Bab 3
Pov Sinta"Tumben cepat, Dek? " tanya Mas Dika kala aku baru saja duduk di kursi sebelah Mas Dika."Mas, aku ada kabar baik, " ucapku dengan senyum terkembang di bibirku."Kabar baik? Apa itu, Dek? " tanya Mas Dika seraya menghadap ke arahku."Sebentar, " ucapku seraya membuka dompetku, dan mengeluarkan isinya."Aku dapat arisan, Mas, " ucapku sambil mengipaskan uang ku ke wajahku.Aroma uang ini begitu harum, yang membuat hatiku berbunga-bunga. Pokoknya aku akan habiskan uang ini untuk bersenang-senang."Emang dapat berapa sih, Dek? Kok kelihatannya banyak banget. ""Ada tiga juta, Mas, " ucapku merasa senang.Siapa yang nggak seneng coba, kemarin habis dikasih jatah bulanan Mas Dika. Hampir semua gaji Mas Dika diberikan padaku. Terus sekarang dapat arisan. Sungguh beruntungnya diri ini."Wah, banyak juga ya, Dek, " ucap Mas Dika ikut senang."Iya dong, Mas. Pokoknya nanti anterin aku shopping ya, Mas. Aku pingin beli baju baru, " ucapku sambil memegang lengan Mas Dika.Mas Dika tersenyum, dan mengusap pipiku. "Apapun akan kulakukan untukmu, Sayang. ""Ehemm .... "Terlihat ibu mertua yang baru saja keluar dari dapur, dan dibelakangnya ada si anak manja, Zahra. Dan apa itu, Zahra menatapku dengan tatapan sinis. Dikiranya aku akan takut apa? Aku balas tatapan itu dengan tatapan tajam. Dasar anak manja yang tak tau diuntung."Bian mana, Dik? " tanya ibu mertua setelah duduk dikursi ruang makan. Zahra juga ikut duduk disebelah ibunya."Masih main kayaknya, Bu. Sebentar aku panggilkan dulu, " ucap Mas Dika lalu beranjak dari kursi dan menuju kearah ruang tengah."Apa kamu lihat-lihat! " ucapku sinis pada Zahra yang dari tadi masih menatap diriku."Mata punyaku, kenapa Mbak Sinta yang sewot, " cibir Zahra kemudian beralih mengambil nasi di depannya."Dasar anak manja! " ucapku ketus."Ada apa, Mah? " tanya Mas Amir yang ternyata sudah melangkah menuju ruang makan bersama Bian."Oh, enggak apa-apa kok, Pah, " ucapku berlagak baik-baik saja.Mas Dika duduk disebelahku sedangkan Bian duduk di kursi disebelah Papanya.Saat aku akan mengambil makan, aku melihat sayur dan lauk yang berada di meja, seketika nafsu makanku hilang. Hanya ada sayur asam, ikan asin, dan sambal. Sungguh memuakkan, hari-hari makanan hanya itu saja."Pah, ayo makan diluar yuk, " ucapku memegang tangan Mas Dika."Hloh, kenapa, Mah? " tanya Mas Amir yang baru saja mengambil nasi."Enggak apa-apa, Pah. Sekali-kali kita makan diluar. ""Kalau nggak doyan bilang aja, Mbak. Mbak Sinta kan pinginnya makan lauk ayam goreng ya, Mbak? Sampai kemarin Ibu minta ayam gorengnya sedikit aja,nggak boleh," cibir Zahra yang ternyata sedang memperhatikanku.Aku langsung menatap tajam Zahra. Sedangkan ibu terlihat memegang lengan Zahra, dan menggelengkan kepalanya. Mungkin supaya Zahra tak membahas masalah kemarin kalik. Syukurin kau Zahra.Tetapi saat aku melihat kearah Mas Dika kembali, terlihat Mas Dika menatapku dengan alis bertaut."Pa-pah ke-kenapa lihat Ma-mah begitu? " tanyaku agak gugup.Jangan sampai Mas Dika percaya dengan apa yang dikatakan Zahra tadi. Memang selama ini aku berusaha