Kai mengetuk pintu kamar Kira, tapi ia tak mendapat sahutan. Ia memutar knop pintu itu. Tidak terkunci. Namun, Kai tidak menemukan Kira di dalam sana. Tempat tidurnya pun sudah rapi. Kai sempat berpikir bahwa Kira ada di dapur. Ia pun turun ke lantai satu, tapi ia hanya menemukan Ani yang tengah menata makanan di atas meja. “Ke mana Kira?” tanya Kai dengan kening berkerut. Ani menghentikan aktifitasnya sesaat, ia menatap majikannya yang belum berpakaian rapi. Ani menahan senyum karena biasanya Kira yang merapikan pakaian tersebut. “Non Kira sudah pergi tadi sebelum jam enam, Tuan.” “Sudah pergi?” Alis Kai saling bertaut. “Kenapa pagi-pagi sekali?” “Saya nggak tahu, Tuan. Tadi pagi Non Kira belum sempat sarapan karena buru-buru.” Kai mengembuskan napas kasar. Ia kembali ke kamar dan meraih ponsel dari nakas, lalu menghubungi nomor telepon Kira. Namun, panggilannya tidak diangkat. Sial. Akhirnya Kai mengancingkan kemejanya seorang diri sambil berdiri di depan cermin. Ia juga meny
“Setiap kali aku bertemu Julian, kamu tidak boleh ikut. Tugasmu akan digantikan Lia.”Sontak, Kira mengerutkan keningnya bingung. Ia tak mengerti kenapa Kai tiba-tiba memberi keputusan seperti itu.“Tuan, apa ada yang salah dengan kinerja saya?” tanya Kira sambil mundur satu langkah.Kai maju satu langkah, membuat jarak di antara mereka semakin terkikis. “Tidak ada,” jawab Kai seraya menatap wajah Kira lamat-lamat dengan tatapan sulit diartikan.“Lalu? Kenapa saya tidak diperbolehkan menemani Anda saat bertemu dengan Pak Julian?” Kira mendongak, balas menatap Kai. Ia terus mundur karena tidak ingin dekat dengan pria itu.Namun, Kai terus maju mendekati Kira. Hingga akhirnya bokong Kira membentur bagian belakang punggung sofa. Mata Kira terbelalak karena ia tak punya ruang lagi untuk menghindar.“Tuan Kaisar, apa yang Anda lakukan?” tanya Kira dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan kepanikan yang menguasai dirinya.Satu sudut bibir Kai terangkat. “Kamu tanya kenapa aku nggak membo
“Honey, apa yang kamu lakukan pada wanita itu?” tanya Violet dengan bibir bergetar sesaat setelah Kira pergi dari ruangan tersebut.Kai mengusap wajahnya dengan kasar, satu tangannya yang lain berkacak pinggang. Namun, pria itu tampaknya tidak ingin menjelaskan lebih lanjut alasan ia dan Kira tiba-tiba berciuman.“Kenapa kamu datang tanpa memberitahuku, Vi? Bagaimana kondisi Luna sekarang? Kenapa kamu malah meninggalkannya?” tanya Kai, mengalihkan topik pembicaraan mereka.Mendengar pertanyaan tersebut, Violet pun tersenyum sinis. “Kenapa memangnya kalau aku datang tanpa memberitahumu? Kamu akan menyembunyikan aktifitasmu dengan asisten pribadimu barusan dariku?”“Vi, apa yang kamu lihat nggak seperti apa yang kamu pikirkan!” tegas Kai dengan tatapan serius, membuat Violet seketika terdiam.Violet selalu tidak ingin membuat Kai marah, jadi ia lebih memilih diam daripada menimpali ucapan lelaki itu.Kai menghampiri kursi kebesarannya dan duduk di sana. Sementara Violet datang menghampi
