Bab 4
"Bu, jadi kepasarnya? " tanyaku menghampiri ibuku di kamarnya."Iya, Nak. Sebentar. Ibu siap-siap dulu, " jawab ibuku sembari melipat mukenanya.Mungkin ibu baru saja selesai sholat subuh. Karena memang ini masih sangat pagi. Kebetulan aku sedang halangan, jadi setelah bangun tidur aku segera mandi dan bersiap-siap mengantar ibuku ke pasar untuk membeli keperluan jualannya.Hari ini ibuku sudah mulai membuka warung kopi nya lagi, setelah beberapa hari libur tak jualan. Kemarin ibu mengatakan kalau pagi ini mau kepasar. Aku dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarnya. Karena hari ini memang siswa siswi kelas tiga sudah tak ada kegiatan di sekolah. Hanya tinggal menunggu ijazah keluar.Alhamdulillah aku dinyatakan lulus, dan aku juga bersyukur karena aku masuk dalam daftar siswa yang bisa mendaftar ke Universitas tanpa tes. Alias jalur undangan, yang diberikan untuk siswa siswi berpotensi. Tentunya masih tetap harus diseleksi terlebih dahulu. Semoga saja aku diterima di salah satu Universitas yang sudah aku cantumkan di formulir daftar universitas jalur undangan.Hawa dingin langsung menerpa kulitku, ketika aku membuka pintu rumah untuk mengeluarkan sepeda motorku dari dalam rumah. Langit masih begitu gelap, karena matahari belum menampakkan sinarnya. Entah ini karena cuaca mendung atau memang masih terlalu pagi. Aku segera mengihidupkan sepeda motorku, guna ingin memanasi mesinnya terlebih dahulu."Mau kemana, Ra? " Aku mendongakkan kepalaku ternyata Mas Dika yang mungkin baru saja pulang dari masjid.Kakakku ini memang rajin beribadah, tetapi entah kenapa bisa mendapatkan istri yang malasnya minta ampun, dan galaknya mengalahkan singa kelaparan. Astagfirullah, maafkan hambamu ini Ya Allah, karena pagi-pagi sudah menjelekkan orang lain."Mau antar Ibu ke pasar, Mas, jawabku sambil menggas sepeda motor meticku."Oo." Hanya itu respon Mas Dika."Ra, Mas bisa ngomong? " tanya Mas Dika yang masih berdiri tak jauh dariku."Dari tadi kan Mas Dika udah ngomong, " cetus ku sambil menoleh ke arah Mas Dika."Ini masalah penting, " ucap Mas Dika dengan ekspresi serius."Masalah penting? Memang apa, Mas? " tanyaku penasaran."Aku minta tolong sama kamu, supaya lebih menghargai Sinta. Dia istriku dan rumah ini juga milik orang tuaku. Jadi dia juga berhak tinggal disini. "Aku menaikkan alisku. "Maksud Mas Dika apaan sih? Aku nggak faham, " ucapku sambil mematikan mesin sepeda motorku."Tolong hargai Sinta sebagai kakak iparmu. Jangan berani menuduh dia yang macam-macam. Dia itu istri yang baik, dan berbakti pada ku. Tapi kenapa kamu kemarin menuduh dia membentak Ibu, dan juga menuduh dia yang meminta Ibu mencuci pakaiannya? " cerocos Mas Amir dengan muka serius.Ini pasti ulah Mbak Sinta, dia pasti yang menghasut Mas Dika supaya membela dia. 'Huh, dasar. Punya kakak ipar satu aja. Bikin tensi ku naik terus. Astagfirullah, ' batinku berontak."Ra! Kok malah diam? " Aku terlonjak dari pemikiran ku sendiri, karena mendengar suara Mas Dika."Aku tidak menuduh istrimu kalik, Mas. Memang kenyataanya begitu kok! " ucapku kesal."Jangan bohong kamu, Ra! Kasihan Sinta batinnya tersiksa karena kamu terus menuduhnya. Dia sedang menyusui jadi jangan buat dia menjadi stres karena memikirkan tuduhan-tuduhan mu itu! " ucap Mas Dika tegas."Terserah, Mas Dika saja lah! Memang kalau sudah dibutakan cinta kayak gitu, nggak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Terserah. Aku tak peduli! " ucapku