Zahra yang baru pertama kali duduk berdampingan dengan seorang pria, merasa jantungnya mau copot. Meskipun suaminya sendiri, tapi tetap saja rasa gugup itu mendominasinya. Gadis berhijab itu tak sadar jika duduknya yang gelisah membuat pria yang duduk di sebelahnya terganggu.
“Kamu sedang apa? Kenapa tak bisa diam?”
“Maaf, Mas. Aku … hanya nerveous.”
Setelah mengatakan itu, hanya keheningan yang mendominasi mobil. Perjalanan mereka memakan waktu kurang lebih satu jam. Dan itu membuat Zahra tersiksa. Mati-matian ia menahan gugup dan gelisah hingga keringat dingin membanjiri tubuhnya. Sesekali Eksan melirik bosnya melalui kaca spion di atas kepalanya. Sudut bibirnya sedikit tertarik saat netranya menangkap senyum tipis di wajah bosnya yang selalu terlihat garang.
“Apa kamu takut padaku?” ucap Alvino tiba-tiba menyentak lamunan Zahra.
“Ti—tidak.”
“Kenapa gugup begitu kalau tak takut?”
“Aku … aku … hanya—“
Suara decitan ban yang beradu dengan aspal terdengar nyaring di telinga. Tiba-tiba mobil direm mendadak membuat ucapan Zahra terpotong. Kepala gadis itu juga terbentur kursi di depannya. Untung empuk, jadi jidatnya tidak sampai benjol.
“Kamu bisa nyetir dengan benar tidak?” bentak Alvino membuat Zahra bergidik mendengarnya. Baru pertama kalinya gadis yang baru saja sah menjadi nyonya Alvino ini mendengar suara menggelegar suaminya kala marah.
“Maaf, Tuan. Mobil di depan mendadak berhenti.”
“Maju! Abaikan saja!” perintah sang tuan tanpa difilter. Zahra menatap jalanan yang begitu macet. Tidak ada celah untuk mereka menembus kemacetan ini kecuali dengan jalan kaki, dan itu sangat tidak mungkin terjadi.
“Tapi mobil kita nggak bisa bergerak, Tuan. Jalanan sangat macet. Mungkin sedang ada kecelakaan, Tuan.”
“Sh*t, kemana para petugas keamaanan? Apa saja tugas mereka hingga tak mampu mengatasi hal seperti ini?” geram Alvino. Lelaki itu tampak kesal dengan situasi yang membuatnya harus terjebak di jalanan seperti ini.
“Sabar, Mas,” lirih Zahra mencoba meredam kemarahan lelaki yang baru menjadi suaminya beberapa jam yang lalu. Namun siapa sangka respon lelaki itu justru membuatnya kembali menciut.
“Jangan pernah mengaturku! Kamu tidak ada hak untuk itu!”
“Maaf.”
Suasana di dalam mobil kembali hening. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu kemacetan bisa diurai sehingga mereka bisa kembali mellanjutkan perjalanan. Eksan melirik bosnya memalui kaca sepion. Lalu tatapannya beralih pada wanita yang duduk di samping bosnya. Wanita itu sedang menunduk dengan tangan saling meremat, mungkin takut akibat bentakan dari suaminya tadi.
Setengah jam kemudian kenddaraan yang mengular di jalan itu perlahan mulai bergerak. Mobil mewah yang dikemudikan Eksan kembali melaju dengan cepat. Pria itu menambah kecepatan mobilnya dan menyalip kendaraan lain yang berjalan santai. Raut wajah bosnya sudah sangat tidak nyaman dilihat, dan itu berarti sang asisten pribadi harus segera membawanya ke kamar pribadi sang atasan yang selalu menjadi tempat teraman dan ternyaman bagi lelaki penguasa itu.
Ketika kendaraan memasuki pelataran rumah mewah bergaya modern dengan pilar-pilar kokoh itu, Eksan segera menurunkan kursi roda dan membantu tuannya untuk turun dari mobil. Zahra hanya bisa mengekor kedua pria itu tanpa sempat mengagumi bangunan megah yang akan ia tinggali ke depannya.
