Share

Bab 6 Lolos seleksi

Author: Rachma
last update Last Updated: 2022-11-11 07:57:35

"Apa? Apa yang kamu katakan tadi? Kamu mau mengganti uang itu? Ha ha ha, kamu mau mengganti uang itu dengan apa? Dengan daun? Atau dengan batu? Ha ha ha. Sudah deh, jangan bercanda! Ha ha ha. " Tawa mengejek dari Mbak Sinta menggelegar di ruang dapur ini.

"Sudah, Nak. Nggak usah diperpanjang, biar ibu saja yang menanggungnya, " ucap ibuku yang masih mengalirkan air matanya.

"Tapi, Bu ..., " ucapku memelas, tapi terpotong oleh elusan ibuku di lenganku. Dan gelengan lemah kepalanya.

"Sudah deh, nggak usah drama gitu. Kamu anak manja sekarang beresin ini semua. Dan Ibu cepat buatkan aku sarapan. Aku mau rebahan dulu, capek meladeni anak manja ini, " ucap Mbak Sinta kemudian melenggang pergi.

Hatiku rasanya sangat panas mendengar ejekan dari Mbak Sinta. Memang benar untuk sekarang aku belum bisa mengganti uang itu, tapi aku akan bertekad mengganti uang itu, agar ibuku tak diperlakukan semena-mena lagi.

"Nak, yang sabar ya. Sudah ngg
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 7 Bujuk Rayu Sinta

    Pov Sinta"Oh, ini, Dek. Zahra diterima kuliah di Universitas ternama, " jawab mas Dika kala aku ikut duduk di sebelah mas Dika. "Wah, iya, kah? Selamat ya Zahra, " ucapku pura-pura ikut senang. Padahal di hatiku mengatakan hal yang lain. Zahra terlihat cuek kepadaku, karena dia hanya memutar bola matanya menanggapi ucapan selamatku. Aku tak perduli hal itu, karena menurutku di terimanya Zahra di Universitas berarti biaya yang dikeluarkan mas Dika akan semakin banyak juga, sehingga jatah bulanan ku pasti akan berkurang lagi. Tidak bisa terjadi, hal ini jangan sampai terjadi. Aku harus cari cara agar mas Dika tak membiayai Zahra kuliah, apalagi tadi samar-samar aku mendengar kalau mas Dika akan membiayai semua biaya kuliah Zahra. "Memangnya berapa rupiah untuk biaya daftar ulangnya, Dek? " tanya mas Dika sambil mencomot gorengan yang berada di depannya. "Kurang tau aku, Mas, pastinya berapa. Tapi kata teman-temanku

    Last Updated : 2022-11-19
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 8 Harapan semu

    "Zahra! Sini! " Aku yang baru saja masuk ke rumah setelah menjemur cucianku, menoleh ke arah mas Dika yang sedang duduk di depan tv bersama secangkir kopi di depannya. "Ada apa, Mas. Aku mau naruh ember ke belakang dulu, " ucapku datar. Aku masih kesal dengan mas Dika, yang dari dulu selalu membela mbak Sinta, padahal jelas-jelas mbak Sinta yang memulai keributan di warung ibu kemarin. "Ya sudah. Nanti kalau sudah, kamu kesini lagi. Mas Dika mau bicara, " ujar mas Dika kemudian mengambil secangkir kopi yang berada di depannya lalu menyeruput nya. Aku tau itu kopi walau jarak ku berdiri dan mas Dika duduk tak terlalu jauh, dan aku bisa mencium aroma kopi yang biasa ibu buat. Melangkah ke kamar mandi ingin meletakkan ember yang aku bawa tadi, aku berpikir tumben mas Dika pagi-pagi memintaku bicara dengannya. Sepertinya ada hal serius yang akan di bicarakan. Biasanya pagi-pagi sebelum berangkat bekerja, pasti mbak Sinta akan bermanja-manja dulu dengan mas Dika. Tanpa rasa malu mbak S

    Last Updated : 2022-12-01
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 9 Mencari Beasiswa

