"Ridel, aku menginginkanmu!" bisik Bu Hera di telinga Ridel. "Lepaskan tangan bu Hera, sebelum aku kehilangan kesabaran!" ketus Ridel mencoba sabar. Hera yang mengira Ridel takut akan kehilangan kontrol, justru semakin menyusupkan tangannya lebih dalam untuk mencari apa yang diinginkannya. "silahkan saja! Aku juga tidak sabar untuk mencoba milikmu! Melihat postur tubuhmu yang tegap, pasti kau sangat hebat dalam hal memuaskan nafsu. Kau tenang saja, ini akan menjadi rahasia kita saja. Lakukanlah Ridel, di sini saja, pintunya sudah terkunci kan? Aku suka yang menantang." Hera justru terkejut ketika Ridel mendorongnya dengan kasar, "Maaf, bu Hera. Aku rasa bukan tangan dan punggung ibu yang bermasalah, tapi nafsu ibu," ketus Ridel yang langsung meninggalkan ruangan dengan kesal. Hera menatap Ridel dengan geram. Hanya pegawai rendahan berani menolakku? Kau pasti jatuh ke dalam genggamanku, Ridel! Tepat pukul sepuluh malam akhirnya Ridel dapat bernafas lega ketika semua tugas ya
Ridel yang semula merasa keberatan justru senang, ketika memikirkan keuntungan bagi dirinya. "Seharusnya kau sadar diri, Brengsek! Orang sepertimu tidak layak berada di sini, diantara kami! Jangan pernah mendekati satu pun dari kamu! Mengerti?" bentak karyawan lainnya. Ridel hanya diam mendengar semua kalimat-kalimat pedas karyawan lain. Mereka menghina Ridel habis-habisan, bahkan tidak segan-segan melemparkan sampah kepadanya. Bukannya marah, Ridel justru memungut sampah-sampah itu dalam diam, kemudian meletakkannya di tempat seharusnya. Tempat sampah. Akhirnya Ridel memilih lantai paling atas untuk menjernihkan pikirannya, dia tahu betul itu dilakukan Hera untuk tahu yang sebenarnya, jadi Ridel tidak mau mengatakan kalau sebenarnya itu hanyalah suatu kebohongan. Ridel menatap sekelilingnya yang sunyi, tidak berpenghuni. Dia memejamkan matanya untuk menenangkan pikirannya. "Kau lagi ada masalah?" Ridel terkejut mendengar suara yang sangat dikenalnya. "Kenapa kamu bera
Pranggg !!!!! Pranggg !!!!! Cangkir, vas bunga, yang ada di atas meja Bernad Liu hancur berantakan dan berkas-berkas bertebaran di lantai. Berkas-berkas berharga yang kini tidak berarti lagi. "Pecat Hera sekarang juga dan pastikan tidak ada perusahaan manapun yang berani menerimanya, termasuk perusahaan kecil sekalipun. Aku tidak peduli jika dia menjadi gelandangan!" "Baik, Bos. Apa Bos yakin tidak akan mengizinkan Ridel menginjakkan kaki di lantai sepuluh? Kasihan Ridel bos diperlakukan seperti sampah! Lagian aku bingung kenapa Ridel memilih menutupi identitasnya," ujar Alex bingung sendiri. "Tempatkan dia sebagai office boy khusus lantai sepuluh! Selain lantai sepuluh, maka bukan menjadi tanggungjawabnya! Kalau Ridel menolak, katakan aku Bernad Liu akan membongkar identitas aslinya!" "Tapi ngomong-ngomong soal itu, aku baru tahu kalau bagian umum bisa merangkap jadi office boy atau officer. Kalau orang lain yang memberi pengumuman sudah pasti menjadi perbincangan hangat.”