“Mari, Nona, ikuti kami,” ucap Eksan yang langsung diangguki oleh gadis berhijab itu. ketiga orang itu berjalan melewati ruang tamu. Lalu semakin masuk hingga ketemu sebuah lift khusus yang hanya diperuntukkan bagi Alvino saja. Mereka memasuki benda kotak itu menghirauakan tatapan sinis dari tiga orang yang duduk di ruang tengah. Sayangnya Zahra tidak menyadari hal itu sehingga dengan tenang ia terus berjalan mengikuti suaminya.
“Silakan masuk, Nona. Ini kamar pribadi Tuan dan mulai sekarang juga menjadi kamar anda.”
“Terima kasih …”
“Eksan. Panggil saja saya Eksan, Nona.”
“Ah ya, Eksan. Terima kasih banyak,” balas Zahra dengan senyum manisnya.
Setelah mengantarkan majikannya, Eksan kembali turun menuju kamar pribadinya. Ya, pria itu memang tinggal di rumah ini. Dia memiliki kamar di lantai satu, sementara seluruh area lantai dua merupakan wilayah Alvino. Tak ada seorang pun yang diizinkan ke lantai dua kecuali asisten pribadinya itu dan seorang pembantu yang bertugas membersihkannya.
Alvino benar-benar disiplin mengenai hal ini. Ia akan menghukum siapa sajja yang berani menginjakkan kakinya di wilayah kekuasaannya sekalipun itu saudara tirinya. Kini bertambah satu orang yang diperbolehkan memasuki area itu, yaitu Zahra.
“Mau mandi, Mas? Mau saya bantu?” tanya Zahra hati-hati. Ia masih belum memahami karakter suaminya, sehingga harus bersikap sangat hati-hati jika tak ingin nasibnya menjadi buruk.
“Nanti saja. Tolong bantu aku berbaring, punggungku pegal sekali karena kelamaan di jalan tadi.”
Tanpa kata, wanita yang sudah sah menjadi nyonya Alvino itu mendorong kursi roda suaminya. Dengan sangat hati-hati, ia membantu pria itu untuk berbaring di ranjangnya. Alvino bisa merasakan ketulusan dari wanita ini. Namun ia tak bisa percaya begitu saja. Bagaimanapun, gadis yang dijodohkan dengannya ini adalah pilihan ibu tirinya.
“Buatkan aku makanan, jangan yang pedas atau berminyak!” perintah Alvino lagi tanpa belas kasih.
“Baik, Mas. Tunggu sebentar,” ucapnya lembut lalu menyelimuti suaminya. Setelah memastikan suaminya nyaman, ia bergegas keluar kamar menuju lantai satu. Ia belum mengetahui seluk beluk rumah ini, maka pertama kali yang ia lakukan adalah mencari Eksan untuk menunjukkannya.
“Em … maaf, Bu, apa Ibu lihat Eksan?” wanita yang ditanya Zahra bergeming. “Bu, apa Ibu lihat Eksan?” tanyanya sekali lagi.
“Kamu pikir saya ibunya Eksan? Kau cari saja sendiri!” bentak Susi yang sudah menunjukkan wajah aslinya. Waktu di rumah sakit, wanita ini tampak sedikit ramah, namun sekarang berubah 180 derajat. Hampir saja Zahra tak mengenalinya kalau saja tak ingat wajah ini adalah wajah yang sama yang memaksanya menikah lebih cepat waktu di rumah sakit.
“Maaf, Bu, saya hanya bertanya.”
Wanita itu berdiri dengan wajah garangnya. Tatapannya menusuk tajam seolah mampu menembus jantung Zahra. “Kamu ingat baik-baik, Zahra … tugas kamu di sini hanya untuk mengurusi suamimu yang cacat itu. jadi nggak usah sok akrab seolah kita memiliki hubungan.”
