Dengan mata tertutup oleh saputangan, indra lainnya seakan menjadi lebih hidup. Sentuhan ringan pada kulitnya serasa menjadi percikan api yang membakar gairah. Suara decitan sofa ketika Jovian bergerak terdengar begitu jelas, membuat jantungnya berdegup lebih kencang.“Mas...” Suara Raina terdengar serak, penuh rengekan yang tak bisa ditahan lagi. Ia mengangkat pinggulnya, merespon setiap rangsangan yang diberikan suaminya, berharap mendapat lebih. Keinginannya memuncak, setiap detik terasa bagai penyiksaan manis yang tak kunjung berakhir.Hanya kekehan yang wanita itu dapat sebagai jawaban. “Nggak boleh, sayang,” jawab Jovian dengan nada rendah, menggema di telinga Raina seperti bisikan yang menyihir. Suara suaminya terdengar lebih jauh, namun tangan kuatnya tetap menahan pinggang Raina, memaksa wanita itu tetap di tempat, tak dapat bergerak lebih jauh.Sang istri menggeliat, merasakan sentuhan lembut namun berkuasa pada kulitnya. Ia masih mencoba melawan, namun sebuah tamparan ringan
Hanya suara jemari Raina menari di atas keyboard laptop yang memecah kesunyian ruang kerja. Fokus wanita itu tertuju pada laporan kemajuan proyek yang harus ia periksa.Ketukan pelan pada pintu ruangan terdengar samar, tapi tak begitu Raina pedulikan. “Masuk,” katanya tanpa menengadah, mengira bahwa itu asistennya. Ia masih sibuk mengetik, matanya terpaku pada layar.Derap langkah berat terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di depan mejan. Sang wanita karir masih tak mengalihkan pandangan dari gawai hingga sebuah suara familiar menembus keheningan, membuatnya mendongak.“Sibuk banget adikku yang satu ini,” ucap suara itu.“Mas Tama?” Raina terkejut. Tatapannya beralih dari laptop ke pria yang berdiri di hadapannya, sang kakak tersenyum simpul seperti biasa."Mas, kok tumben ke kantor?" tanya Raina, masih sedikit tak percaya bahwa kakak sulungnya berkunjung pada jam kerja.Semenjak namanya tak lagi dipertimbangkan sebagai calon penerus perusahaan oleh Kakek, kakaknya itu lebih memilih
"Mana bisa sih ngepas baju pengantin tapi calon pengantinnya nggak ada? Mas, emang kamu nggak bisa nyempetin mampir sebentar?"Raina berdiri di atas anak tangga, tubuhnya membeku di tempat. Suara Vanya yang sedang berbicara di telepon terdengar dari bawah. Nada bicara sang kakak, seperti biasa, penuh dengan nada kesal dan tuntutan."Aku tahu, tapi kan pernikahan kita juga udah sebentar lagi. Kamu nggak bisa cuma ambil beres aja, Mas." Suara Vanya terdengar semakin jelas.Sang adik menimbang. Dia sedang malas berdebat dengan kakaknya. Mungkin lebih baik dia berbalik dan mencari jalan lain. Namun, baru saja niat itu muncul, kakaknya memutus telepon dan langsung menyadari kehadiran orang lain pada ana
Namun sebelum ia bisa melanjutkan, suara alarm pada ponselnya menyela momen intim itu. Mengingatkannya bahwa mereka harus segera berangkat.Sang wanita tertawa, menarik diri dari pelukan Jovian meski masih ada rasa enggan di sana. “Ayo, Mas. Nanti kita telat,” ucapnya dengan senyum kecil sambil mematikan alarm.Meski raut wajahnya terlihat sedikit kecewa, Jovian meraih kunci mobil di atas meja rias lalu mengikuti sang istri keluar kamar.Pada akhirnya mereka berangkat menuju tempat acara.Suara gemericik air mancur di luar ballroom menyambut sejoli itu. Dentingan gelas dan alunan musik jazz mengalun lembut dari dalam ruangan. Aroma parfum mahal serta anggur merah berbaur di udara, menciptakan suasana ele
Vanya.Wanita itu berdiri sendirian di antara pebisnis muda lain dengan segelas wine di tangan. Pipinya tampak mulai memerah kemungkinan besar karena pengaruh alkohol. Meski bibirnya membentuk bulan sabit, ada kepalsuan di sana, seperti senyum yang dipaksakan. Sang kakak menoleh, menyusuri ruangan, seolah mencari sesuatu, seseorang di antara kerumunan tamu.Lalu manik mereka saling singgung. Raut wajah Vanya berubah kecut, senyumnya luntur seketika. Dia langsung melengos pergi, berjalan menuju meja tempat gelas-gelas minuman berjejer rapi. Wanita itu kembali mengambil gelas berisi cairan merah.Sungguh, Raina ingin mengabaikan kehadiran kakaknya di pesta itu.
