Malam Kak
Author mohon maaf, ya, salah update. Dikarenakan posisi sedang libur panjang, jadi ada kendala untuk perbaikan. Selain itu, bab salah (208) bisa author edit menjadi bab yang benar (57) Jadi bagi Kakak yang sudah membuka bab nantinya tidak kehilangan manfaat. Hanya saja, untuk edit ini memerlukan persetujuan tim GN (editor dan cs) Sedangkan pihak GN baru kembali beroperasi pada tanggal 8 April. Tapi author akan tetap update bab setelahnya, itu artinya kakak akan terlambat baca bab 57 (karena perlu persetujuan) tapi bisa tetap lanjut bab selanjutnya. Kalau dihapus Babnya, Kakak yang sudah buka jadi kehilangan manfaat. Boleh bantu jawab, ya, Kakak Kakak sebab buku ini juga nggak mungkin libur update lama. sekali lagi author mohon maaf.“Silakan sarapan, Mi. Ini roti bakar cokelat dan teh chamomilenya.” Yasmin meletakkan piring di hadapan Kezia yang tersenyum lembut. Tatapan wanita ini tak sedikit pun mengarah ke Barra yang sejak tadi menatapnya tajam. Bahkan ketika Yasmin hendak membalikkan badan untuk pergi, suara berat pria itu menahannya. “Sarapan untukku mana?” “Nasih gorengnya sebentar lagi Mbok Inah antar, Pak,” jawab Yasmin tenang dan tegas. Dia melirik Kezia, lalu menunduk sopan. “Mami, Yasmin mau lanjut pompa ASI, ya.” Kezia hanya mengangguk. Matanya menyelidik, memperhatikan percakapan singkat yang sarat ketegangan antara putranya dan wanita muda itu. Begitu Yasmin berbalik, Barra langsung bangkit dan mengikuti langkahnya. Yasmin mempercepat langkah menuju kamar anak-anak. Namun, belum sempat menutup pintu, Barra lebih dulu masuk dan menutup rapat, menguncinya dari dalam. “Bapak mau apa?!” sergah Yasmin. Suaranya naik satu oktaf. “Ini rumahku. Aku bebas masuk ke mana saja,” jawab Barra santai dengan
Siang hari ini dibumbui dengan kecanggungan. Sedari tadi, Yasmin terus menunduk dan meremas jemarinya. Kejadian beberapa saat lalu benar-benar membuatnya tak tahu harus berkata apa."Jadi Barra ... apa yang kamu lakukan? Mami tidak—"Barra yang duduk di tepi ranjang segera menyela, "Mami salah paham. Itu..."Sialnya, Barra sendiri tak bisa menjelaskan alasan atas perbuatannya. Bahkan dia pun bingung kenapa bisa bertindak sejauh itu.Ucapan setengah hati itu membuat Yasmin menatap punggung pria itu. Bibirnya merengut, lalu dengan gugup dia merapikan bagian atas bajunya—padahal tubuhnya sudah tertutup. Entah kenapa, dia tetap merasa seolah dilihat secara telanjang.Dia menggeleng pelan, berusaha menepis pikiran bahwa Barra ingin melecehkannya."Kalian sudah dewasa, sama-sama single. Mami tahu apa yang kalian rasakan, tapi kalian harus bisa menahan diri," pesan Kezia, dengan mata yang membesar memperhatikan gerak-gerik Yasmin dan Barra.Sebelumnya Kezia sudah meminta Airin menunggu di rua
Untuk sesaat, jarak antara keduanya sangat dekat. Yasmin bisa merasakan embusan napas hangat dari Barra yang beraroma mint. Jantungnya berdebar keras, tetapi dia terlalu terpaku menatap manik mata cokelat pria itu yang seperti menghipnotisnya.Dengan bibir bergetar, Yasmin berusaha bertanya, “Apa yang mau Bapak katakan?”Barra menghela napas, lalu perlahan melepaskan tangannya dari pergelangan Yasmin. Keduanya serempak mundur satu langkah, menjaga jarak aman.Hanya saja, pandangan mereka masih saling mengunci, seolah tidak ada sudut lain yang bisa diperhatikan.“Aku sudah tahu kejadian di kafe,” ucap Barra akhirnya. Nada suaranya yang datar, tetapi membuat Yasmin tersenyum masam.Ucapan itu membuatnya kembali teringat pada sikap Barra kemarin—tuduhan dingin yang melukai harga dirinya.Ya, Yasmin tahu dirinya bukan berasal dari keluarga terpandang, tapi bukan berarti dia bisa diperlakukan semena-mena.Yasmin menarik napas panjang dan mengalihkan pandangan dari wajah pria tampan yang a