Gadis berhijab itu hanya bisa melongo mendengar perkataan mertuanya. Bagaimana mungkin ia tidak sok akrab pada mertuanya sendiri? Bukankah tugas seorang istri itu selain melayani dan menghormati suaminya juga menghormati mertuanya juga?
“Ada apa, Nona? Kenapa rebut-ribut?”
“Ah, Eksan … akhirnya kamu muncul juga. Mas Alvin minta dibuatkan makanan, bisa tolong tunjukkan padaku di mana aku bisa membuatnya?”
“Oh, kalau itu, Nona bisa ke sana,” tunjuknya. “Dapurnya ada di sebelah ruang makan itu.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama, Nona.”
Zahra berjalan menuju tempat yang ditunjuk oleh asisten suaminya. Ia tak tahu jika ada seseorang yang terus mengawasi sejak kedatangannya tadi. Di ruangan yang serba bersih dengan perabotan yang serba mahal itu, Zahra menemukan seorang wanita paruh baya yang sedang melakukan pekerjaannya. Keduanya lalu terlibat perbincangan ringan sampai makanan yang dibuat Zahra siap untuk dihidangkan.
Gadis cantik berhijab itu melangkah hati-hati menuju lift sambil membawa sebuah nampan berisi makanan untuk suaminya. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang gadis seumurannya dengan pakaian super seksi tengah menatapnya.
“Kamu istri dari si cacat itu?” tanya Risma—adik tiri Alvino dengan senyum mengejek. Tatapannya menilai pada penampilan Zahra yang dianggapnya kampungan. “Selamat datang di neraka, Zahra,” bisiknya sarkas.
Zahra melangkah ragu-ragu menuju kamar suaminya. Entah mengapa wanita yang baru menjadi nyonya Alvino tersebut merasa terganggu dengan ucapan iparnya barusan. Bulu kuduknya meremang mengingat kalimatnya yang mirip ancaman. Apa memang semua oerang di rumah ini tidak menginginkannya? Tapi … bukankah mama mertuanya tersebut sangat ramah saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit waktu itu? Tak terasa kaki Zahra sudah sampai di depan pintu katu jati dengan ukiran khas Jepara yang sangat elegan. Ia yang sudah diberi tahu kalau di sini letak kamar suaminya merasa gugup saat tangannya hendak memutar kenop. Meskipun sedikit kesusahan, Zahra mencoba meengetuk pintu sebelum masuk ke kamar tersebut. Kamar seorang pria yang telah mengucapkan ijab qabul kemarin. Setelah mendapat jawaban dari sang empunya kamar, ia membuka pintu tersebut dengan sangat hati-hati. Lalu berjalan pelan tanpa menimbulk
Pagi pertama di kediaman Alvino diawali Zahra dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Semenjak menikah, pria itu sudah memutuskan hanya akan makan makanan buatana sang istri. Karena hingga saat ini ia masih belum bisa percaya pada semua penghuni rumah ini. Sementara pada wanita ini … entah mengapa ia memiliki sedikit kepercayaan. Roti panggang selai kacang dan segelas jus wortel campur tomat sudah siap untuk suaminya. Kali ini ia menyiapkan porsi lebih, berjaga-jaga kalau dirinya harus makan sisanya lagi. Pikirnya jika ia membuatkan sedikit lebih banyak, maka lelaki itu juga akan makan lebih banyak. Selain jus, ia juga membawakan air putih hangat. Langkah Zahra terhenti kala seseorang yang belum pernah ia lihat sebelumnya menghadang jalannya. Dengan tatapan menilai, pria yang ia perkirakan seusia dengan suaminya atau mungk