*** Dokter Albert menatap wajah cantik Nadia yang tak bersahabat. Jelas sekali pancaran kemarahan dari sinar matanya. Tanpa bertanya pun, dokter Albert dapat menebak, pasti perubahan wajah Nadia disebabkan oleh Fania atau Ridel. Benar saja dugaan dokter Albert. Tak sampai semenit, Nadia langsung saja berucap dengan geram, "Aku ingin Ridel merasakan penderitaan yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh." "Kenapa? Apa kau masih mencintainya?" tanya dokter Albert tersenyum. "Kalau aku tak bisa memilikinya, maka tak ada satu orangpun yang bisa memilikinya!" ketus Nadia dengan tangan terkepal. "Penderitaan yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh, hanya ada satu cara," Dokter Albert menatap Nadia dengan serius. "Caranya?" "Dengan cara menghancurkan orang yang dicintai Ridel, maka dengan begitu akan ada goresan luka yang sulit untuk disembuhkan. Saat itulah kau memiliki kesempatan untuk mengobati luka hati itu." "Orang yang dicintai, Ridel? Tapi siapa? Tak mungkin Ridel jat
*** Berhubung di kontrakan tidak ada makanan maupun bahan mentah untuk dimasak, Fania memilih menelusuri trotoar jalan untuk mencari restoran terdekat. Fania memasuki restoran yang tidak berada jauh dari kontrakan. Brukkk .... Fania tak sengaja bertabrakan dengan seorang lelaki tak dikenal, ketika sama-sama hendak memasuki pintu restoran. “Maaf, Nona. Saya tidak sengaja, silahkan duluan,” ujar lelaki itu mempersilahkan Fania untuk masuk lebih dulu. Fania hanya tersenyum dan melangkah memasuki restoran sederhana, tapi sedetik Kemudian dia bingung mau duduk di mana. Mata Fania memindai sekeliling, akhirnya dia melihat kursi kosong yang tepat berada di samping pintu masuk. Brakkk !!!!! Tabrakan kembali terjadi. Fania menatap sosok yang baru saja ditabraknya. “Maaf, Nona. Saya benar-benar tidak sengaja, tadi saya bermaksud untuk duduk di meja ini. Tapi sepertinya nona mengincar meja yang sama. Silahkan duduk, Nona,” ujar lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya menuju
Mendengar suara yang berasal dari dalam kamar hotel 501, membuat Fania langsung saja berlari memasuki ruangan itu yang memang tidak dikunci. Namun, Fania terkejut melihat layar TV didepannya. Ternyata suara dan bunyi barang pecah itu hanya berasal dari TV. Keterkejutan Fania bertambah ketika pria itu justru mengunci pintunya. "Apa yang kau lakukan, Brengsek! Buka pintunya sekarang atau kau akan merasakan akibatnya?" bentak Fania berusaha tegas, padahal dia ketakutan. Pria itu tersenyum, "Kenapa marah cantik? Apa aku memintamu masuk? Bukankah tidak? Kau sendiri yang memilih masuk. Jadi salahku di mana? Kenapa kau jadi membentak ku? Tenang saja, malam ini aku akan memberikan malam terindah untukmu. Kita akan menghabiskan malam penuh kenikmatan." "Jangan pernah bermimpi untuk menyentuh tubuhku dengan tangan kotor mu itu, bajingan!" teriak Fania emosi. "Kau tau benar kalau ini bukanlah mimpi! Ini adalah kenyataan! Kau tidak akan pernah bisa melangkah keluar karena pintu ini hanya
Kenapa tidak ada cinta untukku, Fania? Apakah mantan kekasihmu masih menempati posisi terindah di dalam hatimu? Sebenarnya kenangan apa yang dia berikan padamu, hingga kau sulit untuk melupakannya? Ingin rasanya Ridel bertanya kenangan seperti apa yang ditinggalkan mantan kekasih Fania, tapi itu tak mungkin. Sudah pasti itu akan membawa masalah baru bagi hubungan mereka, walaupun hanya sebatas sahabat. Fania mengerutkan keningnya, ketika menatap Ridel yang eskpresinya terlihat sedih, “Kau kenapa?” “Aku ingin melahapmu,” jawab Ridel mengalihkan perhatian Fania. Dia tahu persis hanya itu satu-satunya cara untuk menghadapi sosok seperti Fania, yang selalu penasaran. Fania mendengus dan langsung melemparkan bantal yang ada dikasur kepada Ridel. Bukkk !!! “Ternyata kau tak ada bedanya dengan pria bajingan lainnya. Kau ingin tubuhku sebagai balas budi karena telah menolongku, kan? Baik! Silahkan!” geram Fania sambil membuka kancing pakaiannya satu demi satu. Ridel mendekati Fan
*** Brakkk !!! Pria tampan yang mengenakan pakaian hitam-hitam itu mengebrak meja dengan keras. Fania ... kita lihat sampai kapan keberuntungan akan ada dipihakmu! "Siapa yang menolongnya?" tanya pria tampan itu terlihat marah. "Ridel, bos." Prangg !!! Prangg !!! Pria itu melemparkan barang apa saja yang berada disisinya, sehingga membuat anak buahnya semakin ketakutan. “Kau ke sini!” perintah pria tampan itu kepada seorang gadis yang merupakan anak buahnya. Dengan gemetar gadis itu mendekat. Belum sempat bertanya, pria tampan itu sudah menarik kasar rambutnya dan merobek pakaian yang dikenakan sang gadis. “Sesuai perrintah kakakku, tangkap Fania dan perlakukan dia seperti ini!” geram pria tampan itu marah. Tangannya tidak berhenti sampai di situ, dia menggenggam bukit kembar gadis itu dan meremasnnya dengan ganas. Auw ... Gadia itu merintih kesakitan, “Bos, sakit.” “Buat dia menjerit seperti ini!” “Bos, sakit,” rintih gadis itu tapi takut untuk melawan.