Kenapa ini semua harus menimpa diriku? hati Safira bertanya-tanya. Sejak peristiwa itu, dia sering menangis saat seorang diri.
Dalam kesendiriannya, Safira termenung. Sekalipun Sagara kini sudah meringkuk di penjara, namun bagaimanapun luka yang sudah dihujamkan ke dalam jiwanya masih membekas. Jiwanya belum tenang karena kesuciannya takkan bisa kembali lagi.
Apa ini semua salahku? Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa mimpi-mimpi indahku yang sudah kuukir kini berubah menjadi mimpi buruk, lirih Safira.
Bagaimana bisa tenang, kesucian yang selama ini dia jaga, hanya dipersembahkan untuk suaminya nanti, malah dirampas begitu saja.
Mimpi indah itu telah pergi. Yang menemani ku kini mimpi-mimpi buruk. Aku sudah tak punya masa depan lagi, ungkap hatinya.
Ini semua salahku, seharusnya hari itu, aku nggak pergi. Mungkin jika tak pergi, semua ini takkan terjadi, ungkap hatinya lagi, cenderung menyalahkan dirinya sendiri.
Safira meraih ponsel pintar miliknya. Sudah lama dia tak membukanya. Dia teringat Benua.
“Ben, Sayang. Bagaimana maafkan aku. Aku tak bisa menjaga cintaku untukmu,” Safira bergumam.
Pelan-pelan, Safira membuka ponselnya.
Ada banyak pesan yang masuk di W******p, mulai dari pesan dari grup di kampusnya, japri dari teman-temannya, dan masih banyak lagi. Namun ada satu pesan dari calon suaminya. Dia mulai membaca pesan yang cukup banyak itu.
Queen, gimana kabarmu?
Safira membaca kalimat pertama di pesan itu. Queen, adalah panggilan khas Benua untuk dirinya.
Kenapa akhir-akhir ini kamu tak pernah membalas pesan-pesanku?
Padahal aku kangen berat sama kamu.
Sungguh aku nggak sabar, menunggu beberapa bulan lagi. Tungguin nungguin aku ya. Di sini aku memang sedang fokus merampungkan studiku, tapi nggak bisa berhenti mikirin kamu, Queen.
Kamu memang penyemangat hidupku. Aku bisa sampai berani menginjakkan kaki ke Paris semua berkat dukunganmu.
Oia, aku sudah siapkan semuanya. Setelah kita nanti resmi jadi pasangan pengantin paling Bahagia di dunia, kita balik lagi ke Paris sesuai janji kita.
Aku akan bawa kamu jalan-jalan ke Menara Eiffel. Kamu bisa menyusuri Sungai Seine sepuasmu. Ke Museum Louvre dan tempat-tempat indah lainnya di Paris.
Safira berhenti sejenak. Dia membayangkan indahnya tempat-tempat yang disebutkan oleh calon tunangannya. Dia membayangkan dirinya berada di sebuah perahu yang melaju di atas Sungai Seine yang disaksikan oleh para beberapa orang dalam perahu yang sama.
Mereka menatap Safira dan Benua, pengantin muda yang membuat mereka iri melihatnya. Benar-benar dramatis dan romantis. Di atas perahu itu dia menyaksikan riak Sungai Seine.
Safira juga membayangkan dirinya berada di dekat Menara Eifel dan berfose bersama Benua. Mereka berdua menaiki Menara cantik itu, melewati lift. Dan ketika sampai di atas, keduanya menikmati lanskap kota Paris yang cantik. Sungai Seine pun terlihat dari atas Sana. Sungguh suasana yang begitu romantis.
Dia juga membayangkan dirinya menjadi wanita paling Bahagia di dunia karena berada di Sungai Seine, Menara Eiffel, Museum Louvre dan tempat-tempat indah lainnya selalu ditemani oleh Benua, lelaki yang selama ini dia cintai.
Safira tersenyum sendiri membayangkanmya. Namun ketika teringat realita yang kini tengah dialaminya, senyum di wajahnya berangsur-angsur pudar.
