Tanggal 23. Waktu masih pagi hari. Jam masih menunjukkan pukul tujuh. Tapi suasana di sekitar gedung pusat perkantoran Keluarga Charles sudah dipadati oleh banyak orang. Mereka yang datang berasal dari kalangan ternama. Setiap yang ada di sana mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin melakukan kerja sama dengan Group Charles. Proyek pembuatan apartemen dengan fasilitas lengkap itu mempunyai nilai yang sangat besar. Kabarnya, anggaran yang diperlukan pun lebih dari seratus juta dolar. Kabar ini sudah menyebar luas ke seluruh Kota Phoenix. Seluruh keluarga kaya menginginkan kerja sama itu. Bahkan mereka yang berasal dari Sepuluh Keluarga Terkaya pun ada yang berminat untuk ikut bergabung. "Aku harus bisa mendapatkan kerja sama dengan Grup Charles," "Bagaimanapun caranya, aku harus bisa mendapatkan bagian," "Aku yakin, Keluarga Charles pasti akan menerimaku. Apalagi aku berasal dari keluarga yang satu kelas dengannya," "Proyek ini sangat besar. Aku harus bisa mendapa
"Jangan khawatir, Tuan Steven. Kami berdua akan membantumu untuk mendapatkan Luna, bagaimanapun caranya," ujar Jason berusaha meyakinkan Steven. "Baiklah. Aku percaya. Aku serahkan masalah ini kepada kalian berdua," Suami istri itu merasa senang. Langkah awal mereka sudah berhasil. Keduanya tinggal memikirkan langkah selanjutnya. "Tapi, ..." Laura ingin berkata lebih lanjut. Namun dia mengurungkan niatnya sambil memasang wajah bimbang. "Tapi apa?" "Ibu Luna itu sangat matreliastis, aku takut dia tidak percaya kalau Tuan Steven menginginkan Luna," Steven Benjamin bukan orang bodoh. Dia segera mengerti, "Berikan nomor rekeningmu," pintanya kepada Laura. Laura kegirangan. Ia langsung memberikan nomor rekeningnya kepada Steven. "Aku sudah mentransfer sepuluh ribu dolar. Apakah itu cukup?" Sepuluh dolar? Hanya hal sepele seperti ini Steven bahkan mengirimkan uang sebanyak itu? "Cukup, Tuan Steven. Bahkan ini terlalu banyak," "Baik, kalau begitu kamu atur saja
Setelah menemukan tempat yang aman, David langsung menelpon Austin. Kemarin Daniel sudah mengirimkan nomor telponnya. Ponsel Austin tiba-tiba berdering. Nomor tak dikenal menelponnya. Tadinya dia tidak mau mengangkat telpon tersebut, tapi karena penasaran, Austin memutuskan untuk mengangkatnya. "Hallo, siapa ini?" "Aku orang yang memanggilmu beberapa hari lalu," jawab David dengan nada dingin. Mendengar jawaban tersebut, Austin seketika merasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Keringat langsung membasahi punggung. Sikapnya berubah. Yang tadinya tegas, sekarang menjadi lunak. "Tu-tuan Dewa Iblis, ada perintah apa?" tanyanya terbata-bata. "Istriku sudah masuk ke kantormu. Tapi resepsionis telah menolaknya mentah-mentah. Dia bahkan berani menghina istriku!" Amarah Austin langsung meledak. Hampir saja ia menggebrak meja di hadapannya. "Ba-baiklah, aku akan segera turun ke bawah dan menangani semuanya. Istri Tuan boleh kembali masuk," katanya ketakutan. "Ingat Austin! Aku bisa d
