Raina melangkah keluar dari lift dengan napas tertahan, manik cokelatnya menatap ruang kerja di hadapannya dengan penuh keraguan. Dia meremas tali tas laptopnya, jari-jarinya gemetar pelan.Sudah semalaman ia tidak bisa tidur, memikirkan informasi yang ia terima dari Jainitra, asistennya. Segalanya masih mengambang di kepala. Sabotase pipa, tuduhan miring dari Vanya, dan—lebih dari segalanya—keraguan yang bolak balik muncul akan tindak tanduk mencurigakan suaminya.Bagaimana jika apa yang dikatakan kakaknya benar? Bagaimana jika Jovian memang terlibat dalam kekacauan ini?Bagaimanapun Raina sadar dia harus mencari tahu kenyataan, meskipun itu bisa berarti menghancurkan kepercayaan pada orang-orang terdekat. Setelah menarik napas panjang, akhirnya ia melangkah perlahan menuju ruang kerjanya."Selamat pagi Bu Raina," Jainitra segera menyambut dengan senyum ramah, menyadari wajah sang atasan tampak lebih lelah dari biasa.Raina hanya mengangguk singkat, menelan perasaan gugup yang membunc
Sang cucu menatap lurus ke arah Kakek. "Pelaku adalah mantan karyawan yang merasa diperlakukan tidak adil. Kalau kita terlalu keras dan kasus ini sampai ke media, kita tidak tahu cerita apa yang dia dikarang untuk menyerang perusahaan," tuturnya sambil menyerahkan laporan yang telah ia susun bersama asisten. "Kita bisa dianggap menekan rakyat kecil, dan itu malah akan menghancurkan reputasi kita." Kakek mengangguk pelan, tampaknya setuju. "Baiklah, kamu urus ini dengan hati-hati. Ingat, jangan mengecewakan Kakek lagi."Raina merasa sedikit lega mendengar persetujuan Kakek, tapi sebelum dia bisa merasakan kemenangan sepenuhnya, sang Dewan Komisaris melanjutkan. "Oh, dan satu lagi. Aku ingin kalian bertiga—Raina, Vanya, dan Nita—memimpin program sosial perusahaan kita."Tatapan Raina melompat ke arah Vanya yang tampak terkejut, dan tentu saja, tidak senang."Kakek, maksudnya Raina ikut dalam kegiatan sosial ini?" tanya sang kakak dengan nada protes yang jelas tidak bisa disembunyikan."
Dengan jantung berdebar, Raina membalikkan badan. Untungnya, sosok yang muncul di hadapan adalah seseorang yang ia kenal baik."Mas Tama," desisnya lega. Namun, ketika dia melirik ke dalam gang, dua pria tadi sudah menghilang entah ke mana. Sang wanita menghela napas, sedikit kecewa pengejarannya berakhir sia-sia."Ray, kamu ngapain di sini?" tanya Tama, suaranya penuh kekhawatiran."Tadi aku makan di restoran dekat sini," balas Raina, mencoba terdengar wajar. "Mas Tama sendiri ngapain?"Sena, sepupu mereka, tiba-tiba muncul dari balik punggung Tama. "Lah, ini kan deket klubnya si Tama," jawab pria itu dengan nada santai, sambil menunjuk ke arah salah satu bangunan yang paling gemerlap di antara deretan toko-toko lain.Bibir Raina membentuk huruf 'O' bulat. Tentu saja, klub malam terkenal milik kakaknya ada di sini. Dia ingat pernah diundang ke pesta pembukaannya dulu.Meskipun Tama adalah cucu laki-laki pertama, Kakek tidak pernah benar-benar melihat potensi dalam dirinya. Setelah Van
Namun keraguannya sedikit demi sedikit menguap begitu ia sampai di rumah dan menemukan Jovian telah menunggu di teras."Mas, kok di luar?" tanya Raina."Aku nungguin kamu," jawab Jovian dengan senyum lembut. "Biasanya kamu udah pulang jam segini. Aku chat juga nggak dibalas." Tangannya yang hangat mengusap puncak kepala Raina, membuat hati wanita itu mencair sejenak."Tadi diajak makan dulu sama Mas Tama," kilah Raina, mencari alasan. Untungnya dia memang bertemu Tama sehingga bisa menjadikan pria itu sebagai alasan.Sebenarnya kakaknya memaksa untuk mengantar pulang, namun berhubung Raina menyetir mobil sendiri, dia menolak."Yuk masuk. Udah dingin di luar." Jovian menuntunnya masuk dengan sikap lembut, membuat Raina merasa sedikit lebih tenang dan mengikis kecurigaan pada hatinya.Hari-hari berikutnya, setelah kakek memberikan mandat agar dia ikut serta dalam kegiatan sosial yang diadakan oleh perusahaan bersama kakak-kakak tirinya, Raina kembali sibuk dengan berbagai persiapan acara