Tak mungkin lagi, Ben. Aku sudah tak suci lagi. Aku tak layak menjadi istrimu. Kamu tentu ingin hidup bersamaku dalam kondisi tubuhku yang bersih dan masih gadis bukan?
Air mata Safira meleleh. Dia menyekanya dengan salah satu telapak tangannya. Lalu kembali membaca pesan lanjutan dari Benua.
Queen, semoga kamu tetap sehat dan kamu juga bisa segera merampungkan kuliah sarjanamu. Kita bisa diwisuda dalam waktu yang berdekatan. Dan setelah itu kita melangsungkan pernikahan.
Perkataan itu membuat jantung Safira nyaris copot.
Bagaimana dirinya bisa fokus mengerjakan tugas-tugas kuliah, terutama skripsinya dalam kondisi jiwanya yang benar-benar rapuh saat ini. Jadwal bimbingan seharusnya dia lakukan sudah lewat beberapa kali. Entahlah apakah dia bisa merampungkan skripsinya?
Semuanya berantakan, jauh dari yang sudah dia rencanakan.
Aku sudah tak punya lagi impian! Masa depanku sudah hancur! Saat kata-kata itu terucap dalam hatinya, jiwanya kian terasa remuk.
Queen, kenapa kamu tak pernah membalas pesanku. Segitu sibukkah kamu menyelesaikan kuliahmu.
Aku ingin ngobrol sesuatu yang penting. Mengenai rencana masa depan kita. Rumah tangga kita. Kita bisa ngobrol di sela-sela kesibukan kita.
Please, Queen, tolong jangan abaikan aku. Aku sangat sedih jika kamu memperlakukanku begitu. Aku jadi tak semangat. Kamulah semangatku!
Kalimat itu membuat hati Safira berbunga-bunga. Itu yang aku suka darimu. Kamu tahu cara membahagiakanku.
“Ben, really I miss you…” Safira bergumam.
“Aku tak bisa membayangkan apa jadinya jika kamu tahu kondisiku. Apakah kamu mau menerimaku atau sebaliknya, kamu jijik tak mau lagi berada di sisiku,” lanjutnya.
Queen, tolong balas pesan-pesanku ya. Aku akan mencoba memaklumi, sekalipun kamu telat membalasnya.
Sampai di situ, Safira belum punya kekuatan untuk mengetik kalimat. Dia bingung apa yang akan dia katakan kepada Benua.
Oia, Queen. Pekan depan aku pulang dulu ke Indonesia, riset studiku ternyata belum tuntas. Masih ada yang kurang. Mau tak mau aku harus pulang. Nah, mumpung pulang, sekalian nanti kita ketemu buat ngelist segala keperluan pernikahan ya…
Safira tiba-tiba terlonjak.
Tidak-tidak… bagaimana bisa secepat ini? Aku belum siap ketemu dia! Safira berteriak dalam hati.
Safira mengecek pesan itu tanggal berapa. Rupanya pesan itu sudah dikirim dari 7 hari yang lalu. Berarti saat ini Benua kemungkinan sudah di Indonesia.
Oh tidak, tidak! Safira berteriak lagi dalam hati.
Saat tubuhnya panas dingin, dan suasana hatinya tak nyaman, tiba-tiba pintu kamarrnya diketuk.
Suara yang sangat familiar mengucapkan salam.
“Kak, boleh aku masuk,” kata Berliana. Suaranya seperti terburu-buru.
“Masuk aja, Lian,” ucap Safira sambil segera tampilan pesan W******p dari Benua di ponselnya.
“Ada apa?” tanya Safira saat Berlian sudah duduk di bibir ranjang tepat di hadapannya.
“Kak, coba lihat…” ucap Berliana sambil menunjukan layar ponselnya. “Berita tentang Sagara viral di media sosial. Foto-foto kakak juga banyak dikutip akun-akun gossip di I*******m Kak,” lanjut Berliana tampak cemas.