Luna terkejut. Dia kebingungan untuk beberapa saat. "Simpan saja semua data itu, Nona. Aku tidak membutuhkannya sama sekali," "Maksud, Tuan?" "Aku mau bekerja sama denganmu, Nona. Ini surat kontraknya. Kalau masih ada bagian yang tidak puas, Nona bisa mengatakannya secara langsung kepadaku," ujar Austin sambil memberikan surat kontrak kepada Luna. Melihat itu, Luna kembali mematung. Hatinya langsung diliputi oleh pertanyaan. Apakah ini mimpi? Apakah Austin serius dengan ucapannya? Luna hampir tidak percaya. Ia mencubit kulit tangannya sendiri. Tapi dia langsung kesakitan. Berarti kejadian ini bukan mimpi! "Tuan Austin, kau serius, kan?" tanya Luna ragu-ragu."Tentu saja, Nona. Kenapa tidak?" Austin mengangkat kedua alisnya. "Tapi, aku bukan berasal dari keluarga kelas satu. Keluarga George hanya termasuk dalam jajaran keluarga kelas dua. Semua usaha keluargaku juga tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang lain," ucap Luna berkata dengan jujur. "Lalu, masalahnya di
"Nenek bilang juga apa, kamu pasti bisa mendapatkan kontrak kerja sama itu, Luna. Kau benar-benar cucuku yang paling bisa diandalkan!" Nyonya Agatha berkata sedikit keras sambil tertawa. Saking girangnya, ia bahkan mencium pipi kanan dan kiri Luna. Wanita tua itu lalu membawa Luna masuk ke dalam. Dia tidak memperdulikan David yang pada saat itu berdiri di belakang Luna. Setelah berada di ruang tamu, tidak lama kemudian muncul Alice suami istri dan juga orang tua Luna. Kebetulan mereka pun sedang berkumpul di sana. "Selamat, Luna. Aku bangga kepadamu," ujar Alice sambil menjabat tangan dan memeluknya. "Kau hebat, Luna," Jason juga memujinya. "Benar-benar anak yang pintar. Tidak sia-sia aku mengurus dan membesarkanmu, Luna," Nyonya Elena juga sangat senang. Dia memeluk Luna dengan erat. Henry merasakan hal yang sama. Namun dia tidak berkata apa-apa kecuali hanya mengucapkan selamat."Duduk dulu, Luna. Duduk!" kata Nyonya Agatha. Luna mengangguk. Ia menuruti ucapan neneknya. "Co
Di rumah Nyonya Agatha. Laura dan Nyonya Elena sedang duduk di taman belakang. Saat ini dia sudah memulai 'misi' yang diberikan oleh Steven Benjamin. Ia telah menceritakan semuanya kepada Nyonya Elena. "Laura, kamu serius? Benarkah Tuan Steven menginginkan Luna?" "Aku serius, Tante. Aku tidak bercanda. Jason menjadi saksinya," jawab Laura berusaha meyakinkannya. "Tuan Steven memang menyukai Luna. Bahkan dia menitipkan hadiah buat tante," "Hadiah? Hadiah apa?" tanya Nyonya Elena antusias. "Uang. Dia telah menitipkan uang sebanyak tujuh ribu dolar untukmu. Tuan Steven bilang bahwa ini hanya hadiah kecil. Mungkin dalam waktu dekat, dia akan memberikan hadiah yang jauh lebih besar lagi asalkan Luna bisa menjadi miliknya," Laura sengaja tidak memberikan semua uang itu. Sebab dia pun juga menginginkannya. Sepuluh ribu dolar itu sudah terhitung banyak, apalagi uang itu diberikan dengan percuma. Siapa pun yang menerimanya, dia pasti akan senang. Begitu juga dengan Nyonya Elena sendiri.
