Melalui ekor matanya, Raina menangkap jemari Jovian yang semakin erat menggenggam setir. Otot-otot lengan pria itu terlihat jelas saking tegangnya.
“Anak buah Tama gagal menangkapnya. Ternyata pria itu lebih lihai melarikan diri dari yang kita duga,” ujar Jovian, suaranya rendah dan sarat akan frustrasi.
Seketika tubuh Raina menegang. Jadi…orang gila yang mengancam akan membunuh dirinya dan Vanya masih berkeliaran dengan bebas?
Ingatan akan kejadian mengerikan di lokasi konstruksi kembali menyergap pikirannya, mengirimkan gemetar halus yang menjalari jari-jemarinya.
Bagaimana jika insiden itu terulang? Bayangan Vanya yang terjatuh dan Tama yang terluka memenuhi benaknya.
Usapan lembut Jovian pada punggung tangannya menyadarkannya dari lamunan kelam. “Ray, tidak perlu takut. Aku akan melindungimu,
“Mas Jovian tidak miskin, Kek. Dia bahkan punya rumah mewah yang menyaingi kediaman Hartanto,” bantah Raina. Perkataan itu seolah menjadi tameng untuk melindungi keyakinannya terhadap sang suami.Sang sepuh mendecih, alisnya yang tebal menyatu dalam ekspresi skeptis. “Mungkin saja dia hanya menipumu, Ray. Kamu harus segera meninggalkannya. Ada sesuatu yang tak beres tentangnya,” ucap Kakek, nada bicaranya rendah tapi penuh penekanan.Lagi-lagi, Raina merasakan debaran tak nyaman di dada. Ucapan sesepuh itu menorehkan rasa tak menentu dalam sanubarinya. Seolah ada kenangan terpendam yang berusaha menyeruak ke permukaan.Sebelum sempat Raina memberi jawaban, Kakek mengibaskan tangannya, tanda bahwa ia tak ingin mendengar sanggahan lebih lanjut. “Cukup. Jangan bicarakan dia lagi. Sebaiknya, kamu kunjungi kakak-kakakmu. Terutama Tama, dia terus-terusan menanyakan kabarmu,”
Manik Tama menatap lurus ke arah adiknya, seolah sedang mempertimbangkan jawaban yang akan ia berikan. Hening sejenak, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar.Raina merasa bersyukur kakaknya datang di saat genting, menyelamatkan hidupnya dan Vanya. Pun begitu, perasaan ganjil menggelayuti benaknya.Tama bukanlah sosok yang sering mengunjungi lokasi proyek. Keputusan sang kakak untuk datang hari itu jelas memiliki alasan lain.“Aku memang sengaja datang untuk menemuimu,” akhirnya Tama berbicara, memecah keheningan. Ia meraih satu puffertjes dari piring di hadapannya, gerakannya lambat dan tertahan, mencerminkan kondisi tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih.Dahi sang adik berkerut, rasa ingin tahunya semakin dalam. “Kenapa Mas Tama nggak menghubungi aku dulu? Bagaimana kalau aku sedang di kantor? Ata
Entah berapa lama waktu berlalu sebelum napas Raina akhirnya kembali normal. Dada yang semula bergemuruh kini mulai tenang, meski wajahnya masih seputih kertas. Tatapan mata wanita itu, yang dulu menyala terang, kini meredup seperti bara api nyaris padam. Udara dingin di dalam ruangan menyelusup ke kulit, membuat bulu kuduknya berdiri.Setelah hening panjang, suara Tama memecah keheningan. “Kalau kamu ingin lepas darinya, aku akan membantumu,” pria itu menawarkan. Suaranya terdengar tegas namun penuh perhatian.Namun wanita itu malah menatap sang kakak dengan mata yang kosong. Pikirannya seakan tertutup kabut tebal, menolak bekerja sama. ‘Apa maksud Mas Tama?’ gumamnya dalam hati, gemetar.Tama mendesah, melirik ke arah jendela yang diselubungi tirai setengah terbuka. Sinar matahari sore menyusup melalui celah, menciptakan garis-garis cahaya yang tumpah di lantai.“Akan sulit bagimu untuk lari dari Jovian seorang diri, Ray,” ucap Tama, suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang penuh
Mendengar pertanyaan itu, Raina menggeleng cepat, namun tetap tidak membuka mulut.“Kalau kamu mau, kamu bisa menginap di salah satu apartemenku. Guntur tahu tempatnya, dia akan-”“Aku butuh waktu sendiri, Mas.” Pada akhirnya Raina membuka mulut untuk menolak tawaran Tama.Sebenarnya, wanita itu belum tahu akan pergi ke mana. Namun ketika maniknya kembali menangkap perban yang masih melilit di wajah serta telapak tangan sang kakak, ia merasa enggan untuk menyeret pria itu lebih dalam. Rasa bersalah selalu menyelimutinya.Sudah cukup ia membuat Tama repot. Memintanya untuk mencari informasi, yang akhirnya melibatkan pria itu pada perkelahian demi perkelahian. Raina tidak ingin kakaknya kembali jatuh dalam marabahaya. Ia takut, kali berikutnya, Tama tidak bisa pulang dengan selamat.Manik cokelat sang kakak menatapnya dalam-dalam. Mempelajari ekspresi adiknya. Alisnya berkerut, bibirnya terbuka sedikit, seperti ingin membantah.Namun akhirnya, dia mengangguk, perlahan melepaskan genggama