Dari kejauhan, dia melihat seorang wanita bergaun merah dengan belahan tinggi menempel pada lengan Jovian, jemari lentiknya singgah pada otot lengan sang suami dengan keakraban tak diinginkan."Mas, badan kamu bagus. Kamu nge-gym di mana? Aku juga lagi suka pilates. Yuk, kita olahraga bareng," goda wanita itu dengan nada yang menggema penuh manja.Bola mata Raina membelalak penuh kekesalan melihat hal itu.Suaminya sendiri tampak bingung, jelas terganggu oleh kerumunan wanita yang tiba-tiba mengelilinginya. Raina bisa membaca ketidaknyamanan di wajah sang suami, meski pria itu berusaha menjaga sikap. Beberapa wanita lain, yang tidak kalah cantik dan e
Gelak tawa Jovian semakin kencang mendengar alasan sang istri. Pria itu menangkup wajah Raina. Netra madunya mematri pada bola mata sang wanita, rasa sayang dan terutama geli terlihat jelas dalam manik pria itu.Membuat Raina semakin kesal, lantas sengaja mencubit lengan sang suami. "Kamu kan suamiku, Mas," gumamnya.Senyum tipis terukir pada wajah Jovian. Pria itu menunduk, meninggalkan jejak-jejak kecupan ringan pada pipi, hidung, lalu bibir sang istri. Sambil berbisik pelan, "Iya, sayang. Aku milikmu seutuhnya."Mendengar ucapan itu, jemari Raina semakin berani, menjelajahi setiap lekuk tubuh sang suami. Setiap sentuhan, setiap ciuman kecil yang ditanamkan Jovian pada pipi, hidung, hingga bibirnya, seperti nyala api yang semakin membakar seluruh tubuhnya. Tanpa memutus ciuman, tangannya bergerak pada tubuh Jovian. Merasakan otot pria itu melentur di bawah sentuhannya.Jemari lentik Raina dengan lihai membuka resleting celana sang suami. Membelai lembut milik Jovian yang semakin mene
“Sebenernya, aku pernah dengar Tante Ambar dan Mbak Vanya ngomongin tentang itu sebelumnya. Mereka juga bicara tentang kejadian sepuluh tahun lalu. Aku curiga itu ada hubungannya dengan kematian ibu.” Pada akhirnya Raina membagi kecurigaan yang membayanginya akhir-akhir ini.Ia berharap, kalau memang Jovian memiliki kuasa, suaminya itu akan membantunya mencari tahu kenyataan yang sebenarnya. “Aku mau nyelidikin hal ini lebih lanjut,” tandas wanita itu.Namun tak lama, sang suami kembali mengusakkan hidungnya pada perpotongan leher Raina, mengecupnya lembut. "Ah, mungkin dia cuma ngeledek kamu, sayang. Ini kan bukan film mata-mata yang kita tonton," kekehnya ringan.Rasa kecewa menyelinap dalam hati Ra
Persiapan pernikahan berjalan dengan lancar. Terutama karena memang tak banyak yang harus dipikirkan, mengingat pihak keluarga mempelai wanita menginginkan acara yang sederhana. Akad serta resepsi akan dilakukan sesederhana mungkin, hanya dihadiri oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat terpercaya.Jovian menurut, karena baginya, yang terpenting adalah menyusup ke dalam kediaman Hartanto. Hal-hal lain hanyalah formalitas belaka.Namun siang itu, suara rendah sarat akan wibawa menghentikan langkah Jovian, kala pria itu baru menyelesaikan sesi terapinya. Atau yang sebenarnya rapat strategi bersama Saka, Aji dan para petinggi Sindikat Sinara.“Anak muda, bisa kita berbicara sejenak?”Sang pria muda menoleh, mendapati sosok Adi Prakoso Hartanto berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, tegap, meskipun usia senja telah men
Dengan tertatih-tatih, Jovian menyusuri trotoar, melangkah secepat yang kaki pincangnya sanggup. Tongkat di tangannya mengetuk ritmis di atas permukaan aspal, seolah mengiringi detak jantungnya yang gelisah.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang, tapi itu tak sebanding dengan kecemasan yang mencengkeram hatinya. Kata-kata Raina di telepon tadi terus terngiang-ngiang di benaknya.“Mas, tolong datang ke sini. Cepat.”Hanya satu alamat yang disebutkan sebelum sambungan terputus. Terdengar napas berat yang tak biasa dari wanita itu.‘Sial!’ Jovian mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus berpura-pura pincang? Kalau saja ia tidak membatasi dirinya dengan cedera palsu ini, mungkin ia sudah sampai lebih cepat. ‘Kenapa juga aku tidak memilih pura-pura cacat tangan saja?’ pikirnya penuh