Setelah membaca pesan dari Julian tersebut, tanpa sadar Kai mengetatkan rahangnya. Ia kembali masuk ke ruangannya sambil melonggarkan ikatan dasinya yang terasa mencekik leher. ‘Brengsek!’ maki Kai dalam hati sambil melempar ponsel ke atas sofa. ‘Kenapa juga aku harus marah?’ Kai mengembuskan napas kasar. Ia duduk di kursinya, fokus pada pekerjaan dan berusaha mengabaikan pesan dari Julian. Namun, sial! Bayangan saat ia berciuman dengan Kira dan pesan dari Julian datang silih berganti memenuhi benaknya, membuat Kai menggeram kesal sambil mengusap wajah dengan kasar. Ia bangkit dari kursinya, mondar-mandir di tengah ruangan seperti beruang kebingungan. Sesekali ia mengumpat. Kai sendiri bingung kenapa dirinya ingin marah saat ini? Tak bisa begini terus, Kai pun mengambil ponselnya dari sofa dan menghubungi nomor telepon Kira. Akan tetapi panggilannya tidak diangkat. Sial! Sial! Sial! Di sisi lain, Kira yang baru selesai memesan makanan pun terkejut kala ponselnya bergetar. Ia m
Tanpa membuang-buang waktu, detik itu juga Kai melangkahkan kakinya lebar-lebar menghampiri meja Julian dan Kira.“Kira!” panggil Kai dengan suara baritonnya yang dalam.Mendengar namanya dipanggil dan menyadari kehadiran seseorang di samping meja, sontak Kira menoleh, ia terkejut kala melihat Kai sudah berada di sampingnya.“Tuan Kaisar?” gumam Kira sambil menarik tangannya yang semula ditepuk-tepuk pelan oleh Julian. Kira segera berdiri. “Ada apa Anda datang kemari?”Kai tidak menjawab, ia hanya menatap Kira dan Julian bergantian.Julian pun tak kalah terkejutnya. Julian tak menyangka Kai akan datang setelah ia menyebutkan tempat ia dan Kira makan siang.“Hey, Bung!” Julian berdiri dan meninju pelan lengan atas Kaisar. “Ada apa? Kamu benar-benar khawatir aku akan menculik asisten pribadimu?” candanya sambil terkekeh-kekeh.Kai mendengus kecil, kalau bukan temannya, Kai pasti sudah melayangkan tatapan tajam pada Julian. “Aku tidak takut, karena dia juga nggak akan berani pergi dariku
“Sampai jumpa lagi, terima kasih sudah bersedia makan siang denganku.” Julian tersenyum manis ke arah Kira. Kira balas tersenyum, mengangguk. “Sama-sama. Hati-hati dijalan.” Julian ikut mengangguk, ia menatap ke arah Kai dengan tatapan curiga, sebab sejak tadi temannya itu tampak berbeda setiap kali menatap Kira. Namun, Julian tidak menunjukkan kecurigaannya. Pria itu langsung naik ke dalam mobil begitu sopirnya tiba. “Ikut naik mobil bersamaku,” ucap Kai sesaat setelah kepergian Julian. “Nggak perlu, Tuan, saya jalan kaki saja. Lagipula jarak dari sini ke kantor tidak terlalu jauh,” tolak Kira dengan halus sambil tersenyum. Melihat senyuman itu, Kai pun membuang muka dan menelan salivanya. Lalu berkata dengan nada tegas, “Naik! Jangan menolak!” Kira mengembuskan napas sepelan mungkin, lalu akhirnya mengangguk karena tidak ingin membuat keributan di tempat umum. Ia pun naik ke dalam mobil Kai. Kai mengemudikan mobilnya sendiri. Suasana di dalam mobil terasa canggung. Bayangan s
“Laki-laki barusan–maksud saya Kaisar Antariksa, apa yang dia lakukan di sini?”Sang kasir yang mengetahui bahwa yang berbicara di hadapannya adalah CEO Nusantara Hospital, langsung terkejut dan berdiri. “Pak Julian, selamat siang,” sapanya kemudian sambil tersenyum. “Apa maksud Anda laki-laki yang memakai jas barusan?”“Benar. Dia teman saya,” ucap Julian, “apa yang dia lakukan di sini?” tanyanya sekali lagi dengan penuh rasa ingin tahu. Apakah ada saudaranya yang sakit? Jika iya, maka Julian berniat untuk menjenguknya, pikir Julian.“Oh, itu… Pak Kaisar baru saja membayar tagihan rumah sakit, Pak.”“Tagihan rumah sakit?” Kening Julian berkerut bingung. “Untuk siapa?” Sebenarnya ia tidak ingin ikut campur, tapi entah mengapa Julian tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.Kasir itu tampak ragu sejenak, tapi karena yang bertanya adalah Julian, CEO rumah sakit ini, ia akhirnya menjawab dengan hati-hati, “Untuk pasien bernama Indah, Pak.”Mendengar nama Indah disebut-sebut, Julian pun ter
