"Assalamualaikum! Ibu! " seruku sembari terburu-buru masuk ke rumah. Setelah mendapat kabar dari mas Dika tadi, aku yang baru selesai bekerja langsung berlari ke jalan raya mencari taksi atau tukang ojek. Karena hari sudah larut malam, tak ada satupun taksi yang lewat. Bahkan dari tadi aku mencoba memesan taksi online, tapi tak juga ada yang menyahut. Tapi tiba-tiba kak Rayhan datang dan menawari ku untuk mengantarku pulang. Karena kekhawatiranku terhadap ibuku, aku berusaha menghilangkan kekesalanku kepada kak Rayhan. Aku di antar kak Rayhan pulang menaiki sepeda motornya. Tak ada percakapan selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiranku terhadap ibuku. Sampai di depan rumahku, aku langsung turun dari sepeda motor kak Rayhan. Dan karena aku semakin cemas dengan kondisi ibu, aku lupa untuk berterimakasih kepada kak Rayhan, karena aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Tak menunggu jawaban salamku dari dalam rumah, aku segera melangkah menuju kamar ibu. Melewati ru
"Siapa kira-kira ya? Kenapa dia tau aku sedang bersedih? Apa mungkin Amanda? Tapi kenapa tiba-tiba dia ganti nomer? Ah, mungkin saja dia kehabisan kuota lalu pinjam ponsel adiknya, " gumamku lalu mengetik balasan untuk pesan itu. [Iya, Man. Terimakasih, ya. Maaf tadi aku ninggalin kamu, ]balasku dengan disertai emoticon wajah sedih. Pesan yang aku kirim langsung centang dua biru, dan tak lama ada tulisan mengetik pada profilnya. [Man? Maksudnya? ]Aku mengernyit kenapa Amanda membalas seperti itu? Atau jangan-jangan dia bukan Amanda? Tapi siapa? Hanya Amanda yang tau aku sedang bersedih. Aku sudah akan mengetik balasan pesan itu, sampai terdengar suara lirih ibu memanggilku. "Nak? Zahra? Apa itu kamu? " panggil ibu lirih, segera aku beranjak dari duduk ku dan mendekat ke ranjang ibu. "Iya, Bu. Ini Zahra, Bu. Ibu butuh sesuatu? " tanyaku sendu. "Nak, tolong jangan tinggalkan Ibu sendiri ya. Ibu takut, " ucap lirih ibuku dengan mata yang sayu. Aku menaikkan satu alis, ada apa de
"Sudah, Zahra. Ibu pasti akan baik-baik saja, " ucap mas Dika yang duduk di sebelahku. "Ini semua gara-gara istri kamu itu, Mas, " ujarku lirih tanpa menoleh ke arah mas Dika. "Apa maksud kamu, Zahra! " ucap mas Dika dengan nadatau tinggi membuat beberapa orang yang duduk tak jauh dari kami menoleh menatap ke arah kami. "Ya! Ibu sakit seperti ini karena ulah istri yang kamu cintai itu! " bentakku tak kupedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh pengunjung rumah sakit lainnya. Ya, kami sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Sementara ibu sedang di tangani di IGD. "Mohon maaf Mas Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini ya. Takut menganggu pasien lainnya, " ucap suster yang sudah berdiri di depan kami. "Baiklah, Sus. Kami minta maaf, " ucap mas Dika. Sementara aku memilih diam menenangkan diri. "Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, Ra? " tanya mas Dika yang nampaknya sudah lebih tenang. "Coba saja Mas Dika tanya sama istri kamu itu, Mas. Apa yang dia lakukan kepada Ibu,
Pov Dika"Mas, kamu sudah pulang? Bagaimana kondisi Ibu? Ibu baik-baik saja, kan? "Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung di berondong pertanyaan Sinta yang ternyata belum kembali tidur. "Kenapa belum tidur? " tanyaku datar, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa kepada istriku ini. Haruskah aku percaya pada ucapannya yang mengatakan dia tak pernah berbuat jahat pada ibuku, ataukah ucapan Zahra tentang Sinta yang benar? Aggh rasanya aku begitu pusing memikirkan ini semua. "Aku khawatir dengan kondisi Ibu, jadi aku tak bisa kembali tidur, " ucapan Sinta membuatku menatapnya. Tetapi tak kutemukan raut kesedihan di wajahnya. Hanya seperti ..., sedih yang dibuat-buat. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek, kan? Biar ku buatkan teh hangat untukmu, " ujar Sinta lembut sembari menuntunku duduk di depan televisi. Sinta berlalu menuju dapur, sementara aku mengusap wajahku kasar. Apa mungkin Sinta yang lemah lembut seperti itu bisa tega melukai hati ib
