“Mas..” panggil wanita itu ragu-ragu. Ia mencoba menggeliat namun malah merasakan benda keras menyentuh bokongnya. Raina menengadah, ingin mencari tahu seperti apa ekspresi sang suami saat ini.
“Iya, sayang?” Bisik Jovian dengan suara rendah dan berat, sarat akan hasrat. Manik cokelat madu pria itu menatap sang istri, syahdu. Begitu memabukkan. Hingga protes dalam benak Raina hilang begitu saja.
Jovian merunduk, membungkam bibir wanita itu yang masih terbuka setengah. Memberikan ciuman panas yang membuat Raina kesulitan bernapas.
Sementara tangan pria itu dengan lihai mengikat simpul yang tepat menyentuh kuncup sensitif sang istri. Hingga tiap kali Jovian menarik tali, atau ketika tubuh Raina menegang karena rangsangan, membuat serat-serat kasar tali menggesek bagian intimnya. Menghantar gelenyar kenikmatan yang menjalar hingga ke ujung kuku wanit
Dengan perubahan strategi pada proyek Sakala Nusa, Vanya dan Raina dipaksa bekerja lebih keras dari biasanya. Hari-hari mereka penuh dengan susunan rencana marketing baru, pengawasan ketat pada pengerjaan, serta memastikan pengadaan bahan baku lancar agar tenggat waktu tidak kembali meleset.Dua saudari itu, mau tak mau, harus menanggalkan sengketa di antara mereka sementara. Demi kelancaran proyek besar ini, mereka harus bekerja sama, menanggalkan ego masing-masing dan fokus pada tugas.Sang kakak, yang kerap memperlihatkan ketegasan tak kenal kompromi, terbukti mampu bertindak profesional. Mengesampingkan rivalitas dengan Raina dan melibatkan adiknya dalam diskusi-diskusi penting. Di sisi lain, Raina berusaha sebisa mungkin untuk mendukung keputusan-keputusan Vanya.Semakin dekat dengan pesta pembukaan hotel, intensitas pekerjaan mereka kian meningkat. Keduanya bolak-balik antara kantor dan lokasi proyek, memastikan semua berjalan sesuai rencana.“Loh, Bu Raina mau ke mana? Sudah mau
Kedua saudari itu serentak menoleh, mata mereka mandapati sosok pria kurus berdiri tak jauh. Sinar matahari senja yang menerobos celah-celah konstruksi mempertegas bayangannya. “Mas Aksa!” Seru Vanya, wajahnya seketika berubah cerah, melihat sang kekasih datang. “Kamu dari mana aja, Mas? Aku dari kemarin mencarimu.” Suaranya penuh kelegaan. Tanpa merasa curiga, wanita itu menghampiri Aksa. Langkah kakinya ringan ketika ia menghampiri pria itu, seolah seluruh beban yang menekannya selama ini tiba-tiba sirna. Namun, sesuatu mengusik benak Raina. Ada kejanggalan pada cara Aksa berdiri, goyah dan tidak seimbang. Matanya yang kosong dan lingkaran gelap di bawahnya menandakan kelelahan ekstrem. Wajah pria itu lusuh, penuh bayangan kelam, seakan belum pernah bersentuhan dengan air dalam beberapa hari terakhir. Napasnya pendek dan terengah-engah, seperti binatang terluka yang siap melancarkan serangan terakhir. Pe
“Biarkan aku mencicipimu terlebih dahulu, Ray,” ucap Aksa, suaranya sarat akan nafsu.Namun Raina lebih sigap. Dengan dorongan adrenalin yang meledak-ledak, ia mengangkat kaki dan menendang selangkangan pria itu sekuat tenaga.“Arrgh!” Jerit Aksa menggelegar di ruangan kosong itu. Wajahnya terpelintir kesakitan, tangan kirinya meraih ke arah yang terluka. “Sialan! Bangsat!” Sumpah serapah terlontar dari bibir sang pria dengan suara serak.Tak membuang waktu, Raina menarik lengan Vanya yang masih terduduk kaget dan mengajaknya berlari secepat mungkin.Namun, Aksa, dalam posisi setengah berlutut, masih diliputi amarah membara, mengayunkan belati di tangannya dengan gerakan liar.Satu tebasan meleset, tapi serangan berikutnya tak terhindarkan. Bilah tajam
“Kalian tidak akan bisa keluar dari sini hidup-hidup!” Aksa tak memberi mereka waktu untuk mencerna informasi yang baru saja diungkap. Secepat kilat, pria itu menerjang maju dengan belati terangkat tinggi, maniknya memancarkan kegilaan yang tak terbendung.Serangannya terarah pada Vanya, tampaknya berpikir bahwa kondisi sang kakak lebih lemah dibandingkan Raina.“Mbak Vanya!” Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, sang adik melemparkan tubuhnya ke depan, menabrak wanita lebih tua yang masih terpaku dan mendorongnya menjauh dari bahaya.Bilah tajam itu melesat, namun tak sepenuhnya meleset. Ujung belati berhasil menyerempet pundak Raina, meninggalkan sayatan yang langsung mengeluarkan darah. Cairan merah pekat meresap cepat ke kain kemejanya, mengalir pelan hingga terasa hangat di kulit.