Dia melihat tepat di bawah pintu masuk ada beberapa foto yang memperlihatkan dua orang. Luna segera mengambilnya. "Luna, ada apa?" tanya David curiga saat Luna memandangi layar ponsel dengan serius. Luna segera menoleh. Dia menatap David lekat-lekat. "Tadi kamu bilang pergi ke danau pusat kota untuk mengantar Ibu, kan?" tanyanya dengan nada sengit. "Iya, memangnya kenapa?" "Kamu tidak bohong, David?" "Tidak," David menggelengkan kepala. "Apakah kamu kira aku berbohong?" "Ya, jelas. Kamu memang berbohong. Kamu adalah pria pembohong, David!" "Luna, apa maksudmu? Kenapa kamu tiba-tiba marah seperti ini?" David kebingungan. Dia tidak tahu kenapa Luna tiba-tiba berubah menjadi marah. Padahal sesaat sebelumnya ia terlihat baik-baik saja."Lihat ini!" kata Luna dengan tegas sambil memberikan foto yang telah ia pungut.Saat David melihat foto tersebut. Dia pun ikut kaget. Foto itu memperlihatkan ketika wanita asing yang sebelumnya mengaku terpeleset sedang merangkul David. Momennya
"Baik, Tuan," salah satu wanita cantik berkata dengan patuh dan takut. Mereka sudah tahu bahwa David adalah pemilik dari Cafe Hitam, jadi tidak ada satu pun yang berani membantah perintahnya. Wanita itu buru-buru keluar dan langsung pergi ke ruangan manager untuk menyampaikan perintah David. Tidak lama kemudian, seorang pria paruh baya masuk dengan tergesa-gesa. Ia masuk ke dalam ruangan sambil membungkukkan badan dan berdiri hormat di depan David. "Apakah Tuan memanggil saya?" tanyanya ketakutan. "Ya," jawabnya. "Siapa yang berani mencari masalah di tempatku?" "Aku belum tahu, Tuan. Tapi aku sudah meminta security untuk mengatasinya," kata sang manager. "Pria itu datang untuk minum dengan seorang kekasihnya. Dia ingin memesan ruangan VIP. Tapi seluruh meja sudah terisi penuh. Pelayan sudah berusaha menjelaskannya. Namun dia tidak terima dan akhirnya membuat keributan," David kembali melihat ke arah CCTV. Saat itu, dua orang security terlihat berhasil mengusir si pria yang membu
Sean sedikit gugup. Dia segera menoleh ke arah Daniel yang baru saja masuk ke dalam ruangan. "Pelindung Daniel, tahan dulu emosimu. Aku bisa menjelaskan semuanya," katanya berusaha menenangkan Daniel. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Sean," ucap Daniel yang langsung menyebut namanya. "Apapun alasanmu, jawabannya tetap sama. Kau sudah tidak menganggap Empat Pelindung yang sebelumnya. Lebih dari itu, artinya kau juga sudah tidak menghargai Tuan Dewa Iblis," Suasana di sana langsung tegang. Ketegangan saat ini lebih dari sebelumnya. Sean kebingungan. Dia tidak tahu harus menjawab apa."Katakan saja sejujurnya, Sean. Sekarang kau sudah tidak bisa berbohong lagi," Ketika semua orang sedang terdiam, tiba-tiba Valentino muncul dari luar. Dia tampak tersenyum sinis saat menatap ke arah Sean. "Valentino, kau ...," "Kenapa? Kau terkejut, bukan?" senyuman Valentino semakin melebar. Dia sudah lama menunggu saat-saat seperti ini. "Dugaanmu benar, orang yang telah menyebarkan semua inf
