Share

Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!
Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!
Penulis: Rachma

Bab 1 Seperti Pembantu

Penulis: Rachma
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-06 23:12:00

Bab 1

"Ibu! Ibu, sengaja merusak bajuku ini ya! " Aku yang baru menginjakkan kaki di teras rumah, terkejut mendengar suara bentakan dari Mbak Sinta, kakak iparku.

Tanpa mengucapkan salam aku langsung melangkah cepat memasuki rumah. Setelah berada didalam rumah aku mencari asal suara tadi. Sepertinya dari arah dapur.

Benar dugaanku di dapur aku melihat ibuku sedang tertunduk, dan didepannya terlihat Mbak Sinta yang sedang berkacak pinggang, dengan mata melotot melihat kearah ibuku.

"Jawab, Bu! Ibu memang sengaja kan! " bentak Mbak Sinta lagi. Ibuku hanya diam diperlakukan seperti itu.

Aku yang tak terima ibuku di perlakukan seperti itu, langsung melangkah cepat menghampiri ibuku.

"Ini ada apa, Mbak! Mbak Sinta kenapa membentak Ibuku seperti itu! " tanyaku dengan penuh amarah. Siapa yang tidak akan marah kalau ibunya diperlakukan seperti itu.

"Bagus, Anak manja sudah pulang! Bilangin tuh sama Ibu kamu, kalau ngerjain sesuatu itu yang benar, bukan seenaknya sendiri, " ucap Mbak Sinta dengan ketus.

"Emangnya kenapa, Mbak? Apa yang Ibuku lakukan?" tanyaku penuh penekanan.

"Tanya aja sama Ibumu itu, " sahut Mbak Sinta sambil menatap sinis ibuku.

"Ini ada apa, Bu? " tanyaku lembut pada seseorang yang telah melahirkanku ini.

"Ma-maafkan I-Ibu, Nak. I-Ibu ng-nggak sengaja membuat ba-baju Mbak mu lu-luntur, " ucap ibuku tergagap, seperti ketakutan. Dan itu membuat hatiku merasa sakit, karena belum bisa melindunginya.

"Apa! Ibu bilang nggak sengaja? " bentak Mbak Sinta lagi.

"I-iya, Ibu nggak sengaja, " jawab ibuku lirih.

"Jangan mengelak, Bu! Ibu itu memang sengaja mau ngerusak bajuku ini, kan! Ini tuh baju kesayanganku, Bu! Harganya mahal! " tuduh Mbak Sinta sambil menunjuk Ibu dengan telunjuknya.

"Mbak Sinta! " bentakku pada Mbak Sinta. Aku menurunkan telunjuk Mbak Sinta dengar kasar. Rasanya aku ingin mematahkan telunjuk itu, yang beraninya digunakan untuk menunjuk ibuku. "Mbak Sinta sudah mendengar sendiri, kalau Ibuku nggak sengaja melakukannya, kan? Lagi pula, kenapa bisa baju Mbak Sinta dicuci sama Ibuku! "

Wajah Mbak Sinta memerah, sepertinya dia kesal aku menanyakan itu.

"Ya, karena aku sedang sibuk mengurus Sindi. Jadi aku minta Ibu mencuci bajuku. Kenapa? Ada masalah? " tanya Mbak Sinta dengan mudahnya.

"Mbak Sinta pikir Ibu itu pembantu di rumah ini. Ibu itu pemilik rumah ini! Mbak Sinta itu yang menumpang dirumah ini. Jadi perlu Mbak camkan, kalau Ibuku bukan pembantumu, Mbak! " ucapku dengan tegas.

Ibuku memegang pundakku, dan menyuruhku untuk diam. "Sudah, Nak. Jangan begitu sama Kakak iparmu, Ibu juga yang salah karena tak hati-hati, sehingga baju Sinta jadi luntur. "

"Kamu dengar itu Anak manja! Jadi aku nggak mau tau Ibu harus ganti rugi karena itu baju mahal! " bentak Mbak Sinta seraya melemparkan baju yang berada di tangannya ke muka ibuku. Lalu setelah itu melenggang pergi seenaknya.

"Mbak Sinta! " teriakku, tetapi Mbak Sinta tetap melangkah dan mengabaikan panggilanku.

"Sudah, Nak. Ibu nggak apa-apa, " ucap ibuku sambil mengusap pundakku.