“Bos!”Seruan panik terdengar di tengah situasi yang semakin mencekam. Sosok-sosok bertubuh besar bergegas menghampiri. Derap langkah berat mereka bergema di antara pilar beton yang menjulang.Raina hanya mampu melihat dengan mata terbelalak saat dua anak buah Tama menyerbu dan merenggut Aksa. Teriakan pria itu terhenti seketika, senjata yang dipegangnya terlepas, jatuh dan berputar di atas lantai yang dingin.“ARGH! Lepaskan aku! Apa kalian tahu siapa aku?!” erang Aksa, sambil memberontak.“Diam!” Guntur membalas dengan sahutan yang tak kalah nyaring. Menekan pria itu ke tanah.“Mas Aksa…“ Vanya tiba-tiba terkulai lemas, pingsan dalam pelukan sang adik. Mungkin karena syok yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan.Sementara itu, tubuh Raina sendiri kaku, tak sanggup bergerak. Jika bukan karena Tama yang muncul dan membantu menopangnya, ia tak yakin bisa meninggalkan tempat itu dengan kakinya sendiri.Bulir-bulir merah pekat masih menetes dari luka di pundaknya, menodai kulit
Melalui ekor matanya, Raina menangkap jemari Jovian yang semakin erat menggenggam setir. Otot-otot lengan pria itu terlihat jelas saking tegangnya.“Anak buah Tama gagal menangkapnya. Ternyata pria itu lebih lihai melarikan diri dari yang kita duga,” ujar Jovian, suaranya rendah dan sarat akan frustrasi.Seketika tubuh Raina menegang. Jadi…orang gila yang mengancam akan membunuh dirinya dan Vanya masih berkeliaran dengan bebas?Ingatan akan kejadian mengerikan di lokasi konstruksi kembali menyergap pikirannya, mengirimkan gemetar halus yang menjalari jari-jemarinya.Bagaimana jika insiden itu terulang? Bayangan Vanya yang terjatuh dan Tama yang terluka memenuhi benaknya.Usapan lembut Jovian pada punggung tangannya menyadarkannya dari lamunan kelam. “Ray, tidak perlu takut. Aku akan melindungimu,
“Mas Jovian tidak miskin, Kek. Dia bahkan punya rumah mewah yang menyaingi kediaman Hartanto,” bantah Raina. Perkataan itu seolah menjadi tameng untuk melindungi keyakinannya terhadap sang suami.Sang sepuh mendecih, alisnya yang tebal menyatu dalam ekspresi skeptis. “Mungkin saja dia hanya menipumu, Ray. Kamu harus segera meninggalkannya. Ada sesuatu yang tak beres tentangnya,” ucap Kakek, nada bicaranya rendah tapi penuh penekanan.Lagi-lagi, Raina merasakan debaran tak nyaman di dada. Ucapan sesepuh itu menorehkan rasa tak menentu dalam sanubarinya. Seolah ada kenangan terpendam yang berusaha menyeruak ke permukaan.Sebelum sempat Raina memberi jawaban, Kakek mengibaskan tangannya, tanda bahwa ia tak ingin mendengar sanggahan lebih lanjut. “Cukup. Jangan bicarakan dia lagi. Sebaiknya, kamu kunjungi kakak-kakakmu. Terutama Tama, dia terus-terusan menanyakan kabarmu,”
Manik Tama menatap lurus ke arah adiknya, seolah sedang mempertimbangkan jawaban yang akan ia berikan. Hening sejenak, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar.Raina merasa bersyukur kakaknya datang di saat genting, menyelamatkan hidupnya dan Vanya. Pun begitu, perasaan ganjil menggelayuti benaknya.Tama bukanlah sosok yang sering mengunjungi lokasi proyek. Keputusan sang kakak untuk datang hari itu jelas memiliki alasan lain.“Aku memang sengaja datang untuk menemuimu,” akhirnya Tama berbicara, memecah keheningan. Ia meraih satu puffertjes dari piring di hadapannya, gerakannya lambat dan tertahan, mencerminkan kondisi tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih.Dahi sang adik berkerut, rasa ingin tahunya semakin dalam. “Kenapa Mas Tama nggak menghubungi aku dulu? Bagaimana kalau aku sedang di kantor? Ata
Persiapan pernikahan berjalan dengan lancar. Terutama karena memang tak banyak yang harus dipikirkan, mengingat pihak keluarga mempelai wanita menginginkan acara yang sederhana. Akad serta resepsi akan dilakukan sesederhana mungkin, hanya dihadiri oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat terpercaya.Jovian menurut, karena baginya, yang terpenting adalah menyusup ke dalam kediaman Hartanto. Hal-hal lain hanyalah formalitas belaka.Namun siang itu, suara rendah sarat akan wibawa menghentikan langkah Jovian, kala pria itu baru menyelesaikan sesi terapinya. Atau yang sebenarnya rapat strategi bersama Saka, Aji dan para petinggi Sindikat Sinara.“Anak muda, bisa kita berbicara sejenak?”Sang pria muda menoleh, mendapati sosok Adi Prakoso Hartanto berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, tegap, meskipun usia senja telah men