menggerudel."Zahra! " tegur Mas Dika dengan suara lantang."Apa?! " tanyaku dengan suara lantang juga."Eh, eh. Ada apa ini, kok pagi-pagi gini kalian ribut sih! " Ibu tergopoh-gopoh menghampiri kami."Tuh tanyakan sama anak laki-laki kesayangan Ibu tuh, " ucapku sewot sambil melirik kearah Mas Dika."Ada apa ini, Dik? " tanya ibu sambil memegang lengan Mas Dika."Nggak ada kok, Bu. Aku masuk dulu. Ibu kalau ke pasar hati-hati ya, " ucap Mas Dika kemudian berlalu masuk kerumah, mungkin Mas Dika tak ingin menambah beban pikiran Ibu. Tetapi sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah aku melihat Mas Dika menatapku dengan tatapan tajamnya.Ish, sebal sekali rasanya. Pagi-pagi sudah di ajak ribut gara-gara hasutan Mbak Sinta. Pingin aku plester tuh mulut. Ish....Mas Dika juga sih, ngajak ribut pas aku sedang halangan, kan jadinya emosiku keluar. Biasanya kalau aku sedang halangan memang suka sensitif hati ini. Jadi hati-hati saja kalau aku sedang halangan diajak berantem. Aku jabanin mah kalau harus adu jotos. Ups...."Nak? Ada apa sih? " tanya ibuku membuyarkan lamunanku."Nggak ada, Bu. Ayo keburu siang, Bu, " ucapku mengalihkan pembicaraan. Seperti Mas Dika, aku juga tak ingin menambah pikiran ibu kalau tahu anak-anaknya saling bertengkar.Sampai di pasar, kami langsung menuju warung langganan ibu. Karena di warung kopi milik ibu, selain menyediakan kopi dan minuman lainnya, ibu juga menyediakan nasi kucing, alias nasi dengan porsi sedikit, diberi lauk dan sambal. Kadang bandeng, ikan teri, ataupun oseng-oseng.Kadang ibu juga membuat capjay ataupun bihun goreng. Semua itu dimasak oleh ibu sendiri. Kadang kala juga ada orang yang menitipkan hasil masakkannya ke warung ibu. Seperti sate telur puyuh dan sosis goreng dan lain-lain.Setelah semua keperluan sudah terbeli, kami memutuskan pulang ke rumah. Tetapi diperjalanan pulang, ibu mengajakku sarapan soto di warung soto langganan ibu dulu.***"Ibu ke pasarnya lama banget sih! Aku dan Bian udah kelaparan tau! Ini malah ibu enak-enakan ke pasar nggak pulang-pulang. Mana nggak ada sarapan lagi, jadinya Mas Dika berangkat kerja tanpa sarapan kan! " cerocos Mbak Sinta kala aku dan ibu baru saja masuk ke rumah. Terlihat dia sedang menggendong Sindi yang mungkin sudah tertidur."Maaf, Nak. Tadi ibu belanja keperluan warung. Jadi agak lama, " ucap ibuku lembut."Alasan aja Ibu nih! " ucap Mbak Sinta sinis. Kemudian berlalu ke kamarnya.Aku yang sudah tersulut emosi mencoba menahannya. "Ibu. Ibu ke kamar aja dulu ya, Bu. Istirahat. Ibu pasti capek, kan? Nanti semua barang ini aku yang tata di kulkas, " pintaku setenang mungkin."Tapi, Ra .... " Ibu sepertinya ingn menolak permintaan ku."Sudah, Bu. Ibu pasti capek, kan? Dari subuh udah jalan keliling pasar, " bujuk ku lagi."Ya sudah, Ibu kekamar dulu, ya? Tapi jangan berantam dengan Mbakku ya, Ra, " ucap ibu, ada raut khawatir di wajah ibu."Iya, Bu, " jawabku berbohong. Aku nggak mau adu mulut didepan ibuku. Walau mungkin ibu nanti juga akan sedikit mendengar, tetapi setidaknya tidak melihat pertengkaranku dengan Mbak Sinta.Ibu sudah berlalu menuju kamarnya, yang terletak agak jauh dari ruang depan."Kok kamu malah nyuruh ibu ke kamar sih! Ibu kan harus masak sarapan untukku dan Bian. Aku sudah kelaparan nih, " Cerocos Mbak Sinta kala baru saja keluar dari kamarnya. Mungkin tadi menidurkan Sindi di kamar."Heh, Mbak! Bukan tugas Ibuku ya, memasak untukmu. Kalau kamu lapar ya masak