Benar, mungkin itu hanya perasaan Yasmin saja. Dia tidak boleh terjerat, karena semua pria sama saja. Lihatlah, sekarang pria itu memotong-motong iga bakar dalam diam, dan tidak memesankan Yasmin makanan yang lain.
“Pak, saya maunya iga bakar,” ucap Yasmin pelan.
Barra tetap diam, tetapi detik berikutnya dia menuangkan sayuran dan saus ke piring.
"Ini makanlah, kalau pesan yang baru, terlalu lama," perintah pria itu tegas. Lalu mendorong perlahan piring ke hadapan Yasmin.
Yasmin menunduk, merasa aneh dengan perasaan hangat yang mengalir di dadanya. Dia mengangguk pelan dan mulai menyantap makanannya.
"Boy, sayang, diam dulu, ya, Bunda mau makan," bisik Yasmin, mencoba menenangkan bayi aktif itu.
Di seberangnya, Barra memperhatikan tanpa banyak bicara. Sesekali pria itu mengulurkan tangan, mencoba mengambil alih Boy, tetapi bayi itu justru makin merengek. Yasmin akhirnya makan menggunakan satu tangan.
Saat dia kesulitan mer
"Bu ... Sarah ..." bisik Yasmin lirih. Dia membeku di tempat dengan napas tersengal saat melihat sosok di haadapannya. Tangan wanita itu mencengkeram erat pegangan kereta bayi, dan iris hitamnya mencari-cari keberadaan Barra di sekitar. Namun, pria itu tak terlihat.Sarah melangkah mendekat dengan sorot mata tajam, penuh kebencian. "Kamu benar-benar nggak tahu malu, Yasmin! Masih berani berkeliaran di Jakarta setelah semua yang kamu lakukan!"Yasmin menelan ludah dengan susah payah. Kakinya terasa berat untuk melangkah."Aku ... tapi aku tidak melakukan apa-apa, Bu," sahut Yasmin, intonasinya terdengar sangat pelan."Heh, wanita kampung, jangan pura-pura bodoh!" Sarah mendesis, "dasar sok polos. Jelas-jelas kamu bersaksi dan bocorin hubunganmu dengan Bram. Dapat uang berapa dari jual cerita itu, hah?"Yasmin menggeleng lemah, matanya sudah berkaca-kaca membuat penglihatannya memburam."Jangan pikir kamu bisa lolos gitu saja!" lanjut Sarah dengan nada penuh ancaman. "Aku pasikan kamu
“Ada perlu apa, Sarah? Cepatlah, aku tidak punya waktu lama!” seru Airin begitu memasuki Well Coffee. Dia meletakkan tas branded-nya di atas meja dengan sengaja, seolah ingin menunjukkan statusnya. “Uang lagi, hah?” lanjutnya sinis. Hari ini, dua wanita paruh baya itu benar-benar bertemu di coffee shop, bahkan sebelum tempat itu ramai oleh pengunjung. Sarah sudah memilih tempat paling ujung agar percakapan mereka lebih leluasa. Sarah menggeleng tegas, matanya menatap tajam ke arah Airin. “Duduk, Jeng! Ini penting banget.” Airin mendesah lalu duduk di samping teman arisan sosialitanya. Dengan cepat, Sarah mendekatkan wajahnya, lalu berbisik, “Jeng, mantan mantuku, si Yasmin, kenapa bisa jadi ibu susu cucumu?” Hening sejenak. Airin menarik napas, sementara otaknya memproses informasi itu. Dia bahkan memejamkan mata sebentar, mencoba mengingat. Begitu terbuka, matanya langsung membelalak. “Masa iya si gembel itu mantan mantumu? Yang anaknya meninggal itu ‘kan?” Sarah mengangguk tega
"Yasmin, pilih saja beberapa baju untukmu dan para babysitter di rumah," perintah Kezia sambil menunjuk rak pakaian.Aroma parfum mahal bercampur dengan semerbak kain baru memenuhi butik mewah itu. Yasmin berjalan di belakang Mami Kezia, sementara Barra berdiri tidak jauh, wajahnya setengah tertutup masker hitam. Meskipun begitu, sorot matanya tetap tajam, mengawasi setiap pergerakan di sekeliling.Akhir pekan ini Kezia memaksa Barra untuk ikut serta ke mall. Tentu menggagalkan rencana Barra yang ingin menghabiskan waktu di kantor.Sementara Yasmin langsung menatap deretan gaun dan blus yang menggantung rapi. Matanya bergerak ke kanan dan kiri, mencoba memilih, tetapi semua terlihat sama baginya.Mahan dan mewah.Barra, yang sejak tadi diam, tiba-tiba melangkah mendekat dan berdiri tepat di belakang Yasmin. Pria itu mengambil dua blus pastel."Yang ini cocok buat kamu," kata pria itu santai sambil menyerahkan pakaian ke tangan Yasmin.Yasmin menatap Barra sejenak, lalu tersenyum kecil.