Dengan tertatih-tatih, Jovian menyusuri trotoar, melangkah secepat yang kaki pincangnya sanggup. Tongkat di tangannya mengetuk ritmis di atas permukaan aspal, seolah mengiringi detak jantungnya yang gelisah.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang, tapi itu tak sebanding dengan kecemasan yang mencengkeram hatinya. Kata-kata Raina di telepon tadi terus terngiang-ngiang di benaknya.“Mas, tolong datang ke sini. Cepat.”Hanya satu alamat yang disebutkan sebelum sambungan terputus. Terdengar napas berat yang tak biasa dari wanita itu.‘Sial!’ Jovian mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus berpura-pura pincang? Kalau saja ia tidak membatasi dirinya dengan cedera palsu ini, mungkin ia sudah sampai lebih cepat. ‘Kenapa juga aku tidak memilih pura-pura cacat tangan saja?’ pikirnya penuh
Jovian membuka matanya perlahan, siluet lampu putih menyilaukan penglihatannya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa kaku, nyeri menusuk-nusuk dari sisi tubuh hingga ke kakinya. Namun pandangannya tak butuh waktu lama untuk menangkap sosok wanita di samping ranjang. Manik kecokelatan yang memancarkan kecemasan itu adalah hal pertama yang ia lihat saat kesadarannya kembali.Raina.Menyipitkan mata, pria itu mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Wanita itu benar-benar ada di sana, duduk di kursi, wajahnya khawatir namun tetap anggun di bawah cahaya lembut lampu ruangan.Jovian langsung menyadari sesuatu—luka kecil di pelipis Raina terlihat sudah mengering, tak ada perban kasat mata lainnya di tubuh wanita itu. Syukurlah, kecelakaan itu tak meninggalkan cedera serius pada dirinya.Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, s
“Jovian!”Teriakan lantang menggema di lorong rumah sakit, memecah kesunyian malam. Langkah tergesa-gesa dua pria terdengar semakin mendekat. Di ambang pintu unit gawat darurat, Aji dan Saka muncul dengan napas tersengal. Raut wajah mereka campuran antara cemas dan panik.Di ranjang yang tak terlalu lebar, Jovian membuka matanya dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Namun, seperti biasa, ia mencoba menyembunyikan kelemahannya di balik ekspresi datar yang ia latih bertahun-tahun. Meski kali ini, kelopak matanya yang berat dan bibirnya yang pucat membuat semua itu sia-sia.“Ngapain kalian di sini? Gimana dengan pesta pendiriannya?” tanyanya dengan suara serak dan lemah, berusaha terdengar biasa saja meski kesadarannya nyaris kabur.“Masih sempat mikirin itu?!” bentak Saka, matanya memicing tajam, sorotnya penuh amar
Sebuah amplop cokelat dilempar kasar oleh pria bertubuh kekar dengan jaket hitam. “Ini laporan tentang Raina Asmarani Hartanto minggu ini,” ucap pria tersebut tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar bosan, seolah tugas ini adalah rutinitas yang sudah ia lakukan terlalu sering.Jovian, yang duduk di kursi kerjanya, melirik sekilas amplop itu. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aji, yang kebetulan juga berada di ruangan, langsung menoleh dengan penuh minat. Manik cokelatnya bergerak cepat antara amplop dan pria bertubuh kekar itu, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal.“Raina?” tanya Aji, menaikkan satu alisnya dengan nada menggoda. Dia memutar tubuh, memandang ke arah Saka, tangan kanan sang kakak. “Apa maksudnya nih?”Yang ditatap hanya mengedikkan bahu santai sambil melempar tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. “Tanya Mas-mu i
“Oh,” suara berat pria tambun itu tiba-tiba terdengar, diiringi tawa pendek. “Kamu bartender ruang VVIP yang dulu sering membantuku, kan?” Ucapannya seolah hanya sekadar basa-basi, namun seringai di bibirnya menyiratkan lebih dari itu.Jovian mendongak, meski tubuhnya terasa berat setelah dihantam habis-habisan. Napasnya tersengal, darah mengalir pelan dari sudut bibirnya, namun ia tetap diam. Wajahnya tetap datar.Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan menemukan hiburan. “Anak muda, aku tidak menyangka kamu bisa sampai pada titik ini. Bahkan hanya dengan sedikit dorongan dariku.” Dengan santai, pria itu menjentikkan jarinya.Seorang anak buahnya—pria berjaket hitam dengan wajah tanpa ekspresi—bergerak cepat. Dalam sekejap sebuah kursi dilapisi kulit didorong ke arahnya.“Sebagai senior di bidang ini,
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
“Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’