Kira mengempaskan tubuhnya di sofa. Ia merasa lelah. Entah mengapa akhir-akhir ini Kai selalu memberinya banyak pekerjaan yang menurut Kira tak masuk akal. Sehingga seharian Kira hanya duduk di depan komputer.Untuk makan siang saja ia harus pesan online. Bahkan untuk membalas pesan singkat pun Kira nyaris tidak sempat.Kini, Kira duduk di sofa ruang keluarga. Baru saja selesai memompa ASI untuk Luna. Setelah memasukan ASIP ke freezer dan merapikan alat pompa ASI, Kira duduk kembali di sofa sambil menonton televisi.Berkali-kali Kira menguap. Hingga perlahan-lahan matanya mulai terpejam dan remote di tangannya terjatuh ke sofa.Sementara itu di sisi lain, di dalam sebuah kamar, Kai tidak bisa memejamkan matanya. Ia berguling ke kiri dan kanan, berusaha mencari kenyamanan dalam tidurnya. Namun Kai tidak mendapatkannya.Setiap kali Kai memejamkan mata, bayangan ia sedang berciuman dengan Kira selalu melintas di benaknya. Datang silih berganti dengan bayangan Julian yang memegang tangan
‘Mas Kai ke mana? Apa dia belum turun?’ batin Kira yang tengah memasukkan ASIP yang ia pompa pagi ini ke dalam freezer, rencananya akan ia antarkan ke rumah Violet sebelum berangkat kerja.“Tuan Kai sudah pergi tadi pagi-pagi sekali, Non,” ucap Ani–yang tampaknya mengerti apa yang ada di benak Kira, karena Kira terus saja melihat ke lantai dua.“Oh? Udah berangkat?” Kira cukup terkejut mendengarnya. Pantas saja sejak tadi ia tidak mendapati Kai turun dari kamarnya.“Iya, Non. Katanya ada urusan penting.”Urusan penting?Kira terdiam. Kenapa Kai tidak memberitahunya kalau Kai harus pergi pagi-pagi? Apa jangan-jangan… urusan penting itu adalah menemui Violet di rumah sakit?Mengingat hal itu, seketika Kira menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau peduli Kai akan bertemu dengan Violet atau tidak. Itu bukan urusannya.Selesai sarapan pagi itu, Kira keluar rumah dan ia disambut oleh sopir yang sudah siap dengan mobilnya.Sang sopir itu menghampiri Kira dan berkata sopan, “Selamat pagi, Non. A
Kai memeluk Kira dengan erat, seolah takut jika ia melepaskannya, Kira akan menghilang selamanya dari hidupnya.“Beri aku kesempatan untuk bicara,” gumam Kai.Kira masih membeku. Hangatnya pelukan Kai membuat tangan Kira mengepal. Kira menyadarkan dirinya sendiri kali ini untuk jangan terlena.“Baiklah,” ucap Kira pada akhirnya sambil menaruh kedua telapak tangan di dada Kai, lalu mendorongnya. “Kita bicara, tapi jangan seperti ini.”Namun, alih-alih melepaskannya, Kai justru mengeratkan pelukannya itu, membuat Kira merasakan dadanya sesak.“Kumohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Kira.” Suara Kai terdengar berat dan sungguh-sungguh. “Aku sudah memutuskan hubunganku dengan Violet.”Terang saja, Kira yang mendengarnya pun merasa terkejut.Kira mendongak, menatap wajah pria itu dengan kening berkerut dalam. Berusaha mencari-cari kebohongan dari sorot mata Kaisar, akan tetapi tatapan Kai sulit sekali terbaca.Kira lantas mendengus pelan. “Jangan bohong kamu, Mas. Aku tah