"Lepaskan dia!" ucap Eksan tenang. Entah sejak kapan pria kepercayaan Alvino itu sudah ada di belakang Zahra. Pembawaannya yang tenang hasil bentukan dari bosnya membuat Daniel merasa geram. "Nggak usah ikut campur, Lo! Tugas Lo itu ngurusi si cacat, jangan mengganggu kesenangan gue!" Daniel mencengkeram tangan Zahra dan menyembunyikan di belakang tubuhnya. Gadis itu memberontak hingga akhirnya terlepas dari cekalan tangan pria buas itu. Beruntung Eksan datang tepat waktu sehingga dirinya selamat dari terkaman pria tak bermoral yang sejak awal ia datang sudah mengganggunya. Tak banyak kata yang terucap dari pria berbadan tegap itu. Dia hanya menatap Daniel dengan tatapan membunuh lalu memberi kode pada Zahra untuk keluar dari temp
Sepeninggal suaminya, Zahra memilih untuk membereskan kamar. Sebenarnya kamar itu sudah rapi, sangat rapi malah. Namun karena tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan, ia mencoba menata ulang kamar tersebut. Mengganti sprei dan sarung bantalnya, mengganti korden, dan apapun yang bisa ia lakukan.Kegiatan itu lumayan bisa membunuh waktu sehingga kejenuhan yang mendera bisa terobati. Terbiasa bekerja di kantor, berdiam diri di rumah sangat membosankan. Terlebih segala sesuatu di sini dikerjakan pembantu, Zahra nyaris tak memiliki aktivitas selain melayani suaminya. Namun ketika sang suami keluar seperti saat ini, ia bingung mau melakukan apa. Ingatkan dia untuk meminta izin kembali bekerja.Di saat gadis itu hendak mendudukkan dirinya di sofa sambil menonton TV, gawainya berdering. Nama Intan, teman sekantornya terpampang di layar depan handpondnya."Assalamualaikum, Tan."[Ya ampun, Ra ... kenapa mengundurkan diri nggak bilang-bilang, sih?
Suara mobil menderu di halaman rumah. Zahra yang sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu menyambut kedatangan suaminya, segera berlari ke balkon. Memastikan apakah benar suaminya yang datang atau orang lain. Dia tak berani mengambil resiko dengan bertemu Daniel lagi kalau nekat ke bawah sendirian.Senyumnya terukir di bibir tipis Zahra ketika melihat Eksan mendorong kursi roda Alvino memasuki rumah. Entah perasaan apa yang sekarang mendera, membuat gadis lulusan administrasi perkantoran itu berdebar-debar. Detik-detik menunggu pintu terbuka seperti seorang terdakwa yang tengah menunggu putusan hakim saja, hingga suara itu benar-benar menembus rungunya.Spontan Zahra bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Menyambut kedatangan sang imam dengan senyum merekah meski ia yakin suaminya nggak bakalan bisa melihat."Sudah pulang, Mas? Mau langsung mandi atau-""Mandi," jawab Alvino cepat.Perasaannya masih bergemuruh me
"Pak Dika? Kenapa bisa di sini?" tanya Zahra gugup. Tidak menyangka akan ketemu mantan atasannya di sini."Sama seperti kalian, saya juga mau makan siang." Dengan santai lelaki bernama Andika Mahardika itu duduk di samping Zahra, membuat gadis berhijab itu merasa terganggu. Ia menggeser kursinya sedikit menjauh dari pria yang ada di sampingnya. Sementara Intan menatap dua insan di depannya sambil mengulum senyum."Kenapa kamu resign tiba-tiba, Ra? Apa ada yang membuatmu nggak nyaman?"Sejak masuk ke kafe ini, Andika tak melepas tatapan dari mantan karyawannya itu. Ada rasa bahagia di dalam hatinya bisa bertemu di kafe ini. Entah, dorongan dari mana tiba-tiba ia ingin makan di kafe ini. Padahal biasanya pria yang menjabat sebagai General Manager itu lebih suka makan di ruangannya. Sejak mendengar kabar Zahra resign, lelaki itu jadi kebingungan mencari informasi tentangnya. Apalagi nomor Zahra sudah tidak aktif."Tidak papa, Pak. Kar
