Di kamar hotel, Sagara dan Safira bangun untuk menunaikan salat Subuh. Keduanya menunaikannya dengan berjamaah.
"Yang, kita bobo lagi yuk," kata Sagara usai berzikir bakda Subuh.
"Jangan dong, kan nggak boleh tidur lagi habis Subuh. Bisa mewariskan kefakiran. Nanti rezeki kita keburu dipatok ayam," kata Safira.
"Iya, aku juga tahu kok. Maksud aku bobo lagi ya bukan bobo dalam yang sebenarnya. Kita ngobrol aja gitu pillow talk. Mau kayak malam juga nggak apa-apa," ungkap Sagara sambil membayangkan malam terindahnya yang ia habiskan bersama Safira di kota romantis ini.
"Idiih, lagi udah mandi juga kali. Kamu kok jadi ketagihan sih," Safira menyikut suaminya, masih menggunakan mukena.
"Bukannya bagus ya, kalo suami addict sama istrinya. Yang nggak boleh itu kan zina. Harusnya kamu seneng."
"Iya juga sih," Safira tersipu. Kali ini dia sudah menanggalkan mukenanya.
Sagara masih terbayang malam indah bersama istrinya. Dia bena
Sesuai rencana, sepulang dari Paris, mereka berempat bersiap untuk berangkat ke Tanah Suci. Sagara mengurus semua biaya akomodasinya. Papa Sagara memang punya sebuah unit bisnis tour and travel haji dan umrah. "Makasih ya, Sayang. Semoga sepulang kita dari Tanah Suci. Allah selalu membimbing kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat untuk banyak orang." Sagara mengaminkan. "Insya Allah, semoga ini jalan salah satu jalan yang bisa menguatkan cinta kita pada Allah dan mengukuhkan cinta di antara kita." Bahkan, ternyata tidak hanya mereka berempat yang berangkat. Begitu keluarga mereka tahu, orang tua Safira, orang tua Sagara dan orang tua Benua memutuskan untuk ikut. Jadinya, ini menjadi umrah sekeluarga. Mereka sekeluarga bergabung bersam rombongan umrah yang dibimbing langsung oleh ayah Sagara, Ustaz Reza. Pesawat pun terbang dari Jakarta menuju Jeddah. Mereka mengikuti rangkaian prosesi ibadah umrah. K
“Sinii… ini punyaku,” teriak Fayra sambil mempertahankan boneka kucingnya agar tidak jatuh ke tangan Bima. “Aku pinjem,” Bima tetap maksa dan menarik kuat-kuat boneka kucing itu. “Enggak…ini kucingku.” Bima dan Fayra masih tetap tarik menarik. Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Karena Bimantara adalah anak laki-laki, tentu tenaganya pun lebih kuat, akhirnya dia berhasil merebut boneka kucing itu dan membawanya lari. “Yee…. aku menang… aku menang!” ucap Bima sambil berjingkrak. Fayra menangis. “Kamu jahat!” Fayra yang merasa bonek kucing itu adalah milik mengejar Bima sambil menangis.
“Pa, ayo buruan berangkat, nanti Bima kesiangan,” Bimantara tampak sangat bersemangat. Dia menarik lengan ayahnya.Safira, Sagara, dan Bimantara baru saja menuntaskan sarapan pagi. Ada panggilan masuk dari gawai Sagara.“Bentar, sayang. Papa angkat telepon dulu ya…”“Assalamualaikum Pak. Gimana kabarnya Pak?”“Waalaikumussalam. Alhamdulillah baik, Pak.”“Wah lama nggak ketemu ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Sagara.“Begini Pak.. hari ini kita bisa ketemu, saya ada produk baru dan sangat prospektif.”“Bisa. Bapak dateng aja ke kan
Bismillahirrahmanirrahim Dear Sahabat, sebelum lanjut baca, simpan cerita ini di rak bacaanmu, jangan lupa vote dan komen ya usai baca tiap partnya. Share juga ke teman-temanmu biar makin banyak lagi yang baca. Makasih banyak *** Malam itu Safira tiba di sebuah vila di kawasan Puncak Bogor. Sesuai dengan petunjuk dari teman-temannya, dia tiba di vila itu. Namun anehnya vila itu kosong. "Jangan-jangan mereka mengerjaiku lagi," gerutu Safira di depan vila. "Duuh, gimana nih. Kalau balik lagi udah malam begini lagi."
