ucapan iparnya barusan. Bulu kuduknya meremang mengingat kalimatnya yang mirip ancaman. Apa memang semua oerang di rumah ini tidak menginginkannya? Tapi … bukankah mama mertuanya tersebut sangat ramah saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit waktu itu? Tak terasa kaki Zahra sudah sampai di depan pintu katu jati dengan ukiran khas Jepara yang sangat elegan. Ia yang sudah diberi tahu kalau di sini letak kamar suaminya merasa gugup saat tangannya hendak memutar kenop. Meskipun sedikit kesusahan, Zahra mencoba meengetuk pintu sebelum masuk ke kamar tersebut. Kamar seorang pria yang telah mengucapkan ijab qabul kemarin. Setelah mendapat jawaban dari sang empunya kamar, ia membuka pintu tersebut dengan sangat hati-hati. Lalu berjalan pelan tanpa menimbulk
Zahra yang baru pertama kali duduk berdampingan dengan seorang pria, merasa jantungnya mau copot. Meskipun suaminya sendiri, tapi tetap saja rasa gugup itu mendominasinya. Gadis berhijab itu tak sadar jika duduknya yang gelisah membuat pria yang duduk di sebelahnya terganggu.“Kamu sedang apa? Kenapa tak bisa diam?”“Maaf, Mas. Aku … hanya nerveous.”Setelah mengatakan itu, hanya keheningan yang mendominasi mobil. Perjalanan mereka memakan waktu kurang lebih satu jam. Dan itu membuat Zahra tersiksa. Mati-matian ia menahan gugup dan gelisah hingga keringat dingin membanjiri tubuhnya. Sesekali Eksan melirik bosnya melalui kaca spion di atas kepalanya. Sudut bibirnya sedikit tertarik saat netranya menangkap senyum tipis di wajah bosnya yang selalu terlihat garang.“Apa kamu takut padaku?” ucap Alvino tiba-tiba menyentak lamunan Zahra.“Ti—tidak.”“Kenapa gugup begitu ka
Tubuh Zahra melemas. Tiba-tiba kepalanya terasa berputar-putar. Akibat menangis yang terlalu lama, ditambah berita yang menyesakkan dada, gadis yang diangkat anak oleh Rudi ini semakin tak berdaya. Hampir saja ia limbung kalau tak berpegangan pada pinggir ranjang sang ayah.“Apa tidak terlalu cepat, Bu, Tan? Kami bahkan belum saling mengenal satu sama lain,” ucapnya akhirnya setelah mampu menguasai dirinya kembali.“Niat baik harus disegerakan. Orang tua sudah sama-sama setuju. Tante yakin Alvino juga bakalan setuju. Tenang aja, kamu tidak perlu bekerja apapun nantinya. Cukup mengurus suamimu saja.”“Tolong, Nak, terimalah. Demi ayah,” sahut Rudi yang menangkap keraguan di wajah putri angkatnya.Zahra menghela nafas dalam. Menatap semua orang di dalam ruangan itu bergantian sebelum mengangguk. Tak ada pilihan lain. Semua sudah ditentukan dan dia tak bisa melakukan apapun selain menerima. Apa pendapatnya akan diden