sendiri lah. Jangan suruh Ibuku melayanimu. Aku tegaskan sekali lagi kalau Ibuku bukan pembantumu! " ucapku tegas sambil menatap tajam ke arah Mbak Sinta."Heh, apa kamu bilang?! " Aku tak menanggapinya dan berlalu menuju dapur membawa belanjaan ibu tadi."Heh! Budek! Aku tanya sama kamu! Apa yang kamu bilang tadi? " Ternyata Mbak Sinta mengikutiku sampai di dapur.Aku menoleh ke arahnya, dan menatap tajam ke arah Mbak Sinta. "Ibuku bukan pembantumu, Mbak! " ucapku dengan suara lantang."Heh, berani sekali kau ya! " teriak Mbak Sinta sambil menunjukkan dengan jari telunjuk nya."Dan satu lagi, Mbak! Mas Dika itu suami Mbak, jadi yang berkewajiban melayani keperluannya itu, Mbak Sinta bukan Ibuku! " ucapku tak gentar dengan teriakan Mbak Sinta."Awas kamu ya, akan aku bilang ke Mas Dika biar kamu dimarahi lagi! " ancam Mbak Sinta."Oh, silahkan saja. Mbak Sinta pikir aku akan takut? Oh, tidak. Dan terimakasih gara-gara Mbak Sinta, aku tadi pagi berantem dengan Mas Dika. " Dikiranya aku akan takut apa."Ha ha ha. Rasain! Itulah akibatnya kalau berani mengadu pada suamiku, " ucap Mbak Sinta tertawa mengejek."Dasar kakak ipar nggak tau diri! " sarkasku. Emosi sudah menguasai pikiranku. Tetapi aku berusaha agar bisa menghadapi Mbak Sinta dengan tenang."Heh! Jaga bicaramu! " bentak Mbak Sinta menunjukku dengan mata melotot."Mbak pikir aku akan takut? " tantangku sambil mengeluarkan belanjaan ibu ke atas meja. Yang selanjutnya mau aku pindahkan ke dalam kulkas.Tiba-tiba Mbak Sinta mendekat kearahku dan mengobrak-abrik belanjaan yang sudah aku tata diatas meja, sehingga berceceran dilantai. Cabai, tomat, dan lain-lain."Mbak Sinta! ""Astagfirullahaladzim ..., ada apa ini, Nak? " Aku menoleh ternyata ibu sudah berada di pintu masuk dapur, dengan ekspresi terkejut melihat hampir semua belanjaan berceceran di lantai. "Tanya sama menantu kesayangan Ibu itu, " ucapku menunjuk ke arah Mbak Sinta yang bersikap angkuh seolah-olah tak merasa bersalah. Ish, pengen ku cakar wajah Mbak Sinta itu. "Ini ada apa, Nak Sinta? " tanya ibu mendekat ke arah ku dan Mbak Sinta. "Tanya aja sama anak manja ini, " jawab Mbak Sinta acuh tanpa adanya sopan santun, seperti tak menghormati ibuku sebagai mertuanya. "Heh, Mbak Sinta! Jelas-jelas Mbak yang berantakin semua ini! Sekarang tanggung jawab, beresin semua ini!" bentakku dengan melotot ke arah Mbak Sinta."Enak aja, situ yang salah kenapa aku yang harus beresin, " ucap Mbak Sinta sambil memainkan kuku-kuku panjangnya. Aku juga heran dengan Mbak Sinta, dia punya bayi tapi kok malah memanjangkan kuku nya. Seperti tak takut kal
"Apa? Apa yang kamu katakan tadi? Kamu mau mengganti uang itu? Ha ha ha, kamu mau mengganti uang itu dengan apa? Dengan daun? Atau dengan batu? Ha ha ha. Sudah deh, jangan bercanda! Ha ha ha. " Tawa mengejek dari Mbak Sinta menggelegar di ruang dapur ini. "Sudah, Nak. Nggak usah diperpanjang, biar ibu saja yang menanggungnya, " ucap ibuku yang masih mengalirkan air matanya. "Tapi, Bu ..., " ucapku memelas, tapi terpotong oleh elusan ibuku di lenganku. Dan gelengan lemah kepalanya. "Sudah deh, nggak usah drama gitu. Kamu anak manja sekarang beresin ini semua. Dan Ibu cepat buatkan aku sarapan. Aku mau rebahan dulu, capek meladeni anak manja ini, " ucap Mbak Sinta kemudian melenggang pergi. Hatiku rasanya sangat panas mendengar ejekan dari Mbak Sinta. Memang benar untuk sekarang aku belum bisa mengganti uang itu, tapi aku akan bertekad mengganti uang itu, agar ibuku tak diperlakukan semena-mena lagi. "Nak, yang sabar ya. Sudah ngg