"Ibu. Mbak Sinta itu sudah keterlaluan, Bu. Kenapa Ibu selalu begini, mengalah, mengalah dan selalu mengalah. Kenapa, Bu? " tanyaku sambil menatap mata ibuku.

"Sudah, Nak. Ibu nggak apa-apa, " jawab ibuku. Tetapi aku melihat ada raut kesedihan dimata ibuku.

Tak tahan melihat itu aku berlari menuju kamarku, dan segera menelungkupkan wajahku kebantal. Pasti wajahku sudah penuh dengan deraian air mata yang membasahi pipiku. Aku sakit hati, aku tak terima kalau ibuku diperlakukan seperti itu. Tapi aku juga kecewa dengan ibuku yang selalu mengalah pada menantunya itu.

Sudah hampir tiga tahun ibuku selalu diperlakukan seperti itu. Sejak Bapakku meninggal saat aku masih mengenyam bangku SMP. Dan sekarang aku sudah mau lulus SMA, tinggal menunggu pengumuman.

Mbak Sinta adalah istri dari Mas Dika, kakak kandungku. Mereka menikah sudah hampir enam tahun ini. Dan sekarang mereka sudah dikarunia dua orang anak, Bian dan Sindi. Bian sudah berumur lima tahun kurang sedikit. Sedangkan Sindi dia baru beberapa bulan lahir.

Awal pernikahan mereka, semua baik-baik saja. Karena tiga tahun pertama Mbak Sinta dan Mas Dika bertempat tinggal di rumah orang tua Mbak Sinta.

Tetapi semenjak bapakku meninggal, ibuku meminta Mas Dika untuk tinggal bersama kami. Dan sejak itulah Mbak Sinta mulai semena-mena pada ibuku.

Apalagi sejak kelahiran Sindi, ibuku seperti dijadikan pembantu oleh Mbak Sinta. Pernah suatu ketika saat aku pulang dari sekolah, sekitar jam sepuluhan. Masih pagi, karena aku sedang melaksanakan Ujian nasional. Aku melihat ibuku menyapu rumah, mungkin hal yang wajar, tetapi yang aku heran Mbak Sinta dengan nyamannya duduk di sofa sambil memangku Sindi, dan memakan kuaci yang kulitnya dibuang ke lantai dengan sembarangan. Aku saat itu belum berani membentak Mbak Sinta.

Aku segera meletakkan tasku ke kamar, dan melepas sepatuku. Kemudian aku menghampiri ibuku dan mengambil alih sapu itu dari tangan ibuku. Awalnya ibu menolak aku bantu, dengan alasan kasihan karena aku baru saja pulang sekolah. Tetapi setelah aku yakinkan akhirnya ibuku mau.

"Mbak, kalau makan kuaci kulitnya dikumpulin dong. Jangan di buang sembarangan begini, " ucapku, ketika menyapu didekat Mbak Sinta.

"Terserah aku lah. Kan ada kamu yang beresin, " sahut Mbak Sinta enteng.

"Enak banget. Mbak yang makan kuaci aku yang suruh bersihin kulitnya, "ucapku mencoba sabar.

"Kan aku sedang sibuk ngurusin Sindi, jadi nggak ada waktu untuk bersih-bersih, "tungkas Mbak Sinta masih terus memakan kuacinya.

"Itu Sindi kan sudah tidur, Mbak. Mbok ya ditidurin di kamar saja, jadi Mbak bisa bantu-bantu Ibu bersih-bersih, " ucapku sambil melongok Sindi yang sudah tidur dipangkuan Mbak Sinta.

"Nggak, ah. Aku juga ngantuk, karena capek ngurusin Sindi. Aku juga mau tidur aja, " ucap Mbak Sinta sambil beranjak dari duduknya dan melenggang menuju kamarnya.

***

Siang harinya setelah capek menangis, dan merasakan perutku sudah keroncongan. Aku bangun dari berbaring ku, dan menuju toilet untuk mencuci mukaku. Saat aku melewati dapur ingin ke toilet, aku melihat ibuku yang sedang memasak. Dimanakah istri kesayangan Mas Dika itu? Kok ibu masak sendiri?

Segera aku masuk ke toilet dan membersihkan wajahku dan sekalian mengambil air wudhu.

"Bu, gorengin Bian telur! Sama aku pingin makan ayam goreng, jadi goreng ayam sekalian ya! " Suara Mbak Sinta terdengar sampai ke dalam toilet.