Safira pun melihat satu per satu berita yang diinfokan oleh adiknya. Media ramai memberitakan. Kasus yang menimpa Safira menjadi viral. Di masyarakat pun dirinya menjadi perbincangan.
“Kenapa sih, bisa seviral ini?” Safira tampak gusar.
“Mungkin karena orang tua Sagara itu tokoh nasional. Ceramahnya juga sering viral. Nah, giliran ini berita negatif, ikut-ikutan viral juga.”
Safira membenarkan apa yang dikatakan Berliana.
Dari sekian headline berita, dua berita berikut ini yang membuatnya sangat sedih.
Anak Kiai Memperkosa Mahasiswi
Gadis Cantik Jadi Korban Perkosaan
Safira tak bisa berkata apa-apa setelah membaca berita itu. Dia benar-benar sedih. Dia memang pernah diinterview oleh beberapa jurnalis setelah melaporkan kasus itu saat di kantor polisi. Tapi sungguh dia tak menyangka beritanya akan seviral saat ini.
“Aku nyesel kenapa saat itu mau diwawancara oleh wartawan,” kata Safira.
“Udah, Kak. Kakak nggak salah,” kata Berlian seraya mengusap pundak kakaknya.
“Aduh gimana ini, Lian? Aku harus gimana? Aku takut Benua tahu lebih dulu bukan dari mulutku, tapi dari berita viral ini!”
“Kan Kak Benua, masih di Paris, mudah-mudahan dia belum tahu, Kak,” tepis Berliana.
“Enggak, Lian,” Safira kian gusar. “Ini aku baru baca pesan dari dia seminggu yang lalu. Dia bilang mau pulang. Dia tak pernah ingkar janji. Aku yakin dia sudah tiba!”
“Astagfirullah…” Berliana tak mampu melanjutkan ucapannya.
Bersambung...
Bagaimana kesanmu setelah membaca part ini?
Menurutmu, kira-kira kisahnya dilanjutkan? Kasih masukan di komentar ya...
Makasih banyak supportnya ya...
“Fira, ayolah makan,” pinta mama saat mereka sekeluarga saat berkumpul di meja makan.Seperti malam-malam lainnya, makan malam yang dilalui Safira terasa hambar.Mama, Papa, dan Berliana menatap Safira yang dari tadi memain-mainkan sendoknya di atas piring nasi. Sepertinya baru beberapa suap yang masuk. Karena nasi di piring itu tersisa masih sangat banyak.Sementara adik dan kedua orang tuanya sudah dari tadi menuntaskan makan malamnya.Terlalu berat bagiku, menghadapi ini. Aku tak sanggup, ucapnya dalam hati.Dia tak menyadari permintaan mamanya, karena terlalu larut dalam pikirannya.“Fira, Sayang. Ayolah makan. Kamu harus kuat. Kamu harus bisa melanjutkan kehidupan,” ucap Papanya.Nada suara papanya jauh lebih nyaring dibanding mamanya sehingga Safira bisa mendengarnya.“Iya, Pa…” ucap Safira, dia ingin menyenangkan papanya. “Ini aku, makan,” lanjutnya sembari menyuap n
“Kak, tolong buka, Kak!” suara Berliana terdengar lebih tinggi saat mengetuk-ngetuk kamar Safira.Dia sudah berkali-kali mengucapkan kalimat itu, namun tak kunjung ada respon dari kakaknya.Dia mengkhawatirkan kakaknya, sementara untuk bisa masuk ke kamar pintunya terkunci.“Kak, tolong buka, Kak,” ucap Berliana lagi. Dia mulai cemas. Duuh, Kak, moga-moga aja nggak terjadi apa-apa sama kamu, gumam Berliana.Dari dalam sebenarnya Safira dapat mendengar dengan jelas suara adiknya. Namun dia merasa enggan, sama sekali tak berminat membuka pintu kamar dan menampakkan diri. Terlebih dengan kondisi saat ini, penampilan rambutnya sudah tak jelas.Dia memandangi dirinya di depan cermin, dengan potongan rambut yang sudah pendek.Namun suara adiknya di luar juga masih terus terdengar. Adiknya tak menyerah.Safira berhenti memandangi dirinya di cermin. Dia melangkahmendekati pintu. Akhirnya terpaksa, dia membuka kun