Sean sangat penasaran terkait kedatangan David dan Daniel. Dia yakin, alasan kenapa mereka kemari bukan karena ingin berkunjung saja. "Baiklah, sambut kedatangan mereka sebaik mungkin," ucap Sean memberi perintah kepada anggota yang melapor. "Baik, Ketua," Anggota itu kemudian segera pergi. Dia langsung membuat persiapan untuk menyambut kedatangan David dan Daniel. "Tuan, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" tanya Daniel sambil berbisik di sisi telinga David. "Kau diam saja. Biar aku yang mengurusnya," Daniel mengangguk. Dia tidak banyak bicara lagi. David kemudian mengajak Daniel dan Luna untuk masuk ke dalam markas. Begitu mereka tiba di depan pintu masuk, dua puluh orang segera menyambutnya. Mereka memberikan hormat dengan cara membungkukkan badan kepada David. "Salam kepada Tuan Dewa Iblis. Selamat datang kembali di markas Organisasi Naga Hitam," kata dua puluh orang itu secara bersamaan.David hanya tersenyum simpul. Ia kemudian memberi isyarat supaya mereka kembali
Daniel tidak berani berkata lebih lanjut. Saat ini dia sudah merasa sedikit tertekan oleh aura pembunuh yang dilepaskan oleh David. "Dari mana kau mendapat informasi ini?" tanya David setelah merasa sedikit tenang. "Valentino yang mengabarkan langsung kepadaku, Tuan," David mengangguk. Sepertinya setelah bertemu dengan dia sebelumnya, Valentino kembali berpihak kepada David. Sehingga dia menyampaikan informasi ini. "Lalu, bagaimana dengan anggota yang masih memihak kepada kita?" "Aku belum tahu pasti, Tuan. Tapi sepertinya mereka akan berada dalam ancaman kalau keadaan ini terus dibiarkan," David merenung beberapa saat. Kalau benar apa yang disampaikan oleh Daniel, maka situasi di Organisasi Naga Hitam sedang tidak baik-baik saja. Sebagian anggota itu sudah sangat banyak. Apalagi di markas pusat mereka setidaknya ada sepuluh ribu anggota. Belum lagi mereka yang berada di markas cabang lainnya. Kalau ditotal, seluruh anggota yang berada di satu provinsi saja mungkin mencapai ju
"Tentu saja tidak, Luna. Aku serius," kata David sambil menjawab dengan tersenyum. Dia kemudian duduk di sofa dan mulai membakar rokok. "Tapi ..., tapi kenapa mereka mau diperintah olehmu? Bukankah mereka adalah adalah orang-orang penting dengan jabatan tinggi, yang bahkan semua penduduk Kota Phoenix pun sangat menghormatinya?" Luna tidak habis pikir, mengapa orang-orang seperti Komisaris Jenderal Oscar dan Mayor Jenderal Freddy mau 'diperalat' oleh David? Wanita cantik itu tampak berdiri termenung untuk beberapa saat. Sepertinya Luna sedang memikirkan alasan dibalik hal tersebut. Ketika dia kebingungan, David terdengar bicara lagi. "Jangan lupakan siapa aku sebenarnya, Luna," ujarnya dengan santai. Kesadaran Luna seolah-olah baru kembali, setelah mendengar ucapan David, sekarang dia tidak terlalu penasaran.Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, apakah status Dewa Iblis begitu menakutkan sehingga orang seperti Komisaris Jenderal Oscar dan Mayor Jenderal Freddy pun m
Perlu diketahui, Mayor Jenderal Freedy adalah orang yang berasal dari dunia militer ketentaraan. Di Kota Phoenix, ia memimpin setidaknya seribu tentara yang bertugas untuk menjaga keamanan kota dari berbagai macam ancaman yang dapat membahayakan. Semua orang di Kota Phoenix sangat menghormatinya, sama seperti mereka menghormati Komisaris Jenderal Oscar. Bahkan mungkin lebih dari itu. Karena alasan itulah para pengunjung tadi merasa takut sekaligus hormat kepada dua sosok tersebut. Namun tanpa sepengetahuan banyak orang, di hadapan David Smith, yang terjadi justru adalah sebaliknya. Bukannya David yang menghormati mereka, melainkan mereka yang sangat menghormati David. "Tuan, ada keperluan apa sehingga kamu mengundang kami kemari?" tanya Mayjen Freedy sudah tidak bisa menahan rasa penasaran. Sejak kedatangannya hingga saat ini, Mayjen Freedy sangat jarang memberikan senyuman. Berbeda dengan Komisaris Jenderal Oscar yang lebih sering tersenyum simpul ketika berbicara.