Aku yang mendengarnya mengepalkan tanganku, menahan emosi. 'Astagfirullah, Mbak Sinta. Kamu itu keterlaluan! '

geramku dalan hati.

Aku segera keluar dari toilet, tetapi terlihat Mbak Sinta yang sudah melenggang pergi dari dapur menuju kamarnya.

"Ibu ..., kenapa Ibu diam saja, diperlakukan Mbak Sinta kayak gitu? " ucapku lesu.

"Sudahlah, Nak. Nggak apa-apa. Kamu pasti lapar ya, ayo makan. Ibu udah masakin tahu balado kesukaanmu. " Mendengar jawaban ibuku, perutku makin keroncongan. Tetapi aku masih kesal pada ibuku, yang tak melawan ketertidasan Mbak Sinta itu.

"Bu ..., Mbak Sinta itu juga punya tangan dan kaki. Masak cuma goreng telur sama ayam aja harus perintah Ibu, sih? " tanyaku mencoba lebih tenang. Tapi dalam hatiku aku mengucapkan istigfar agar tak terpancing emosi.

"Ibu, nggak apa-apa, Nak. Mungkin Mbakmu sedang capek karena mengurus Sindi dan Bian," ucap ibuku sembari mengambil telur dan ayam ungkep dikulkas.

"Teruuusss ..., aja itu alasannya. Sampai bosen aku, Bu. Kenapa Ibu nggak ngusir Mbak Sinta aja sih, Bu. "

Bab terkait

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 2 Dibutakan Cinta

    Ini adalah rumah milik orangtuaku, kenapa juga ibuku mau-maunya diperlakukan buruk oleh menantunya. Ibuku yang memiliki hak penuh atas rumah ini, ibu bisa dengan mudah mengusir menantu seperti Mbak Sinta itu. Tetapi tidak, ibuku malah dengan sabar menghadapi kelakuan menantunya yang super menyebalkan itu. Kalau aku jadi ibu, pasti sudah lama aku mengusir menantu seperti Mbak Sinta itu. Biarkan dia tinggal bersama orangtuanya aja. "Huss ..., kamu itu ngomong apa toh, Nak! " tegur ibuku yang sedang mengambil penggorengan. "Habisnya aku kesel banget sama Mbak Sinta. Lagaknya kayak bos besar. Huuh," ucapku kesal. "Sinta itu istri dari Mas mu, Nak. Jadi dia bukan orang lain dikeluarga kita. Jangan kamu ngomong ngusir-ngusir gitu. Nggak baik, " tutur ibuku yang sedang menggoreng ayam. "Terserah Ibu aja kalau gitu. Aku lapar mau makan dulu. " Aku segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk kesukaanku ini, tahu balado. Aku in

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-14
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 3 Dasar tak tau malu!

    Bab 3Pov Sinta"Tumben cepat, Dek? " tanya Mas Dika kala aku baru saja duduk di kursi sebelah Mas Dika. "Mas, aku ada kabar baik, " ucapku dengan senyum terkembang di bibirku. "Kabar baik? Apa itu, Dek? " tanya Mas Dika seraya menghadap ke arahku. "Sebentar, " ucapku seraya membuka dompetku, dan mengeluarkan isinya. "Aku dapat arisan, Mas, " ucapku sambil mengipaskan uang ku ke wajahku. Aroma uang ini begitu harum, yang membuat hatiku berbunga-bunga. Pokoknya aku akan habiskan uang ini untuk bersenang-senang. "Emang dapat berapa sih, Dek? Kok kelihatannya banyak banget. ""Ada tiga juta, Mas, " ucapku merasa senang. Siapa yang nggak seneng coba, kemarin habis dikasih jatah bulanan Mas Dika. Hampir semua gaji Mas Dika diberikan padaku. Terus sekarang dapat arisan. Sungguh beruntungnya diri ini. "Wah, banyak juga ya, Dek, " ucap Mas Dika ikut senang. "Iya dong, Mas. Po

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-17
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 4 Menghadapi kakak ipar