"Kamu ... pacarnya Dika?" tanya Al, dengan tatapan yang membuat Zahra bergidik.Sejenak istri Alvino itu menatap mata sang penanya, lalu beralih pada Andika yang juga menatapnya. Lalu ia menggeleng dan tersenyum tipis, sebagai jawaban kalau dia bukan pacar Andika. Entah hanya perasaan Zahra saja atau atau dia yang terlalu peka, pria itu tersenyum tipis mendengar jawabannya."Permisi, Assalamualaikum," pungkasnya.Dia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban dari dua pria yang masih menatapnya itu. Sementara Intan yang sadar kalau sahabatnya benar-benar pergi langsung pamit dan mengejarnya.“Apa cewek itu yang sedang kamu incar? Dia … sepertinya biasa saja.” Al masih tak melepas tatapan dari Zahra yang mulai menghilang di antara kendaraan yang terparkir di depan kafe.“Ya. Kalau kamu hanya melihatnya sekilas saja, penilaianmu padanya hanya sampai situ. Secara fisik memang tak ada yang istimewa darinya. Bahkan banyak gadis yang
Air mata gadis berhijab itu terus mengalir tanpa bisa dicegah. Sudah satu jam berlalu ia berdiam diri di sebuah taman yang sepi karena sekarang hari kerja, namun ia masih betah merenungi nasibnya yang berubah. Tadi pagi, ia masih tersenyum riang di hadapan para sahabatnya di kantor. Hingga sebuah panggilan telepon dari ayahnya mengharuskan ia pulang lebih awal dari hari-hari biasanya.Gadis itu berlari menyusuri lorong rumah sakit dan mencari kamar ayahnya di rawat. Dengan derai air mata, ia terus mencari hingga tiba di sebuah kamar bertuliskan angka 105 di lantai 2 rumah sakit besar itu. Jantungnya berdetak lebih cepat kala mengintip di dalam kamar sana. Seorang pria yang selama ini selalu menyayanginya terbaring dengan selang infus menempel di lengan kirinya.Perlahan gadis berhijab itu membuka pintu dan melangkah masuk. Ibu dan kakak angkatnya menoleh dan tersenyum melihat kedatangannya. Namun entah mengapa Zahra merasa senyum itu berbeda. Tiba-tiba perasaannya jadi
"Kamu ... pacarnya Dika?" tanya Al, dengan tatapan yang membuat Zahra bergidik.Sejenak istri Alvino itu menatap mata sang penanya, lalu beralih pada Andika yang juga menatapnya. Lalu ia menggeleng dan tersenyum tipis, sebagai jawaban kalau dia bukan pacar Andika. Entah hanya perasaan Zahra saja atau atau dia yang terlalu peka, pria itu tersenyum tipis mendengar jawabannya."Permisi, Assalamualaikum," pungkasnya.Dia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban dari dua pria yang masih menatapnya itu. Sementara Intan yang sadar kalau sahabatnya benar-benar pergi langsung pamit dan mengejarnya.“Apa cewek itu yang sedang kamu incar? Dia … sepertinya biasa saja.” Al masih tak melepas tatapan dari Zahra yang mulai menghilang di antara kendaraan yang terparkir di depan kafe.“Ya. Kalau kamu hanya melihatnya sekilas saja, penilaianmu padanya hanya sampai situ. Secara fisik memang tak ada yang istimewa darinya. Bahkan banyak gadis yang