Kakak Kakak setelah bab 56 tolong jangan dibuka itu bab 280 karena bukan cerita Pak Pengacara Mohon maaf salah kamar ༎ຶ‿༎ຶ
Malam Kak Author mohon maaf, ya, salah update. Dikarenakan posisi sedang libur panjang, jadi ada kendala untuk perbaikan. Selain itu, bab salah (208) bisa author edit menjadi bab yang benar (57) Jadi bagi Kakak yang sudah membuka bab nantinya tidak kehilangan manfaat. Hanya saja, untuk edit ini memerlukan persetujuan tim GN (editor dan cs) Sedangkan pihak GN baru kembali beroperasi pada tanggal 8 April. Tapi author akan tetap update bab setelahnya, itu artinya kakak akan terlambat baca bab 57 (karena perlu persetujuan) tapi bisa tetap lanjut bab selanjutnya. Kalau dihapus Babnya, Kakak yang sudah buka jadi kehilangan manfaat. Boleh bantu jawab, ya, Kakak Kakak sebab buku ini juga nggak mungkin libur update lama. sekali lagi author mohon maaf.
“Silakan sarapan, Mi. Ini roti bakar cokelat dan teh chamomilenya.” Yasmin meletakkan piring di hadapan Kezia yang tersenyum lembut. Tatapan wanita ini tak sedikit pun mengarah ke Barra yang sejak tadi menatapnya tajam. Bahkan ketika Yasmin hendak membalikkan badan untuk pergi, suara berat pria itu menahannya. “Sarapan untukku mana?” “Nasih gorengnya sebentar lagi Mbok Inah antar, Pak,” jawab Yasmin tenang dan tegas. Dia melirik Kezia, lalu menunduk sopan. “Mami, Yasmin mau lanjut pompa ASI, ya.” Kezia hanya mengangguk. Matanya menyelidik, memperhatikan percakapan singkat yang sarat ketegangan antara putranya dan wanita muda itu. Begitu Yasmin berbalik, Barra langsung bangkit dan mengikuti langkahnya. Yasmin mempercepat langkah menuju kamar anak-anak. Namun, belum sempat menutup pintu, Barra lebih dulu masuk dan menutup rapat, menguncinya dari dalam. “Bapak mau apa?!” sergah Yasmin. Suaranya naik satu oktaf. “Ini rumahku. Aku bebas masuk ke mana saja,” jawab Barra santai dengan
Siang hari ini dibumbui dengan kecanggungan. Sedari tadi, Yasmin terus menunduk dan meremas jemarinya. Kejadian beberapa saat lalu benar-benar membuatnya tak tahu harus berkata apa."Jadi Barra ... apa yang kamu lakukan? Mami tidak—"Barra yang duduk di tepi ranjang segera menyela, "Mami salah paham. Itu..."Sialnya, Barra sendiri tak bisa menjelaskan alasan atas perbuatannya. Bahkan dia pun bingung kenapa bisa bertindak sejauh itu.Ucapan setengah hati itu membuat Yasmin menatap punggung pria itu. Bibirnya merengut, lalu dengan gugup dia merapikan bagian atas bajunya—padahal tubuhnya sudah tertutup. Entah kenapa, dia tetap merasa seolah dilihat secara telanjang.Dia menggeleng pelan, berusaha menepis pikiran bahwa Barra ingin melecehkannya."Kalian sudah dewasa, sama-sama single. Mami tahu apa yang kalian rasakan, tapi kalian harus bisa menahan diri," pesan Kezia, dengan mata yang membesar memperhatikan gerak-gerik Yasmin dan Barra.Sebelumnya Kezia sudah meminta Airin menunggu di rua