terlihat bersikap baik pada ibu mertua dan Zahra kalau berada didepan Mas Dika saja.Kalau tak ada Mas Dika, aku akan memanfaatkan ibu mertua dan juga adik iparku yang kampungan itu. Entah itu menjaga anak-anakku, mencuci bajuku serta anak-anakku dan memasak untukku. Dan kalau Mas Dika memintaku membantu ibunya membersihkan rumah atau menjaga angkringan ibu mertuaku, aku akan beralasan capek mengurus anak.Dan untungnya Mas Dika percaya. Mas Dika memang sangat-sangat mencintaiku, sehingga apa yang aku mau dan apa yang kukatakan selalu di iyakan."Maksud dari perkataan Zahra apa, Mah? " tanya Mas Dika yang masih menatapku."Nggak ada kok, Pah. Zahra cuma bercanda, ya kan, Zahra? " ucapku sambil menatap tajam Zahra, berharap dia mengiyakan ucapanku."Apaan? Orang .... " Ucapan Zahra tak dilanjutkan karena lagi-lagi dicegah ibunya."Ya, Mas, " ucap Zahra lesu. Aku tersenyum melihat Zahra tak berkutik. Ha ha ha, rasain kamu Zahra. Nggak ada yang membelamu.Aku beralih menatap Mas Dika. "Tuh kan, Pah. Nggak ada apa-apa kok, " ucapku seraya tersenyum semanis mungkin, agar Mas Dika percaya padaku."Baguslah, Mah. ""Ayolah, Pah. Kita sarapan diluar aja, yuk. Sekalian anterin aku shopping, " rengek ku sambil memegang lengan Mas Dika."Tapi, Mah. Ibu sudah masak hlo, Mah, " ucap Mas Dika melihat ibunya dengan raut muka merasa tak enak."Udah, Dik. Ajak saja istrimu sarapan diluar, " ucap ibu mertuaku."Tuh, Pah. Ibu aja nggak masalah kok. Ayolah, Pah, " ajakku sekali lagi."Kalau begitu Ibu sama Zahra ikut sekalian ya, Mah? " tanya Mas Dika yang membuatku mendadak merasa kesal.Aku harus mencari cara agar Ibu dan Zahra nggak usah ikut. Enak saja mereka mau makan enak tapi pakai uangku. Tiba-tiba aku ada ide."Hloh, Pah. Kalau Zahra sama Ibu ikut, nanti yang makan ini semua siapa? " tanyaku sambil menunjuk makanan yang terhidang di meja makan."Ya, nanti bisa buat makan siang kan, Mah. Bisa di panasin lagi. " Aku semakin kesal mendengar ucapan Mas Dika."Sudah lah, Dik. Kamu sama istrimu dan anak-anakmu aja yang pergi. Ibu sama Zahra biar makan ini saja. " Bagus Ibu mertua tau saja keinginanku."Tapi, Bu .... ""Ayolah, Pah, " rengekku memohon."Ya sudah, kalau begitu. Tapi Sindi gimana dong, Mah? ""Sindi masih tidur, biar dirumah aja, Pah. Lagian kan ada Ibu sama Zahra yang bisa jagain. Kebetulan dikulkas masih ada Asi yang aku perah tadi, kok. ""Gimana, Bu? " Ish Mas Dika nih, kenapa mesti meminta pendapat ibunya sih. Bikin sebel aja."Iya, Dik. Nggak apa. Biar Sindi sama Ibu aja dirumah, " ucap Ibu mertua. Tetapi saat aku tak sengaja melihat Zahra sepertinya dia menahan rasa kesal terlihat dari raut wajahnya yang menatapku sebal."Ya sudah, aku siap-siap dulu, " ucap Mas Dika, beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kamar kami."Dasar nggak tau malu. Mau senang-senang tapi ngrepotin orang. Huh! " sindir Zahra tanpa menoleh padaku."Iri? Bilang bos! Ha ha ha. " Aku beranjak dari kursi."Ayo, Bian. Kita tunggu Papah diluar, disini hawanya panas, " ucapku sambil melirik ke arah Zahra."Iya, Mah. " Bian langsung berdiri dan mengikutiku ke luar rumah."Dasar nggak tau malu! " teriak Zahra. Aku tetap berjalan keluar tanpa memperdulikan teriakan Zahra.