“Hubungan rumah tangga harus dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan,” Safira mengawali. “Aku tahu ini pahit untukku. Tapi aku tidak mau mengecewakanku, sehingga malam ini aku harus berkata apa ada padamu, Ben.”“Ya, aku sepakat,” jawab Benua lugas.“Ben, apa kamu nggak tahu berita viral?” tanya Safira saat dia bersama Benua sudah duduk di kursi halaman rumah. Di samping Safira, Berliana ikut duduk menemani.Kenapa nanya soal berita viral sih, pikir Benua. Nggak ada pertanyaan lain apa? Benua belum memahami alur pembicaraan calon istrinya.“Berita viral apa? Maksud kamu apa?” tanya Benua polos. Dia memang belum paham.Mendengar jawaban seperti itu, Safira menyimpulkan bahwa Benua memang belum mengetahuinya. Mungkin dia belum sempat baca-baca berita di media sosial.Safira menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan.“Ben, sebelumnya aku mau m
Ya Tuhan, mengapa dunia ini tiba-tiba gelap teramat pekat dan mencekam? Padahal jauh-jauh hari aku sudah merencanakan kebahagiaanku bersamanya. Bersama Queenku...Dunia Ben kini menggelap, lebih gelap dari jutaan malam yang telah dilaluinya. Selama ini, segelap apa pun malam yang dijalaninya, tetap saja indah karena di langit hatinya ada satu bintang, yaitu Safira yang selalu ia sayang setulusnya.Malam itu, Benua termenung sendiri di kamarnya yang gelap tanpa nyala lampu. Dua memang sengaja mematikan lampu di kamarnya.Sekalipun hatinya mencoba untuk tenang menghadapi masalah asmaranya ini, namun jiwanya tetap saja muncul gelisah.Ada hitam yang semakin membesar di dadanya. Jika dibiarkan, tentu kegelapan itu akan memakan cahaya hati dan membuat jiwanya terguncang.Dalam kegalauannya dia memainkan gawai yang tergeletak di nakas di samping tempat tidurnya. Dia meraihnya perlahan dengan rasa malas.Sungguh beberapa hari i
Tiba di kantor polisi, Safira dan ayahnya mengisi buku tamu. Tak lama kemudian keduanya menunggu di ruang besuk.Didampingi seorang sipir, Sagara muncul dengan wajah tertunduk. Sama sekali dia tak berani menatap Safira dan ayahnya.Sementara itu, Safira dan ayahnya tak berkedip sedikit pun memandangi Sagara. Amarah ayah Safira bergolak. Terlebih lagi Safira. Ingin sekali dia memukul-mukul lelaki yang telah menodainya sampai habis tak tersisa.Ayah Sagara yang duduk, dia segera bangkit. Dan langkah cepat, dia memburu Sagara.“Anak kurang ajar!” pekik ayah Safira. Dia menampar dan memukul Sagara berkali-kali. Apa yang dilakukan oleh ayah Safira dihalangi oleh sifir. Sayangnya sifir pun hampir kewalahan menahan kekuatan ayah Sagara yang didorong karena amarahnya yang meledak-ledak.Sagara sekuat mungkin dia menahan rasa sakit, tanpa mengelak sedikit pun. Di
“Mohon Bapak tidak salah paham. Dengarkan dulu penjelasan saya,” kata Ustaz Reza.“Tenang, Pa...” ibu Safira meremas jemari suaminya. “Nggak ada salahnya kita dengerin dulu penjelasan Pak Ustaz.”“Silakan, mau menjelaskan apa?” kata ayah Safira.“Saya bisa paham kondisi Bapak saat ini, karena saya punya anak perempuan. Saya pun pasti sedih dan marah bila anak perempuan saya mengalami kondisi yang tidak seharusnya terjadi seperti yang dihadapi Nak Safira saat ini,” kata Ustaz Reza.“Saya saya sangat terpukul manakala yang melakukan kejahatan atas Nak Safira adalah anak saya. Seandainya saya bisa melaksanakan hukuman yang sesuai syariat Islam atas kasus penodaan terhadap perempuan, saya rela dan bersedia untuk menghukum anak saya saya sendiri dengan hukuman mati biar menjadi pelajar bagi yang lain agar tidak lagi merendahkan seorang wanita.”“Dan sebenarnya Bapak sekeluarga