Untuk sesaat, jarak antara keduanya sangat dekat. Yasmin bisa merasakan embusan napas hangat dari Barra yang beraroma mint. Jantungnya berdebar keras, tetapi dia terlalu terpaku menatap manik mata cokelat pria itu yang seperti menghipnotisnya.Dengan bibir bergetar, Yasmin berusaha bertanya, “Apa yang mau Bapak katakan?”Barra menghela napas, lalu perlahan melepaskan tangannya dari pergelangan Yasmin. Keduanya serempak mundur satu langkah, menjaga jarak aman.Hanya saja, pandangan mereka masih saling mengunci, seolah tidak ada sudut lain yang bisa diperhatikan.“Aku sudah tahu kejadian di kafe,” ucap Barra akhirnya. Nada suaranya yang datar, tetapi membuat Yasmin tersenyum masam.Ucapan itu membuatnya kembali teringat pada sikap Barra kemarin—tuduhan dingin yang melukai harga dirinya.Ya, Yasmin tahu dirinya bukan berasal dari keluarga terpandang, tapi bukan berarti dia bisa diperlakukan semena-mena.Yasmin menarik napas panjang dan mengalihkan pandangan dari wajah pria tampan yang a
Yasmin tertegun mendengar ucapan itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata Barra barusan merasuk dalam dadanya yang tengah sesak. Perasaannya kalut, layaknya dinding yang perlahan runtuh setelah selama ini dia tegakkan dengan susah payah. Bibir mungilnya terbuka sedikit, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada satu pun kata keluar. Yasmin memilih diam. Dia tahu, jika bertanya lebih tentang maksud ucapan Barra, mungkin akan membuka ruang bagi luka baru. Tanpa banyak kata, Barra menyerahkan sapu tangan sutra. Yasmin ingin meraihnya, tetapi tubuh wanita itu membeku saat tangan Barra lebih dulu menyeka air matanya dengan lembut. Sentuhan itu membuat pipinya merona, seolah darah yang tadi enggan mengalir, tiba-tiba memenuhi permukaan kulitnya. Ini terasa hangat. Bahkan terlalu panas hingga detak jantungnya jadi tidak karuan. "Umm … M—Mas?" gumam Yasmin dengan sangat pelan. Barra tidak menjawab. Pria itu hanya menatapnya dalam, lalu menangkup kedua pipi Yasmin dengan kedua tangannya. S
"Bagaimana bisa?!" bentak Barra tepat di depan pintu ruang rawat Yasmin yang tertutup rapat, tak menyisakan celah sedikit pun.Bahtiar dan tim lainnya menghela napas panjang. Mereka tidak menyangka, kepergian yang hanya sebentar untuk menemui dokter dan menebus obat serta membeli sarapan, bisa membawa dampak sebesar ini. Lagi pula, ini masih terlalu pagi. Bahkan ayam pun belum berkokok di luar sana."Mereka membawanya tanpa sepengetahuanku?!" Barra mengusap wajahnya dengan frustrasi.Saking kesalnya, pria itu langsung melangkah cepat mendahului timnya menuju Rubicon putih yang terdiam di area parkir rumah sakit.Sebelum masuk mobil, Barra menoleh ke arah Bahtiar. Tatapan tajam manik cokelatnya menusuk, rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas."Jangan hentikan pencarian barang bukti! Dan upayakan jaminan untuk membebaskan Yasmin sementara.""Baik, Pak. Timnya Bono tetap di sini. Saya yang akan urus jaminannya." Bahtiar membukakan pintu mob
“Cari sampai ketemu! Bila perlu tambah tim kita!” titah Barra dengan suara tegas kepada asistennya.Dia tidak tinggal diam di rumah sakit. Barra ingin memastikan barang bukti itu ditemukan hari ini juga. Dia tidak punya waktu untuk menunggu. Maka bersama timnya dan beberapa orang bayaran, mereka menyusuri tepi jurang, sungai, dan pesisir pantai.“Pak, jalan di sini licin, sebaiknya Bapak tunggu saja di pinggir jalan,” teriak Bahtiar yang sudah turun ke jurang dengan alat keamanan.