“Apa maksud Bapak?” tanya Yasmin, suaranya menegang dan sorot matanya mengeras. Dia sungguh tidak menyangka ucapan yang sederhana pada Boy, justru ditanggapi oleh pria itu.“Aku ini haus, mau minum air putih!” tegas Barra, nadanya menyebalkan, dan tatapan pria itu yang sinis membuat Yasmin ingin mengelus dada.“Kalau begitu, Bapak bisa ambil sendiri ke dapur,” balas Yasmin, kali ini intonasinya datar dan dingin.“Aku juga tahu,” tukas Barra, masih dengan nada menyulut emosi.Yasmin menarik napas panjang. Dari ekor matanya, dia menangkap pria itu mengangkat sebelah alis dan bibirnya terangkat miring penuh ejekan. Yasmin membalikkan badan, mengelus dada yang terasa panas, meskipun wajahnya terjaga manis di hadapan Boy.“Iya, Sayang, mimik yang banyak, ya. Supaya cepat besar dan makin ganteng,” gumam Yasmin lembut, lalu mencium puncak kepala bayi itu.Tidak lama kemudian, terdengar pintu terbuka. Yasmin melirik ke arah kaca, Barra sudah pergi. Baru saat itu dia bisa bernapas lega.Sekita
“Tol—”Mulut Yasmin kembali dibekap dengan kasar. Tubuhnya diseret masuk ke dalam toilet pria tanpa sempat melawan. Napas wanita itu tertahan, panik dan matanya membelalak mencoba mengenali sosok di hadapannya, tetapi pria itu memakai masker dan topi hitam yang menutupi seluruh wajah.Yasmin berusaha bergerak untuk melawan, tetapi percuma. Kedua tangannya dikunci kuat, tubuhnya dihimpit, tak mampu meninju, apalagi menendang.“Pergi dari rumah Barra Armend sekarang juga. Kalau tidak, hidupmu akan kuhancurkan!” bisik pria itu dengan suara berat dan tajam, membuat tubuh Yasmin merinding.Dia tidak mengenali suara itu. Hanya saja, aroma parfum yang menguar … seperti pernah dia hirup sebelumnya. Ada rasa tak asing yang menusuk hidung, membuatnya makin waspada.Yasmin menggeleng. Meskipun tubuhnya gemetaran hebat, dia berusaha mengingat kata-kata Barra :‘Jangan takut lagi.’Dia m
Setelah Barra selesai makan dan Yasmin menghabiskan sup iga di mangkuknya, wanita itu lebih dulu berpamitan dan masuk ke kamar. Namun, malam itu dia sulit tidur. Wajah misterius yang menyekapnya di toilet terus membayangi.Siapa orang itu? Apa tujuannya?Pagi-pagi sekali, ketika Yasmin terbangun karena haus dan hendak mengambil air minum, dia mendapati Kezia sudah rapi mengenakan setelan olahraga. Rambutnya dicepol santai dan wajahnya segar.“Mami mau ke mana? Ini masih pagi,” tanya Yasmin heran.Kezia tersenyum, lalu meregangkan lengan ke atas. “Mau jogging, dong. Usia segini badan nggak boleh diam saja. Kamu mau ikut?”Yasmin diam sejenak. Ingatannya kembali pada ancaman yang dia terima saat terakhir keluar rumah. Dia menggeleng pelan. Rasa trauma itu belum hilang. Mungkin dia tidak akan keluar rumah lagi dalam waktu dekat ... kecuali jika ditemani seseorang.Seseorang seperti ....Baru saja pikiran itu muncul, Kezia melirik ke arah lantai dua sambil tersenyum penuh arti. Seolah tahu