***"Mah, nanti Bian mau beli mobil-mobilan balu ya, Mah, " ucap Bian kala kami sedang memasuki sebuah mall.Setelah tadi mengisi perut dengan sarapan di sebuah rumah makan, aku langsung mengajak Mas Dika ke Mall yang tak jauh dari rumah makan tadi. Dan jadilah kami berada di Mall ini."Tentu boleh dong, Bian, " ucapku menanggapi permintaan anak sulung ku itu."Hollee .... " Bian terlihat tersenyum lebar.Aku mengajak Mas Dika dan Bian memasuki toko pakaian."Pah, ini bagus nggak? " ucapku menenteng selembar kerudung pasmina yang dijual ditoko ini."Bagus kok, Mah.""Ya sudah aku beli yang ini ya? " ucapku memasukan pasmina itu ke tas toko."Zahra sama Ibu beliin kerudung sekalian ya, Mah? " Ish Mas Dika ini buat mood ku belanja rusak aja sih. Ngapain coba beliin Ibu mertua sama Zahra juga."Ibu kan masih punya banyak kerudung, Pah. Terus Zahra jangan terlalu dimanjain lah, Pah. Nanti takutnya Zahra jadi anak manja, " ucapku mencari alasan."Oh, ya sudah. Terserah kamu aja, Mah. " Nah begitu dong, nurut sama istri.Akhirnya setelah capek berbelanja, kami memutuskan untuk pulang.Malam hari tiba, Bian dan Sindi sudah tidur sejak habis magrib tadi. Tinggalah aku dan Mas Dika yang masih terjaga dengan ponsel masing-masing."Dek, Mas Boleh tanya? " Tiba-tiba Mas Dika berbicara memecah keheningan."Tanya apa, Mas? " tanyaku balik tanpa menoleh kearah Mas Dika."Apa benar kamu menyuruh Ibu mencuci baju mu? "Aku langsung mengalihkan pandanganku dari ponselku, dan menatap Mas Dika.'Pasti ini Zahra yang ngadu ke Mas Dika. Ish awas aja kamu, Zahra, ' geram ku dalam hati."Cuma sekali, Mas. Kemarin itu Sindi rewel terus, Mas. Terus cucian numpuk saat aku mau mencuci baju itu Sindi nangis lagi terus Ibu menawarkan bantuan untuk mencuci baju itu, " kilahku, berbohong."Owalah, begitu. Tapi kata Zahra kamu bentak-bentak Ibu ya? " tanya Mas Dika lagi.Aku langsung merubah ekpresi ku pura-pura sedih. "Mas kok bilang begitu sih. Hiks. ""Kok, malah nangis sih, Sayang, " ucap Mas Dika terlihat khawatir. Terbukti dia langsung menegakkan duduknya. Dan meraih ku kedalam pelukannya. Kebetulan kasur kami ada dua. Satu di tempati Bian dan Sindi, satu lagi aku tempati bersama Mas Dika."Mas, jahat. Hiks. Mas nggak percaya sama aku. Mana mungkin aku berani bentak-bentak Ibu. Ibu sudah aku anggap Ibuku sendiri. Hiks. Mas lebih percaya Zahra," ucapku pura-pura menangis dipelukan Mas Dika."Sudah-sudah jangan menangis lagi ya, Sayang. Maafkan Mas ya. Mas percaya sama kamu kok, " ucap Mas Dika mengelus punggungku."Mas jangan langsung percaya Zahra lagi ya, Mas. Zahra memang begitu, Mas. Suka memfitnah aku. Mungkin dia memang nggak suka aku berada disini, " ucapku mendramatisir keadaan."Iya, Sayang. "'Awas kamu Zahra! Tunggu pembalasan dariku! "teriakku dalam hati.Bab 4"Bu, jadi kepasarnya? " tanyaku menghampiri ibuku di kamarnya. "Iya, Nak. Sebentar. Ibu siap-siap dulu, " jawab ibuku sembari melipat mukenanya. Mungkin ibu baru saja selesai sholat