    "Zahra! Kok malah diam sih? " Aku yang sedang memikirkan perasaan ibuku, jika tau aku tak melanjutkan pendidikan ku, seketika sedikit tersentak ketika Amanda menepuk lenganku. "Eh, iya, Man. Kenapa? Tadi kamu ngomong apa? " tanyaku melihat Amanda yang mengerucutkan bibirnya kesal. "Ish, kamu itu ya, Ra. Aku tadi tanya kenapa kok kamu nggak jadi melanjutkan kuliah? " tanya balik Amanda. "Hufft ..., aku tak ada uang untuk membayar biaya kuliah, Man." Aku tertunduk lesu. Sebenarnya awalnya aku memang ingin setelah lulus aku mau langsung cari pekerjaan. Tetapi melihat ibuku yang sangat berharap aku meneruskan pendidikan ku ke perguruan tinggi. Membuatku berusaha mewujudkannya.Tetapi aku bingung harus bagaimana, biaya kuliah termasuk mahal. Tidak mungkin aku harus membuat ibu semakin banting tulang mencari uang untuk biaya pendidikan ku itu. Sementara saudara satu-satunya yang aku punya sudah angkat tangan tak mau ikut

    Last Updated : 2022-12-08
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 10 Tukang Gosip

    "Kita berdoa saja, Ra. Semoga saja pengajuan beasiswa kita di terima. Tak perlu kampus yang ternama lah, yang biasa saja nggak apa asalkan kita tetap lanjut kuliah, " ujar Amanda membelokkan sepeda motornya ke gang menuju rumahku. "Ra! Ra! Ra! " teriak Amanda yang berada didepanku seraya melambatkan laju kendaraannya. Aku mendekatkan kepalaku ke kepala Amanda. "Ada apa sih, Man? Kok tiba-tiba manggil aku? ""Itu kan, kakak iparmu, kan? " tanya Amanda melihat ke depan. "Mana? " tanyaku celingukan. "Itu loh. Di teras rumah orang itu loh, " jawab Amanda. Aku kemudian melihat ke depan, dan benar saja mbak Sinta sedang duduk bersama ibu-ibu tetangga di depan rumah bu Sulis. Terlihat dia sedang menunjukkan tas berwarna merah kepada ibu-ibu lainnya. "Ini, loh, Bu. Bagus, kan? Harganya mahal loh, Bu, Ibu. "Terdengar suara mbak Sinta ketika aku dan Amanda sudah dekat dengan rumah tempat dimana mbak Sinta

    Last Updated : 2022-12-25
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 11 Secercah Harapan

    "Mbak Sinta! " teriakku ketika tiba-tiba mbak Sinta merebut uang yang sedang aku pegang. "Nak, tolong kembalikan uang itu, Nak, " ucap ibuku memohon. "Hah, enak saja! Uang ini jadi milikku! Ingat Ibu masih punya hutang sama aku, buat ganti baju yang dulu Ibu rusakin, " tolak mbak Sinta dengan nada sinisnya. Terlihat mbak Sinta menghitung uang yang dirampasnya tadi. Sedangkan uang yang tadi aku sudah hitung aku sembunyikan lebih dalam dibawah tasku. Aku segera berdiri kemudian mencoba mengambil kembali uang yang diambil mbak Sinta tadi. "Ini, uang milik Ibuku! Mbak Sinta nggak berhak atas uang ini! " bentakku mencoba merebut uang di tangan mbak Sinta. Tetapi mbak Sinta juga menarik uang itu dengan lebih kuat. "Enak saja! Berani sakali ya kamu, Zahra! Ini tuh uang aku! " Terjadi tarik tarikan antara aku dan mbak Sinta. Tak ada yang mengalah di antara kami. Jelas aku tak ingin uang itu jatuh di tangan mbak Sinta.

    Last Updated : 2023-01-10
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 12 Kabar baik

    "Mungkin rumah makan ini yang di maksud Mamang tukang bakso tadi, Man, " ucapku sambil menghentikan laju sepeda motor Amanda tepat di depan sebuah rumah makan yang lumayan ramai pengunjungnya. Setelah makan bakso tadi, memang aku dan Amanda langsung beranjak untuk melihat lowongan pekerjaan yang di sebutkan mamang bakso tadi. Aku yang betada di depan memboncengkan Amanda, melajukan kendaraan akhirnya di pojok jalan ini, kami berhenti tepat di depan rumah makan. "Kita turun dulu yuk, Ra. Kita tanya sama bapak tukang parkir itu, " ucap Amanda sambil menunjuk seorang bapak paruh baya yang sedang menata sepeda motor pengunjung. Akhirnya kami turun dari sepeda motor setelah kami ikut parkir di parkiran rumah makan ini. "Ini, Neng. Kartu parkirnya, " ucap bapak parkir tadi yang ternyata sudah ada di belakang kami. "Iya, Pak. Terimakasih, " ucapku menerima kartu parkir itu. Walau sebenarnya kedatangan kami disini tak berniat makan