Safira tak menjawab. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, yang ada hanya lelehan air mata. Ibu Safira paham, air mata putrinya sudah cukup menjawab pertanyaan yang barusan dia lontarkan kepada putrinya.“Ini, liat aja sendiri,” kata Safira kemudian seraya menyerahkan tes pack itu kepada ibunya.“Ya Allah… astagfirullah… Ya Alllah...” ibu Safira menangis sejadi-jadinya. Tangisannya jauh lebih menyayat hati dibandingkan tangisan putrinya.Ayah Safira memegangi kepalanya yang pening.Tak lama kemudian, ibu Safira kehilangan keseimbangan. Dia pun pingsan. Tubuhnya yang lunglai tertahan di pangkuan ayah Safira.“Mama...” Lian tiba-tiba datang. Dia terkejut melihat kondisi mamanya.***Sehari kemudian. Belum reda ‘kejutan pahit’ yang menimpa keluarga Safira, mereka kedatangan tamu, yatu dari keluarga Benua.Orang tua Safira yang dalam kondisi sedih tetap harus tena
“Mama kenapa mendadak begini sih. Sebelum ngomong begini kita harusnya ngobrol dulu,” kata ayah Benua.“Tenang, Pa. Ini bukannya baik untuk anak kita,” ucap ibu Benua santai.“Papa nggak ngerti, baiknya di mana?”Ibu Benua tak membalas pertanyaan itu. Dia merasa santai tanpa ada beban.Berliana sungguh tak menyangka akan ikut terseret dalam pusaran besar yang sungguh rumit ini. Matanya tak berkedip. Dia memandang ibu Benua yang masih tersenyum ke arahnya.Kemudian dia berganti memandang kakaknya yang malam.Safira dan Berliana bertatapan cukup lama. Mereka berusaha saling menyelami perasaan yang menyelimuti di antara mereka berdua.“Bagaimana Bu, Pak… bersedia?”“Maaf, kami lebih baik memilih tidak ada pernikahan sama sekali,” kata ibu Safira.“Iya, lagi pula jika harus menikah dalam waktu dekat, Lian masih harus fokus menyelesaikan ku
“Pa, ayo buruan berangkat, nanti Bima kesiangan,” Bimantara tampak sangat bersemangat. Dia menarik lengan ayahnya.Safira, Sagara, dan Bimantara baru saja menuntaskan sarapan pagi. Ada panggilan masuk dari gawai Sagara.“Bentar, sayang. Papa angkat telepon dulu ya…”“Assalamualaikum Pak. Gimana kabarnya Pak?”“Waalaikumussalam. Alhamdulillah baik, Pak.”“Wah lama nggak ketemu ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Sagara.“Begini Pak.. hari ini kita bisa ketemu, saya ada produk baru dan sangat prospektif.”“Bisa. Bapak dateng aja ke kan
“Sinii… ini punyaku,” teriak Fayra sambil mempertahankan boneka kucingnya agar tidak jatuh ke tangan Bima. “Aku pinjem,” Bima tetap maksa dan menarik kuat-kuat boneka kucing itu. “Enggak…ini kucingku.” Bima dan Fayra masih tetap tarik menarik. Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Karena Bimantara adalah anak laki-laki, tentu tenaganya pun lebih kuat, akhirnya dia berhasil merebut boneka kucing itu dan membawanya lari. “Yee…. aku menang… aku menang!” ucap Bima sambil berjingkrak. Fayra menangis. “Kamu jahat!” Fayra yang merasa bonek kucing itu adalah milik mengejar Bima sambil menangis.