"Tenang saja, Luna. Malam nanti aku akan bertemu dengan teman lama. Kamu tidak perlu khawatir," ujar David berusaha menenangkan Luna. Dia kemudian menyuruhnya untuk masuk lebih dulu ke mobil. Sedangkan David memanggil para security yang masih bersembunyi di sana. Mendengar David memanggilnya, mereka buru-buru menghampiri dengan rasa campur aduk. "Ada apa, Tuan?" tanya salah satu security dengan rasa takut dan penuh hormat. "Singkirkan mayat-mayat ini ke tempat aman. Bereskan semuanya secepat mungkin. Satu lagi, jangan sampai ada orang luar yang mengetahui tentang kejadian di sini. Kalau sampai ada yang tahu, aku rasa kalian sudah mengerti apa akibatnya," David bicara dengan nada datar. Ekspresi wajahnya tampak begitu dingin. Hal itu membuat semua security lebih ketakutan. "Baik, Tuan. Kami mengerti," jawab mereka secara bersamaan. "Bagus. Kerjakan sekarang juga!" Security itu mengangguk. Mereka langsung melaksanakan perintah yang telah diberikan oleh David. Setelah itu dia sen
"Apa?" Martin membelalakkan mata. Dia seakan tidak percaya dengan telinganya sendiri. "Bukankah sebelumnya kamu ingin bergabung dengan organisasi itu dan menjadi pengikut setia Dewa Iblis?" tanya David sambil mengerutkan kening. "Benar. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa bergabung dengan organisasi itu?" "Kenapa tidak? Asal kamu bersedia, maka kamu bisa bergabung," "Maksudmu, kamu adalah ..." "Dewa Iblis. Dia adalah Dewa Iblis yang selama ini dibicarakan oleh banyak orang," ujar Daniel sepatah demi sepatah. "A-apa?" Martin kehabisan kata-kata. Dia tidak tahu harus bicara apalagi. Perasaan haru segera menyelimuti tubuhnya. "David, apakah ... apakah yang dikatakan oleh orang ini benar?" tanya Martin masih belum percaya. "Bukankah kamu sudah melihat buktinya sendiri?" Martin memukul kepala sendiri. Dia merasa sangat bodoh. Setelah sadar, dia langsung menjatuhkan dirinya untuk berlutut di hadapan David. "Bangunlah, Martin. Kamu tidak perlu melakukan hal ini,"
David hanya tersenyum sinis. Dia tidak mengindahkan sama sekali rintihan Hugo. Karena tidak kuat menahan siksaan yang entah kapan ujungnya itu, akhirnya Hugo pasrah. Dia menggigit lidahnya sekuat tenaga sampai lidah itu putus. Tidak lama kemudian, Hugo tewas dengan kondisi mengenaskan. Darah segar memenuhi seluruh mulutnya. Begitu kepala Hugo terkulai, darah segar tersebut langsung meleleh keluar. "Ayah!" Melvin berteriak sekeras mungkin saat mengetahui kalau nyawa ayahnya sudah melayang. Dia ngin meronta dan membunuh David. Sayangnya, Melvin tidak bisa melakukan apapun. "David, apa yang kamu inginkan sebenarnya?" tanya Melvin dengan rasa takut yang mendalam. "Aku hanya ingin kalian tahu bahwa di atas langit masih ada langit," jawab David dingin. "Lalu ..., lalu apa yang akan kamu lakukan kepadaku?" "Bukankah sebelumnya kamu ingin membunuhmu?" Melvin diam saja. Dia tidak berani memberikan jawaban. "Jawab!" bentak David. "Iya, iya. Aku memang ingin membunuhku. Sayangnya kes
Di Hotel Apartemen Awan Cerah. Bersamaan dengan semua kejadian, tidak lama setelah alat berat dan orang-orang itu datang, sebuah Supercar tiba-tiba muncul dan parkir di depan halaman. "Tuan Muda Arthur!" ucap Martin dan Jasmine secara bersamaan. Mereka memandangi mobil mewah tersebut dalam diam. Melvin dan Hugo Arthur keluar dari mobil secara bersamaan. Mereka berdiri tegak sambil memandangi Hotel Apartemen Awan Cerah dengan tatapan sinis. Melihat keduanya keluar, Jeff langsung berjalan menghampiri. Begitu isyarat diberikan, lima puluh alat berat itu segera dibunyikan kembali. Suara bergemuruh terdengar lagi. Tanah pun kembali bergetar. "Mana atasanmu itu?" tanya Hugo Arthur kepada Martin dan Jasmine. "Dia ..., dia sudah pulang, Tuan," jawab Jasmine gemetar karena ketakutan. "Suruh dia kembali ke sini!" "Su-sudah, Tuan. Nona sudah dalam perjalanan,""Baik, aku akan menunggunya. Aku ingin melihat reaksinya bagaimana," Suasana di sana langsung berubah menegangkan. Semua karya