"Pak Dika? Kenapa bisa di sini?" tanya Zahra gugup. Tidak menyangka akan ketemu mantan atasannya di sini."Sama seperti kalian, saya juga mau makan siang." Dengan santai lelaki bernama Andika Mahardika itu duduk di samping Zahra, membuat gadis berhijab itu merasa terganggu. Ia menggeser kursinya sedikit menjauh dari pria yang ada di sampingnya. Sementara Intan menatap dua insan di depannya sambil mengulum senyum."Kenapa kamu resign tiba-tiba, Ra? Apa ada yang membuatmu nggak nyaman?"Sejak masuk ke kafe ini, Andika tak melepas tatapan dari mantan karyawannya itu. Ada rasa bahagia di dalam hatinya bisa bertemu di kafe ini. Entah, dorongan dari mana tiba-tiba ia ingin makan di kafe ini. Padahal biasanya pria yang menjabat sebagai General Manager itu lebih suka makan di ruangannya. Sejak mendengar kabar Zahra resign, lelaki itu jadi kebingungan mencari informasi tentangnya. Apalagi nomor Zahra sudah tidak aktif."Tidak papa, Pak. Kar
Suara mobil menderu di halaman rumah. Zahra yang sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu menyambut kedatangan suaminya, segera berlari ke balkon. Memastikan apakah benar suaminya yang datang atau orang lain. Dia tak berani mengambil resiko dengan bertemu Daniel lagi kalau nekat ke bawah sendirian.Senyumnya terukir di bibir tipis Zahra ketika melihat Eksan mendorong kursi roda Alvino memasuki rumah. Entah perasaan apa yang sekarang mendera, membuat gadis lulusan administrasi perkantoran itu berdebar-debar. Detik-detik menunggu pintu terbuka seperti seorang terdakwa yang tengah menunggu putusan hakim saja, hingga suara itu benar-benar menembus rungunya.Spontan Zahra bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Menyambut kedatangan sang imam dengan senyum merekah meski ia yakin suaminya nggak bakalan bisa melihat."Sudah pulang, Mas? Mau langsung mandi atau-""Mandi," jawab Alvino cepat.Perasaannya masih bergemuruh me
Sepeninggal suaminya, Zahra memilih untuk membereskan kamar. Sebenarnya kamar itu sudah rapi, sangat rapi malah. Namun karena tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan, ia mencoba menata ulang kamar tersebut. Mengganti sprei dan sarung bantalnya, mengganti korden, dan apapun yang bisa ia lakukan.Kegiatan itu lumayan bisa membunuh waktu sehingga kejenuhan yang mendera bisa terobati. Terbiasa bekerja di kantor, berdiam diri di rumah sangat membosankan. Terlebih segala sesuatu di sini dikerjakan pembantu, Zahra nyaris tak memiliki aktivitas selain melayani suaminya. Namun ketika sang suami keluar seperti saat ini, ia bingung mau melakukan apa. Ingatkan dia untuk meminta izin kembali bekerja.Di saat gadis itu hendak mendudukkan dirinya di sofa sambil menonton TV, gawainya berdering. Nama Intan, teman sekantornya terpampang di layar depan handpondnya."Assalamualaikum, Tan."[Ya ampun, Ra ... kenapa mengundurkan diri nggak bilang-bilang, sih?
"Lepaskan dia!" ucap Eksan tenang. Entah sejak kapan pria kepercayaan Alvino itu sudah ada di belakang Zahra. Pembawaannya yang tenang hasil bentukan dari bosnya membuat Daniel merasa geram. "Nggak usah ikut campur, Lo! Tugas Lo itu ngurusi si cacat, jangan mengganggu kesenangan gue!" Daniel mencengkeram tangan Zahra dan menyembunyikan di belakang tubuhnya. Gadis itu memberontak hingga akhirnya terlepas dari cekalan tangan pria buas itu. Beruntung Eksan datang tepat waktu sehingga dirinya selamat dari terkaman pria tak bermoral yang sejak awal ia datang sudah mengganggunya. Tak banyak kata yang terucap dari pria berbadan tegap itu. Dia hanya menatap Daniel dengan tatapan membunuh lalu memberi kode pada Zahra untuk keluar dari temp