Sesuai rencana, sepulang dari Paris, mereka berempat bersiap untuk berangkat ke Tanah Suci. Sagara mengurus semua biaya akomodasinya. Papa Sagara memang punya sebuah unit bisnis tour and travel haji dan umrah. "Makasih ya, Sayang. Semoga sepulang kita dari Tanah Suci. Allah selalu membimbing kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat untuk banyak orang." Sagara mengaminkan. "Insya Allah, semoga ini jalan salah satu jalan yang bisa menguatkan cinta kita pada Allah dan mengukuhkan cinta di antara kita." Bahkan, ternyata tidak hanya mereka berempat yang berangkat. Begitu keluarga mereka tahu, orang tua Safira, orang tua Sagara dan orang tua Benua memutuskan untuk ikut. Jadinya, ini menjadi umrah sekeluarga. Mereka sekeluarga bergabung bersam rombongan umrah yang dibimbing langsung oleh ayah Sagara, Ustaz Reza. Pesawat pun terbang dari Jakarta menuju Jeddah. Mereka mengikuti rangkaian prosesi ibadah umrah. K
Di kamar hotel, Sagara dan Safira bangun untuk menunaikan salat Subuh. Keduanya menunaikannya dengan berjamaah."Yang, kita bobo lagi yuk," kata Sagara usai berzikir bakda Subuh."Jangan dong, kan nggak boleh tidur lagi habis Subuh. Bisa mewariskan kefakiran. Nanti rezeki kita keburu dipatok ayam," kata Safira."Iya, aku juga tahu kok. Maksud aku bobo lagi ya bukan bobo dalam yang sebenarnya. Kita ngobrol aja gitu pillow talk. Mau kayak malam juga nggak apa-apa," ungkap Sagara sambil membayangkan malam terindahnya yang ia habiskan bersama Safira di kota romantis ini."Idiih, lagi udah mandi juga kali. Kamu kok jadi ketagihan sih," Safira menyikut suaminya, masih menggunakan mukena."Bukannya bagus ya, kalo suami addict sama istrinya. Yang nggak boleh itu kan zina. Harusnya kamu seneng.""Iya juga sih," Safira tersipu. Kali ini dia sudah menanggalkan mukenanya.Sagara masih terbayang malam indah bersama istrinya. Dia bena
“Banyak pilihan, bisa jalan-jalan di dalam negeri keluar negeri,” jawab Benua. Dia sudah mulai mengarahkan rencananya.Ngapain dia ngomong gitu. Jangan-jangana ada udang di balik batu lagi, pikir Sagara.Sagara sejujurnya tidak menghendaki kebersamaan yang mendekatkan Safira dan Benua. Dia bertekad untuk melakukan apapun agar Benua dan Safira tidak terlalu sering ketemu.Tapi bagaimana caranya kalau sebentar lagi mereka akan hidup berdekatan, rumah mereka bersebelahan."Yuk ah jalan yuk," ajak Sagara. Dia sudah merasa bosan dengan keberadaan Benua."Bro, kok buru-buru amat sih, ngobrol-ngobrol dulu aja di sini, Bro," ujar Benua mencoba mengakrabkan diri dengan Sagara. Niat dia sebenarnya baik.Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mengikhlaskan semuanya. Aku harus belajar mencintai Lian sepenuhnya. Tidak baik juga aku menyimpan perasaan kepada kakak iparku sendiri. Aku akan berjuang melawan perasaan ini, pikir Sagara.