Pov Sinta"Oh, ini, Dek. Zahra diterima kuliah di Universitas ternama, " jawab mas Dika kala aku ikut duduk di sebelah mas Dika. "Wah, iya, kah? Selamat ya Zahra, " ucapku pura-pura ikut senang. Padahal di hatiku mengatakan hal yang lain. Zahra terlihat cuek kepadaku, karena dia hanya memutar bola matanya menanggapi ucapan selamatku. Aku tak perduli hal itu, karena menurutku di terimanya Zahra di Universitas berarti biaya yang dikeluarkan mas Dika akan semakin banyak juga, sehingga jatah bulanan ku pasti akan berkurang lagi. Tidak bisa terjadi, hal ini jangan sampai terjadi. Aku harus cari cara agar mas Dika tak membiayai Zahra kuliah, apalagi tadi samar-samar aku mendengar kalau mas Dika akan membiayai semua biaya kuliah Zahra. "Memangnya berapa rupiah untuk biaya daftar ulangnya, Dek? " tanya mas Dika sambil mencomot gorengan yang berada di depannya. "Kurang tau aku, Mas, pastinya berapa. Tapi kata teman-temanku
"Zahra! Sini! " Aku yang baru saja masuk ke rumah setelah menjemur cucianku, menoleh ke arah mas Dika yang sedang duduk di depan tv bersama secangkir kopi di depannya. "Ada apa, Mas. Aku mau naruh ember ke belakang dulu, " ucapku datar. Aku masih kesal dengan mas Dika, yang dari dulu selalu membela mbak Sinta, padahal jelas-jelas mbak Sinta yang memulai keributan di warung ibu kemarin. "Ya sudah. Nanti kalau sudah, kamu kesini lagi. Mas Dika mau bicara, " ujar mas Dika kemudian mengambil secangkir kopi yang berada di depannya lalu menyeruput nya. Aku tau itu kopi walau jarak ku berdiri dan mas Dika duduk tak terlalu jauh, dan aku bisa mencium aroma kopi yang biasa ibu buat. Melangkah ke kamar mandi ingin meletakkan ember yang aku bawa tadi, aku berpikir tumben mas Dika pagi-pagi memintaku bicara dengannya. Sepertinya ada hal serius yang akan di bicarakan. Biasanya pagi-pagi sebelum berangkat bekerja, pasti mbak Sinta akan bermanja-manja dulu dengan mas Dika. Tanpa rasa malu mbak S
"Zahra! Kok malah diam sih? " Aku yang sedang memikirkan perasaan ibuku, jika tau aku tak melanjutkan pendidikan ku, seketika sedikit tersentak ketika Amanda menepuk lenganku. "Eh, iya, Man. Kenapa? Tadi kamu ngomong apa? " tanyaku melihat Amanda yang mengerucutkan bibirnya kesal. "Ish, kamu itu ya, Ra. Aku tadi tanya kenapa kok kamu nggak jadi melanjutkan kuliah? " tanya balik Amanda. "Hufft ..., aku tak ada uang untuk membayar biaya kuliah, Man." Aku tertunduk lesu. Sebenarnya awalnya aku memang ingin setelah lulus aku mau langsung cari pekerjaan. Tetapi melihat ibuku yang sangat berharap aku meneruskan pendidikan ku ke perguruan tinggi. Membuatku berusaha mewujudkannya.Tetapi aku bingung harus bagaimana, biaya kuliah termasuk mahal. Tidak mungkin aku harus membuat ibu semakin banting tulang mencari uang untuk biaya pendidikan ku itu. Sementara saudara satu-satunya yang aku punya sudah angkat tangan tak mau ikut
"Kita berdoa saja, Ra. Semoga saja pengajuan beasiswa kita di terima. Tak perlu kampus yang ternama lah, yang biasa saja nggak apa asalkan kita tetap lanjut kuliah, " ujar Amanda membelokkan sepeda motornya ke gang menuju rumahku. "Ra! Ra! Ra! " teriak Amanda yang berada didepanku seraya melambatkan laju kendaraannya. Aku mendekatkan kepalaku ke kepala Amanda. "Ada apa sih, Man? Kok tiba-tiba manggil aku? ""Itu kan, kakak iparmu, kan? " tanya Amanda melihat ke depan. "Mana? " tanyaku celingukan. "Itu loh. Di teras rumah orang itu loh, " jawab Amanda. Aku kemudian melihat ke depan, dan benar saja mbak Sinta sedang duduk bersama ibu-ibu tetangga di depan rumah bu Sulis. Terlihat dia sedang menunjukkan tas berwarna merah kepada ibu-ibu lainnya. "Ini, loh, Bu. Bagus, kan? Harganya mahal loh, Bu, Ibu. "Terdengar suara mbak Sinta ketika aku dan Amanda sudah dekat dengan rumah tempat dimana mbak Sinta