Safira menangis tergugu seraya mengenakan pakaian untuk menutupi tubuhnya. Sementara Sagara masih tertidur pulas. Inilah pagi yang paling kelam di mata Safira, sekalipun pagi itu, matahari bersinar cerah. Sambil menahan ngilu di tubuhnya, Safira berpikir apa yang harus ia lakukan setelah malapetaka ini. "Keparat, bangun lo!" Safira memukul Sagara bertubi-tubi. Air matanya tumpah. Sagara belum merespon. Dia masih terlelap dalam tidurnya. Safira mencari cara agar Sagara bangun. Sembarang dia mencari benda yang ada di depan dashboard mobil. Dia meraih aksesoris jam lalu memukulkannya dengan kencang ke kepala Sagara.
Safira, kamu sudah tak suci lagi! Wanita itu memandangi wajahnya sendiri dan berkata pada dirinya sendiri di depan cermin di kamar mandi. Dia kerap kali bolak-balik ke kamar mandi tak kenal waktu.Di kamar mandi, Safira berkali-kali membasahi seluruh tubuhnya dengan air. Bahkan saat ini, saat malam hari dia tetap melakukannya.Namun perasaannya tetap saja nyaman. Rasanya, walaupun seluruh air di dunia ini telah ia habiskan untuk membersihkan tubuhnya, sungguh tubuhnya saat ini tetap kotor. Kesucian dirinya sudah ternoda.Usai mengenakan kimono handuk berwarna pink dan menutupi rambut kepalanya yang masih basah, Safira keluar dari kamar mandi.Aku sungguh tak berharga. Batin Sa
Setelah berhari-hari dibujuk Berliana dan Mama, Safira akhirnya mau untuk memeriksakan diri ke dokter."Ayo, Lian kita berangkat," ajak Mama yang sudah siap mengenakan gamis dan kerudung warna coklat tua. "Mana, Kakakmu?" tanya mama melirik ke kanan dan kiri mencari Safira."Kayaknya masih di kamar, Ma," jawab Berliana yang tak kalah rapinya mengenakan kerudung dan gamis hijau pastel."Lha, gimana ini, bukannya harusnya dia udah siap?!" Papa yang yang juga sudah rapi dengan suara agak meninggi wajahnya tampak sedikit kesal."Sabar, Pa," Mama mengusap-usap dada papa. "Mohon, Pa. Kejadian kemarin jangan terulang lagi. Kita udah sepakat kan?" ucap mama mengingatkan.
"Awwww!"Saking kencangnya, teriakan itu terdengar hingga ke lantai bawah, di mana kamar kedua orang tuanya berada.Tepat tengah malam, Sagara terbangun oleh mimpi buruk. Keringatnya bercucuran memenuhi seluruh tubuhnya.Dia memegangi kepalanya yang terasa pening dan berat.Dalam mimpi, dia melihat dirinya terlempar ke sebuah jurang. Di jurang itu dia disambut oleh lahar dan binatang-binatang aneh yang mengerikan.Kenapa mimpi mengerikan ini selalu berulang? hatinya bertanya dalam kegundahannya.Sungguh, dia belum pernah merasa jiwanya tak tenang seperti yang dialaminya seka
“Pa, ayo buruan berangkat, nanti Bima kesiangan,” Bimantara tampak sangat bersemangat. Dia menarik lengan ayahnya.Safira, Sagara, dan Bimantara baru saja menuntaskan sarapan pagi. Ada panggilan masuk dari gawai Sagara.“Bentar, sayang. Papa angkat telepon dulu ya…”“Assalamualaikum Pak. Gimana kabarnya Pak?”“Waalaikumussalam. Alhamdulillah baik, Pak.”“Wah lama nggak ketemu ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Sagara.“Begini Pak.. hari ini kita bisa ketemu, saya ada produk baru dan sangat prospektif.”“Bisa. Bapak dateng aja ke kan
“Sinii… ini punyaku,” teriak Fayra sambil mempertahankan boneka kucingnya agar tidak jatuh ke tangan Bima. “Aku pinjem,” Bima tetap maksa dan menarik kuat-kuat boneka kucing itu. “Enggak…ini kucingku.” Bima dan Fayra masih tetap tarik menarik. Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Karena Bimantara adalah anak laki-laki, tentu tenaganya pun lebih kuat, akhirnya dia berhasil merebut boneka kucing itu dan membawanya lari. “Yee…. aku menang… aku menang!” ucap Bima sambil berjingkrak. Fayra menangis. “Kamu jahat!” Fayra yang merasa bonek kucing itu adalah milik mengejar Bima sambil menangis.