Hujan turun semakin deras, mengisi udara malam dengan bunyi ritmis yang nyaris menenggelamkan suara-suara lain. Raina berdiri di pinggir trotoar, pakaiannya mulai basah oleh gerimis yang menembus blazer tipis.Kekeh getir terlepas dari bibir wanita itu. “Bahkan langit aja tahu perasaanku saat ini,” bisiknya pelan.Jalanan gelap, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan yang memancarkan bias kekuningan. Menciptakan bayangan panjang yang menggeliat seperti makhluk hidup.Sebuah sedan mewah berwarna hitam tiba-tiba berhenti di hadapan wanita itu. Genangan air memercik dari ban mobil, menampar pergelangan kakinya, dingin dan menusuk.Pun begitu, Raina belum bergerak. Maniknya terpaku pada pintu mobil yang terbuka dengan cepat. Seorang pria paruh baya keluar, wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran.“R
“Non Raina, dipanggil Tuan Bram ke ruang kerjanya,” ujar seorang asisten rumah tangga dari balik pintu kamar. Suaranya rendah dan penuh hormat, nyaris tertelan oleh keheningan di dalam rumah.Raina menoleh, raut wajahnya yang semula tegang berubah menjadi tenang. “Aku segera ke sana,” balasnya.Sebelum melangkah pergi, ia meraih amplop cokelat yang tersimpan di dalam tas laptopnya. Jemarinya merasakan tekstur pembungkus yang kasar.Derap kaki wanita itu menggema di sepanjang lorong sepi. Udara malam yang menusuk tidak mampu mengusir aroma khas rumah itu—campuran kayu jati tua dan wangi mawar yang diatur dalam vas-vas porselen di sudut-sudut ruangan.Kediaman utama ini, yang dihuni Kakek serta keluarga Papa, berdiri megah dengan segala kemewahan yang menyelimutinya. Namun, area pribadi sang Kakek berada d
Diam dari sang ayah mengukuhkan kebenaran pahit yang baru saja Raina utarakan.Wajah sang anak memucat, ia mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali. Seakan berusaha mencerna kenyataan yang terlalu sulit diterima. Perasaan bercampur baur—amarah, kecewa, dan kesedihan—bergejolak dalam dada, memenuhi paru-parunya dengan udara yang sesak dan berat.“Jadi selama ini Papa diam saja?!” sergahnya. Suara Raina meninggi, menggema di ruang kerja yang sebelumnya hening. “Kenapa Papa nggak melakukan apa pun? Harusnya Papa menuntut Tante Ambar! Dia itu pembunuh, Pa! Dia harus dipenjara!”Papa tampak tertegun sesaat. “Jangan seperti itu, Ray. Dia Mamamu,” ucapnya dengan nada tidak enak, seolah berharap kata-kata itu dapat menghentikan kemurkaan putrinya.Alih-alih melunak, sang anak semakin berang mendengar kalimat pembelaan pria itu. Tubuhnya menegang, rahangnya mengeras. “Bukan!” balasnya dengan ketus, seolah menolak gagasan itu mentah-mentah. “Dia itu pembunuh!”Rasa sakit di pundaknya yang belum
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Raina, entah pada siapa.Pikiran wanita itu dipenuhi oleh pertanyaan yang tak berjawab, benaknya terasa penuh oleh pikiran-pikiran ruwet yang tak bisa ia uraikan. Dalam kelelahan yang menyiksa, Raina akhirnya terlelap, tangisnya mereda bersama dengan detak jantungnya yang perlahan kembali tenang.Esok paginya, suara ketukan ragu-ragu di pintu membangunakn wanita itu. Raina membuka mata dengan gerakan lambat, merasakan nyeri di kepala dan mata yang bengkak akibat menangis semalaman.“Non, ada tamu yang ingin bertemu,” suara salah satu asisten rumah tangga terdengar dari balik pintu, nadanya ragu-ragu.Dengan gerak lambat, perlahan Raina berusaha bangkit, tubuhnya terasa berat. Matanya menangkap bayangan dirinya di cermin—wajah yang kusut, mata bengkak, rambut acak-acakan, dan bibir yang kering. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja kalah dalam pertempuran panjang.Pandangannya beralih ke arah jam di atas meja belajar. Pukul 05.27.‘Sia
Persiapan pernikahan berjalan dengan lancar. Terutama karena memang tak banyak yang harus dipikirkan, mengingat pihak keluarga mempelai wanita menginginkan acara yang sederhana. Akad serta resepsi akan dilakukan sesederhana mungkin, hanya dihadiri oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat terpercaya.Jovian menurut, karena baginya, yang terpenting adalah menyusup ke dalam kediaman Hartanto. Hal-hal lain hanyalah formalitas belaka.Namun siang itu, suara rendah sarat akan wibawa menghentikan langkah Jovian, kala pria itu baru menyelesaikan sesi terapinya. Atau yang sebenarnya rapat strategi bersama Saka, Aji dan para petinggi Sindikat Sinara.“Anak muda, bisa kita berbicara sejenak?”Sang pria muda menoleh, mendapati sosok Adi Prakoso Hartanto berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, tegap, meskipun usia senja telah men