"Mbak Sinta! " teriakku ketika tiba-tiba mbak Sinta merebut uang yang sedang aku pegang. "Nak, tolong kembalikan uang itu, Nak, " ucap ibuku memohon. "Hah, enak saja! Uang ini jadi milikku! Ingat Ibu masih punya hutang sama aku, buat ganti baju yang dulu Ibu rusakin, " tolak mbak Sinta dengan nada sinisnya. Terlihat mbak Sinta menghitung uang yang dirampasnya tadi. Sedangkan uang yang tadi aku sudah hitung aku sembunyikan lebih dalam dibawah tasku. Aku segera berdiri kemudian mencoba mengambil kembali uang yang diambil mbak Sinta tadi. "Ini, uang milik Ibuku! Mbak Sinta nggak berhak atas uang ini! " bentakku mencoba merebut uang di tangan mbak Sinta. Tetapi mbak Sinta juga menarik uang itu dengan lebih kuat. "Enak saja! Berani sakali ya kamu, Zahra! Ini tuh uang aku! " Terjadi tarik tarikan antara aku dan mbak Sinta. Tak ada yang mengalah di antara kami. Jelas aku tak ingin uang itu jatuh di tangan mbak Sinta.
"Mungkin rumah makan ini yang di maksud Mamang tukang bakso tadi, Man, " ucapku sambil menghentikan laju sepeda motor Amanda tepat di depan sebuah rumah makan yang lumayan ramai pengunjungnya. Setelah makan bakso tadi, memang aku dan Amanda langsung beranjak untuk melihat lowongan pekerjaan yang di sebutkan mamang bakso tadi. Aku yang betada di depan memboncengkan Amanda, melajukan kendaraan akhirnya di pojok jalan ini, kami berhenti tepat di depan rumah makan. "Kita turun dulu yuk, Ra. Kita tanya sama bapak tukang parkir itu, " ucap Amanda sambil menunjuk seorang bapak paruh baya yang sedang menata sepeda motor pengunjung. Akhirnya kami turun dari sepeda motor setelah kami ikut parkir di parkiran rumah makan ini. "Ini, Neng. Kartu parkirnya, " ucap bapak parkir tadi yang ternyata sudah ada di belakang kami. "Iya, Pak. Terimakasih, " ucapku menerima kartu parkir itu. Walau sebenarnya kedatangan kami disini tak berniat makan
Pov Zahra"Ya Allah, berikan kesembuhan pada Ibuku, " doa yang aku panjatkan sejak tadi. Hatiku rasanya diliputi perasaan cemas, gelisah, dan marah sekaligus. Cemas dan gelisah memikirkan kondisi ibu yang sekarang berada di ruang UGD karena kondisi kesehatan ibu menurun dan harus segera ditindaklanjuti. Dan aku menahan amarah pada Mas Dika dan juga istrinya. Karena mereka kondisi ibu yang semula sudah membaik berubah seketika sejak kedatangan wanita itu. Aku duduk sendiri di depan ruang UGD. Tadi mas Dika sebenarnya ingin ikut menemaniku disini. Tapi karena hatiku sedang emosi aku mengusirnya. Entah sekarang dia berada dimana aku tak peduli. Sekarang yang kubutuhkan hanya sendiri, menenangkan hati dan berdo'a untuk kesembuhan ibu. Aku benar-benar takut jika sesuatu yang paling buruk menimpa ibuku. Aku takut kehilangan ibu, hanya dia yang aku punya sekarang ini. Kakak? Entahlah, aku seperti tak memilikinya semenjak
