"Jangan kira semuanya selesai sampai di sini," desis sang kakak, matanya berkilat penuh ancaman. Kuku-kuku panjangnya menusuk kulit Raina.Tanpa berkata apapun, sang adik menepis tangan Vanya lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Di luar, ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia sudah muak dengan kelakuan sang kakak.Meski ketegangan jelas tersirat di antara saudari, mereka tetap bersikap profesional di hadapan publik dan berhasil menyelesaikan semua rangkaian acara dengan baik.Manik Raina menyapu orang-orang di hadapannya, merasa bosan dengan kalimat penutup yang sedang dituturkan Vanya sebagai ketua proyek. Tatkala ujung matanya menangkap sosok familiar, suasana hatinya langsung berubah.Tidak menunggu sang kakak menyelesaikan pidato, wanita itu menyelinap turun panggung dan berjalan menghampiri figur yang berdiri sedikit jauh dari kerumunan."Mas! Kok di sini?" ucap Raina dengan senyum sumringah."Kebetulan lewat sini, gimana acaranya?" Jovian menyambut sang is
Di balik kaca mobil, senja merayap perlahan, mewarnai langit dengan jingga dan semburat keemasan yang memudar seiring waktu. Raina menyusuri jalan dengan kecepatan sedang, namun pikirannya melaju lebih cepat, berkutat dengan prasangka dan kekhawatiran yang tak henti membayanginya. "Ray." Suara Jovian terdengar lembut, berusaha menarik perhatian Raina dari pusaran pikiran yang membelenggunya. Namun sang istri tak merespons. Masih sibuk dengan pergumulan dalam benaknya.Pertemuan mereka sebelum menikah memang tergolong singkat. Sekitar dua tahun silam, sebuah kecelakaan membuat hidup mereka bersinggungan. Raina merasa bersalah karena telah merenggut masa depan pria yang kini duduk di sampingnya. Kaki Jovian cedera parah, dan sejak saat itu, Raina berjanji untuk melakukan apa pun demi kesembuhannya. Dia menawarkan segala fasilitas dan perawatan terbaik untuk pria yang menyelamatkannya.“Ray,” panggil Jovian lagi, suaranya sedikit lebih keras tetapi tetap berlalu begitu saja di telin
Setibanya di depan gerbang rumah keluarga Hartanto, mereka disambut dengan teriakan keras sang ibu tiri."Ma? Ada apa ini?" Jovian yang tidak mengerti apa-apa tidak terima istrinya dibentak. Pria itu tampak berusaha meredam gejolak emosi, sementara matanya terarah kepada sang mertua, yang terus mengumpat.Namun wanita paruh baya itu tidak memedulikan pertanyaan menantu. “Tanya istri kamu! Kalau dia nggak puas sama suami, jangan godain tunangan kakaknya dong!” Suara Ambar pecah di udara.Sang suami menoleh cepat ke arah Raina, mencari jawaban di matanya. Wajah sang istri memucat, tetapi bibirnya segera bergerak, menolak tuduhan tak berdasar dari keluarganya sendiri. “Bukan gitu, Mas. Tadi Mas Aksa tiba-tiba masuk ruang ganti dan mau nyentuh-nyentuh aku,” jelasnya."Halah! Mas Aksa mana mau sama kamu, Ray! Ngaca dong!" Vanya menyahut penuh amarah. Di sudut pandang Raina, mata kakaknya itu berkilat dengan kebencian yang tak pernah padam sejak mereka masih kecil. Sementara itu, disampingn
Suara yang menggelegar membuat semua orang diam dalam sekejap.Kakek berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kemarahan. Napasnya memburu karena marah, matanya menatap setiap orang di ruangan itu dengan tajam. "Masuk semua ke dalam! Kalian semua mempermalukan martabat Hartanto! Bisa-bisanya bertengkar di depan rumah dan jadi tontonan!"Ambar berusaha menyela, "Ayah—""MASUK!" Kakek menegaskan perintahnya dengan nada yang tak bisa dibantah.Ruang keluarga yang megah terasa begitu sempit oleh ketegangan yang menguar. Dinding-dinding berlapis marmer seolah menambah dinginnya suasana."Ada apa ini sebenarnya?" suara berat Kakek memecah kesunyian. Wajahnya yang tua penuh garis ketegasan menatap satu per satu penghuni ruangan, menunggu jawaban.Cucu wanita tertua langsung angkat bicara. “Ray kegatelan, Kek. Mencoba merayu Mas Aksa,” ucap Vanya penuh kebencian. Tidak ada ruang untuk keraguan di suaranya, seakan ia benar-benar yakin akan tuduhannya.Satu alis Kakek terangkat mendengar tuduha