subuh. Karena memang ini masih sangat pagi. Kebetulan aku sedang halangan, jadi setelah bangun tidur aku segera mandi dan bersiap-siap mengantar ibuku ke pasar untuk membeli keperluan jualannya. Hari ini ibuku sudah mulai membuka warung kopi nya lagi, setelah beberapa hari libur tak jualan. Kemarin ibu mengatakan kalau pagi ini mau kepasar. Aku dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarnya. Karena hari ini memang siswa siswi kelas tiga sudah tak ada kegiatan di sekolah. Hanya tinggal menunggu ijazah keluar. Alhamdulillah aku dinyatakan lulus, dan aku juga bersyukur karena aku masuk dalam daftar siswa yang bisa mendaftar ke Universitas tanpa tes. Alias jalur undangan, yang diberikan untuk siswa siswi berpotensi. Tentunya masih tetap harus dis
"Astagfirullahaladzim ..., ada apa ini, Nak? " Aku menoleh ternyata ibu sudah berada di pintu masuk dapur, dengan ekspresi terkejut melihat hampir semua belanjaan berceceran di lantai. "Tanya sama menantu kesayangan Ibu itu, " ucapku menunjuk ke arah Mbak Sinta yang bersikap angkuh seolah-olah tak merasa bersalah. Ish, pengen ku cakar wajah Mbak Sinta itu. "Ini ada apa, Nak Sinta? " tanya ibu mendekat ke arah ku dan Mbak Sinta. "Tanya aja sama anak manja ini, " jawab Mbak Sinta acuh tanpa adanya sopan santun, seperti tak menghormati ibuku sebagai mertuanya. "Heh, Mbak Sinta! Jelas-jelas Mbak yang berantakin semua ini! Sekarang tanggung jawab, beresin semua ini!" bentakku dengan melotot ke arah Mbak Sinta."Enak aja, situ yang salah kenapa aku yang harus beresin, " ucap Mbak Sinta sambil memainkan kuku-kuku panjangnya. Aku juga heran dengan Mbak Sinta, dia punya bayi tapi kok malah memanjangkan kuku nya. Seperti tak takut kal
"Apa? Apa yang kamu katakan tadi? Kamu mau mengganti uang itu? Ha ha ha, kamu mau mengganti uang itu dengan apa? Dengan daun? Atau dengan batu? Ha ha ha. Sudah deh, jangan bercanda! Ha ha ha. " Tawa mengejek dari Mbak Sinta menggelegar di ruang dapur ini. "Sudah, Nak. Nggak usah diperpanjang, biar ibu saja yang menanggungnya, " ucap ibuku yang masih mengalirkan air matanya. "Tapi, Bu ..., " ucapku memelas, tapi terpotong oleh elusan ibuku di lenganku. Dan gelengan lemah kepalanya. "Sudah deh, nggak usah drama gitu. Kamu anak manja sekarang beresin ini semua. Dan Ibu cepat buatkan aku sarapan. Aku mau rebahan dulu, capek meladeni anak manja ini, " ucap Mbak Sinta kemudian melenggang pergi. Hatiku rasanya sangat panas mendengar ejekan dari Mbak Sinta. Memang benar untuk sekarang aku belum bisa mengganti uang itu, tapi aku akan bertekad mengganti uang itu, agar ibuku tak diperlakukan semena-mena lagi. "Nak, yang sabar ya. Sudah ngg