Bab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I
Bab 43Pov Dika"Kita ke rumah sakit sekarang! " ujarku datar kepada Sinta yang sedang menonton televisi. Dari tadi malam, aku mendiamkan Sinta. Ada rasa sakit hati setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh Sinta pada ibuku. Bukankah aku sudah melimpahkan kasih sayangku kepadanya? Tapi kenapa dengan teganya dia, istriku yang paling aku cintai mejadikan Ibuku menjadi seorang pembantu. "Emm ..., mau ngapain kita kerumah sakit, Mas? " tanyanya yang membuatku mengernyit. Dia lupa, apa pura-pura lupa dengan apa yang dia ucapkan malam itu, kalau dia akan minta maaf pada ibuku. Aku menghela nafas kasar, mencoba mengontrol emosiku. "Kamu lupa kalau kamu mau minta maaf pada Ibuku? ""Oh, i-itu ..., harus sekarang ya, Mas? Nggak nunggu Ibu pulang dari rumah sakit aja? " tanyanya yang membuat hatiku menjadi panas. "Sekarang! Atau kamu mau aku ....""Baiklah, Mas. Aku siap-siap sekarang, " ujarnya cepat, kemudian bangkit dan berjalan ke arah kamar kami. Tapi sebelum masuk ke kamar kami, Si
"Bu ..., Ibu sudah sehat? " sapa Sinta pada ibu yang masih memalingkan mukanya. "Bu, " panggil Sinta lagi, tapi tak di tanggapi oleh ibu. "Bu, Sinta kemari ada yang mau di sampaikan pada Ibu. " Aku berusaha membujuk ibu agar mau melihat kami. "Kenapa kamu ajak dia kesini, Nak? " tanya ibu yang masih memalingkan wajahnya. "Sinta mau minta maaf, Bu, " ucap Sinta. "Nggak ada yang perlu di maafkan, semua memang salah Ibu, " ucap ibu dengan suara bergetar. "Tapi, Bu .... " ucapku terjeda, dengan ucapan ibu. "Nak, bawa dia pergi dari hadapan Ibu. Ibu mohon, Nak. Ibu takut. Ibu .... Aarrggh .... Jangan, Nak. Ibu mohon, jangan sakiti Ibu lagi. Ibu sudah lelah, Nak. Jangan bentak Ibu lagi .... " Ibu berteriak ketakutan yang membuatku menjadi panik. "Ibu, tenang, Bu, " ucapku mencoba menenangkan ibu. "Jangan, Nak! Ibu mohon jangan lagi!" teriak ibu semakin menjadi. Kali ini ibu tampak menutup wajahnya dengan kedua lengannya, seperti benar-benar ketakutan. Aku yang panik langsung kelu
Pov Zahra"Ya Allah, berikan kesembuhan pada Ibuku, " doa yang aku panjatkan sejak tadi. Hatiku rasanya diliputi perasaan cemas, gelisah, dan marah sekaligus. Cemas dan gelisah memikirkan kondisi ibu yang sekarang berada di ruang UGD karena kondisi kesehatan ibu menurun dan harus segera ditindaklanjuti. Dan aku menahan amarah pada Mas Dika dan juga istrinya. Karena mereka kondisi ibu yang semula sudah membaik berubah seketika sejak kedatangan wanita itu. Aku duduk sendiri di depan ruang UGD. Tadi mas Dika sebenarnya ingin ikut menemaniku disini. Tapi karena hatiku sedang emosi aku mengusirnya. Entah sekarang dia berada dimana aku tak peduli. Sekarang yang kubutuhkan hanya sendiri, menenangkan hati dan berdo'a untuk kesembuhan ibu. Aku benar-benar takut jika sesuatu yang paling buruk menimpa ibuku. Aku takut kehilangan ibu, hanya dia yang aku punya sekarang ini. Kakak? Entahlah, aku seperti tak memilikinya semenjak
Pov Zahra"Ya Allah, berikan kesembuhan pada Ibuku, " doa yang aku panjatkan sejak tadi. Hatiku rasanya diliputi perasaan cemas, gelisah, dan marah sekaligus. Cemas dan gelisah memikirkan kondisi ibu yang sekarang berada di ruang UGD karena kondisi kesehatan ibu menurun dan harus segera ditindaklanjuti. Dan aku menahan amarah pada Mas Dika dan juga istrinya. Karena mereka kondisi ibu yang semula sudah membaik berubah seketika sejak kedatangan wanita itu. Aku duduk sendiri di depan ruang UGD. Tadi mas Dika sebenarnya ingin ikut menemaniku disini. Tapi karena hatiku sedang emosi aku mengusirnya. Entah sekarang dia berada dimana aku tak peduli. Sekarang yang kubutuhkan hanya sendiri, menenangkan hati dan berdo'a untuk kesembuhan ibu. Aku benar-benar takut jika sesuatu yang paling buruk menimpa ibuku. Aku takut kehilangan ibu, hanya dia yang aku punya sekarang ini. Kakak? Entahlah, aku seperti tak memilikinya semenjak