Raina merasakan detak jantungnya tak beraturan saat melihat sosok Vanya muncul di ambang pintu. Wajah kakaknya memancarkan kemarahan, berbanding terbalik dengan tawa-tawa palsu yang tadi dilemparnya di depan publik."Ngapain kamu sama Mas Aksa?!" pekik Vanya dengan mata menyalang. Langkahnya berat dan penuh determinasi, menghampiri Raina tanpa menunggu jawaban.Plak!Sebuah tamparan keras melayang di pipi Raina, seketika membuatnya tersentak ke belakang. Rasa perih menyengat menyebar dari pipi, dan dia bisa merasakan darah hangat mulai merembes di sudut bibirnya.Menyadari siapa yang datang, Aksa yang sedari tadi diam, langsung beringsut ke sisi sang tunangan. Wajahnya memucat, seolah mencoba cari celah untuk keluar dari situasi yang baru saja ia ciptakan.Tidak terima di tuduh, sang adik membuka mulut. Mencoba membela diri dengan suara gemetar, "Mbak, Mas Aksa-"Namun ucapan wanita itu dipotong dengan segera oleh Aksa. "Ray, kan aku udah bilang, aku hanya cinta Vanya. Bisa-bisanya kam
"Jangan kira semuanya selesai sampai di sini," desis sang kakak, matanya berkilat penuh ancaman. Kuku-kuku panjangnya menusuk kulit Raina.Tanpa berkata apapun, sang adik menepis tangan Vanya lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Di luar, ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia sudah muak dengan kelakuan sang kakak.Meski ketegangan jelas tersirat di antara saudari, mereka tetap bersikap profesional di hadapan publik dan berhasil menyelesaikan semua rangkaian acara dengan baik.Manik Raina menyapu orang-orang di hadapannya, merasa bosan dengan kalimat penutup yang sedang dituturkan Vanya sebagai ketua proyek. Tatkala ujung matanya menangkap sosok familiar, suasana hatinya langsung berubah.Tidak menunggu sang kakak menyelesaikan pidato, wanita itu menyelinap turun panggung dan berjalan menghampiri figur yang berdiri sedikit jauh dari kerumunan."Mas! Kok di sini?" ucap Raina dengan senyum sumringah."Kebetulan lewat sini, gimana acaranya?" Jovian menyambut sang is
Di balik kaca mobil, senja merayap perlahan, mewarnai langit dengan jingga dan semburat keemasan yang memudar seiring waktu. Raina menyusuri jalan dengan kecepatan sedang, namun pikirannya melaju lebih cepat, berkutat dengan prasangka dan kekhawatiran yang tak henti membayanginya. "Ray." Suara Jovian terdengar lembut, berusaha menarik perhatian Raina dari pusaran pikiran yang membelenggunya. Namun sang istri tak merespons. Masih sibuk dengan pergumulan dalam benaknya.Pertemuan mereka sebelum menikah memang tergolong singkat. Sekitar dua tahun silam, sebuah kecelakaan membuat hidup mereka bersinggungan. Raina merasa bersalah karena telah merenggut masa depan pria yang kini duduk di sampingnya. Kaki Jovian cedera parah, dan sejak saat itu, Raina berjanji untuk melakukan apa pun demi kesembuhannya. Dia menawarkan segala fasilitas dan perawatan terbaik untuk pria yang menyelamatkannya.“Ray,” panggil Jovian lagi, suaranya sedikit lebih keras tetapi tetap berlalu begitu saja di telin
Setibanya di depan gerbang rumah keluarga Hartanto, mereka disambut dengan teriakan keras sang ibu tiri."Ma? Ada apa ini?" Jovian yang tidak mengerti apa-apa tidak terima istrinya dibentak. Pria itu tampak berusaha meredam gejolak emosi, sementara matanya terarah kepada sang mertua, yang terus mengumpat.Namun wanita paruh baya itu tidak memedulikan pertanyaan menantu. “Tanya istri kamu! Kalau dia nggak puas sama suami, jangan godain tunangan kakaknya dong!” Suara Ambar pecah di udara.Sang suami menoleh cepat ke arah Raina, mencari jawaban di matanya. Wajah sang istri memucat, tetapi bibirnya segera bergerak, menolak tuduhan tak berdasar dari keluarganya sendiri. “Bukan gitu, Mas. Tadi Mas Aksa tiba-tiba masuk ruang ganti dan mau nyentuh-nyentuh aku,” jelasnya."Halah! Mas Aksa mana mau sama kamu, Ray! Ngaca dong!" Vanya menyahut penuh amarah. Di sudut pandang Raina, mata kakaknya itu berkilat dengan kebencian yang tak pernah padam sejak mereka masih kecil. Sementara itu, disampingn
Persiapan pernikahan berjalan dengan lancar. Terutama karena memang tak banyak yang harus dipikirkan, mengingat pihak keluarga mempelai wanita menginginkan acara yang sederhana. Akad serta resepsi akan dilakukan sesederhana mungkin, hanya dihadiri oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat terpercaya.Jovian menurut, karena baginya, yang terpenting adalah menyusup ke dalam kediaman Hartanto. Hal-hal lain hanyalah formalitas belaka.Namun siang itu, suara rendah sarat akan wibawa menghentikan langkah Jovian, kala pria itu baru menyelesaikan sesi terapinya. Atau yang sebenarnya rapat strategi bersama Saka, Aji dan para petinggi Sindikat Sinara.“Anak muda, bisa kita berbicara sejenak?”Sang pria muda menoleh, mendapati sosok Adi Prakoso Hartanto berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, tegap, meskipun usia senja telah men