Pov Sinta"Oh, ini, Dek. Zahra diterima kuliah di Universitas ternama, " jawab mas Dika kala aku ikut duduk di sebelah mas Dika. "Wah, iya, kah? Selamat ya Zahra, " ucapku pura-pura ikut senang. Padahal di hatiku mengatakan hal yang lain. Zahra terlihat cuek kepadaku, karena dia hanya memutar bola matanya menanggapi ucapan selamatku. Aku tak perduli hal itu, karena menurutku di terimanya Zahra di Universitas berarti biaya yang dikeluarkan mas Dika akan semakin banyak juga, sehingga jatah bulanan ku pasti akan berkurang lagi. Tidak bisa terjadi, hal ini jangan sampai terjadi. Aku harus cari cara agar mas Dika tak membiayai Zahra kuliah, apalagi tadi samar-samar aku mendengar kalau mas Dika akan membiayai semua biaya kuliah Zahra. "Memangnya berapa rupiah untuk biaya daftar ulangnya, Dek? " tanya mas Dika sambil mencomot gorengan yang berada di depannya. "Kurang tau aku, Mas, pastinya berapa. Tapi kata teman-temanku
"Zahra! Sini! " Aku yang baru saja masuk ke rumah setelah menjemur cucianku, menoleh ke arah mas Dika yang sedang duduk di depan tv bersama secangkir kopi di depannya. "Ada apa, Mas. Aku mau naruh ember ke belakang dulu, " ucapku datar. Aku masih kesal dengan mas Dika, yang dari dulu selalu membela mbak Sinta, padahal jelas-jelas mbak Sinta yang memulai keributan di warung ibu kemarin. "Ya sudah. Nanti kalau sudah, kamu kesini lagi. Mas Dika mau bicara, " ujar mas Dika kemudian mengambil secangkir kopi yang berada di depannya lalu menyeruput nya. Aku tau itu kopi walau jarak ku berdiri dan mas Dika duduk tak terlalu jauh, dan aku bisa mencium aroma kopi yang biasa ibu buat. Melangkah ke kamar mandi ingin meletakkan ember yang aku bawa tadi, aku berpikir tumben mas Dika pagi-pagi memintaku bicara dengannya. Sepertinya ada hal serius yang akan di bicarakan. Biasanya pagi-pagi sebelum berangkat bekerja, pasti mbak Sinta akan bermanja-manja dulu dengan mas Dika. Tanpa rasa malu mbak S
"Zahra! Kok malah diam sih? " Aku yang sedang memikirkan perasaan ibuku, jika tau aku tak melanjutkan pendidikan ku, seketika sedikit tersentak ketika Amanda menepuk lenganku. "Eh, iya, Man. Kenapa? Tadi kamu ngomong apa? " tanyaku melihat Amanda yang mengerucutkan bibirnya kesal. "Ish, kamu itu ya, Ra. Aku tadi tanya kenapa kok kamu nggak jadi melanjutkan kuliah? " tanya balik Amanda. "Hufft ..., aku tak ada uang untuk membayar biaya kuliah, Man." Aku tertunduk lesu. Sebenarnya awalnya aku memang ingin setelah lulus aku mau langsung cari pekerjaan. Tetapi melihat ibuku yang sangat berharap aku meneruskan pendidikan ku ke perguruan tinggi. Membuatku berusaha mewujudkannya.Tetapi aku bingung harus bagaimana, biaya kuliah termasuk mahal. Tidak mungkin aku harus membuat ibu semakin banting tulang mencari uang untuk biaya pendidikan ku itu. Sementara saudara satu-satunya yang aku punya sudah angkat tangan tak mau ikut
"Kita berdoa saja, Ra. Semoga saja pengajuan beasiswa kita di terima. Tak perlu kampus yang ternama lah, yang biasa saja nggak apa asalkan kita tetap lanjut kuliah, " ujar Amanda membelokkan sepeda motornya ke gang menuju rumahku. "Ra! Ra! Ra! " teriak Amanda yang berada didepanku seraya melambatkan laju kendaraannya. Aku mendekatkan kepalaku ke kepala Amanda. "Ada apa sih, Man? Kok tiba-tiba manggil aku? ""Itu kan, kakak iparmu, kan? " tanya Amanda melihat ke depan. "Mana? " tanyaku celingukan. "Itu loh. Di teras rumah orang itu loh, " jawab Amanda. Aku kemudian melihat ke depan, dan benar saja mbak Sinta sedang duduk bersama ibu-ibu tetangga di depan rumah bu Sulis. Terlihat dia sedang menunjukkan tas berwarna merah kepada ibu-ibu lainnya. "Ini, loh, Bu. Bagus, kan? Harganya mahal loh, Bu, Ibu. "Terdengar suara mbak Sinta ketika aku dan Amanda sudah dekat dengan rumah tempat dimana mbak Sinta