Sesuai rencana, sepulang dari Paris, mereka berempat bersiap untuk berangkat ke Tanah Suci. Sagara mengurus semua biaya akomodasinya. Papa Sagara memang punya sebuah unit bisnis tour and travel haji dan umrah. "Makasih ya, Sayang. Semoga sepulang kita dari Tanah Suci. Allah selalu membimbing kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat untuk banyak orang." Sagara mengaminkan. "Insya Allah, semoga ini jalan salah satu jalan yang bisa menguatkan cinta kita pada Allah dan mengukuhkan cinta di antara kita." Bahkan, ternyata tidak hanya mereka berempat yang berangkat. Begitu keluarga mereka tahu, orang tua Safira, orang tua Sagara dan orang tua Benua memutuskan untuk ikut. Jadinya, ini menjadi umrah sekeluarga. Mereka sekeluarga bergabung bersam rombongan umrah yang dibimbing langsung oleh ayah Sagara, Ustaz Reza. Pesawat pun terbang dari Jakarta menuju Jeddah. Mereka mengikuti rangkaian prosesi ibadah umrah. K
Di kamar hotel, Sagara dan Safira bangun untuk menunaikan salat Subuh. Keduanya menunaikannya dengan berjamaah."Yang, kita bobo lagi yuk," kata Sagara usai berzikir bakda Subuh."Jangan dong, kan nggak boleh tidur lagi habis Subuh. Bisa mewariskan kefakiran. Nanti rezeki kita keburu dipatok ayam," kata Safira."Iya, aku juga tahu kok. Maksud aku bobo lagi ya bukan bobo dalam yang sebenarnya. Kita ngobrol aja gitu pillow talk. Mau kayak malam juga nggak apa-apa," ungkap Sagara sambil membayangkan malam terindahnya yang ia habiskan bersama Safira di kota romantis ini."Idiih, lagi udah mandi juga kali. Kamu kok jadi ketagihan sih," Safira menyikut suaminya, masih menggunakan mukena."Bukannya bagus ya, kalo suami addict sama istrinya. Yang nggak boleh itu kan zina. Harusnya kamu seneng.""Iya juga sih," Safira tersipu. Kali ini dia sudah menanggalkan mukenanya.Sagara masih terbayang malam indah bersama istrinya. Dia bena
“Banyak pilihan, bisa jalan-jalan di dalam negeri keluar negeri,” jawab Benua. Dia sudah mulai mengarahkan rencananya.Ngapain dia ngomong gitu. Jangan-jangana ada udang di balik batu lagi, pikir Sagara.Sagara sejujurnya tidak menghendaki kebersamaan yang mendekatkan Safira dan Benua. Dia bertekad untuk melakukan apapun agar Benua dan Safira tidak terlalu sering ketemu.Tapi bagaimana caranya kalau sebentar lagi mereka akan hidup berdekatan, rumah mereka bersebelahan."Yuk ah jalan yuk," ajak Sagara. Dia sudah merasa bosan dengan keberadaan Benua."Bro, kok buru-buru amat sih, ngobrol-ngobrol dulu aja di sini, Bro," ujar Benua mencoba mengakrabkan diri dengan Sagara. Niat dia sebenarnya baik.Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mengikhlaskan semuanya. Aku harus belajar mencintai Lian sepenuhnya. Tidak baik juga aku menyimpan perasaan kepada kakak iparku sendiri. Aku akan berjuang melawan perasaan ini, pikir Sagara.