    Bab 4"Bu, jadi kepasarnya? " tanyaku menghampiri ibuku di kamarnya. "Iya, Nak. Sebentar. Ibu siap-siap dulu, " jawab ibuku sembari melipat mukenanya. Mungkin ibu baru saja selesai sholat subuh. Karena memang ini masih sangat pagi. Kebetulan aku sedang halangan, jadi setelah bangun tidur aku segera mandi dan bersiap-siap mengantar ibuku ke pasar untuk membeli keperluan jualannya. Hari ini ibuku sudah mulai membuka warung kopi nya lagi, setelah beberapa hari libur tak jualan. Kemarin ibu mengatakan kalau pagi ini mau kepasar. Aku dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarnya. Karena hari ini memang siswa siswi kelas tiga sudah tak ada kegiatan di sekolah. Hanya tinggal menunggu ijazah keluar. Alhamdulillah aku dinyatakan lulus, dan aku juga bersyukur karena aku masuk dalam daftar siswa yang bisa mendaftar ke Universitas tanpa tes. Alias jalur undangan, yang diberikan untuk siswa siswi berpotensi. Tentunya masih tetap harus dis

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-19
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 5 Penyebab

    "Astagfirullahaladzim ..., ada apa ini, Nak? " Aku menoleh ternyata ibu sudah berada di pintu masuk dapur, dengan ekspresi terkejut melihat hampir semua belanjaan berceceran di lantai. "Tanya sama menantu kesayangan Ibu itu, " ucapku menunjuk ke arah Mbak Sinta yang bersikap angkuh seolah-olah tak merasa bersalah. Ish, pengen ku cakar wajah Mbak Sinta itu. "Ini ada apa, Nak Sinta? " tanya ibu mendekat ke arah ku dan Mbak Sinta. "Tanya aja sama anak manja ini, " jawab Mbak Sinta acuh tanpa adanya sopan santun, seperti tak menghormati ibuku sebagai mertuanya. "Heh, Mbak Sinta! Jelas-jelas Mbak yang berantakin semua ini! Sekarang tanggung jawab, beresin semua ini!" bentakku dengan melotot ke arah Mbak Sinta."Enak aja, situ yang salah kenapa aku yang harus beresin, " ucap Mbak Sinta sambil memainkan kuku-kuku panjangnya. Aku juga heran dengan Mbak Sinta, dia punya bayi tapi kok malah memanjangkan kuku nya. Seperti tak takut kal

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-08
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 6 Lolos seleksi

    "Apa? Apa yang kamu katakan tadi? Kamu mau mengganti uang itu? Ha ha ha, kamu mau mengganti uang itu dengan apa? Dengan daun? Atau dengan batu? Ha ha ha. Sudah deh, jangan bercanda! Ha ha ha. " Tawa mengejek dari Mbak Sinta menggelegar di ruang dapur ini. "Sudah, Nak. Nggak usah diperpanjang, biar ibu saja yang menanggungnya, " ucap ibuku yang masih mengalirkan air matanya. "Tapi, Bu ..., " ucapku memelas, tapi terpotong oleh elusan ibuku di lenganku. Dan gelengan lemah kepalanya. "Sudah deh, nggak usah drama gitu. Kamu anak manja sekarang beresin ini semua. Dan Ibu cepat buatkan aku sarapan. Aku mau rebahan dulu, capek meladeni anak manja ini, " ucap Mbak Sinta kemudian melenggang pergi. Hatiku rasanya sangat panas mendengar ejekan dari Mbak Sinta. Memang benar untuk sekarang aku belum bisa mengganti uang itu, tapi aku akan bertekad mengganti uang itu, agar ibuku tak diperlakukan semena-mena lagi. "Nak, yang sabar ya. Sudah ngg

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-11
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 7 Bujuk Rayu Sinta

    Pov Sinta"Oh, ini, Dek. Zahra diterima kuliah di Universitas ternama, " jawab mas Dika kala aku ikut duduk di sebelah mas Dika. "Wah, iya, kah? Selamat ya Zahra, " ucapku pura-pura ikut senang. Padahal di hatiku mengatakan hal yang lain. Zahra terlihat cuek kepadaku, karena dia hanya memutar bola matanya menanggapi ucapan selamatku. Aku tak perduli hal itu, karena menurutku di terimanya Zahra di Universitas berarti biaya yang dikeluarkan mas Dika akan semakin banyak juga, sehingga jatah bulanan ku pasti akan berkurang lagi. Tidak bisa terjadi, hal ini jangan sampai terjadi. Aku harus cari cara agar mas Dika tak membiayai Zahra kuliah, apalagi tadi samar-samar aku mendengar kalau mas Dika akan membiayai semua biaya kuliah Zahra. "Memangnya berapa rupiah untuk biaya daftar ulangnya, Dek? " tanya mas Dika sambil mencomot gorengan yang berada di depannya. "Kurang tau aku, Mas, pastinya berapa. Tapi kata teman-temanku