    Last Updated : 2023-01-13
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 13 Sungguh Keterlaluan

    "Haduh, Man. Aku capek banget hari ini, " keluhku sambil memijat lenganku, saat aku dan Amanda keluar menuju ke parkiran kampus. "Sama, Ra. Rasanya badanku kaya robot, " ujar Amanda yang juga meregangkan otot lehernya. Ya, memang hari ini adalah hari pertama semua mahasiswa baru menjalankan ospek. Rasanya tubuhku sudah tak karuan. Padahal nanti sore kami masih harus bekerja part time di warung makan. Aku dan Amanda memang memutuskan untuk tetap menjalankan pekerjaan sebagai pelayan di rumah makan waktu itu, bahkan kami sudah menerima gaji pertama kami, karena kami sudah satu bulan bekerja di rumah makan milik bu Lina itu. "Oh, iya, Man. Nanti aku langsung ke rumah makan aja sendiri, kamu nggak usah jemput aku. Kasihan kamu kalau harus bolak-balik antar jemput aku terus, " ucapku sambil menstater sepeda motor Amanda. "Aku nggak apa-apa, Ra. Kaya sama siapa aja kamu nih, " ujar Amanda sambil naik di bagian belakang. "Bukan begitu, Man. Hari ini kan kamu pasti masih capek kalau ha

    Last Updated : 2023-01-18
  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 14 Merampas

    "Astagfirullahalazim." Aku yang baru saja memejamkan mata, seketika membuka mataku setwlah mendengar suara mbak Sinta yang cukup keras. "Ibu itu bagaimana sih! Bisa kerja apa enggak! " Suara mbak Sinta terdengar lagi. Saat aku menajamkan pendengaranku, sepertinya mbak Sinta sedang membentak ibuku. Segera aku beranjak dari kasur ku menyambar kerudung instan di sampingku dan langsung keluar kamar. "Lagi-lagi Ibu ngerusakin baju kesayangan aku! " Aku segera berlari ke arah kamar belakang tempat cucian baju, karena arah suara mbak Sinta dari sana. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu nggak sengaja, tadi Ibu tinggal sebentar karena ada seseorang yang mengetuk pintu depan. " Aku yang baru saja sampai di kamar belakang, seketika membelelakan mata melihat ibuku tertunduk di depan mbak Sinta yang sedang berkacak pinggang dengan mata yang melotot melihat ke arah ibuku. "Halah, alasan terus Ibu ini!" ucap mbak Sinta lantang. "Mbak Sinta! " Mbak Sinta langsung menoleh ke arahku yang berjalan mendekat ke a

    Last Updated : 2023-01-21

Latest chapter

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 45

    Pov Zahra"Ya Allah, berikan kesembuhan pada Ibuku, " doa yang aku panjatkan sejak tadi. Hatiku rasanya diliputi perasaan cemas, gelisah, dan marah sekaligus. Cemas dan gelisah memikirkan kondisi ibu yang sekarang berada di ruang UGD karena kondisi kesehatan ibu menurun dan harus segera ditindaklanjuti. Dan aku menahan amarah pada Mas Dika dan juga istrinya. Karena mereka kondisi ibu yang semula sudah membaik berubah seketika sejak kedatangan wanita itu. Aku duduk sendiri di depan ruang UGD. Tadi mas Dika sebenarnya ingin ikut menemaniku disini. Tapi karena hatiku sedang emosi aku mengusirnya. Entah sekarang dia berada dimana aku tak peduli. Sekarang yang kubutuhkan hanya sendiri, menenangkan hati dan berdo'a untuk kesembuhan ibu. Aku benar-benar takut jika sesuatu yang paling buruk menimpa ibuku. Aku takut kehilangan ibu, hanya dia yang aku punya sekarang ini. Kakak? Entahlah, aku seperti tak memilikinya semenjak