Pagi ini, aroma nasi goreng dan roti panggang memenuhi udara. Yasmin dan Mbok Inah baru saja selesai memasak untuk sarapan. Yasmin, yang sudah mandi dan selesai menyusui si kembar, menata sarapan di meja dengan rapi. Lalu menyambut Kezia yang baru turun dari tangga dengan senyum hangat. “Yasmin pintar masak. Mami jadi kepikiran mau kasih modal buat kamu buka usaha sendiri,” celetuk Kezia sambil menarik kursi. Yasmin mengerjap kaget, lalu terkekeh kecil. “Mami bisa aja .…” Ucapan itu ringan, dan matanya tak sengaja melirik ke arah Barra yang baru saja duduk di meja sambil sibuk menggulir layar tablet. Earphone tertancap di telinga, suara berita terdengar samar dari sana. Barra tidak menyapa siapa pun. Yasmin diam-diam mengerucutkan bibir. Kezia sempat bilang kalau Barra berubah. Buktinya sekarang? Yasmin justru merasa, mungkin Kezia terlalu mengkhawatirkan anaknya sendiri. “Hari ini Mami mau jemput Papi ke bandara, kamu bisa ikut?” tanya Kezia pada Barra. “Sibuk, Mi,”
Yasmin menegang ketika melihat orang yang turun dari mobil bukan Barra. Wajah itu tampak asing. Namun, samar-samar, Yasmin merasa pernah melihat pria itu. Anehnya, satpam justru menyapa dengan ramah. Belum sempat pikirannya menerka-nerka, Bahtiar muncul dari pintu belakang mobil. Yasmin spontan melirik ke jendela, mencari sosok yang dikenalnya. Apa ada Barra juga di dalam sana? Lalu muncul sepasang sepatu pantofel hitam. Sekilas biasa, tetapi Yasmin langsung tahu. Da mengenal langkah itu—cara menginjak tanahnya. Itu Barra. “Kenapa mobilnya beda?” tanya Yasmin saat Bahtiar menjejakkan kaki di teras. “Yang biasa mogok. Pinjam mobil desa, biar cepat sampai,” jawab Bahtiar santai sambil menyerahkan rantang logam putih. “Ini titipan dari dapur warga. Simpan di kulkas, ya.” Yasmin mengangguk, hanya saja matanya tertuju pada pria yang baru keluar dari mobil. Jasnya rapi, tetapi bagian lengan dan bawahnya tampak kusut. Wajah tampan itu tidak pucat, tetapi bagai kehilangan ketegas
“Serius kontrak iklan parfum itu batal? Gila, kenapa harus bayar 500 juta?!” geram Bram, lalu melempar tumpukan dokumen yang dibawa oleh manajernya.“Serius, Bram. Pihak iklan merasa dirugikan karena sempat nolak Nicolas demi kamu. Sekarang mereka mau ambil Nicolas lagi,” ujar sang manajer. Wajahnya terlihat kesal, dan tetap berusaha tenang.Bram memukul keras meja hingga cangkir kopi bergetar.“Yasmin benar-benar pembawa sial!” teriak Bram. Dari balik pintu, Sarah yang mengintip sampai terlonjak dan langsung memegangi dadanya.Manajer itu kemudian menjelaskan bahwa citra Bram mulai tercoreng. Netizen ramai membicarakan sosok mantan istrinya yang katanya dulu sering disakiti. Banyak yang mulai membuka-buka masa lalu Bram.“Namamu trending di Eks dan Taktik. Kalau mereka sampai tahu siapa mantan istrimu sebenarnya, dan makin simpati ... habis sudah kariermu. Mending kamu atur narasi, bilang aja pernah nikah sama dia, tapi cerai karena dia selingkuh, atau apalah.”Bram terdiam beberapa
"Yasmin, tolong antar nasi gorengnya dulu ke depan. Biar Mbok yang bawa ayam gorengnya," ucap Mbok Inah sambil menata piring di nampan."Iya, Mbok," jawab Yasmin lembut, lalu mengambil mangkuk besar berisi nasi goreng dan bersiap membawanya ke ruang makan.Akan tetapi, langkahnya terhenti saat suara langkah sepatu hak tinggi menggema dari arah lorong. Cindy muncul, berjalan angkuh masuk ke dapur dengan gaun rumahan sutra yang terlalu pendek untuk pagi hari."Mbak Cindy, mau apa? Nanti Mbok buatkan, ya," ucap Mbok Inah buru-buru, berusaha mencegah Cindy menyentuh apapun di dapur.Yasmin menurunkan pandangan. Dia tak ingin terlibat. Namun, tetap saja, penampilan Cindy tidak bisa diabaikan. Kesan sensual itu terlalu mencolok, terlebih Yasmin tahu wanita itu tak pulang semalam dengan alasan merindukan Boy dan Cleo, lalu Airin sedang tidak ada di rumah, sehingga Kezia pun mengizinkan.Malam tadi, bahkam Yasmin sempat melihat Cindy menyeduh kopi dan naik