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-19
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 8 Harapan semu

    "Zahra! Sini! " Aku yang baru saja masuk ke rumah setelah menjemur cucianku, menoleh ke arah mas Dika yang sedang duduk di depan tv bersama secangkir kopi di depannya. "Ada apa, Mas. Aku mau naruh ember ke belakang dulu, " ucapku datar. Aku masih kesal dengan mas Dika, yang dari dulu selalu membela mbak Sinta, padahal jelas-jelas mbak Sinta yang memulai keributan di warung ibu kemarin. "Ya sudah. Nanti kalau sudah, kamu kesini lagi. Mas Dika mau bicara, " ujar mas Dika kemudian mengambil secangkir kopi yang berada di depannya lalu menyeruput nya. Aku tau itu kopi walau jarak ku berdiri dan mas Dika duduk tak terlalu jauh, dan aku bisa mencium aroma kopi yang biasa ibu buat. Melangkah ke kamar mandi ingin meletakkan ember yang aku bawa tadi, aku berpikir tumben mas Dika pagi-pagi memintaku bicara dengannya. Sepertinya ada hal serius yang akan di bicarakan. Biasanya pagi-pagi sebelum berangkat bekerja, pasti mbak Sinta akan bermanja-manja dulu dengan mas Dika. Tanpa rasa malu mbak S

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-01
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 9 Mencari Beasiswa

    "Zahra! Kok malah diam sih? " Aku yang sedang memikirkan perasaan ibuku, jika tau aku tak melanjutkan pendidikan ku, seketika sedikit tersentak ketika Amanda menepuk lenganku. "Eh, iya, Man. Kenapa? Tadi kamu ngomong apa? " tanyaku melihat Amanda yang mengerucutkan bibirnya kesal. "Ish, kamu itu ya, Ra. Aku tadi tanya kenapa kok kamu nggak jadi melanjutkan kuliah? " tanya balik Amanda. "Hufft ..., aku tak ada uang untuk membayar biaya kuliah, Man." Aku tertunduk lesu. Sebenarnya awalnya aku memang ingin setelah lulus aku mau langsung cari pekerjaan. Tetapi melihat ibuku yang sangat berharap aku meneruskan pendidikan ku ke perguruan tinggi. Membuatku berusaha mewujudkannya.Tetapi aku bingung harus bagaimana, biaya kuliah termasuk mahal. Tidak mungkin aku harus membuat ibu semakin banting tulang mencari uang untuk biaya pendidikan ku itu. Sementara saudara satu-satunya yang aku punya sudah angkat tangan tak mau ikut

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-08

Bab terbaru

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 45

    Pov Zahra"Ya Allah, berikan kesembuhan pada Ibuku, " doa yang aku panjatkan sejak tadi. Hatiku rasanya diliputi perasaan cemas, gelisah, dan marah sekaligus. Cemas dan gelisah memikirkan kondisi ibu yang sekarang berada di ruang UGD karena kondisi kesehatan ibu menurun dan harus segera ditindaklanjuti. Dan aku menahan amarah pada Mas Dika dan juga istrinya. Karena mereka kondisi ibu yang semula sudah membaik berubah seketika sejak kedatangan wanita itu. Aku duduk sendiri di depan ruang UGD. Tadi mas Dika sebenarnya ingin ikut menemaniku disini. Tapi karena hatiku sedang emosi aku mengusirnya. Entah sekarang dia berada dimana aku tak peduli. Sekarang yang kubutuhkan hanya sendiri, menenangkan hati dan berdo'a untuk kesembuhan ibu. Aku benar-benar takut jika sesuatu yang paling buruk menimpa ibuku. Aku takut kehilangan ibu, hanya dia yang aku punya sekarang ini. Kakak? Entahlah, aku seperti tak memilikinya semenjak