“Mana bisa aku diam saja, Bahtiar? Nasib Yasmin bergantung pada barang itu,” geram Barra. Napasnya terengah saat menatap tebing curam di depannya.Dengan hati-hati, dia mulai menuruni lereng. Ini bukan pertama kalinya dia mencari barang bukti demi klien, tetapi kali ini hatinya terasa lebih sakit bagai tertusuk ribuan jarum. Ada wajah Yasmin dalam setiap langkahnya, bahkan ketika ranting pepohonan menyentuh kulitnya pun dia masih terbayang wanita itu.Yasmin tadi menceritakan segalanya. Termasuk pakaian Cindy
“Lebih cepat, Bahtiar!” titah Barra dengan napas memburu. Hatinya bagai disayat oleh kegelisahan yang tak kunjung reda. Sepanjang perjalanan, dia terus mengecek layar ponsel, mencari kabar apakah polisi sudah sampai lebih dulu, atau … masihkan Yasmin di sana? Perjalanan menuju lokasi memang tidak mudah. Jalanan berbatu, menanjak, dan penuh tikungan tajam. Daerah ini terpencil, jauh dari pusat kota, dan hanya bisa dilalui dengan kendaraan off-road. Bagi Barra tidak ada kata menyerah. Prinsipnya, waktu adalah segalanya. Dia harus menemukan Yasmin lebih dulu, sebelum semuanya terlambat. Setelah menempuh perjalanan panjang yang seolah tak berkesudahan, akhirnya Rubicon putih miliknya melaju di jalanan terjal menuju pesisir pantai. Barra langsung turun dari mobil, meskipun kakinya masih belum pulih benar. Bahkan setiap langkah yang dia ambil terasa menyakitkan. “Shit!” umpat Barra saat matanya menangkap garis polisi yang terbentang melingkari area kejadian. Pemandangan di depan, membu
“Ini ….” Barra hendak meraih benda itu dari tanah, tetapi dia segera mengeluarkan saputangannya dan membungkus benda kecil tersebut, lantas memasukkannya ke dalam saku jaket.“Kamu menemukan sesuatu?” tanya Barra pada pengacara magangnya yang sedang menyinari tanah dengan senter.“Jejak roda mobil,” jawab Bono pelan, “sepertinya orang itu sengaja melewati jalan yang jarang dilalui orang.”Barra mengangguk perlahan. Pandangannya menelusuri sekitar semak dan tanah lembap itu. Bau tanah yang basah bercampur dengan aroma busuk dari sampah dedaunan membuat dadanya terasa sesak."Mereka membuang tas Yasmin di sini. Tapi siapa?" gumam Barra sambil memijat pelipis. Berusaha menemukan orang yanga paling dia curigai.Hanya tiga nama yang langsung muncul dalam pikirannya—Airin, Cindy dan Bram. Dua orang itu memiliki cukup alasan untuk mencelakai Yasmin.“Kita harus kembali secepatnya, Pak. Tempat ini sangat tidak aman,” ucap pengacara magang itu sambil memutar senter ke segala arah. Bayangan poh
“Apa yang kamu lakukan, Bram?” tanya Cindy dengan nada penuh curiga, matanya memperhatikan pria itu yang terus melangkah makin dekat.Bram menatap Yasmin dengan sorot mata yang terasa asing, tajam dan dingin.Alih-alih menjawab, pria itu justru memindai seluruh lekuk tubuh Yasmin lekat-lekat. Sorot mata itu kosong, seakan di antara mereka tidak ada kenangan yang tersisa. Tangan pria itu terangkat dan menyentuh pipi Yasmin. Sentuhan ini dingin dan kasar, bukan kehangatan atau kasihan seorang mantan.“Mas ....” Suara Yasmin tercekat. “Tolong …,” lirihnya. Hanya secuil harapan yang masih dia pegang.Akan tetapi, Bram justru mencondongkan tubuh. Wajah pria itu nyaris menyentuh kulit pipi Yasmin. Embusan napas hangat yang familiar itu seakan berbisik dan menyatat perasaan Yasmin.“Kesaksianmu itu tidak berguna. Lebih baik aku dipenjara daripada mereka tahu kita pernah menikah. Jijik!”Seketik