"Bu ..., Ibu sudah sehat? " sapa Sinta pada ibu yang masih memalingkan mukanya. "Bu, " panggil Sinta lagi, tapi tak di tanggapi oleh ibu. "Bu, Sinta kemari ada yang mau di sampaikan pada Ibu. " Aku berusaha membujuk ibu agar mau melihat kami. "Kenapa kamu ajak dia kesini, Nak? " tanya ibu yang masih memalingkan wajahnya. "Sinta mau minta maaf, Bu, " ucap Sinta. "Nggak ada yang perlu di maafkan, semua memang salah Ibu, " ucap ibu dengan suara bergetar. "Tapi, Bu .... " ucapku terjeda, dengan ucapan ibu. "Nak, bawa dia pergi dari hadapan Ibu. Ibu mohon, Nak. Ibu takut. Ibu .... Aarrggh .... Jangan, Nak. Ibu mohon, jangan sakiti Ibu lagi. Ibu sudah lelah, Nak. Jangan bentak Ibu lagi .... " Ibu berteriak ketakutan yang membuatku menjadi panik. "Ibu, tenang, Bu, " ucapku mencoba menenangkan ibu. "Jangan, Nak! Ibu mohon jangan lagi!" teriak ibu semakin menjadi. Kali ini ibu tampak menutup wajahnya dengan kedua lengannya, seperti benar-benar ketakutan. Aku yang panik langsung kelu
Bab 43Pov Dika"Kita ke rumah sakit sekarang! " ujarku datar kepada Sinta yang sedang menonton televisi. Dari tadi malam, aku mendiamkan Sinta. Ada rasa sakit hati setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh Sinta pada ibuku. Bukankah aku sudah melimpahkan kasih sayangku kepadanya? Tapi kenapa dengan teganya dia, istriku yang paling aku cintai mejadikan Ibuku menjadi seorang pembantu. "Emm ..., mau ngapain kita kerumah sakit, Mas? " tanyanya yang membuatku mengernyit. Dia lupa, apa pura-pura lupa dengan apa yang dia ucapkan malam itu, kalau dia akan minta maaf pada ibuku. Aku menghela nafas kasar, mencoba mengontrol emosiku. "Kamu lupa kalau kamu mau minta maaf pada Ibuku? ""Oh, i-itu ..., harus sekarang ya, Mas? Nggak nunggu Ibu pulang dari rumah sakit aja? " tanyanya yang membuat hatiku menjadi panas. "Sekarang! Atau kamu mau aku ....""Baiklah, Mas. Aku siap-siap sekarang, " ujarnya cepat, kemudian bangkit dan berjalan ke arah kamar kami. Tapi sebelum masuk ke kamar kami, Si
Bab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I
Pov Dika"Mas, kamu sudah pulang? Bagaimana kondisi Ibu? Ibu baik-baik saja, kan? "Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung di berondong pertanyaan Sinta yang ternyata belum kembali tidur. "Kenapa belum tidur? " tanyaku datar, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa kepada istriku ini. Haruskah aku percaya pada ucapannya yang mengatakan dia tak pernah berbuat jahat pada ibuku, ataukah ucapan Zahra tentang Sinta yang benar? Aggh rasanya aku begitu pusing memikirkan ini semua. "Aku khawatir dengan kondisi Ibu, jadi aku tak bisa kembali tidur, " ucapan Sinta membuatku menatapnya. Tetapi tak kutemukan raut kesedihan di wajahnya. Hanya seperti ..., sedih yang dibuat-buat. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek, kan? Biar ku buatkan teh hangat untukmu, " ujar Sinta lembut sembari menuntunku duduk di depan televisi. Sinta berlalu menuju dapur, sementara aku mengusap wajahku kasar. Apa mungkin Sinta yang lemah lembut seperti itu bisa tega melukai hati ib
"Sudah, Zahra. Ibu pasti akan baik-baik saja, " ucap mas Dika yang duduk di sebelahku. "Ini semua gara-gara istri kamu itu, Mas, " ujarku lirih tanpa menoleh ke arah mas Dika. "Apa maksud kamu, Zahra! " ucap mas Dika dengan nadatau tinggi membuat beberapa orang yang duduk tak jauh dari kami menoleh menatap ke arah kami. "Ya! Ibu sakit seperti ini karena ulah istri yang kamu cintai itu! " bentakku tak kupedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh pengunjung rumah sakit lainnya. Ya, kami sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Sementara ibu sedang di tangani di IGD. "Mohon maaf Mas Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini ya. Takut menganggu pasien lainnya, " ucap suster yang sudah berdiri di depan kami. "Baiklah, Sus. Kami minta maaf, " ucap mas Dika. Sementara aku memilih diam menenangkan diri. "Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, Ra? " tanya mas Dika yang nampaknya sudah lebih tenang. "Coba saja Mas Dika tanya sama istri kamu itu, Mas. Apa yang dia lakukan kepada Ibu,
