"Maaf, Tuan Novan. Keluarga kami sama sekali tidak pernah membuat duplikat kalung yang menjadi andalan keluarga Setya. Kalung itu pemberian pria penipu itu," ujar Vicenzo menunjuk Ridel.Novan menatap Vicenzo dan Ridel secara bergantian. Kenapa Ridel menyembunyikan identitasnya dihadapan mertuanya sendiri? Sepertinya Fania juga tidak tahu siapa Ridel sebenarnya. Bagaimana reaksi keluarga Mauren, kalau tahu aku justru takut dengan pria yang mereka remehkan?"Apa benar kalung itu pemberianmu?" tanya Novan mengikuti alur yang diinginkan Ridel."Istriku sering melihat kalung itu dari majalah. Nah, saat aku ditugaskan pak Vicenzo untuk membeli ikan dan sayuran segar. Saat itulah aku melihat kalung itu berada diantara pernak pernik yang dijual bebas. Jadi aku membelinya dengan harga lima puluh ribu rupiah," jawab Ridel enteng.Novan yang sedang meneguk minumannya langsung saja muncrat, "Apa? Lima puluh ribu rupiah?""Iya, lima puluh ribu rupiah. Apakah Anda keberatan dengan harga segitu?"
"Walaupun apa yang kau katakan benar adanya, tapi mau bagaimana pun beliau adalah ayahku. Jadi ku mohon berhentilah berdebat, Ridel," bisik Fania tegas. Dengan kesal keluarga Mauren dan Arzenio meninggalkan restoran itu. Ridel memilih mengikuti mereka menuju tempat parkir. Tapi, ketika akan menaiki mobil yang semula membawanya, Vicenzo langsung saja mendorong kasar Ridel. "Dasar pria tidak tahu diri? Berani-beraninya kau berdebat denganku? Apa kau bangga, ketika Fania menunjukkan ketertarikan padamu?" ketus Vicenzo marah. "Untuk apa kau mengikuti kami terus?" Laura bertanya penuh emosi. "Mau pulang." "Pulang sendiri, mobil ini tidak cocok untuk orang miskin sepertimu, ini uang untukmu pulang," cetus Vicenzo sambil melemparkan dua lembar uang kepada Ridel. Fania yang hendak membantu Ridel, langsung diseret paksa memasuki mobil, "Yang membesarkan mu, itu ayah! Yang membiayai sekolah mu, itu ayah! Yang membayar biaya rumah sakit mu, itu juga ayah! Apa ini caramu membalas bu
***Sementara itu di rumah sakit, jam telah menunjukkan pukul 23.00 WITA. Dokter Albert duduk lemas di kursi kebesarannya.Dia baru saja menyelesaikan operasi terakhirnya, setelah menambah jadwal cek up dan beberapa data mengenai Fania Mauren secara diam-diam.Tiba-tiba pintu di buka secara berlahan, tampak sesosok wanita mendekatinya dan langsung saja duduk di pangkuannya. "Bagian apoteker aman, bagaimana dengan jadwal wanita brengsek itu?""Sama, aman," ujar sang dokter yang masih tampak kelelahan.Melihat reaksi sang dokter, sontak saja membuat wanita itu kecewa. Tapi dia juga tidak bisa memaksa seseorang yang sedang kelelahan."Kalau begitu sampai jumpa besok," ujar wanita itu dan langsung berdiri. Namun, tangan sang dokter dengan cepat menariknya kembali ke dalam pelukannya. "Kau mau ke mana? Duduklah di sini sebentar saja.""Bukankah kau kelelahan? Sebaiknya kau pulang dan istirahat," bisik wanita itu tersenyum.Bukannya merespon ucapan wanita itu, sang dokter justru meremas ap
Auw .....Nadia kembali menjerit, ketika tangan sang dokter kemudian mempermainkan area itu secara berlahan kemudian cepat. Begitu seterusnya. "Bagaimana? Apakah nikmat?" bisik sang dokter.Nadia tak menjawab, dia memejamkan mata menikmati setiap sentuhan kasar yang disuguhkan oleh sang dokter.Melihat ekspresi Nadia, membuat sang dokter semakin bersemangat mempermainkan gua gelap itu. Jarinya keluar masuk tak beraturan, sementara tangan yang satunya mulai melepaskan setiap helai yang menutupi tubuh Nadia.Mereka lupa sedang berada di tangga darurat, tangga yang kapan saja seseorang bisa masuk untuk keperluan darurat.Jlep!Auw ...Nadia menjerit, ketika merasakan benda keras dan tumpul menerobos masuk secara paksa ke dalam gua gelap dengan bau khasnya.Keduanya kini telah menyatu, goyangan dan jeritan juga ikut menjadi satu.Anak tangga menjadi saksi bisu, di mana kedua manusia tak seharusnya menyatukan diri untuk menikmati kenikmatan dunia.Keringat sang dokter mengalir menetes di