Jovian membuka matanya perlahan, siluet lampu putih menyilaukan penglihatannya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa kaku, nyeri menusuk-nusuk dari sisi tubuh hingga ke kakinya. Namun pandangannya tak butuh waktu lama untuk menangkap sosok wanita di samping ranjang. Manik kecokelatan yang memancarkan kecemasan itu adalah hal pertama yang ia lihat saat kesadarannya kembali.Raina.Menyipitkan mata, pria itu mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Wanita itu benar-benar ada di sana, duduk di kursi, wajahnya khawatir namun tetap anggun di bawah cahaya lembut lampu ruangan.Jovian langsung menyadari sesuatu—luka kecil di pelipis Raina terlihat sudah mengering, tak ada perban kasat mata lainnya di tubuh wanita itu. Syukurlah, kecelakaan itu tak meninggalkan cedera serius pada dirinya.Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, s
“Jovian!”Teriakan lantang menggema di lorong rumah sakit, memecah kesunyian malam. Langkah tergesa-gesa dua pria terdengar semakin mendekat. Di ambang pintu unit gawat darurat, Aji dan Saka muncul dengan napas tersengal. Raut wajah mereka campuran antara cemas dan panik.Di ranjang yang tak terlalu lebar, Jovian membuka matanya dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Namun, seperti biasa, ia mencoba menyembunyikan kelemahannya di balik ekspresi datar yang ia latih bertahun-tahun. Meski kali ini, kelopak matanya yang berat dan bibirnya yang pucat membuat semua itu sia-sia.“Ngapain kalian di sini? Gimana dengan pesta pendiriannya?” tanyanya dengan suara serak dan lemah, berusaha terdengar biasa saja meski kesadarannya nyaris kabur.“Masih sempat mikirin itu?!” bentak Saka, matanya memicing tajam, sorotnya penuh amar
Sebuah amplop cokelat dilempar kasar oleh pria bertubuh kekar dengan jaket hitam. “Ini laporan tentang Raina Asmarani Hartanto minggu ini,” ucap pria tersebut tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar bosan, seolah tugas ini adalah rutinitas yang sudah ia lakukan terlalu sering.Jovian, yang duduk di kursi kerjanya, melirik sekilas amplop itu. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aji, yang kebetulan juga berada di ruangan, langsung menoleh dengan penuh minat. Manik cokelatnya bergerak cepat antara amplop dan pria bertubuh kekar itu, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal.“Raina?” tanya Aji, menaikkan satu alisnya dengan nada menggoda. Dia memutar tubuh, memandang ke arah Saka, tangan kanan sang kakak. “Apa maksudnya nih?”Yang ditatap hanya mengedikkan bahu santai sambil melempar tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. “Tanya Mas-mu i
“Oh,” suara berat pria tambun itu tiba-tiba terdengar, diiringi tawa pendek. “Kamu bartender ruang VVIP yang dulu sering membantuku, kan?” Ucapannya seolah hanya sekadar basa-basi, namun seringai di bibirnya menyiratkan lebih dari itu.Jovian mendongak, meski tubuhnya terasa berat setelah dihantam habis-habisan. Napasnya tersengal, darah mengalir pelan dari sudut bibirnya, namun ia tetap diam. Wajahnya tetap datar.Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan menemukan hiburan. “Anak muda, aku tidak menyangka kamu bisa sampai pada titik ini. Bahkan hanya dengan sedikit dorongan dariku.” Dengan santai, pria itu menjentikkan jarinya.Seorang anak buahnya—pria berjaket hitam dengan wajah tanpa ekspresi—bergerak cepat. Dalam sekejap sebuah kursi dilapisi kulit didorong ke arahnya.“Sebagai senior di bidang ini,
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
“Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’