“Kira… kalau kamu butuh tempat untuk berlindung, berdirilah di belakangku. Aku siap melindungimu dan membantumu. Kapanpun,” ucap Julian sungguh-sungguh.Kira tertegun. Kata-kata Julian membuat lidahnya mendadak terasa kelu. Ia menunduk, menatap tangannya yang ada dalam genggaman Julian. Tangan itu terasa hangat, tapi entah mengapa Kira merasa ada yang salah. Ia cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman pria itu.“Julian…,” gumam Kira akhirnya. “Kamu orang baik. Sangat baik bahkan, tapi aku nggak bisa mempermainkan perasaanmu.”“Aku tahu, Kira,” sahut Julian dengan tenang, ada kekecewaan yang terdengar dalam nada suaranya. “Aku tahu kamu belum siap, tapi aku cuma ingin kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian, Kira. Ada aku yang selalu siap membantumu.”Kira mengangguk, akan tetapi ia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Julian yang terlalu baik untuknya itu.Belum sempat Kira berkata-kata, ponselnya–yang sejak tadi ia abaikan, kembali bergetar. Sejujurnya sejak tadi ponse
“Aku… nggak bisa bersamamu lagi.”Sontak, Violet terhenyak mendengarnya. Raut wajah wanita itu seketika berubah menegang. Kepalanya menggeleng cepat, seolah-olah tak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar.“Honey, a-apa yang kamu bicarakan?” Violet tertawa kering, matanya menatap Kaisar lurus-lurus dengan mata yang tiba-tiba menggenang. “Kamu… ingin meninggalkanku?”Kai mengembuskan napas berat. “Maafkan aku, Vi,” ucapnya dengan tenggorokan tercekat. “Aku rasa ini yang terbaik buat kita.”Sekali lagi, Violet menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak! Kamu nggak serius, ‘kan?! Kamu pasti cuma bercanda, Honey.” Ia duduk dengan punggung menegang.Kai menatap mata wanita yang tampak berkaca-kaca itu. Ada rasa bersalah yang menghantam jiwanya, tapi bayangan wajah Kira pun terus berputar-putar dalam benaknya, membawa Kai pada posisi yang sulit.Kai akhirnya berdiri, menatap Violet dengan tegas. “Aku serius, Vi,” ucapnya, “aku sudah t
“....Tapi jangan berharap lebih, Mas. Aku sudah kehabisan alasan untuk bertahan... selain ibuku.”Kata-kata yang diucapkan Kira membuat Kai tertegun. Tangan Kai mengepal. Rahangnya berkedut. Ada salah satu bagian dari dalam dirinya yang merasa sakit mendengar ucapan Kira.Kira pergi meninggalkan Kai yang membeku di tempatnya berdiri. Ia berjalan cepat menaiki tangga dengan perasaan nyeri yang tiba-tiba menyerang dada. Ia memang sudah kehabisan alasan untuk bersama Kai, selain karena ibunya yang butuh biaya pengobatan yang tidak sedikit.Saat Kira akan membuka pintu kamarnya, tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangannya, hingga badan Kira berputar dan berakhir berhadapan dengan Kai.Pria itu menatap Kira dengan tatapan kusut. “Aku serius saat mengatakan akan memperbaiki semuanya, Kira,” ucap Kai dengan suara rendah. “Aku tidak bercanda.”Kira melihat ada keseriusan yang tergambar dalam sorot mata suami di atas kertasnya itu. Lalu Kira tersenyum kecut. “Bukannya aku sudah tanya bagaim
‘Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Kira.’Kai tidak bisa memejamkan matanya malam itu. Peringatan dari Julian sore tadi terus terngiang-ngiang di telinga.Sial!Kenapa dirinya harus merasa terancam dengan kehadiran sosok Julian?Apalagi setelah Julian mengatakan secara terang-terangan bahwa dia menyukai Kira.Kai duduk di tepian ranjang, tangannya mengepal kuat-kuat. Ia tidak mengerti kenapa harus peduli pada hubungan Kira dan laki-laki itu? Padahal jika itu dulu, Kai mungkin tidak akan peduli sedikit pun pada apa yang dilakukan Kira.Lamunan Kai buyar tatkala ia mendengar ponselnya berdering. Siapa yang menghubunginya malam-malam begini? Kai bertanya-tanya dalam hati.Dengan terpaksa Kai meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ia terdiam saat melihat nama Violet terpampang di layar.Saat itu juga, Kai mengusap wajahnya gusar. Benar. Seharusnya ia memperdulikan kekasihnya saja. Wanita yang lebih dulu ia cintai bahkan jauh sebelum pernikahannya dengan Kira berlangsung.Namun, en