___Setelah jam menunjukkan pukul 08.00 WITA, keluarga Mauren berkumpul di ruang makan.Demi merayakan ulang tahun Fania, semua keluarga Mauren memilih tidak masuk kerja. Tiba-tiba ponsel Ridel berdering, ada telepon masuk.Ridel mengerutkan dahi, ketika melihat nomor yang tertera dilayar ponsel."Maaf, apa ini dengan bapak Ridel Liu selaku wali pasien yang bernama Fania Stephani Mauren?" terdengar suara dari seberang."Iya, benar.""Saya hanya ingin mengingatkan kembali. Hari ini ibu Fania Stephani Mauren akan melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan."Ridel terkejut, "Apa? Pemeriksaan lanjutan? Maksudnya?""Berhubung di dalam darah istri Anda terdapat sejenis virus baru, maka kami memerlukan beberapa tes lab tambahan, untuk memastikan jenis virusnya.""Apakah Anda tidak salah memberi informasi, dokter? Bukankah seharusnya tidak ada jadwal pengobatan lagi untuk Fania?" Mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut Ridel, membuat keluarga Mauren langsung menghentikan kegiatan sarap
Ridel langsung keluar kamar dan berlari menuruni anak tangga. Tanpa menunggu lagi, dia langsung menuju rumah sakit menggunakan taksi online."Di mana, Fania?" tanya Ridel begitu tiba di rumah sakit."Akhirnya kau datang juga," ketus Vicenzo tak bisa menyembunyikan kekesalannya."Kenapa?""Aku heran! Sebenarnya pelet apa yang kau gunakan, ha? Sampai-sampai dokter lama maupun dokter baru sekali pun, hanya mau menjelaskan kondisi Fania, jika ada kamu sebagai walinya! Selaku keluarga, kami tak ada bedanya seperti orang asing," ketus Nadia kesal.Ridel tak menjawab, dia langsung saja berlari menuju ruangan dokter. Keluarga Mauren mengekor dibelakangnya."Bagaimana kondisi istriku, dokter?" tanya Ridel tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya."Hasil pemeriksaan pertama, menunjukkan kebalikan dari yang ada di komputer," jawab sang dokter terlihat bingung."Maksud, dokter?" tanya Ridel ikutan bingung."Pemeriksaan pertama menunjukkan kalau di dalam darah Fania, sama sekali tidak ada virus. Na
Pintu ruangan terbuka, sesosok pria paruh baya yang mengenakan jas hitam tiba-tiba muncul dari balik pintu."Selamat pagi, selamat ulang tahun, Bu Fania. Tak seharusnya kita berjumpa di rumah sakit," ujar pria itu tersenyum.Fania menatap pria tak dikenal itu dengan kebingungan, "Maaf, Anda siapa? Apakah saya mengenalmu?""Kenalkan, namaku Bastian Pratama. Pengacara yang ditunjuk ibumu sebelum beliau wafat," ujar pria itu mengulurkan tangannya.Walaupun bingung, tapi Fania tetap menerima uluran tangan itu, "Saya, Fania Mauren.""Saya tahu, kalau pertemuan ini sangat mengejutkan. Karena selama anda belum genap berusia dua puluh lima tahun, maka saya tidak punya hak untuk menemui Anda, Nona Muda."Fania mengerutkan dahi, bingung dengan situasi yang ada."Sesuai amanat almarhumah ibu Stefania, maka semua aset yang belum dipindah tangankan mulai hari ini akan beralih ke tangan Anda, Bu Fania. Ini berkasnya," jelas pria itu sambil menyodorkan berkas kepada Fania.Fania menatap pria itu sej
"Berikan padaku, akan ku tanda tangani," tegas Fania.Ridel langsung memegang pergelangan tangan sang istri dan berkata dengan tegas, "Apa kau yakin mau menandatangani ini? Coba kau pikirkan lagi, bagaimana mungkin Arzenio diculik secara kebetulan seperti ini? Coba kau perhatikan baik-baik ekspresi wajah keluarga mu sendiri. Apakah ada kecemasan?""Apa kau pikir kakekku akan tega melukai dirinya sendiri di usia senjanya? Tidak, Ridel! Bahkan terluka sedikit saja, kakek akan langsung kesakitan. Apa kau tak melihat wajah kakekku tadi? Dia benar-benar dibuat babak belur!""Tapi,""Semua warisan ini ditinggalkan almarhumah ibu untukku, kau tak punya hak untuk mengaturnya! Kalaupun ibuku berada disini, beliau pasti akan melakukan hal yang sama!" ketus Fania menatap Ridel penuh amarah. Dia tidak senang ketika sang suami mencoba melarangnya tanda tangan."Aku akan tanda tangan sekarang juga."Tanpa menunggu lagi, Fania langsung saja menandatangani berkas itu tanpa membacanya.Ridel diam, wal