"Mbak Sinta! " teriakku ketika tiba-tiba mbak Sinta merebut uang yang sedang aku pegang. "Nak, tolong kembalikan uang itu, Nak, " ucap ibuku memohon. "Hah, enak saja! Uang ini jadi milikku! Ingat Ibu masih punya hutang sama aku, buat ganti baju yang dulu Ibu rusakin, " tolak mbak Sinta dengan nada sinisnya. Terlihat mbak Sinta menghitung uang yang dirampasnya tadi. Sedangkan uang yang tadi aku sudah hitung aku sembunyikan lebih dalam dibawah tasku. Aku segera berdiri kemudian mencoba mengambil kembali uang yang diambil mbak Sinta tadi. "Ini, uang milik Ibuku! Mbak Sinta nggak berhak atas uang ini! " bentakku mencoba merebut uang di tangan mbak Sinta. Tetapi mbak Sinta juga menarik uang itu dengan lebih kuat. "Enak saja! Berani sakali ya kamu, Zahra! Ini tuh uang aku! " Terjadi tarik tarikan antara aku dan mbak Sinta. Tak ada yang mengalah di antara kami. Jelas aku tak ingin uang itu jatuh di tangan mbak Sinta.
Pov Zahra"Ya Allah, berikan kesembuhan pada Ibuku, " doa yang aku panjatkan sejak tadi. Hatiku rasanya diliputi perasaan cemas, gelisah, dan marah sekaligus. Cemas dan gelisah memikirkan kondisi ibu yang sekarang berada di ruang UGD karena kondisi kesehatan ibu menurun dan harus segera ditindaklanjuti. Dan aku menahan amarah pada Mas Dika dan juga istrinya. Karena mereka kondisi ibu yang semula sudah membaik berubah seketika sejak kedatangan wanita itu. Aku duduk sendiri di depan ruang UGD. Tadi mas Dika sebenarnya ingin ikut menemaniku disini. Tapi karena hatiku sedang emosi aku mengusirnya. Entah sekarang dia berada dimana aku tak peduli. Sekarang yang kubutuhkan hanya sendiri, menenangkan hati dan berdo'a untuk kesembuhan ibu. Aku benar-benar takut jika sesuatu yang paling buruk menimpa ibuku. Aku takut kehilangan ibu, hanya dia yang aku punya sekarang ini. Kakak? Entahlah, aku seperti tak memilikinya semenjak
"Bu ..., Ibu sudah sehat? " sapa Sinta pada ibu yang masih memalingkan mukanya. "Bu, " panggil Sinta lagi, tapi tak di tanggapi oleh ibu. "Bu, Sinta kemari ada yang mau di sampaikan pada Ibu. " Aku berusaha membujuk ibu agar mau melihat kami. "Kenapa kamu ajak dia kesini, Nak? " tanya ibu yang masih memalingkan wajahnya. "Sinta mau minta maaf, Bu, " ucap Sinta. "Nggak ada yang perlu di maafkan, semua memang salah Ibu, " ucap ibu dengan suara bergetar. "Tapi, Bu .... " ucapku terjeda, dengan ucapan ibu. "Nak, bawa dia pergi dari hadapan Ibu. Ibu mohon, Nak. Ibu takut. Ibu .... Aarrggh .... Jangan, Nak. Ibu mohon, jangan sakiti Ibu lagi. Ibu sudah lelah, Nak. Jangan bentak Ibu lagi .... " Ibu berteriak ketakutan yang membuatku menjadi panik. "Ibu, tenang, Bu, " ucapku mencoba menenangkan ibu. "Jangan, Nak! Ibu mohon jangan lagi!" teriak ibu semakin menjadi. Kali ini ibu tampak menutup wajahnya dengan kedua lengannya, seperti benar-benar ketakutan. Aku yang panik langsung kelu