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 44

    "Bu ..., Ibu sudah sehat? " sapa Sinta pada ibu yang masih memalingkan mukanya. "Bu, " panggil Sinta lagi, tapi tak di tanggapi oleh ibu. "Bu, Sinta kemari ada yang mau di sampaikan pada Ibu. " Aku berusaha membujuk ibu agar mau melihat kami. "Kenapa kamu ajak dia kesini, Nak? " tanya ibu yang masih memalingkan wajahnya. "Sinta mau minta maaf, Bu, " ucap Sinta. "Nggak ada yang perlu di maafkan, semua memang salah Ibu, " ucap ibu dengan suara bergetar. "Tapi, Bu .... " ucapku terjeda, dengan ucapan ibu. "Nak, bawa dia pergi dari hadapan Ibu. Ibu mohon, Nak. Ibu takut. Ibu .... Aarrggh .... Jangan, Nak. Ibu mohon, jangan sakiti Ibu lagi. Ibu sudah lelah, Nak. Jangan bentak Ibu lagi .... " Ibu berteriak ketakutan yang membuatku menjadi panik. "Ibu, tenang, Bu, " ucapku mencoba menenangkan ibu. "Jangan, Nak! Ibu mohon jangan lagi!" teriak ibu semakin menjadi. Kali ini ibu tampak menutup wajahnya dengan kedua lengannya, seperti benar-benar ketakutan. Aku yang panik langsung kelu

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 43

    Bab 43Pov Dika"Kita ke rumah sakit sekarang! " ujarku datar kepada Sinta yang sedang menonton televisi. Dari tadi malam, aku mendiamkan Sinta. Ada rasa sakit hati setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh Sinta pada ibuku. Bukankah aku sudah melimpahkan kasih sayangku kepadanya? Tapi kenapa dengan teganya dia, istriku yang paling aku cintai mejadikan Ibuku menjadi seorang pembantu. "Emm ..., mau ngapain kita kerumah sakit, Mas? " tanyanya yang membuatku mengernyit. Dia lupa, apa pura-pura lupa dengan apa yang dia ucapkan malam itu, kalau dia akan minta maaf pada ibuku. Aku menghela nafas kasar, mencoba mengontrol emosiku. "Kamu lupa kalau kamu mau minta maaf pada Ibuku? ""Oh, i-itu ..., harus sekarang ya, Mas? Nggak nunggu Ibu pulang dari rumah sakit aja? " tanyanya yang membuat hatiku menjadi panas. "Sekarang! Atau kamu mau aku ....""Baiklah, Mas. Aku siap-siap sekarang, " ujarnya cepat, kemudian bangkit dan berjalan ke arah kamar kami. Tapi sebelum masuk ke kamar kami, Si

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 42

    Bab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 41

    Pov Dika"Mas, kamu sudah pulang? Bagaimana kondisi Ibu? Ibu baik-baik saja, kan? "Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung di berondong pertanyaan Sinta yang ternyata belum kembali tidur. "Kenapa belum tidur? " tanyaku datar, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa kepada istriku ini. Haruskah aku percaya pada ucapannya yang mengatakan dia tak pernah berbuat jahat pada ibuku, ataukah ucapan Zahra tentang Sinta yang benar? Aggh rasanya aku begitu pusing memikirkan ini semua. "Aku khawatir dengan kondisi Ibu, jadi aku tak bisa kembali tidur, " ucapan Sinta membuatku menatapnya. Tetapi tak kutemukan raut kesedihan di wajahnya. Hanya seperti ..., sedih yang dibuat-buat. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek, kan? Biar ku buatkan teh hangat untukmu, " ujar Sinta lembut sembari menuntunku duduk di depan televisi. Sinta berlalu menuju dapur, sementara aku mengusap wajahku kasar. Apa mungkin Sinta yang lemah lembut seperti itu bisa tega melukai hati ib

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 40

    "Sudah, Zahra. Ibu pasti akan baik-baik saja, " ucap mas Dika yang duduk di sebelahku. "Ini semua gara-gara istri kamu itu, Mas, " ujarku lirih tanpa menoleh ke arah mas Dika. "Apa maksud kamu, Zahra! " ucap mas Dika dengan nadatau tinggi membuat beberapa orang yang duduk tak jauh dari kami menoleh menatap ke arah kami. "Ya! Ibu sakit seperti ini karena ulah istri yang kamu cintai itu! " bentakku tak kupedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh pengunjung rumah sakit lainnya. Ya, kami sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Sementara ibu sedang di tangani di IGD. "Mohon maaf Mas Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini ya. Takut menganggu pasien lainnya, " ucap suster yang sudah berdiri di depan kami. "Baiklah, Sus. Kami minta maaf, " ucap mas Dika. Sementara aku memilih diam menenangkan diri. "Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, Ra? " tanya mas Dika yang nampaknya sudah lebih tenang. "Coba saja Mas Dika tanya sama istri kamu itu, Mas. Apa yang dia lakukan kepada Ibu,