“Tahun depan aja… ” Safira gemas. “Ya udah buruan kita berangkat sekarang aja.”“Ya, udah aku siap-siap ya,” kata Sagara. Dia pun mengganti pakaian. Safira juga demikian. Dia mengenakan hijab syar’i terbaiknya.Setelah keduanya siap, mereka masuk mobil. Dan mobil pun melaju menuju kawasan Bintaro Sektor 9. Tangerang.Selama di dalam kendaraan mereka asyik berbincang. Keduanya membicarakan berbagai rencana masa depan rumah tangga.“Yang, kapan rencana kamu kuliah lagi?” tanya Safira.“Dalam waktu dekat. Tapi untuk saat ini aku prioritas ke kamu dulu. Aku ingin kamu bisa bisa hidup bahagia dulu dengan aku. Kalau kamu udah baikan, ya aku bakal segera daftar kuliah S2.”“Lha kenapa kok jadi bergantung ke aku… kok gitu sih?”“Ya kan aku sekarang imam kamu. Aku harus mastiin makmumku aman dulu. Kalau urusan rumah tangga selesai, l
Benua dan Berliana tampak mengobrol sangat akrab.“Kasihan sekali Kak Fira. Semoga Allah segera mengganti segala derita yang dialaminya dengan kebahagiaan,” kata Berliana.“Kurasa dia sangat terpukul,” ucap Benua.“Aku ingin sekali membuat Kak Fira terhibur, tapi gimana caranya ya?”“Mungkin kamu harus sering ajak dia jalan-jalan kali. Oia aku punya ide, tapi nggak tahu juga apakah ini ide yang bagus atau enggak?”“Apa, Kak?”“Mungkin biar Fira nggak terus-terusan bersedih, kita bisa jalan bareng ke mana gitu. Kita bisa liburan bareng. Yang aku tahu, dia itu pengen banget menginjakkan kaki di Menara Eiffel. Kita bisa ajak dia ke sana, kali aja itu bisa membuat dia lebih bahagia.”“Aku sih oke-oke aja. Coba aja nanti kita beli tiketnya. Nanti berangkat ke sananya siapa aja?”“Kita bisa berangkat berempat. Aku, kamu, Safira, da
“Aku hanya ingin tidur sendiri,” jawab Safira datar.“Apa aku mengganggu dan mengancammu?” Sagara benar-benar gemas pada istrinya.“Aku takut kamu menyakitiku lagi,” kata Safira.Sagara tertawa. Sungguh dia sangat menyayangkan, kenapa trend perubahan istrinya bergerak ke arah negatif?“Sayang, kamu lupa ya. Mana mungkin aku melakukannya. Kamu kan lagi nifas. Kalau aku memaksamu di saat seperti itu lagi-lagi aku menambah dosa. Percayalah, aku masih bisa bersabar menunggumu.”Safira kalah strategi. Dia benar-benar lupa. Memang benar dia sedang nifas.Namun sebenarnya bukan itu masalahnya. Entah mengapa dia merasa benar-benar muak dan tidak ingin berada di dekat suaminya.Namun Safira tak mau jujur. Dia tak ingin hati Sagara sakit. Dia tak bisa membayangkan jika malam ini dia harus tidur seranjang bersama suaminya.Malas banget. Tapi kalau aku blak-blakan, hatimu bisa r
“Mohon maaf, kami hanya bisa berikhtiar. Takdir Allah berkata lain,” kata seorang dokter laki-laki memberikan kabar pedih itu di hadapan Safira dan seluruh keluarganya.“Tidak… anakku masih hidup. Kamu bisa bertahan, kamu akan kuat, Nak,” Safira tergugu. Tubuhnya yang lunglai ditopang oleh Sagara.Saat tiba di rumah sakit, nyawa si kecil Tiar tak terselamatkan. Dia sudah tak bernyawa. Dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakitSafira menatap jasad putrinya dengan berlinang air mata.“Nak, kamu akan tumbuh besar. Kamu akan hidup bahagia bersama Mama dan Papa,” Safira mengajak jenazah si kecil Tiar.Semua yang menyaksikan pemandangan itu, tentu amat tersayat.Sagara memeluk Safira dengan erat. “Sayang, kamu harus kuat. Benar kata pak dokter, ini sudah takdir Allah. Sekarang kita harus bersiap mengurus pemakaman Tiar,” ucap Sagara.“Tidak. Dia nggak boleh d