Bab 43Pov Dika"Kita ke rumah sakit sekarang! " ujarku datar kepada Sinta yang sedang menonton televisi. Dari tadi malam, aku mendiamkan Sinta. Ada rasa sakit hati setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh Sinta pada ibuku. Bukankah aku sudah melimpahkan kasih sayangku kepadanya? Tapi kenapa dengan teganya dia, istriku yang paling aku cintai mejadikan Ibuku menjadi seorang pembantu. "Emm ..., mau ngapain kita kerumah sakit, Mas? " tanyanya yang membuatku mengernyit. Dia lupa, apa pura-pura lupa dengan apa yang dia ucapkan malam itu, kalau dia akan minta maaf pada ibuku. Aku menghela nafas kasar, mencoba mengontrol emosiku. "Kamu lupa kalau kamu mau minta maaf pada Ibuku? ""Oh, i-itu ..., harus sekarang ya, Mas? Nggak nunggu Ibu pulang dari rumah sakit aja? " tanyanya yang membuat hatiku menjadi panas. "Sekarang! Atau kamu mau aku ....""Baiklah, Mas. Aku siap-siap sekarang, " ujarnya cepat, kemudian bangkit dan berjalan ke arah kamar kami. Tapi sebelum masuk ke kamar kami, Si
Bab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I
Pov Dika"Mas, kamu sudah pulang? Bagaimana kondisi Ibu? Ibu baik-baik saja, kan? "Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung di berondong pertanyaan Sinta yang ternyata belum kembali tidur. "Kenapa belum tidur? " tanyaku datar, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa kepada istriku ini. Haruskah aku percaya pada ucapannya yang mengatakan dia tak pernah berbuat jahat pada ibuku, ataukah ucapan Zahra tentang Sinta yang benar? Aggh rasanya aku begitu pusing memikirkan ini semua. "Aku khawatir dengan kondisi Ibu, jadi aku tak bisa kembali tidur, " ucapan Sinta membuatku menatapnya. Tetapi tak kutemukan raut kesedihan di wajahnya. Hanya seperti ..., sedih yang dibuat-buat. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek, kan? Biar ku buatkan teh hangat untukmu, " ujar Sinta lembut sembari menuntunku duduk di depan televisi. Sinta berlalu menuju dapur, sementara aku mengusap wajahku kasar. Apa mungkin Sinta yang lemah lembut seperti itu bisa tega melukai hati ib
"Sudah, Zahra. Ibu pasti akan baik-baik saja, " ucap mas Dika yang duduk di sebelahku. "Ini semua gara-gara istri kamu itu, Mas, " ujarku lirih tanpa menoleh ke arah mas Dika. "Apa maksud kamu, Zahra! " ucap mas Dika dengan nadatau tinggi membuat beberapa orang yang duduk tak jauh dari kami menoleh menatap ke arah kami. "Ya! Ibu sakit seperti ini karena ulah istri yang kamu cintai itu! " bentakku tak kupedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh pengunjung rumah sakit lainnya. Ya, kami sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Sementara ibu sedang di tangani di IGD. "Mohon maaf Mas Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini ya. Takut menganggu pasien lainnya, " ucap suster yang sudah berdiri di depan kami. "Baiklah, Sus. Kami minta maaf, " ucap mas Dika. Sementara aku memilih diam menenangkan diri. "Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, Ra? " tanya mas Dika yang nampaknya sudah lebih tenang. "Coba saja Mas Dika tanya sama istri kamu itu, Mas. Apa yang dia lakukan kepada Ibu,