"Siapa kira-kira ya? Kenapa dia tau aku sedang bersedih? Apa mungkin Amanda? Tapi kenapa tiba-tiba dia ganti nomer? Ah, mungkin saja dia kehabisan kuota lalu pinjam ponsel adiknya, " gumamku lalu mengetik balasan untuk pesan itu. [Iya, Man. Terimakasih, ya. Maaf tadi aku ninggalin kamu, ]balasku dengan disertai emoticon wajah sedih. Pesan yang aku kirim langsung centang dua biru, dan tak lama ada tulisan mengetik pada profilnya. [Man? Maksudnya? ]Aku mengernyit kenapa Amanda membalas seperti itu? Atau jangan-jangan dia bukan Amanda? Tapi siapa? Hanya Amanda yang tau aku sedang bersedih. Aku sudah akan mengetik balasan pesan itu, sampai terdengar suara lirih ibu memanggilku. "Nak? Zahra? Apa itu kamu? " panggil ibu lirih, segera aku beranjak dari duduk ku dan mendekat ke ranjang ibu. "Iya, Bu. Ini Zahra, Bu. Ibu butuh sesuatu? " tanyaku sendu. "Nak, tolong jangan tinggalkan Ibu sendiri ya. Ibu takut, " ucap lirih ibuku dengan mata yang sayu. Aku menaikkan satu alis, ada apa de
"Assalamualaikum! Ibu! " seruku sembari terburu-buru masuk ke rumah. Setelah mendapat kabar dari mas Dika tadi, aku yang baru selesai bekerja langsung berlari ke jalan raya mencari taksi atau tukang ojek. Karena hari sudah larut malam, tak ada satupun taksi yang lewat. Bahkan dari tadi aku mencoba memesan taksi online, tapi tak juga ada yang menyahut. Tapi tiba-tiba kak Rayhan datang dan menawari ku untuk mengantarku pulang. Karena kekhawatiranku terhadap ibuku, aku berusaha menghilangkan kekesalanku kepada kak Rayhan. Aku di antar kak Rayhan pulang menaiki sepeda motornya. Tak ada percakapan selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiranku terhadap ibuku. Sampai di depan rumahku, aku langsung turun dari sepeda motor kak Rayhan. Dan karena aku semakin cemas dengan kondisi ibu, aku lupa untuk berterimakasih kepada kak Rayhan, karena aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Tak menunggu jawaban salamku dari dalam rumah, aku segera melangkah menuju kamar ibu. Melewati ru
Pyar"Zahra? Ada apa ini? " tanya bu Lina yang tampak terkejut mendengar suara gelas terjatuh. "Emm, maaf, Bu. Saya nggak sengaja mecahin gelas, " ucapku merasa bersalah. Entah kenapa tiba-tiba tanganku merasa gemetar dan tak sengaja menjatuhkan gelas yang sedang aku bawa dalam nampan. Dan entah kenapa juga perasaanku menjadi tak enak seperti ini. Ada apa sebenarnya denganku ini? "Kamu sakit, Ra? " Pertanyaan bu Lina menyadarkanku dari pemikiranku. "Oh, enggak kok, Bu. Saya sehat-sehat saja. Cuma tadi sedikit kurang fokus saja, " ujarku mengulas senyum. "Kalau sakit lebih baik kamu istirahat dulu saja, Ra. Kebetulan kan pelanggan hari ini tak terlalu banyak," ucap bu Lina kemudian. "Enggak apa-apa kok, Bu. Saya masih bisa bekerja kok, " jawabku meyakinkan. Mungkin karena banyak pikiran jadi aku sedikit kurang fokus tadi. Tapi kenapa aku jadi kepikiran tentang ibu ya. Sudah lama juga aku tak berkomunikasi dengan beliau. Semoga beliau sehat-sehat selalu. "Ya sudah kalau begitu s