"Bu ..., Ibu sudah sehat? " sapa Sinta pada ibu yang masih memalingkan mukanya. "Bu, " panggil Sinta lagi, tapi tak di tanggapi oleh ibu. "Bu, Sinta kemari ada yang mau di sampaikan pada Ibu. " Aku berusaha membujuk ibu agar mau melihat kami. "Kenapa kamu ajak dia kesini, Nak? " tanya ibu yang masih memalingkan wajahnya. "Sinta mau minta maaf, Bu, " ucap Sinta. "Nggak ada yang perlu di maafkan, semua memang salah Ibu, " ucap ibu dengan suara bergetar. "Tapi, Bu .... " ucapku terjeda, dengan ucapan ibu. "Nak, bawa dia pergi dari hadapan Ibu. Ibu mohon, Nak. Ibu takut. Ibu .... Aarrggh .... Jangan, Nak. Ibu mohon, jangan sakiti Ibu lagi. Ibu sudah lelah, Nak. Jangan bentak Ibu lagi .... " Ibu berteriak ketakutan yang membuatku menjadi panik. "Ibu, tenang, Bu, " ucapku mencoba menenangkan ibu. "Jangan, Nak! Ibu mohon jangan lagi!" teriak ibu semakin menjadi. Kali ini ibu tampak menutup wajahnya dengan kedua lengannya, seperti benar-benar ketakutan. Aku yang panik langsung kelu
Bab 43Pov Dika"Kita ke rumah sakit sekarang! " ujarku datar kepada Sinta yang sedang menonton televisi. Dari tadi malam, aku mendiamkan Sinta. Ada rasa sakit hati setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh Sinta pada ibuku. Bukankah aku sudah melimpahkan kasih sayangku kepadanya? Tapi kenapa dengan teganya dia, istriku yang paling aku cintai mejadikan Ibuku menjadi seorang pembantu. "Emm ..., mau ngapain kita kerumah sakit, Mas? " tanyanya yang membuatku mengernyit. Dia lupa, apa pura-pura lupa dengan apa yang dia ucapkan malam itu, kalau dia akan minta maaf pada ibuku. Aku menghela nafas kasar, mencoba mengontrol emosiku. "Kamu lupa kalau kamu mau minta maaf pada Ibuku? ""Oh, i-itu ..., harus sekarang ya, Mas? Nggak nunggu Ibu pulang dari rumah sakit aja? " tanyanya yang membuat hatiku menjadi panas. "Sekarang! Atau kamu mau aku ....""Baiklah, Mas. Aku siap-siap sekarang, " ujarnya cepat, kemudian bangkit dan berjalan ke arah kamar kami. Tapi sebelum masuk ke kamar kami, Si
Bab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I
Pov Dika"Mas, kamu sudah pulang? Bagaimana kondisi Ibu? Ibu baik-baik saja, kan? "Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung di berondong pertanyaan Sinta yang ternyata belum kembali tidur. "Kenapa belum tidur? " tanyaku datar, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa kepada istriku ini. Haruskah aku percaya pada ucapannya yang mengatakan dia tak pernah berbuat jahat pada ibuku, ataukah ucapan Zahra tentang Sinta yang benar? Aggh rasanya aku begitu pusing memikirkan ini semua. "Aku khawatir dengan kondisi Ibu, jadi aku tak bisa kembali tidur, " ucapan Sinta membuatku menatapnya. Tetapi tak kutemukan raut kesedihan di wajahnya. Hanya seperti ..., sedih yang dibuat-buat. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek, kan? Biar ku buatkan teh hangat untukmu, " ujar Sinta lembut sembari menuntunku duduk di depan televisi. Sinta berlalu menuju dapur, sementara aku mengusap wajahku kasar. Apa mungkin Sinta yang lemah lembut seperti itu bisa tega melukai hati ib