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 44

    "Bu ..., Ibu sudah sehat? " sapa Sinta pada ibu yang masih memalingkan mukanya. "Bu, " panggil Sinta lagi, tapi tak di tanggapi oleh ibu. "Bu, Sinta kemari ada yang mau di sampaikan pada Ibu. " Aku berusaha membujuk ibu agar mau melihat kami. "Kenapa kamu ajak dia kesini, Nak? " tanya ibu yang masih memalingkan wajahnya. "Sinta mau minta maaf, Bu, " ucap Sinta. "Nggak ada yang perlu di maafkan, semua memang salah Ibu, " ucap ibu dengan suara bergetar. "Tapi, Bu .... " ucapku terjeda, dengan ucapan ibu. "Nak, bawa dia pergi dari hadapan Ibu. Ibu mohon, Nak. Ibu takut. Ibu .... Aarrggh .... Jangan, Nak. Ibu mohon, jangan sakiti Ibu lagi. Ibu sudah lelah, Nak. Jangan bentak Ibu lagi .... " Ibu berteriak ketakutan yang membuatku menjadi panik. "Ibu, tenang, Bu, " ucapku mencoba menenangkan ibu. "Jangan, Nak! Ibu mohon jangan lagi!" teriak ibu semakin menjadi. Kali ini ibu tampak menutup wajahnya dengan kedua lengannya, seperti benar-benar ketakutan. Aku yang panik langsung kelu

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 43

    Bab 43Pov Dika"Kita ke rumah sakit sekarang! " ujarku datar kepada Sinta yang sedang menonton televisi. Dari tadi malam, aku mendiamkan Sinta. Ada rasa sakit hati setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh Sinta pada ibuku. Bukankah aku sudah melimpahkan kasih sayangku kepadanya? Tapi kenapa dengan teganya dia, istriku yang paling aku cintai mejadikan Ibuku menjadi seorang pembantu. "Emm ..., mau ngapain kita kerumah sakit, Mas? " tanyanya yang membuatku mengernyit. Dia lupa, apa pura-pura lupa dengan apa yang dia ucapkan malam itu, kalau dia akan minta maaf pada ibuku. Aku menghela nafas kasar, mencoba mengontrol emosiku. "Kamu lupa kalau kamu mau minta maaf pada Ibuku? ""Oh, i-itu ..., harus sekarang ya, Mas? Nggak nunggu Ibu pulang dari rumah sakit aja? " tanyanya yang membuat hatiku menjadi panas. "Sekarang! Atau kamu mau aku ....""Baiklah, Mas. Aku siap-siap sekarang, " ujarnya cepat, kemudian bangkit dan berjalan ke arah kamar kami. Tapi sebelum masuk ke kamar kami, Si

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 42

    Bab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 41

    Pov Dika"Mas, kamu sudah pulang? Bagaimana kondisi Ibu? Ibu baik-baik saja, kan? "Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung di berondong pertanyaan Sinta yang ternyata belum kembali tidur. "Kenapa belum tidur? " tanyaku datar, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa kepada istriku ini. Haruskah aku percaya pada ucapannya yang mengatakan dia tak pernah berbuat jahat pada ibuku, ataukah ucapan Zahra tentang Sinta yang benar? Aggh rasanya aku begitu pusing memikirkan ini semua. "Aku khawatir dengan kondisi Ibu, jadi aku tak bisa kembali tidur, " ucapan Sinta membuatku menatapnya. Tetapi tak kutemukan raut kesedihan di wajahnya. Hanya seperti ..., sedih yang dibuat-buat. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek, kan? Biar ku buatkan teh hangat untukmu, " ujar Sinta lembut sembari menuntunku duduk di depan televisi. Sinta berlalu menuju dapur, sementara aku mengusap wajahku kasar. Apa mungkin Sinta yang lemah lembut seperti itu bisa tega melukai hati ib

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 40

    "Sudah, Zahra. Ibu pasti akan baik-baik saja, " ucap mas Dika yang duduk di sebelahku. "Ini semua gara-gara istri kamu itu, Mas, " ujarku lirih tanpa menoleh ke arah mas Dika. "Apa maksud kamu, Zahra! " ucap mas Dika dengan nadatau tinggi membuat beberapa orang yang duduk tak jauh dari kami menoleh menatap ke arah kami. "Ya! Ibu sakit seperti ini karena ulah istri yang kamu cintai itu! " bentakku tak kupedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh pengunjung rumah sakit lainnya. Ya, kami sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Sementara ibu sedang di tangani di IGD. "Mohon maaf Mas Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini ya. Takut menganggu pasien lainnya, " ucap suster yang sudah berdiri di depan kami. "Baiklah, Sus. Kami minta maaf, " ucap mas Dika. Sementara aku memilih diam menenangkan diri. "Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, Ra? " tanya mas Dika yang nampaknya sudah lebih tenang. "Coba saja Mas Dika tanya sama istri kamu itu, Mas. Apa yang dia lakukan kepada Ibu,