Yasmin menoleh dan terkesiap ketika menyadari Barra tiba-tiba berdiri di sampingnya. Kini, dia berada tepat di antara dua pria, pengacara dan jaksa. Tubuhnya yang paling mungil di antara mereka membuatnya terasa seperti terhimpit oleh dua kutub kekuasaan.Tatapan mata hitam Yasmin menangkap gurat ketegangan di wajah Barra. Rahang pria itu mengeras, jelas menahan sesuatu."Umm … Pak Barra, benar Pak Bagas. Saat ini saya sudah dilindungi beliau," ucap Yasmin pelan dan tegas. Dia juga menambahkan senyum sopan dan anggukan kecil sebagai bentuk penghormatan."Ayo, pulang. Aku sudah janji menjaga kamu pada Mami," ucap Barra tiba-tiba. Nada bicaranya terdengar tegas, bahkan menusuk di telinga Yasmin.Sebelum Yasmin sempat menanggapi, lengan Barra sudah merangkul pundaknya, lalu pria itu menatap tajam ke arah Bagas yang berdiri kikuk. Dengan gerakan cepat, Barra memutar tubuh mereka dan bersiap meninggalkan area pengadilan."Saya permisi, Pak Jaksa," pamit Yasmin sopan, walaupun langkahnya di
"Kamu yakin mau bawa Yasmin ke persidangan lagi? Kata Samantha, dia itu trauma sama mantannya," bisik Kezia, melirik ke arah dalam rumah dengan cemas. "Jangan lupa, orang yang ngancam dia di toilet itu aja belum ketahuan siapa."Hari ini adalah sidang lanjutan kasus penipuan yang melibatkan Bram, dan Yasmin kembali dipanggil oleh pengadilan untuk memberikan keterangan lebih lanjut."Mami, tenang saja," ucap Barra lembut, menyentuh bahu Kezia dengan tenang.Langkah pelan terdengar dari dalam rumah. Barra spontan menoleh dan matanya langsung tertambat pada sosok Yasmin yang muncul dengan penampilan rapi.Wanita itu mengenakan dress merah jambu yang membingkai tubuhnya dengan manis, kaki jenjangnya berbalut flat shoes berwarna senada, dan tangannya menenteng cooler bag dengan hati-hati."Mami, Yasmin berangkat dulu. Doain Yasmin, ya, Mi," ucapnya pelan sembari memeluk Kezia. Da memejamkan mata sejenak, seola-lah sedang menyerap ketenangan dari pelukan itu.Kezia membalas pelukan, lalu Ya
“Mami … apa Yasmin boleh tanya sesuatu?” tanya Yasmin yang pagi ini sedang menyiapkan sarapan. Kebetulan, baru Kezia duduk di ruang makan sambil menggendong Boy yang sudah bangun.Wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu tersenyum hangat, lalu mengangguk sambil mengayun pelan tubuh mungil Boy di pangkuannya.Sebelum bertanya, Yasmin berdeham kecil. Di rumah ini, mungkin hanya Kezia yang tahu jawaban dari hal yang membuat pikirannya kalut semalaman.Dengan suara pelan, dia pun menceritakan apa yang dilihatnya tadi malam, dan bertanya, mengapa wajahnya begitu mirip dengan sosok perempuan di foto itu?Kezia tersenyum tipis. Lalu, dia menarik tangan Yasmin untuk mendekat.“Itu … Jeslyn yang Mami ceritakan kemarin. Wajah kalian memang agak mirip, ya. Katanya, di dunia ini, setiap orang punya kembaran,” ucap Kezia lembut.Yasmin menggeleng cepat. “Tapi, Yasmin nggak punya saudara kembar, Mi.”Kezia terkekeh ringan. “Iya,