Melihat kursi di sampingnya kosong dan pandangannya langsung tertuju pada Bagas, membuat Barra diliputi gelisah. Pria itu memang tidak fokus sejak awal. Kini, matanya terus mengarah ke pintu auditorium, setiap kali terbuka, bukan Yasmin yang masuk.Barra menduga toilet sedang penuh, mengingat ini seminar terbuka. Dia menghubungi Yasmin. Tersambung, tetapi tidak diangkat."Yasmin … kenapa lama," desah Barra sambil menggoyangkan kaki dengan gelisah.Tepat pada menit ke-15, dia berdiri. Bagas mengikuti, dari tatapannya terlihat pria itu juga merasa ada sesuatu yang janggal. Barra tidak membantah, yang terpenting sekarang adalah Yasmin.Dengan langkah tertatih karena masih menggunakan tongkat, Barra menerobos kerumunan mahasiswa kedokteran yang sibuk bercanda, kontras dengan gundah dalam hatinya.Toilet memang penuh. Barra dan Bagas saling berpandangan."Kita tunggu saja sampai sepi," saran Bagas.Barra menggeleng dan sorot matanya
“Dari siapa? Kenapa kamu kelihatan takut begitu?” tanya Barra. Raut wajahnya menyiratkan kecurigaan, tatapan manik cokelatnya tajam bagai menembus relung terdalam Yasmin dan membongkar apa yang disembunyikannya.Alih-alih menjawab, Yasmin malah melakukan sesuatu yang membuat alis tebal Barra mengernyit. Dia menjentikkan jari kelingking di depan wajah tampan sang pengacara.“Tapi, Mas janji dulu. Kalau aku kasih tahu, tidak marah, tidak ngomel. Setuju?” ucap Yasmin tegas, dengan sorot mata mengiba.Barra menghela napas panjang. Sekilas, dia tampak kesal dan juga heran. Wanita ini … bisa-bisanya membuat dirinya terjebak dalam permainan kekanakan.Barra berusaha merebut ponsel Yasmin, tetapi kalah cepat. Yasmin langsung menautkan jari kelingking mereka, selayaknya anak kecil.“Nah, sekarang Mas Barra sudah janji,” ucap ibu susu itu dengan wajah puas.Barra mendesah. Entah kenapa, selalu saja dia kalah ketika berhadapan dengan Yasmin.“Oke. Katakan, dari siapa pesan itu?”Yasmin menggigit
Untuk pertama kalinya, Yasmin ingin keluar dari kamar bayi. Sorot mata selembut itu dari Kezia membuatnya tidak nyaman. Terlalu hangat dan sangatlah familiar. Pandangan wanita paruh baya itu mengingatkannya pada mendiang sang ibu.“Yasmin …,” panggil Kezia pelan, suara yang begitu keibuan, bagai pelukan hangat yang tak kasatmata.Yasmin bergeming. Keinginan kuat untuk keluar dari ruangan itu berubah menjadi kebimbangan. Sebenarnya dia bukan ragu dengan pertanyaan Kezia. Dia sudah tahu jawabannya. Hanya saja bibirnya terasa terkunci dan lidahnya kelu, serta hatinya pun ciut.“Mami … Yasmin, umm … minta maaf,” bisiknya dengan suara tertahan. Kepala wanita itu tertunduk, tidak sanggup menahan tatapan teduh dari Kezia lebih lama lagi.Kezia hanya menggeleng pelan, lalu merangkul tubuh mungil Yasmin dan menyentuh pundaknya dengan usapan hangat. Gerakan kecil itu membuat Yasmin sedikit lebih tenang.“Tidak apa-apa. Belum dijawab sekarang juga bukan masalah. Kamu bisa jawab besok, lusa, atau