"Untuk sementara kamu tidak perlu menghadiri acara keluarga," tandas sang sepuh."Kakek!" Raina merasa hatinya teriris. Bagaimana mungkin Kakek lebih mempercayai pria yang baru beberapa bulan dikenal daripada cucunya sendiri?Sementara saudari-saudari serta ibu tirinya tersenyum penuh kemenangan. Melipat tangan di dada dengan congkak.Papa langsung bangkit dari tempat duduknya. "Ayah, Raina bukan anak yang seperti itu!" protesnya, suaranya terdengar memohon. Ia tak terima anak bungsunya dicap sebagai wanita penggoda lelaki orang.Namun, Kakek menggeleng perlahan. "Ini bukan tentang siapa yang benar atau salah, tapi pernikahan Vanya dengan Aksa bukanlah masalah kecil. Itu melibatkan dua perusahaan besar. Kita tidak bisa membiarkan ada skandal yang mengganggu pernikahan ini." Sang sepuh tetap pada pendiriannya. Tampak tak peduli meski keputusannya melukai hati sang cucu.Tanpa berkata apapun, Jovian merengkuh tubuh Raina yang bergetar menahan tangis. Pria itu menariknya berdiri dan menin
Dengan mata tertutup oleh saputangan, indra lainnya seakan menjadi lebih hidup. Sentuhan ringan pada kulitnya serasa menjadi percikan api yang membakar gairah. Suara decitan sofa ketika Jovian bergerak terdengar begitu jelas, membuat jantungnya berdegup lebih kencang.“Mas...” Suara Raina terdengar serak, penuh rengekan yang tak bisa ditahan lagi. Ia mengangkat pinggulnya, merespon setiap rangsangan yang diberikan suaminya, berharap mendapat lebih. Keinginannya memuncak, setiap detik terasa bagai penyiksaan manis yang tak kunjung berakhir.Hanya kekehan yang wanita itu dapat sebagai jawaban. “Nggak boleh, sayang,” jawab Jovian dengan nada rendah, menggema di telinga Raina seperti bisikan yang menyihir. Suara suaminya terdengar lebih jauh, namun tangan kuatnya tetap menahan pinggang Raina, memaksa wanita itu tetap di tempat, tak dapat bergerak lebih jauh.Sang istri menggeliat, merasakan sentuhan lembut namun berkuasa pada kulitnya. Ia masih mencoba melawan, namun sebuah tamparan ringan
Hanya suara jemari Raina menari di atas keyboard laptop yang memecah kesunyian ruang kerja. Fokus wanita itu tertuju pada laporan kemajuan proyek yang harus ia periksa.Ketukan pelan pada pintu ruangan terdengar samar, tapi tak begitu Raina pedulikan. “Masuk,” katanya tanpa menengadah, mengira bahwa itu asistennya. Ia masih sibuk mengetik, matanya terpaku pada layar.Derap langkah berat terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di depan mejan. Sang wanita karir masih tak mengalihkan pandangan dari gawai hingga sebuah suara familiar menembus keheningan, membuatnya mendongak.“Sibuk banget adikku yang satu ini,” ucap suara itu.“Mas Tama?” Raina terkejut. Tatapannya beralih dari laptop ke pria yang berdiri di hadapannya, sang kakak tersenyum simpul seperti biasa."Mas, kok tumben ke kantor?" tanya Raina, masih sedikit tak percaya bahwa kakak sulungnya berkunjung pada jam kerja.Semenjak namanya tak lagi dipertimbangkan sebagai calon penerus perusahaan oleh Kakek, kakaknya itu lebih memilih
"Mana bisa sih ngepas baju pengantin tapi calon pengantinnya nggak ada? Mas, emang kamu nggak bisa nyempetin mampir sebentar?"Raina berdiri di atas anak tangga, tubuhnya membeku di tempat. Suara Vanya yang sedang berbicara di telepon terdengar dari bawah. Nada bicara sang kakak, seperti biasa, penuh dengan nada kesal dan tuntutan."Aku tahu, tapi kan pernikahan kita juga udah sebentar lagi. Kamu nggak bisa cuma ambil beres aja, Mas." Suara Vanya terdengar semakin jelas.Sang adik menimbang. Dia sedang malas berdebat dengan kakaknya. Mungkin lebih baik dia berbalik dan mencari jalan lain. Namun, baru saja niat itu muncul, kakaknya memutus telepon dan langsung menyadari kehadiran orang lain pada ana
“Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam.Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu.“Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti.“Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap.Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.
“Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu.Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar.Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek.Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang.“Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi.“Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo
Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.
Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
“Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.