“Apapun hubunganku dengan wanita itu, itu bukan urusanmu, Julian.” “Tapi Kira adalah urusanku!” “Aku suaminya!” “Suami?” Julian mendengus kasar. Ia maju satu langkah, mendekati Kai sambil menatapnya tajam. “Suami mana yang tega membiarkan istrinya melahirkan sendirian demi wanita lain, Kai?” Mata Kai kembali membulat mendengar kata-kata itu. Ucapan Julian bagai batu yang menghantam dadanya begitu kuat, mengingatkan Kai akan kesalahannya di masa lalu. Sementara itu, Kira yang sejak tadi tampak syok setelah mendengar Julian yang tahu mengenai pernikahannya dengan Kai, kini semakin terkejut dengan fakta yang diketahui Julian. Padahal Kira sama sekali tidak pernah mengatakan apapun pada Julian terkait hubungannya dengan Kai. Kira menatap Julian dengan tatapan penuh kebingungan. Julian menoleh ke arah Kira, lalu tersenyum lembut, berbanding terbalik dengan nada tajamnya barusan. “Maaf, aku
“Kai? Sedang apa kamu di sini?” Julian maju mendekati Kai dengan satu alis terangkat.Kira masih membeku di tempatnya berdiri, ia tidak menyangka bahwa suaminya itu akan menepati janjinya untuk kembali kepadanya.Kai lantas menatap Julian dengan tajam. “Aku ada urusan dengan Kira,” ujarnya, dingin, lalu menghampiri Kira dan meraih tangannya, yang membuat Kira terkejut dengan sikap Kai yang tiba-tiba itu.Kira menatap kedua lelaki itu bergantian. Seolah-olah ingin menyadarkan Kai bahwa saat ini mereka ada di hadapan Julian, dan Kai harus menjaga sikap jika tidak ingin Julian curiga.“Tu-Tuan, ada urusan apa?”Panggilan ‘tuan’ yang disematkan Kira membuat rahang Kai semakin mengeras. Kai menggenggam pergelangan tangan Kira dengan erat. “Kita bicara!”“Maaf, Tuan Kaisar.” Julian menahan tangan Kai yang menggenggam tangan Kira. Ia menatap Kai dengan sama tajamnya. “Hari ini Kira adalah pendampingku. Lagi pula… hari ini hari libur, kamu nggak berhak mengganggu Kira dengan urusan pekerjaan.
Kai melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Fokusnya terbagi antara jalanan di depannya, dan ponsel yang terus memanggil nomor telepon Kira. Akan tetapi, tidak ada satupun panggilannya yang Kira angkat. Ke mana wanita itu? Kai bertanya-tanya dalam hati. Ya, pada akhirnya ia memutuskan untuk memilih pergi, setelah memastikan Violet aman bersama Livia. Kai tidak bisa mengabaikan perasaannya, yang terus menerus gelisah karena teringat Kira. Mobil akhirnya berhenti di parkiran Dufan. Sementara itu ponselnya masih memanggil nomor telepon Kira. Namun, lagi-lagi panggilannya berakhir dengan sia-sia. Kini Kai berjalan mondar-mandir di depan pintu masuk sambil menempelkan ponselnya di telinga. Kali ini ia menghubungi Ani, menanyakan apakah Kira sudah tiba di rumah atau belum? “Belum ada, Tuan. Non Kira belum pulang,” jawab Ani di seberang sana. Kai mengusap wajah dengan gusar. Ia menyesal karena tidak meminta orang suruhannya untuk mengikuti Kira hari ini. Sebab, tadinya Kai ber