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 39

    "Siapa kira-kira ya? Kenapa dia tau aku sedang bersedih? Apa mungkin Amanda? Tapi kenapa tiba-tiba dia ganti nomer? Ah, mungkin saja dia kehabisan kuota lalu pinjam ponsel adiknya, " gumamku lalu mengetik balasan untuk pesan itu. [Iya, Man. Terimakasih, ya. Maaf tadi aku ninggalin kamu, ]balasku dengan disertai emoticon wajah sedih. Pesan yang aku kirim langsung centang dua biru, dan tak lama ada tulisan mengetik pada profilnya. [Man? Maksudnya? ]Aku mengernyit kenapa Amanda membalas seperti itu? Atau jangan-jangan dia bukan Amanda? Tapi siapa? Hanya Amanda yang tau aku sedang bersedih. Aku sudah akan mengetik balasan pesan itu, sampai terdengar suara lirih ibu memanggilku. "Nak? Zahra? Apa itu kamu? " panggil ibu lirih, segera aku beranjak dari duduk ku dan mendekat ke ranjang ibu. "Iya, Bu. Ini Zahra, Bu. Ibu butuh sesuatu? " tanyaku sendu. "Nak, tolong jangan tinggalkan Ibu sendiri ya. Ibu takut, " ucap lirih ibuku dengan mata yang sayu. Aku menaikkan satu alis, ada apa de

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 38

    "Assalamualaikum! Ibu! " seruku sembari terburu-buru masuk ke rumah. Setelah mendapat kabar dari mas Dika tadi, aku yang baru selesai bekerja langsung berlari ke jalan raya mencari taksi atau tukang ojek. Karena hari sudah larut malam, tak ada satupun taksi yang lewat. Bahkan dari tadi aku mencoba memesan taksi online, tapi tak juga ada yang menyahut. Tapi tiba-tiba kak Rayhan datang dan menawari ku untuk mengantarku pulang. Karena kekhawatiranku terhadap ibuku, aku berusaha menghilangkan kekesalanku kepada kak Rayhan. Aku di antar kak Rayhan pulang menaiki sepeda motornya. Tak ada percakapan selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiranku terhadap ibuku. Sampai di depan rumahku, aku langsung turun dari sepeda motor kak Rayhan. Dan karena aku semakin cemas dengan kondisi ibu, aku lupa untuk berterimakasih kepada kak Rayhan, karena aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Tak menunggu jawaban salamku dari dalam rumah, aku segera melangkah menuju kamar ibu. Melewati ru

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 37

    Pyar"Zahra? Ada apa ini? " tanya bu Lina yang tampak terkejut mendengar suara gelas terjatuh. "Emm, maaf, Bu. Saya nggak sengaja mecahin gelas, " ucapku merasa bersalah. Entah kenapa tiba-tiba tanganku merasa gemetar dan tak sengaja menjatuhkan gelas yang sedang aku bawa dalam nampan. Dan entah kenapa juga perasaanku menjadi tak enak seperti ini. Ada apa sebenarnya denganku ini? "Kamu sakit, Ra? " Pertanyaan bu Lina menyadarkanku dari pemikiranku. "Oh, enggak kok, Bu. Saya sehat-sehat saja. Cuma tadi sedikit kurang fokus saja, " ujarku mengulas senyum. "Kalau sakit lebih baik kamu istirahat dulu saja, Ra. Kebetulan kan pelanggan hari ini tak terlalu banyak," ucap bu Lina kemudian. "Enggak apa-apa kok, Bu. Saya masih bisa bekerja kok, " jawabku meyakinkan. Mungkin karena banyak pikiran jadi aku sedikit kurang fokus tadi. Tapi kenapa aku jadi kepikiran tentang ibu ya. Sudah lama juga aku tak berkomunikasi dengan beliau. Semoga beliau sehat-sehat selalu. "Ya sudah kalau begitu s

DMCA.com Protection Status