Dengan tertatih-tatih, Jovian menyusuri trotoar, melangkah secepat yang kaki pincangnya sanggup. Tongkat di tangannya mengetuk ritmis di atas permukaan aspal, seolah mengiringi detak jantungnya yang gelisah.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang, tapi itu tak sebanding dengan kecemasan yang mencengkeram hatinya. Kata-kata Raina di telepon tadi terus terngiang-ngiang di benaknya.“Mas, tolong datang ke sini. Cepat.”Hanya satu alamat yang disebutkan sebelum sambungan terputus. Terdengar napas berat yang tak biasa dari wanita itu.‘Sial!’ Jovian mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus berpura-pura pincang? Kalau saja ia tidak membatasi dirinya dengan cedera palsu ini, mungkin ia sudah sampai lebih cepat. ‘Kenapa juga aku tidak memilih pura-pura cacat tangan saja?’ pikirnya penuh
Jovian membuka matanya perlahan, siluet lampu putih menyilaukan penglihatannya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa kaku, nyeri menusuk-nusuk dari sisi tubuh hingga ke kakinya. Namun pandangannya tak butuh waktu lama untuk menangkap sosok wanita di samping ranjang. Manik kecokelatan yang memancarkan kecemasan itu adalah hal pertama yang ia lihat saat kesadarannya kembali.Raina.Menyipitkan mata, pria itu mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Wanita itu benar-benar ada di sana, duduk di kursi, wajahnya khawatir namun tetap anggun di bawah cahaya lembut lampu ruangan.Jovian langsung menyadari sesuatu—luka kecil di pelipis Raina terlihat sudah mengering, tak ada perban kasat mata lainnya di tubuh wanita itu. Syukurlah, kecelakaan itu tak meninggalkan cedera serius pada dirinya.Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, s
“Jovian!”Teriakan lantang menggema di lorong rumah sakit, memecah kesunyian malam. Langkah tergesa-gesa dua pria terdengar semakin mendekat. Di ambang pintu unit gawat darurat, Aji dan Saka muncul dengan napas tersengal. Raut wajah mereka campuran antara cemas dan panik.Di ranjang yang tak terlalu lebar, Jovian membuka matanya dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Namun, seperti biasa, ia mencoba menyembunyikan kelemahannya di balik ekspresi datar yang ia latih bertahun-tahun. Meski kali ini, kelopak matanya yang berat dan bibirnya yang pucat membuat semua itu sia-sia.“Ngapain kalian di sini? Gimana dengan pesta pendiriannya?” tanyanya dengan suara serak dan lemah, berusaha terdengar biasa saja meski kesadarannya nyaris kabur.“Masih sempat mikirin itu?!” bentak Saka, matanya memicing tajam, sorotnya penuh amar
Sebuah amplop cokelat dilempar kasar oleh pria bertubuh kekar dengan jaket hitam. “Ini laporan tentang Raina Asmarani Hartanto minggu ini,” ucap pria tersebut tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar bosan, seolah tugas ini adalah rutinitas yang sudah ia lakukan terlalu sering.Jovian, yang duduk di kursi kerjanya, melirik sekilas amplop itu. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aji, yang kebetulan juga berada di ruangan, langsung menoleh dengan penuh minat. Manik cokelatnya bergerak cepat antara amplop dan pria bertubuh kekar itu, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal.“Raina?” tanya Aji, menaikkan satu alisnya dengan nada menggoda. Dia memutar tubuh, memandang ke arah Saka, tangan kanan sang kakak. “Apa maksudnya nih?”Yang ditatap hanya mengedikkan bahu santai sambil melempar tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. “Tanya Mas-mu i
“Oh,” suara berat pria tambun itu tiba-tiba terdengar, diiringi tawa pendek. “Kamu bartender ruang VVIP yang dulu sering membantuku, kan?” Ucapannya seolah hanya sekadar basa-basi, namun seringai di bibirnya menyiratkan lebih dari itu.Jovian mendongak, meski tubuhnya terasa berat setelah dihantam habis-habisan. Napasnya tersengal, darah mengalir pelan dari sudut bibirnya, namun ia tetap diam. Wajahnya tetap datar.Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan menemukan hiburan. “Anak muda, aku tidak menyangka kamu bisa sampai pada titik ini. Bahkan hanya dengan sedikit dorongan dariku.” Dengan santai, pria itu menjentikkan jarinya.Seorang anak buahnya—pria berjaket hitam dengan wajah tanpa ekspresi—bergerak cepat. Dalam sekejap sebuah kursi dilapisi kulit didorong ke arahnya.“Sebagai senior di bidang ini,
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
“Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’