"Siapa kira-kira ya? Kenapa dia tau aku sedang bersedih? Apa mungkin Amanda? Tapi kenapa tiba-tiba dia ganti nomer? Ah, mungkin saja dia kehabisan kuota lalu pinjam ponsel adiknya, " gumamku lalu mengetik balasan untuk pesan itu. [Iya, Man. Terimakasih, ya. Maaf tadi aku ninggalin kamu, ]balasku dengan disertai emoticon wajah sedih. Pesan yang aku kirim langsung centang dua biru, dan tak lama ada tulisan mengetik pada profilnya. [Man? Maksudnya? ]Aku mengernyit kenapa Amanda membalas seperti itu? Atau jangan-jangan dia bukan Amanda? Tapi siapa? Hanya Amanda yang tau aku sedang bersedih. Aku sudah akan mengetik balasan pesan itu, sampai terdengar suara lirih ibu memanggilku. "Nak? Zahra? Apa itu kamu? " panggil ibu lirih, segera aku beranjak dari duduk ku dan mendekat ke ranjang ibu. "Iya, Bu. Ini Zahra, Bu. Ibu butuh sesuatu? " tanyaku sendu. "Nak, tolong jangan tinggalkan Ibu sendiri ya. Ibu takut, " ucap lirih ibuku dengan mata yang sayu. Aku menaikkan satu alis, ada apa de
"Assalamualaikum! Ibu! " seruku sembari terburu-buru masuk ke rumah. Setelah mendapat kabar dari mas Dika tadi, aku yang baru selesai bekerja langsung berlari ke jalan raya mencari taksi atau tukang ojek. Karena hari sudah larut malam, tak ada satupun taksi yang lewat. Bahkan dari tadi aku mencoba memesan taksi online, tapi tak juga ada yang menyahut. Tapi tiba-tiba kak Rayhan datang dan menawari ku untuk mengantarku pulang. Karena kekhawatiranku terhadap ibuku, aku berusaha menghilangkan kekesalanku kepada kak Rayhan. Aku di antar kak Rayhan pulang menaiki sepeda motornya. Tak ada percakapan selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiranku terhadap ibuku. Sampai di depan rumahku, aku langsung turun dari sepeda motor kak Rayhan. Dan karena aku semakin cemas dengan kondisi ibu, aku lupa untuk berterimakasih kepada kak Rayhan, karena aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Tak menunggu jawaban salamku dari dalam rumah, aku segera melangkah menuju kamar ibu. Melewati ru
Pyar"Zahra? Ada apa ini? " tanya bu Lina yang tampak terkejut mendengar suara gelas terjatuh. "Emm, maaf, Bu. Saya nggak sengaja mecahin gelas, " ucapku merasa bersalah. Entah kenapa tiba-tiba tanganku merasa gemetar dan tak sengaja menjatuhkan gelas yang sedang aku bawa dalam nampan. Dan entah kenapa juga perasaanku menjadi tak enak seperti ini. Ada apa sebenarnya denganku ini? "Kamu sakit, Ra? " Pertanyaan bu Lina menyadarkanku dari pemikiranku. "Oh, enggak kok, Bu. Saya sehat-sehat saja. Cuma tadi sedikit kurang fokus saja, " ujarku mengulas senyum. "Kalau sakit lebih baik kamu istirahat dulu saja, Ra. Kebetulan kan pelanggan hari ini tak terlalu banyak," ucap bu Lina kemudian. "Enggak apa-apa kok, Bu. Saya masih bisa bekerja kok, " jawabku meyakinkan. Mungkin karena banyak pikiran jadi aku sedikit kurang fokus tadi. Tapi kenapa aku jadi kepikiran tentang ibu ya. Sudah lama juga aku tak berkomunikasi dengan beliau. Semoga beliau sehat-sehat selalu. "Ya sudah kalau begitu s