Yasmin menegang ketika melihat orang yang turun dari mobil bukan Barra. Wajah itu tampak asing. Namun, samar-samar, Yasmin merasa pernah melihat pria itu. Anehnya, satpam justru menyapa dengan ramah. Belum sempat pikirannya menerka-nerka, Bahtiar muncul dari pintu belakang mobil. Yasmin spontan melirik ke jendela, mencari sosok yang dikenalnya. Apa ada Barra juga di dalam sana? Lalu muncul sepasang sepatu pantofel hitam. Sekilas biasa, tetapi Yasmin langsung tahu. Da mengenal langkah itu—cara menginjak tanahnya. Itu Barra. “Kenapa mobilnya beda?” tanya Yasmin saat Bahtiar menjejakkan kaki di teras. “Yang biasa mogok. Pinjam mobil desa, biar cepat sampai,” jawab Bahtiar santai sambil menyerahkan rantang logam putih. “Ini titipan dari dapur warga. Simpan di kulkas, ya.” Yasmin mengangguk, hanya saja matanya tertuju pada pria yang baru keluar dari mobil. Jasnya rapi, tetapi bagian lengan dan bawahnya tampak kusut. Wajah tampan itu tidak pucat, tetapi bagai kehilangan ketegas
Pagi ini, aroma nasi goreng dan roti panggang memenuhi udara. Yasmin dan Mbok Inah baru saja selesai memasak untuk sarapan. Yasmin, yang sudah mandi dan selesai menyusui si kembar, menata sarapan di meja dengan rapi. Lalu menyambut Kezia yang baru turun dari tangga dengan senyum hangat. “Yasmin pintar masak. Mami jadi kepikiran mau kasih modal buat kamu buka usaha sendiri,” celetuk Kezia sambil menarik kursi. Yasmin mengerjap kaget, lalu terkekeh kecil. “Mami bisa aja .…” Ucapan itu ringan, dan matanya tak sengaja melirik ke arah Barra yang baru saja duduk di meja sambil sibuk menggulir layar tablet. Earphone tertancap di telinga, suara berita terdengar samar dari sana. Barra tidak menyapa siapa pun. Yasmin diam-diam mengerucutkan bibir. Kezia sempat bilang kalau Barra berubah. Buktinya sekarang? Yasmin justru merasa, mungkin Kezia terlalu mengkhawatirkan anaknya sendiri. “Hari ini Mami mau jemput Papi ke bandara, kamu bisa ikut?” tanya Kezia pada Barra. “Sibuk, Mi,”
Setelah Barra selesai makan dan Yasmin menghabiskan sup iga di mangkuknya, wanita itu lebih dulu berpamitan dan masuk ke kamar. Namun, malam itu dia sulit tidur. Wajah misterius yang menyekapnya di toilet terus membayangi.Siapa orang itu? Apa tujuannya?Pagi-pagi sekali, ketika Yasmin terbangun karena haus dan hendak mengambil air minum, dia mendapati Kezia sudah rapi mengenakan setelan olahraga. Rambutnya dicepol santai dan wajahnya segar.“Mami mau ke mana? Ini masih pagi,” tanya Yasmin heran.Kezia tersenyum, lalu meregangkan lengan ke atas. “Mau jogging, dong. Usia segini badan nggak boleh diam saja. Kamu mau ikut?”Yasmin diam sejenak. Ingatannya kembali pada ancaman yang dia terima saat terakhir keluar rumah. Dia menggeleng pelan. Rasa trauma itu belum hilang. Mungkin dia tidak akan keluar rumah lagi dalam waktu dekat ... kecuali jika ditemani seseorang.Seseorang seperti ....Baru saja pikiran itu muncul, Kezia melirik ke arah lantai dua sambil tersenyum penuh arti. Seolah tahu
“Tol—”Mulut Yasmin kembali dibekap dengan kasar. Tubuhnya diseret masuk ke dalam toilet pria tanpa sempat melawan. Napas wanita itu tertahan, panik dan matanya membelalak mencoba mengenali sosok di hadapannya, tetapi pria itu memakai masker dan topi hitam yang menutupi seluruh wajah.Yasmin berusaha bergerak untuk melawan, tetapi percuma. Kedua tangannya dikunci kuat, tubuhnya dihimpit, tak mampu meninju, apalagi menendang.“Pergi dari rumah Barra Armend sekarang juga. Kalau tidak, hidupmu akan kuhancurkan!” bisik pria itu dengan suara berat dan tajam, membuat tubuh Yasmin merinding.Dia tidak mengenali suara itu. Hanya saja, aroma parfum yang menguar … seperti pernah dia hirup sebelumnya. Ada rasa tak asing yang menusuk hidung, membuatnya makin waspada.Yasmin menggeleng. Meskipun tubuhnya gemetaran hebat, dia berusaha mengingat kata-kata Barra :‘Jangan takut lagi.’Dia m