Dengan tertatih-tatih, Jovian menyusuri trotoar, melangkah secepat yang kaki pincangnya sanggup. Tongkat di tangannya mengetuk ritmis di atas permukaan aspal, seolah mengiringi detak jantungnya yang gelisah.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang, tapi itu tak sebanding dengan kecemasan yang mencengkeram hatinya. Kata-kata Raina di telepon tadi terus terngiang-ngiang di benaknya.“Mas, tolong datang ke sini. Cepat.”Hanya satu alamat yang disebutkan sebelum sambungan terputus. Terdengar napas berat yang tak biasa dari wanita itu.‘Sial!’ Jovian mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus berpura-pura pincang? Kalau saja ia tidak membatasi dirinya dengan cedera palsu ini, mungkin ia sudah sampai lebih cepat. ‘Kenapa juga aku tidak memilih pura-pura cacat tangan saja?’ pikirnya penuh
Jovian membuka matanya perlahan, siluet lampu putih menyilaukan penglihatannya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa kaku, nyeri menusuk-nusuk dari sisi tubuh hingga ke kakinya. Namun pandangannya tak butuh waktu lama untuk menangkap sosok wanita di samping ranjang. Manik kecokelatan yang memancarkan kecemasan itu adalah hal pertama yang ia lihat saat kesadarannya kembali.Raina.Menyipitkan mata, pria itu mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Wanita itu benar-benar ada di sana, duduk di kursi, wajahnya khawatir namun tetap anggun di bawah cahaya lembut lampu ruangan.Jovian langsung menyadari sesuatu—luka kecil di pelipis Raina terlihat sudah mengering, tak ada perban kasat mata lainnya di tubuh wanita itu. Syukurlah, kecelakaan itu tak meninggalkan cedera serius pada dirinya.Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, s
“Jovian!”Teriakan lantang menggema di lorong rumah sakit, memecah kesunyian malam. Langkah tergesa-gesa dua pria terdengar semakin mendekat. Di ambang pintu unit gawat darurat, Aji dan Saka muncul dengan napas tersengal. Raut wajah mereka campuran antara cemas dan panik.Di ranjang yang tak terlalu lebar, Jovian membuka matanya dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Namun, seperti biasa, ia mencoba menyembunyikan kelemahannya di balik ekspresi datar yang ia latih bertahun-tahun. Meski kali ini, kelopak matanya yang berat dan bibirnya yang pucat membuat semua itu sia-sia.“Ngapain kalian di sini? Gimana dengan pesta pendiriannya?” tanyanya dengan suara serak dan lemah, berusaha terdengar biasa saja meski kesadarannya nyaris kabur.“Masih sempat mikirin itu?!” bentak Saka, matanya memicing tajam, sorotnya penuh amar
Sebuah amplop cokelat dilempar kasar oleh pria bertubuh kekar dengan jaket hitam. “Ini laporan tentang Raina Asmarani Hartanto minggu ini,” ucap pria tersebut tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar bosan, seolah tugas ini adalah rutinitas yang sudah ia lakukan terlalu sering.Jovian, yang duduk di kursi kerjanya, melirik sekilas amplop itu. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aji, yang kebetulan juga berada di ruangan, langsung menoleh dengan penuh minat. Manik cokelatnya bergerak cepat antara amplop dan pria bertubuh kekar itu, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal.“Raina?” tanya Aji, menaikkan satu alisnya dengan nada menggoda. Dia memutar tubuh, memandang ke arah Saka, tangan kanan sang kakak. “Apa maksudnya nih?”Yang ditatap hanya mengedikkan bahu santai sambil melempar tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. “Tanya Mas-mu i
“Oh,” suara berat pria tambun itu tiba-tiba terdengar, diiringi tawa pendek. “Kamu bartender ruang VVIP yang dulu sering membantuku, kan?” Ucapannya seolah hanya sekadar basa-basi, namun seringai di bibirnya menyiratkan lebih dari itu.Jovian mendongak, meski tubuhnya terasa berat setelah dihantam habis-habisan. Napasnya tersengal, darah mengalir pelan dari sudut bibirnya, namun ia tetap diam. Wajahnya tetap datar.Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan menemukan hiburan. “Anak muda, aku tidak menyangka kamu bisa sampai pada titik ini. Bahkan hanya dengan sedikit dorongan dariku.” Dengan santai, pria itu menjentikkan jarinya.Seorang anak buahnya—pria berjaket hitam dengan wajah tanpa ekspresi—bergerak cepat. Dalam sekejap sebuah kursi dilapisi kulit didorong ke arahnya.“Sebagai senior di bidang ini,
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
“Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’