Pagi pertama di kediaman Alvino diawali Zahra dengan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Semenjak menikah, pria itu sudah memutuskan hanya akan makan makanan buatana sang istri. Karena hingga saat ini ia masih belum bisa percaya pada semua penghuni rumah ini. Sementara pada wanita ini … entah mengapa ia memiliki sedikit kepercayaan. Roti panggang selai kacang dan segelas jus wortel campur tomat sudah siap untuk suaminya. Kali ini ia menyiapkan porsi lebih, berjaga-jaga kalau dirinya harus makan sisanya lagi. Pikirnya jika ia membuatkan sedikit lebih banyak, maka lelaki itu juga akan makan lebih banyak. Selain jus, ia juga membawakan air putih hangat. Langkah Zahra terhenti kala seseorang yang belum pernah ia lihat sebelumnya menghadang jalannya. Dengan tatapan menilai, pria yang ia perkirakan seusia dengan suaminya atau mungk
Zahra melangkah ragu-ragu menuju kamar suaminya. Entah mengapa wanita yang baru menjadi nyonya Alvino tersebut merasa terganggu dengan ucapan iparnya barusan. Bulu kuduknya meremang mengingat kalimatnya yang mirip ancaman. Apa memang semua oerang di rumah ini tidak menginginkannya? Tapi … bukankah mama mertuanya tersebut sangat ramah saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit waktu itu? Tak terasa kaki Zahra sudah sampai di depan pintu katu jati dengan ukiran khas Jepara yang sangat elegan. Ia yang sudah diberi tahu kalau di sini letak kamar suaminya merasa gugup saat tangannya hendak memutar kenop. Meskipun sedikit kesusahan, Zahra mencoba meengetuk pintu sebelum masuk ke kamar tersebut. Kamar seorang pria yang telah mengucapkan ijab qabul kemarin. Setelah mendapat jawaban dari sang empunya kamar, ia membuka pintu tersebut dengan sangat hati-hati. Lalu berjalan pelan tanpa menimbulk
Zahra yang baru pertama kali duduk berdampingan dengan seorang pria, merasa jantungnya mau copot. Meskipun suaminya sendiri, tapi tetap saja rasa gugup itu mendominasinya. Gadis berhijab itu tak sadar jika duduknya yang gelisah membuat pria yang duduk di sebelahnya terganggu.“Kamu sedang apa? Kenapa tak bisa diam?”“Maaf, Mas. Aku … hanya nerveous.”Setelah mengatakan itu, hanya keheningan yang mendominasi mobil. Perjalanan mereka memakan waktu kurang lebih satu jam. Dan itu membuat Zahra tersiksa. Mati-matian ia menahan gugup dan gelisah hingga keringat dingin membanjiri tubuhnya. Sesekali Eksan melirik bosnya melalui kaca spion di atas kepalanya. Sudut bibirnya sedikit tertarik saat netranya menangkap senyum tipis di wajah bosnya yang selalu terlihat garang.“Apa kamu takut padaku?” ucap Alvino tiba-tiba menyentak lamunan Zahra.“Ti—tidak.”“Kenapa gugup begitu ka
Tubuh Zahra melemas. Tiba-tiba kepalanya terasa berputar-putar. Akibat menangis yang terlalu lama, ditambah berita yang menyesakkan dada, gadis yang diangkat anak oleh Rudi ini semakin tak berdaya. Hampir saja ia limbung kalau tak berpegangan pada pinggir ranjang sang ayah.“Apa tidak terlalu cepat, Bu, Tan? Kami bahkan belum saling mengenal satu sama lain,” ucapnya akhirnya setelah mampu menguasai dirinya kembali.“Niat baik harus disegerakan. Orang tua sudah sama-sama setuju. Tante yakin Alvino juga bakalan setuju. Tenang aja, kamu tidak perlu bekerja apapun nantinya. Cukup mengurus suamimu saja.”“Tolong, Nak, terimalah. Demi ayah,” sahut Rudi yang menangkap keraguan di wajah putri angkatnya.Zahra menghela nafas dalam. Menatap semua orang di dalam ruangan itu bergantian sebelum mengangguk. Tak ada pilihan lain. Semua sudah ditentukan dan dia tak bisa melakukan apapun selain menerima. Apa pendapatnya akan diden