“Tahun depan aja… ” Safira gemas. “Ya udah buruan kita berangkat sekarang aja.”“Ya, udah aku siap-siap ya,” kata Sagara. Dia pun mengganti pakaian. Safira juga demikian. Dia mengenakan hijab syar’i terbaiknya.Setelah keduanya siap, mereka masuk mobil. Dan mobil pun melaju menuju kawasan Bintaro Sektor 9. Tangerang.Selama di dalam kendaraan mereka asyik berbincang. Keduanya membicarakan berbagai rencana masa depan rumah tangga.“Yang, kapan rencana kamu kuliah lagi?” tanya Safira.“Dalam waktu dekat. Tapi untuk saat ini aku prioritas ke kamu dulu. Aku ingin kamu bisa bisa hidup bahagia dulu dengan aku. Kalau kamu udah baikan, ya aku bakal segera daftar kuliah S2.”“Lha kenapa kok jadi bergantung ke aku… kok gitu sih?”“Ya kan aku sekarang imam kamu. Aku harus mastiin makmumku aman dulu. Kalau urusan rumah tangga selesai, l
Benua dan Berliana tampak mengobrol sangat akrab.“Kasihan sekali Kak Fira. Semoga Allah segera mengganti segala derita yang dialaminya dengan kebahagiaan,” kata Berliana.“Kurasa dia sangat terpukul,” ucap Benua.“Aku ingin sekali membuat Kak Fira terhibur, tapi gimana caranya ya?”“Mungkin kamu harus sering ajak dia jalan-jalan kali. Oia aku punya ide, tapi nggak tahu juga apakah ini ide yang bagus atau enggak?”“Apa, Kak?”“Mungkin biar Fira nggak terus-terusan bersedih, kita bisa jalan bareng ke mana gitu. Kita bisa liburan bareng. Yang aku tahu, dia itu pengen banget menginjakkan kaki di Menara Eiffel. Kita bisa ajak dia ke sana, kali aja itu bisa membuat dia lebih bahagia.”“Aku sih oke-oke aja. Coba aja nanti kita beli tiketnya. Nanti berangkat ke sananya siapa aja?”“Kita bisa berangkat berempat. Aku, kamu, Safira, da
“Aku hanya ingin tidur sendiri,” jawab Safira datar.“Apa aku mengganggu dan mengancammu?” Sagara benar-benar gemas pada istrinya.“Aku takut kamu menyakitiku lagi,” kata Safira.Sagara tertawa. Sungguh dia sangat menyayangkan, kenapa trend perubahan istrinya bergerak ke arah negatif?“Sayang, kamu lupa ya. Mana mungkin aku melakukannya. Kamu kan lagi nifas. Kalau aku memaksamu di saat seperti itu lagi-lagi aku menambah dosa. Percayalah, aku masih bisa bersabar menunggumu.”Safira kalah strategi. Dia benar-benar lupa. Memang benar dia sedang nifas.Namun sebenarnya bukan itu masalahnya. Entah mengapa dia merasa benar-benar muak dan tidak ingin berada di dekat suaminya.Namun Safira tak mau jujur. Dia tak ingin hati Sagara sakit. Dia tak bisa membayangkan jika malam ini dia harus tidur seranjang bersama suaminya.Malas banget. Tapi kalau aku blak-blakan, hatimu bisa r
“Mohon maaf, kami hanya bisa berikhtiar. Takdir Allah berkata lain,” kata seorang dokter laki-laki memberikan kabar pedih itu di hadapan Safira dan seluruh keluarganya.“Tidak… anakku masih hidup. Kamu bisa bertahan, kamu akan kuat, Nak,” Safira tergugu. Tubuhnya yang lunglai ditopang oleh Sagara.Saat tiba di rumah sakit, nyawa si kecil Tiar tak terselamatkan. Dia sudah tak bernyawa. Dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakitSafira menatap jasad putrinya dengan berlinang air mata.“Nak, kamu akan tumbuh besar. Kamu akan hidup bahagia bersama Mama dan Papa,” Safira mengajak jenazah si kecil Tiar.Semua yang menyaksikan pemandangan itu, tentu amat tersayat.Sagara memeluk Safira dengan erat. “Sayang, kamu harus kuat. Benar kata pak dokter, ini sudah takdir Allah. Sekarang kita harus bersiap mengurus pemakaman Tiar,” ucap Sagara.“Tidak. Dia nggak boleh d