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 39

    "Siapa kira-kira ya? Kenapa dia tau aku sedang bersedih? Apa mungkin Amanda? Tapi kenapa tiba-tiba dia ganti nomer? Ah, mungkin saja dia kehabisan kuota lalu pinjam ponsel adiknya, " gumamku lalu mengetik balasan untuk pesan itu. [Iya, Man. Terimakasih, ya. Maaf tadi aku ninggalin kamu, ]balasku dengan disertai emoticon wajah sedih. Pesan yang aku kirim langsung centang dua biru, dan tak lama ada tulisan mengetik pada profilnya. [Man? Maksudnya? ]Aku mengernyit kenapa Amanda membalas seperti itu? Atau jangan-jangan dia bukan Amanda? Tapi siapa? Hanya Amanda yang tau aku sedang bersedih. Aku sudah akan mengetik balasan pesan itu, sampai terdengar suara lirih ibu memanggilku. "Nak? Zahra? Apa itu kamu? " panggil ibu lirih, segera aku beranjak dari duduk ku dan mendekat ke ranjang ibu. "Iya, Bu. Ini Zahra, Bu. Ibu butuh sesuatu? " tanyaku sendu. "Nak, tolong jangan tinggalkan Ibu sendiri ya. Ibu takut, " ucap lirih ibuku dengan mata yang sayu. Aku menaikkan satu alis, ada apa de

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 38

    "Assalamualaikum! Ibu! " seruku sembari terburu-buru masuk ke rumah. Setelah mendapat kabar dari mas Dika tadi, aku yang baru selesai bekerja langsung berlari ke jalan raya mencari taksi atau tukang ojek. Karena hari sudah larut malam, tak ada satupun taksi yang lewat. Bahkan dari tadi aku mencoba memesan taksi online, tapi tak juga ada yang menyahut. Tapi tiba-tiba kak Rayhan datang dan menawari ku untuk mengantarku pulang. Karena kekhawatiranku terhadap ibuku, aku berusaha menghilangkan kekesalanku kepada kak Rayhan. Aku di antar kak Rayhan pulang menaiki sepeda motornya. Tak ada percakapan selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiranku terhadap ibuku. Sampai di depan rumahku, aku langsung turun dari sepeda motor kak Rayhan. Dan karena aku semakin cemas dengan kondisi ibu, aku lupa untuk berterimakasih kepada kak Rayhan, karena aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Tak menunggu jawaban salamku dari dalam rumah, aku segera melangkah menuju kamar ibu. Melewati ru

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 37

    Pyar"Zahra? Ada apa ini? " tanya bu Lina yang tampak terkejut mendengar suara gelas terjatuh. "Emm, maaf, Bu. Saya nggak sengaja mecahin gelas, " ucapku merasa bersalah. Entah kenapa tiba-tiba tanganku merasa gemetar dan tak sengaja menjatuhkan gelas yang sedang aku bawa dalam nampan. Dan entah kenapa juga perasaanku menjadi tak enak seperti ini. Ada apa sebenarnya denganku ini? "Kamu sakit, Ra? " Pertanyaan bu Lina menyadarkanku dari pemikiranku. "Oh, enggak kok, Bu. Saya sehat-sehat saja. Cuma tadi sedikit kurang fokus saja, " ujarku mengulas senyum. "Kalau sakit lebih baik kamu istirahat dulu saja, Ra. Kebetulan kan pelanggan hari ini tak terlalu banyak," ucap bu Lina kemudian. "Enggak apa-apa kok, Bu. Saya masih bisa bekerja kok, " jawabku meyakinkan. Mungkin karena banyak pikiran jadi aku sedikit kurang fokus tadi. Tapi kenapa aku jadi kepikiran tentang ibu ya. Sudah lama juga aku tak berkomunikasi dengan beliau. Semoga beliau sehat-sehat selalu. "Ya sudah kalau begitu s

DMCA.com Protection Status