"Sudah, Zahra. Ibu pasti akan baik-baik saja, " ucap mas Dika yang duduk di sebelahku. "Ini semua gara-gara istri kamu itu, Mas, " ujarku lirih tanpa menoleh ke arah mas Dika. "Apa maksud kamu, Zahra! " ucap mas Dika dengan nadatau tinggi membuat beberapa orang yang duduk tak jauh dari kami menoleh menatap ke arah kami. "Ya! Ibu sakit seperti ini karena ulah istri yang kamu cintai itu! " bentakku tak kupedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh pengunjung rumah sakit lainnya. Ya, kami sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Sementara ibu sedang di tangani di IGD. "Mohon maaf Mas Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini ya. Takut menganggu pasien lainnya, " ucap suster yang sudah berdiri di depan kami. "Baiklah, Sus. Kami minta maaf, " ucap mas Dika. Sementara aku memilih diam menenangkan diri. "Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, Ra? " tanya mas Dika yang nampaknya sudah lebih tenang. "Coba saja Mas Dika tanya sama istri kamu itu, Mas. Apa yang dia lakukan kepada Ibu,
"Siapa kira-kira ya? Kenapa dia tau aku sedang bersedih? Apa mungkin Amanda? Tapi kenapa tiba-tiba dia ganti nomer? Ah, mungkin saja dia kehabisan kuota lalu pinjam ponsel adiknya, " gumamku lalu mengetik balasan untuk pesan itu. [Iya, Man. Terimakasih, ya. Maaf tadi aku ninggalin kamu, ]balasku dengan disertai emoticon wajah sedih. Pesan yang aku kirim langsung centang dua biru, dan tak lama ada tulisan mengetik pada profilnya. [Man? Maksudnya? ]Aku mengernyit kenapa Amanda membalas seperti itu? Atau jangan-jangan dia bukan Amanda? Tapi siapa? Hanya Amanda yang tau aku sedang bersedih. Aku sudah akan mengetik balasan pesan itu, sampai terdengar suara lirih ibu memanggilku. "Nak? Zahra? Apa itu kamu? " panggil ibu lirih, segera aku beranjak dari duduk ku dan mendekat ke ranjang ibu. "Iya, Bu. Ini Zahra, Bu. Ibu butuh sesuatu? " tanyaku sendu. "Nak, tolong jangan tinggalkan Ibu sendiri ya. Ibu takut, " ucap lirih ibuku dengan mata yang sayu. Aku menaikkan satu alis, ada apa de
"Assalamualaikum! Ibu! " seruku sembari terburu-buru masuk ke rumah. Setelah mendapat kabar dari mas Dika tadi, aku yang baru selesai bekerja langsung berlari ke jalan raya mencari taksi atau tukang ojek. Karena hari sudah larut malam, tak ada satupun taksi yang lewat. Bahkan dari tadi aku mencoba memesan taksi online, tapi tak juga ada yang menyahut. Tapi tiba-tiba kak Rayhan datang dan menawari ku untuk mengantarku pulang. Karena kekhawatiranku terhadap ibuku, aku berusaha menghilangkan kekesalanku kepada kak Rayhan. Aku di antar kak Rayhan pulang menaiki sepeda motornya. Tak ada percakapan selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiranku terhadap ibuku. Sampai di depan rumahku, aku langsung turun dari sepeda motor kak Rayhan. Dan karena aku semakin cemas dengan kondisi ibu, aku lupa untuk berterimakasih kepada kak Rayhan, karena aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Tak menunggu jawaban salamku dari dalam rumah, aku segera melangkah menuju kamar ibu. Melewati ru
Pyar"Zahra? Ada apa ini? " tanya bu Lina yang tampak terkejut mendengar suara gelas terjatuh. "Emm, maaf, Bu. Saya nggak sengaja mecahin gelas, " ucapku merasa bersalah. Entah kenapa tiba-tiba tanganku merasa gemetar dan tak sengaja menjatuhkan gelas yang sedang aku bawa dalam nampan. Dan entah kenapa juga perasaanku menjadi tak enak seperti ini. Ada apa sebenarnya denganku ini? "Kamu sakit, Ra? " Pertanyaan bu Lina menyadarkanku dari pemikiranku. "Oh, enggak kok, Bu. Saya sehat-sehat saja. Cuma tadi sedikit kurang fokus saja, " ujarku mengulas senyum. "Kalau sakit lebih baik kamu istirahat dulu saja, Ra. Kebetulan kan pelanggan hari ini tak terlalu banyak," ucap bu Lina kemudian. "Enggak apa-apa kok, Bu. Saya masih bisa bekerja kok, " jawabku meyakinkan. Mungkin karena banyak pikiran jadi aku sedikit kurang fokus tadi. Tapi kenapa aku jadi kepikiran tentang ibu ya. Sudah lama juga aku tak berkomunikasi dengan beliau. Semoga beliau sehat-sehat selalu. "Ya sudah kalau begitu s